Ilustrasi: Al-Qur'an, Sumber Cahaya dan Pembeda (Al-Furqan)
Surah Al-Furqan, sebuah surah Makkiyah, dibuka dengan sebuah pernyataan agung yang berfungsi sebagai landasan teologis seluruh pesannya. Ayat pertama dari surah ini, sebuah deklarasi tentang kebesaran Ilahi dan kenabian Muhammad ﷺ, tidak hanya sekadar pembukaan, melainkan sebuah ringkasan filosofis tentang misi risalah. Ayat ini merangkum hakikat dari Al-Qur'an itu sendiri: sebagai kriteria pembeda (Al-Furqan) yang diturunkan kepada hamba-Nya untuk memberi peringatan kepada seluruh alam.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap komponen katanya, yang masing-masing membawa beban makna yang luar biasa, membentuk pilar-pilar tauhid dan risalah.
Kata pembuka, Tabaraka, berasal dari akar kata Baraka (بركة), yang berarti berkah, kebaikan yang berlimpah, dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam konteks ayat ini, Tabaraka digunakan dalam bentuk pasif yang menekankan keabadian, keagungan, dan kemuliaan Allah yang melekat. Ini bukan sekadar ucapan pujian, tetapi sebuah penegasan bahwa Dzat Allah adalah sumber dari segala berkah, melampaui segala deskripsi dan batasan pemahaman manusia.
Ketika Allah disebut 'Maha Suci' atau 'Maha Agung' dengan Tabaraka, ini menandakan bahwa segala tindakan-Nya sempurna, dan penurunan Al-Qur'an (Al-Furqan) adalah manifestasi sempurna dari keagungan tersebut. Tindakan menurunkan wahyu bukanlah tindakan biasa; ia adalah tindakan penuh berkah yang akan membawa kebaikan abadi bagi manusia.
Keagungan yang disematkan pada Tabaraka juga secara otomatis menolak segala bentuk kekhilafan atau kelemahan yang biasa dikaitkan oleh kaum musyrikin Mekkah kepada tuhan-tuhan mereka. Ayat ini memulai dengan menancapkan fondasi bahwa Tuhan yang menurunkan Kitab ini adalah Tuhan yang mutlak sempurna, Dzat yang memiliki kekuasaan atas alam semesta tanpa tandingan.
Makna Tabaraka dalam ayat ini juga menyiratkan bahwa kemuliaan Allah adalah esensial dan tidak didapatkan dari luar. Segala sesuatu selain Dia adalah fana dan membutuhkan berkah-Nya, sedangkan Dia sendiri adalah sumber tak terbatas dari segala kebaikan. Pemilihan kata ini di awal surah berfungsi sebagai kunci pembuka yang menarik perhatian pendengar pada kebesaran Sifat Ilahi sebelum beralih ke pembahasan substansi wahyu itu sendiri.
Kata Nazala (menurunkan) di sini menggunakan bentuk tanzil (dengan penekanan, tashdid) yang menunjukkan proses penurunan secara berangsur-angsur, berbeda dengan inzal yang berarti penurunan sekaligus. Pemilihan kata nazzala secara spesifik menunjukkan hikmah di balik proses pewahyuan Al-Qur'an selama 23 tahun.
Proses penurunan yang bertahap ini memiliki implikasi besar:
Jadi, ketika ayat ini menyatakan bahwa Allah nazzala (telah menurunkan), ia menekankan bukan hanya fakta bahwa Al-Qur'an berasal dari Allah, tetapi juga bahwa proses penyampaiannya kepada umat manusia adalah bagian dari rencana Ilahi yang bijaksana dan terstruktur, memastikan bahwa pesan tersebut tertanam kuat dalam sejarah dan kesadaran umat.
Inilah jantung dari surah ini dan inti dari ayat 1. Al-Furqan secara harfiah berarti 'pembeda' atau 'kriteria'. Ia berasal dari kata kerja faraqa (memisahkan, membedakan). Dalam konteks wahyu, Al-Furqan memiliki makna yang mendalam dan berlapis:
A. Pembeda antara Hak dan Batil: Fungsi paling mendasar dari Al-Qur'an. Ia memisahkan tauhid (keesaan) dari syirik (kemusyrikan), kebenaran dari kepalsuan, petunjuk dari kesesatan, dan baik dari buruk. Pada masa turunnya, ini sangat krusial di Mekkah, di mana garis antara monoteisme Ibrahim dan praktik paganisme telah kabur.
