Mengungkap Makna Spiritual dan Sosial: Tafsir Surah Al-Fajr Ayat 15-18

Pintu Gerbang Peringatan Ilahi: Konteks Surah Al-Fajr

Surah Al-Fajr, sebuah surah Makkiyah, hadir sebagai serangkaian sumpah yang menggetarkan jiwa, diikuti oleh kisah-kisah kaum terdahulu yang dihancurkan karena kesombongan dan kezaliman mereka. Surah ini secara tegas membagi manusia menjadi dua kategori: mereka yang tunduk pada kebenaran dan mereka yang tenggelam dalam kecintaan pada dunia fana. Inti dari surah ini adalah penekanan pada Hari Pembalasan dan keseriusan hidup di dunia sebagai panggung ujian.

Setelah mengisahkan nasib kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun – yang semuanya lalai dan melampaui batas – Surah Al-Fajr mengalihkan fokusnya langsung kepada sifat dasar manusia, mengkritik keras cara pandang simplistis kita terhadap nikmat dan musibah. Ayat 15 hingga 18 merupakan titik balik, di mana Allah SWT mengoreksi pemahaman keliru manusia mengenai karunia materi dan kekurangan ekonomi. Ayat-ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan teguran pedagogis yang mendalam mengenai teologi dan etika sosial.

Kita sering kali jatuh ke dalam perangkap atribusi yang dangkal: jika kita kaya, itu karena Allah mencintai kita; jika kita miskin, itu karena Allah menghinakan kita. Surah Al-Fajr dengan tegas membongkar kerangka pikir yang materialistik ini, menyatakan bahwa baik kekayaan maupun kemiskinan hanyalah bentuk dari ujian, sebuah alat ukur untuk menilai ketaatan, kesabaran, dan kedermawanan seorang hamba.

Fondasi Ujian Manusia

Sebelum membahas secara rinci ayat-ayat tersebut, penting untuk memahami konsep sentral dalam Islam: *Ibtalaa’* (ujian). Dunia ini adalah darul imtihan (negeri ujian). Ujian tidak selalu datang dalam bentuk kesulitan atau penderitaan. Seringkali, ujian terberat justru terletak pada kelapangan, kemudahan, dan harta benda. Kekayaan menguji bagaimana seseorang menggunakan sumber daya yang dititipkan kepadanya: apakah ia menjadi bersyukur dan berbagi, ataukah ia menjadi sombong, kikir, dan melupakan tanggung jawabnya terhadap sesama.

Ayat 15 dan 16 langsung menyingkap tabir psikologi manusia yang cenderung menyalahartikan kondisi materialnya sebagai indikator status spiritualnya di sisi Tuhan. Inilah akar dari segala kesombongan dan keputusasaan yang lahir dari orientasi duniawi yang berlebihan.

Ayat 15: Kesalahan Atribusi dalam Kekayaan

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
Adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.”

Analisis Linguistik dan Konseptual Ayat 15

Ayat ini dimulai dengan penegasan bahwa setiap kondisi adalah ujian (*ibtalaa*). Kata *ibtalaa* mencakup makna pengujian, pemurnian, dan penempatan dalam situasi yang menantang untuk melihat responsnya. Di sini, ujiannya adalah dalam bentuk kelapangan, yang diwakili oleh dua kata kunci: *akramahu* (memuliakannya) dan *na‘‘amahu* (memberinya kesenangan/nikmat).

Manusia yang diuji dengan karunia ini segera menyimpulkan, “Rabbī akraman” (Tuhanku telah memuliakanku). Implikasi dari pernyataan ini sangat berbahaya. Manusia tersebut menganggap bahwa kemudahan harta, jabatan, dan kesehatan adalah bukti mutlak dari status tinggi dan kecintaan istimewa dari Allah. Ia gagal melihat bahwa kekayaan itu sendiri adalah beban tanggung jawab, bukan medali kehormatan abadi.

Pikiran semacam ini melahirkan perilaku sombong. Karena merasa dimuliakan, ia merasa berhak atas hartanya sepenuhnya, tanpa kewajiban moral atau spiritual kepada orang lain. Harta menjadi sumber kesombongan, dan bukan alat untuk mendekatkan diri kepada Sang Pemberi. Dia lupa bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah diukur dengan ketakwaan (*taqwa*), bukan dengan kekayaan materi.

Kekayaan seringkali menjadi hijab (penghalang) terbesar antara hamba dan Rabbnya. Ketika seseorang tenggelam dalam kenikmatan dunia, fokusnya beralih dari tujuan akhirat kepada kepuasan diri yang sementara. Tafsir klasik menegaskan bahwa kekayaan yang melalaikan adalah ujian yang lebih berat daripada kemiskinan yang menyadarkan. Mengapa? Karena kekayaan cenderung membius kesadaran akan hari pembalasan dan kewajiban sosial.

Pernyataan “Tuhanku telah memuliakanku” adalah sebuah justifikasi diri yang menipu. Itu adalah cara untuk menghindari rasa bersalah atas kelalaian dalam bersyukur dan berinfak. Seolah-olah, keberlimpahan material adalah tiket untuk mengabaikan perintah-perintah sosial dalam agama.

Timbangan Keadilan Gambar 1: Timbangan Keadilan yang mewakili ujian kekayaan dan kemiskinan.

Ayat 16: Kesalahan Atribusi dalam Kemiskinan

وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Namun, apabila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinakanku.”

Analisis Linguistik dan Konseptual Ayat 16

Kontras yang tajam disajikan di ayat