B. Bukti dan Hujjah: Al-Furqan juga berfungsi sebagai bukti yang kuat (hujjah) bagi kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ. Mukjizat ini bersifat kekal dan rasional, berbeda dengan mukjizat fisik yang bersifat sementara. Ia adalah kriteria yang dapat diuji oleh akal sehat manusia.
C. Penjelasan Hukum: Secara hukum (fiqh), Al-Furqan juga merujuk pada pembedaan antara yang halal dan haram, yang diperbolehkan dan yang dilarang, memberikan panduan etika dan moral yang jelas bagi kehidupan. Tanpa Al-Furqan, manusia akan tersesat dalam relativitas moral.
Penamaan Al-Qur'an sebagai Al-Furqan di awal surah ini memberikan fokus yang tegas: Surah ini akan membahas pertentangan antara kebenaran (yang dibawa oleh Nabi) dan kesesatan (yang dipegang oleh kaum musyrikin), sebuah tema yang dominan sepanjang ayat-ayat berikutnya.
Penggunaan kata 'Abduhu (hamba-Nya) untuk merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ merupakan titik penting dalam teologi Islam. Allah memilih untuk menyebut utusan-Nya bukan sebagai 'Rasul-Nya' (utusan-Nya) atau 'Nabi-Nya', melainkan sebagai 'Hamba-Nya' pada konteks penurunan wahyu agung ini.
Para ulama tafsir, termasuk Imam Fakhruddin Ar-Razi, menekankan bahwa gelar 'Hamba' (al-'ubudiyyah) adalah gelar tertinggi dan termulia yang dapat dicapai oleh manusia. Dalam momen tertinggi kehormatan – yaitu saat menerima wahyu – Nabi ditegaskan statusnya sebagai hamba. Ini memiliki dua implikasi besar:
Penyebutan 'hamba-Nya' memberikan kontras yang jelas dengan keagungan 'Tabaraka', menyeimbangkan keilahian Allah yang tak terbatas dengan kemanusiaan utusan yang terbatas namun terpilih.
Bagian terakhir dari ayat pertama ini menjelaskan tujuan agung dari penurunan Al-Furqan: "agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam."
Kata Lil'ālamīna (bagi seluruh alam) menandaskan bahwa risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ tidak terbatas pada bangsa Arab, suku Quraisy, atau periode waktu tertentu. Ini adalah pesan universal, mencakup seluruh manusia di bumi, bahkan hingga jin. Ini adalah penegasan terhadap finalitas kenabian (Khatamun Nubuwwah).
Pada masa itu, Nabi-nabi terdahulu seringkali diutus hanya kepada kaum tertentu (misalnya Musa kepada Bani Israil). Namun, risalah Muhammad ﷺ memutus batasan geografis dan etnis. Al-Furqan adalah panduan yang relevan untuk setiap peradaban, setiap zaman, dan setiap budaya yang muncul setelahnya, hingga hari kiamat.
Universalitas ini menuntut kaum Muslim untuk tidak memonopoli pesan, melainkan menyampaikannya kepada siapa pun, di mana pun. Kewajiban dakwah dan penyebaran kebenaran berakar kuat dari tujuan universal ini.
Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai Nadhīrā (pemberi peringatan). Fungsi utama ini sangat penting, terutama di konteks Mekkah, di mana beliau menghadapi penolakan dan penganiayaan. Seorang nadzir bertugas memperingatkan tentang konsekuensi buruk dari tindakan yang salah, khususnya tentang hari perhitungan dan hukuman api neraka.
Peringatan (indzar) dalam konteks Al-Qur'an seringkali didampingi oleh kabar gembira (tabshir). Namun, ayat 1 Surah Al-Furqan secara spesifik memilih kata Nadhīrā karena pada intinya, manusia memerlukan guncangan dan kesadaran akan tanggung jawab mereka di hadapan Tuhan yang Maha Kuasa (yang baru saja digambarkan melalui Tabaraka). Peringatan ini bertujuan untuk menggerakkan hati manusia agar meninggalkan kesesatan (syirik, kezaliman) dan kembali kepada jalan yang benar (tauhid, keadilan).
Fungsi peringatan ini juga sangat relevan dengan tema Surah Al-Furqan itu sendiri, yang banyak membahas tentang penolakan orang-orang musyrik terhadap kenabian dan ancaman yang akan mereka hadapi karena menolak pembeda (Al-Furqan) yang telah diturunkan.
Ayat pembuka ini adalah cetak biru untuk seluruh Surah Al-Furqan. Surah ini secara garis besar terbagi menjadi dua bagian utama: bantahan terhadap keraguan kaum musyrikin dan deskripsi tentang hamba-hamba Allah yang beriman ('Ibadur Rahman).
Segera setelah ayat 1, Surah Al-Furqan beralih ke bantahan terhadap keraguan kaum musyrikin. Ayat 2 dan seterusnya membahas tuduhan bahwa Al-Qur'an adalah rekaan manusia, dan celaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ sebagai "hamba" yang berjalan di pasar dan makan makanan seperti orang biasa (QS. 25: 7-8).
Ayat 1 telah mempersenjatai pembelaan: Jika mereka mencela Nabi sebagai manusia biasa, Allah telah memberinya gelar tertinggi, 'abduhu (hamba-Nya), dan jika mereka meragukan sumber wahyu, ayat 1 menegaskan bahwa itu berasal dari Dzat yang Maha Agung, Tabaraka, dan isinya adalah Al-Furqan, pembeda yang tak terbantahkan.
Ini adalah strategi retoris yang kuat: sebelum musuh sempat melayangkan tuduhan, Allah telah memproklamirkan kemuliaan risalah dan utusan-Nya, menjadikan semua tuduhan berikutnya tampak dangkal dan tidak berdasar.
Bagian akhir Surah Al-Furqan (mulai dari ayat 63) mendeskripsikan sifat-sifat mulia 'Ibadur Rahman (hamba-hamba Yang Maha Pengasih). Kehambaan ini (yang diisyaratkan pada 'abdihi di ayat 1) adalah model yang harus diikuti oleh umat manusia universal (lil'alamin).
Sifat-sifat 'Ibadur Rahman (rendah hati, menjauhi perbuatan sia-sia, salat malam, menghindari syirik dan pembunuhan, dan sikap moderat) adalah hasil praktis dari menerima Al-Furqan sebagai panduan hidup. Ayat 1 adalah teori, dan deskripsi 'Ibadur Rahman adalah praktik sempurna dari teori tersebut.
Pembeda (Al-Furqan) adalah lebih dari sekadar nama lain untuk Al-Qur'an; ia adalah deskripsi fungsional. Konsep ini menantang manusia untuk selalu membuat pilihan sadar berdasarkan kriteria Ilahi, bukan hawa nafsu atau tradisi buta.
Di tingkat individu, Al-Furqan adalah anugerah yang memampukan akal manusia membedakan mana yang benar dan salah. Tanpa wahyu, akal manusia seringkali bias, dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, suku, atau zaman. Al-Furqan datang sebagai cahaya objektif yang menegaskan standar etika universal.
Kajian mendalam para ahli ushul fiqh menunjukkan bahwa Al-Furqan adalah dasar dari seluruh metodologi pengambilan keputusan hukum. Ketika dihadapkan pada masalah kontemporer, seorang Muslim harus selalu merujuk pada Al-Furqan (Al-Qur'an dan Sunnah) untuk mencari pembeda yang akan memandu mereka menuju keputusan yang benar.
Keputusan moral yang kompleks, konflik antar-nilai, dan dilema etika selalu membutuhkan kerangka kerja yang tidak goyah. Al-Furqan menyediakan kerangka kerja tersebut, memastikan bahwa pilihan manusia selalu berakar pada kebenaran transenden, bukan sekadar konsensus sosial yang berubah-ubah.
Dalam sejarah intelektual Islam, peran Al-Furqan sebagai kriteria kognitif telah menghasilkan tradisi keilmuan yang kaya. Ilmu tafsir, hadis, dan fiqh, semuanya adalah upaya kolektif untuk memahami dan menerapkan fungsi pembeda Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat, dan sistem pemerintahan. Ini menunjukkan bahwa kriteria yang diturunkan dalam ayat 1 bukanlah konsep pasif, melainkan mesin aktif yang menggerakkan peradaban berbasis moral.
Sejak awal diturunkan, Al-Furqan menandai dimulainya pertarungan ideologi yang tak terhindarkan. Pertarungan antara tauhid dan syirik. Pertarungan ini bukan hanya konflik fisik, tetapi konflik spiritual dan intelektual. Al-Qur'an datang sebagai senjata dan kriteria bagi mereka yang berjuang di jalan Allah.
Periode Mekkah yang penuh kesulitan mengajarkan bahwa penerimaan Al-Furqan membutuhkan pengorbanan dan keteguhan. Para Sahabat awal menerima Al-Furqan ketika mayoritas masyarakat menolaknya, menunjukkan bahwa kriteria kebenaran tidak ditentukan oleh popularitas, melainkan oleh kejelasan wahyu Ilahi.
Peran Al-Furqan sebagai penentu pertarungan juga relevan dalam konteks zaman modern, di mana batas antara realitas dan ilusi sering kali kabur oleh media dan informasi yang masif. Al-Furqan berfungsi sebagai kompas moral yang membantu Muslim menavigasi arus informasi yang menyesatkan, membedakan fakta spiritual dan moral dari fiksi sekuler atau materialistik.
Ayat 1 mengaitkan erat konsep Al-Furqan dengan status 'abduhu (hamba-Nya). Pembeda kebenaran diturunkan kepada seorang hamba yang tunduk total. Ini mengajarkan bahwa seseorang tidak dapat sepenuhnya memahami atau menggunakan Al-Furqan jika ia tidak terlebih dahulu mengklaim status kehambaannya kepada Allah.
Kehambaan adalah prasyarat untuk menerima petunjuk. Mereka yang sombong dan menolak tunduk akan selalu melihat Al-Qur'an sebagai buku biasa, atau bahkan sebagai ancaman, karena mereka tidak memiliki kerendahan hati yang esensial untuk diangkat menjadi penerima petunjuk agung ini.
Para sufi dan ahli batin sering merenungkan bahwa puncak dari 'ubudiyyah (kehambaan) adalah kemampuan untuk melihat kebenaran dengan jelas, membedakan bisikan setan dari ilham yang benar. Dengan demikian, Al-Furqan berfungsi sebagai hadiah yang dianugerahkan kepada mereka yang telah mencapai derajat kepasrahan tertinggi.
Pernyataan "Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam" membawa tanggung jawab kolektif bagi umat Muhammad ﷺ.
Meskipun kenabian telah berakhir, tugas peringatan (indzar) tidak berakhir. Umat Islam secara kolektif mewarisi peran Nabi Muhammad ﷺ sebagai penyampai Al-Furqan kepada lil'alamin (seluruh alam).
Ini bukan hanya tugas para ulama, melainkan tugas setiap Muslim sesuai kapasitasnya. Seseorang yang telah menerima kriteria pembeda (Al-Furqan) memiliki kewajiban moral untuk membagikan cahaya tersebut. Peringatan ini harus disampaikan dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau'izah hasanah (nasihat yang baik), sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur'an.
Dalam konteks modern, tugas Nadhīrā ini meluas mencakup menjawab keraguan, melawan narasi yang menyesatkan tentang Islam, dan menyajikan model hidup Islami yang dapat berfungsi sebagai peringatan positif bagi dunia tentang bagaimana kebenaran (Al-Furqan) dapat memecahkan masalah kemanusiaan.
Surah Al-Furqan dipenuhi dengan kisah-kisah kaum terdahulu yang menolak peringatan. Ayat 1 secara implisit menyinggung bahaya menolak kriteria yang jelas. Ketika manusia menolak pembeda antara hak dan batil, mereka jatuh ke dalam kekacauan, bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia. Sejarah mencatat bahwa peradaban yang runtuh seringkali adalah peradaban yang kehilangan kriteria moral yang jelas, memilih relativisme di atas kebenaran absolut.
Oleh karena itu, penerimaan terhadap Al-Furqan adalah prasyarat bagi keselamatan sosial dan spiritual. Penolakan terhadap pembeda Ilahi ini menghasilkan kekosongan moral yang pada akhirnya diisi oleh penyembahan hawa nafsu dan kekuasaan, yang membawa umat manusia menjauh dari tujuan penciptaan mereka yang luhur.
Ayat 1 juga secara kuat menegaskan bahwa Muhammad ﷺ adalah Nadhīrā yang terakhir dan paling komprehensif. Karena risalah ini universal dan abadi (lil'alamin), tidak akan ada lagi Nadhīrā setelah beliau. Hal ini menempatkan tanggung jawab yang sangat besar pada pundak umatnya untuk memastikan bahwa warisan ini, Al-Furqan, dipelihara dan disampaikan dengan integritas mutlak.
Keagungan Tabaraka Allah, yang didahului oleh penegasan bahwa Dia telah menurunkan kriteria pembeda ini kepada hamba-Nya yang sempurna, berfungsi sebagai penutup klaim kenabian yang datang sesudahnya. Kriteria telah lengkap, hamba telah menunaikan tugas, dan peringatan telah disampaikan kepada seluruh alam.
Implikasi dari finalitas ini adalah bahwa Al-Furqan harus diperlakukan sebagai konstitusi tertinggi. Jika umat Muhammad mulai mencari kriteria pembeda di luar Al-Furqan, mereka pada dasarnya meragukan kesempurnaan dan keuniversalan risalah yang telah diturunkan oleh Allah yang Maha Suci.
Al-Furqan Ayat 1 bukan hanya pengumuman teologis; ia adalah janji dan tantangan. Janji bahwa petunjuk yang jelas telah diberikan, dan tantangan untuk menggunakannya dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam hukum Islam, Al-Furqan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Ketika para ahli hukum (fuqaha) berijtihad untuk menyelesaikan kasus-kasus baru, mereka selalu kembali kepada Al-Furqan untuk menemukan prinsip-prinsip pembeda yang relevan. Misalnya, dalam menentukan transaksi yang sah (halal) dari yang tidak sah (haram), mereka menggunakan Al-Furqan untuk membedakan antara riba (bunga) yang dilarang dan jual beli (perdagangan) yang diperbolehkan.
Tanpa kriteria yang jelas ini, sistem ekonomi, politik, dan sosial akan ambruk dalam ketidakjelasan dan ketidakadilan. Al-Furqan memberikan garis batas yang tegas antara keadilan dan kezaliman, antara tanggung jawab publik dan penyalahgunaan kekuasaan. Keadilan dalam Islam adalah implementasi nyata dari Al-Furqan.
Bagi seorang Muslim, Al-Furqan adalah identitas. Keyakinan bahwa ada kriteria kebenaran mutlak yang berasal dari Dzat yang Maha Agung (Tabaraka) membentuk cara pandang yang unik. Ini melahirkan pribadi yang memiliki ketegasan moral dan mental yang kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh tren sesaat atau ideologi yang bertentangan dengan fitrah manusia.
Membaca, memahami, dan menghayati Al-Furqan berarti secara aktif mengasah kemampuan diri untuk membedakan kebenaran dalam situasi yang ambigu. Ini adalah proses pendidikan seumur hidup, di mana setiap ayat berfungsi sebagai alat diagnostik untuk menguji kejernihan iman dan amal.
Jika kita menelaah konsep taqwa (ketakwaan), ia sering kali dikaitkan dengan pembedaan. Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (kemampuan membedakan)." (QS. Al-Anfal [8]: 29). Hal ini menunjukkan bahwa Al-Furqan bukan hanya kitab yang diturunkan, tetapi juga kapasitas spiritual yang diperoleh melalui ketakwaan—sebuah siklus timbal balik antara wahyu eksternal dan pencerahan internal.
Ayat pertama Surah Al-Furqan adalah sebuah pengumuman kenegaraan Ilahi yang mencakup tiga elemen fundamental ajaran Islam: Keagungan Dzat yang Memberi (Allah, Tabaraka), Sumber Petunjuk yang Sempurna (Al-Furqan), dan Hamba yang Menunaikan Tugas (Muhammad, 'Abduhu), dengan tujuan Universalitas (Lil'alamin) dan Misi (Nadhīrā).
Ini adalah ayat yang menetapkan standar keimanan: hanya dengan mengakui keagungan Allah yang tak terbatas, menerima wahyu-Nya sebagai kriteria pembeda yang mutlak, dan mengikuti jejak Rasulullah sebagai hamba yang taat, manusia dapat mencapai tujuan akhir mereka, yaitu keselamatan dan petunjuk bagi seluruh alam.
Pesan ini terus bergema dalam setiap zaman. Di tengah hiruk pikuk ideologi dan relativisme, Al-Furqan Ayat 1 berdiri tegak sebagai pilar yang mengingatkan setiap Muslim tentang di mana letak kebenaran sejati: dalam Kitab yang diturunkan oleh Dzat yang Maha Suci, melalui hamba-Nya, sebagai pembeda yang kekal dan universal.
Tanggung jawab yang diemban oleh umat adalah menjaga keutuhan Al-Furqan, memahaminya secara mendalam, dan mengimplementasikan fungsi pembeda tersebut dalam setiap keputusan, baik pribadi maupun kolektif. Dengan demikian, tugas Nadhīrā (pemberi peringatan) yang diemban oleh Nabi Muhammad ﷺ akan terus hidup melalui umatnya, memastikan cahaya kriteria kebenaran ini tidak pernah padam dari muka bumi.
--- *Teks Artikel Lanjutan:* ---
Kembali pada kata pembuka, Tabaraka, kita menemukan resonansi yang lebih dalam dalam struktur bahasa Arab. Penggunaan pola Tafā‘ala (تَفَاعَلَ) di sini menunjukkan makna refleksif dan pengakuan. Ketika Allah disebut Tabaraka, ini adalah pengakuan dari seluruh ciptaan atas kemuliaan dan keagungan-Nya. Ini bukan sekadar deskripsi, tetapi sebuah proklamasi yang menuntut respons dari pendengar.
Ibnu Jarir At-Tabari, dalam tafsirnya, sering menghubungkan Barakah dengan kekekalan dan kelimpahan yang tak dapat dijangkau oleh ciptaan. Penurunan Al-Furqan dari Dzat yang Maha Agung menunjukkan bahwa wahyu itu sendiri diresapi dengan berkah yang sama. Setiap huruf, setiap hukum, dan setiap kisah dalam Al-Qur'an membawa potensi kebaikan yang tak terbatas dan kekal. Ini menjelaskan mengapa membaca Al-Qur'an dinilai sebagai ibadah yang memberkahi (berbarakah) meskipun seseorang belum sepenuhnya memahami maknanya.
Keagungan Tabaraka juga menjustifikasi klaim universalitas lil’alamin. Jika Dzat yang menurunkan Kitab ini adalah Tuhan seluruh alam semesta, maka Kitab yang Dia turunkan harus ditujukan kepada seluruh penghuni alam semesta. Ini adalah tautan logis yang memperkuat otoritas Al-Qur’an di atas semua ajaran atau ideologi lokal lainnya.
Pemilihan kata Nazzala, yang menunjukkan penurunan bertahap, juga menegaskan rahmat Allah. Jika Al-Qur'an diturunkan sekaligus, beban penerimaannya akan terlalu berat bagi Nabi dan umatnya. Penurunan yang perlahan memungkinkan inkulturasi (penyesuaian budaya dan sosial) dari nilai-nilai Islam, memungkinkan hukum untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat Mekkah dan Madinah.
Contoh paling jelas dari hikmah tanzil adalah pelarangan khamr (minuman keras) yang dilakukan dalam tiga tahap. Ini adalah manifestasi dari Al-Furqan dalam fungsi pedagogisnya; ia membedakan halal dan haram, tetapi melakukannya dengan kelembutan dan kebijaksanaan agar perubahan sosial dapat berkelanjutan. Rahmat ini adalah konsekuensi langsung dari sifat Tabaraka Allah.
Ayat 1 secara efektif mengatasi dua keraguan utama yang diajukan oleh kaum musyrikin terhadap kenabian Muhammad ﷺ: pertama, dari mana sumber ajarannya, dan kedua, mengapa utusan itu hanyalah manusia biasa.
Ketika musyrikin menuduh Nabi sebagai penyihir, penyair, atau orang gila, mereka meragukan sumber dari Al-Qur'an. Ayat 1 membungkam tuduhan ini dengan mengaitkan Al-Furqan langsung kepada Tabaraka, Dzat Yang Maha Suci dari segala kekurangan dan kebohongan. Mustahil bagi sumber kesempurnaan untuk melahirkan sesuatu yang palsu atau menyesatkan.
Ini adalah tantangan implisit: jika Al-Qur'an adalah ciptaan manusia, mengapa ia memiliki kualitas keindahan, kebenaran historis, dan kejelasan hukum yang melampaui kemampuan sastrawan Arab terbaik pada masanya? Satu-satunya jawaban yang logis adalah bahwa ia diturunkan oleh Dzat yang kekuasaan-Nya terbukti oleh keagungan alam semesta.
Kaum musyrikin meremehkan Nabi karena kemanusiaan beliau. Mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?" (QS. 25: 7). Mereka mengharapkan malaikat atau setidaknya raja sebagai utusan.
Pernyataan 'Ala 'abdihi di ayat 1 adalah jawaban yang mendalam. Allah memilih 'hamba' yang paling sempurna, yang kemanusiaannya justru menjadi poin kekuatan, bukan kelemahan. Kenapa? Karena seorang hamba yang menerima wahyu, makan, berjalan di pasar, tetapi tetap teguh menjalankan wahyu, adalah model yang dapat ditiru oleh manusia lainnya (lil'alamin). Jika Rasul adalah malaikat, manusia akan beralasan bahwa mereka tidak mampu meniru ketaatan tersebut.
Gelar 'Abduhu dalam konteks ini adalah pengakuan atas integritas total dan kepasrahan mutlak Muhammad ﷺ. Ia adalah bukti hidup bahwa wahyu dapat diintegrasikan sepenuhnya ke dalam kehidupan sehari-hari manusia, tanpa memerlukan atribut ketuhanan.
Universalitas Al-Furqan berarti dampaknya tidak hanya terbatas pada ritual dan spiritualitas, tetapi juga pada pembentukan peradaban. Sejak abad ke-7, ketika Al-Furqan mulai diturunkan, ia menjadi kriteria pembeda yang merevolusi masyarakat.
Sebelum Islam, masyarakat Arab terpecah oleh kasta, kesukuan, dan kezaliman terhadap yang lemah (wanita, budak, anak yatim). Al-Furqan Ayat 1 membawa kriteria baru yang membedakan keadilan dari kezaliman. Di bawah cahaya Al-Furqan, semua manusia setara di mata hukum, tanpa memandang ras atau status sosial. Kehambaan hanya kepada Allah ('abdihi) membatalkan semua bentuk penghambaan kepada manusia lain.
Konsep tauhid yang kuat ini memecahkan struktur hierarkis masyarakat yang didasarkan pada kesombongan dan kekuatan fisik. Ini adalah aplikasi nyata dari Al-Furqan: membedakan antara masyarakat yang berlandaskan nafsu dan masyarakat yang berlandaskan petunjuk Ilahi.
Al-Qur'an, sebagai Al-Furqan, membedakan pengetahuan yang bermanfaat (ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah) dari pengetahuan yang menyesatkan (ilmu yang menjauhkan diri dari Allah). Perintah pertama dalam wahyu, "Bacalah" (Iqra'), menempatkan ilmu sebagai prasyarat untuk memahami Al-Furqan. Ilmu adalah alat untuk membedakan kebenaran ilmiah dan empiris dari takhayul dan dogma buta.
Peradaban Islam yang berkembang pesat di masa keemasan mereka adalah hasil langsung dari penerapan Al-Furqan sebagai kriteria pembeda dalam studi astronomi, kedokteran, dan matematika. Mereka membedakan metode ilmiah yang valid dari spekulasi filosofis yang tidak teruji, sebuah prinsip yang tertanam dalam fungsi Al-Furqan itu sendiri.
Ayat 1 ini membentuk sebuah siklus teologis yang saling menguatkan:
Manusia harus memulai dengan mengakui keagungan Allah (Tabaraka). Pengakuan ini secara otomatis menuntut kepasrahan (ubudiyah), yang diteladani oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dan hadiah dari kepasrahan ini adalah kemampuan untuk melihat dengan jelas, yaitu pemahaman dan penerapan Al-Furqan. Jika salah satu elemen ini hilang, petunjuk menjadi kabur.
Seseorang yang mencoba memahami Al-Furqan tanpa mengakui keagungan Allah akan menganggapnya sebagai teks sejarah biasa. Seseorang yang mengakui keagungan Allah tetapi menolak kehambaan (seperti Iblis) tidak akan mampu menerima petunjuk yang diturunkan melalui hamba-Nya. Hanya melalui harmoni antara Tabaraka dan 'Abduhu lah fungsi Al-Furqan dapat direalisasikan sepenuhnya sebagai Nadhīrā lil'alamin.
Oleh karena itu, ayat pembuka Surah Al-Furqan bukan hanya deklarasi, melainkan sebuah peta jalan menuju kesempurnaan spiritual dan peradaban yang berpandu pada kriteria kebenaran yang tidak lekang oleh waktu dan tidak terpengaruh oleh kefanaan dunia.
--- *Tambahan Analisis Lanjutan* ---
Ketika Allah memilih kata Nadhīrā (pemberi peringatan) sebagai tujuan akhir penurunan Al-Furqan, ini mengakui sifat dasar psikologis manusia yang cenderung lalai dan mudah terbuai oleh kesenangan dunia. Fungsi peringatan adalah untuk melawan kelalaian ini.
Peringatan dalam Islam bukanlah ancaman kosong, melainkan stimulasi akal. Peringatan tentang Hari Akhir, Surga, dan Neraka berfungsi sebagai insentif terkuat bagi akal manusia untuk menggunakan Al-Furqan guna membuat keputusan yang optimal dalam jangka panjang. Tanpa peringatan ini, motivasi manusia seringkali terjebak dalam horizon waktu yang sangat pendek—kepentingan segera dan kenikmatan sesaat.
Nabi, sebagai Nadhīrā, bertugas menarik perhatian manusia dari kegelapan (syirik dan maksiat) menuju cahaya (tauhid dan kebaikan). Proses ini melibatkan pengungkapan konsekuensi logis dari pilihan mereka. Ini adalah salah satu aplikasi terpenting dari Al-Furqan: ia mengungkapkan mata rantai sebab-akibat moral yang tersembunyi dari pandangan mata manusia.
Keseimbangan (mizan) adalah prinsip utama dalam Al-Qur'an. Peringatan berfungsi untuk menyeimbangkan harapan (raja') dan ketakutan (khauf). Jika hanya ada harapan, manusia cenderung bersikap sembrono. Jika hanya ada ketakutan, mereka cenderung putus asa. Sebagai Nadhīrā, Nabi memberikan peringatan yang disandingkan dengan kabar gembira tentang rahmat Allah, sehingga mendorong perilaku yang moderat dan bertanggung jawab, sebuah keseimbangan yang hanya mungkin terwujud melalui kriteria Al-Furqan.
Keuniversalan risalah Islam adalah fitur pembeda utama yang diperkenalkan oleh ayat ini. Konsep Lil'ālamīna mencakup dimensi spasial (geografis) dan temporal (waktu).
Al-Furqan ditujukan bagi semua bangsa, bukan hanya peradaban tertentu. Konsep ini menantang umat Islam untuk keluar dari batas-batas budaya mereka dan menyebarkan pesan ini. Universalitas Al-Furqan mendorong terjadinya interaksi peradaban dan transfer ilmu pengetahuan, menjadikan Islam sebagai jembatan antara Timur dan Barat, yang terbukti dalam sejarah Baghdad, Kordoba, dan Timbuktu.
Karena Muhammad ﷺ adalah utusan terakhir bagi seluruh alam, Al-Furqan haruslah relevan hingga akhir zaman. Ini berarti bahwa prinsip-prinsip pembeda yang terkandung di dalamnya harus bersifat fleksibel dan abadi. Prinsip-prinsip inti seperti Tauhid, keadilan, dan kasih sayang bersifat kekal, sementara aplikasinya (hukum fiqh) dapat beradaptasi melalui mekanisme ijtihad (penalaran hukum), asalkan tetap berpegang pada kriteria yang ditetapkan oleh Al-Furqan.
Para ulama kontemporer menekankan bahwa Al-Furqan harus digunakan sebagai alat untuk memecahkan masalah global—mulai dari krisis lingkungan hingga ketidaksetaraan ekonomi. Jika Al-Furqan benar-benar bagi seluruh alam, maka solusinya harus bersifat global dan transenden, melampaui kepentingan nasional sempit.
Para mufassir klasik memberikan penekanan yang luar biasa pada pembukaan Surah Al-Furqan ini, menganggapnya sebagai pengantar yang sangat padat terhadap inti Surah.
Ibnu Katsir menekankan bahwa Tabaraka adalah bentuk pujian mutlak yang khusus hanya bagi Allah. Ia mengutip ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an yang menggunakan Tabaraka, seperti "Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam" (QS. Al-A'raf [7]: 54), untuk menunjukkan bahwa keagungan Allah terkait erat dengan penciptaan dan pengelolaan alam semesta. Menurutnya, penurunan Al-Furqan adalah salah satu bukti terbesar dari keagungan (Barakah) Allah itu sendiri.
Imam At-Tabari secara eksplisit menjelaskan bahwa Al-Furqan adalah Al-Qur'an yang membedakan antara kebenaran (haq) dan kebatilan (bathil), antara halal dan haram, dan antara yang diimani dan yang dikufuri. At-Tabari menyajikan berbagai pandangan para Sahabat dan Tabi’in, yang semuanya sepakat bahwa nama ini menyoroti fungsi diskriminatif Kitab Suci ini. Baginya, ayat ini adalah penegasan otoritas Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber hukum dan moral yang sah, di atas tradisi suku atau keputusan manusia.
Kajian mendalam terhadap tafsir klasik ini menunjukkan keseriusan dan bobot teologis yang disematkan pada setiap kata dalam al furqan ayat 1. Ayat ini adalah fondasi yang kokoh, bukan hanya untuk Surah Al-Furqan, tetapi untuk seluruh kerangka teologi dan syariah Islam.
Dalam kesimpulannya yang mendalam, ayat pertama dari Surah Al-Furqan adalah deklarasi kebenaran yang komprehensif. Ia menempatkan Al-Qur'an bukan sebagai sekadar teks religius, melainkan sebagai pedoman kehidupan yang dinamis dan kriteria pembeda universal yang mampu memandu manusia melintasi kompleksitas zaman. Keagungan Allah (Tabaraka) menjamin kemurnian dan otoritas wahyu; kehambaan Nabi ('Abduhu) memastikan model penerapannya yang sempurna; dan tujuan (Nadhīrā lil'alamin) memastikan relevansi dan kekekalan pesannya bagi setiap manusia, di mana pun ia berada.
Mengamalkan Al-Furqan Ayat 1 berarti hidup dalam kesadaran penuh akan status kehambaan (ubudiyah), secara aktif mencari pembeda (furqan) dalam setiap dilema, dan menunaikan tugas sebagai pewaris peringatan (nadhīrā) bagi seluruh alam. Inilah inti dari pesan yang dibawa oleh surah agung ini.
--- *Akhir Artikel* ---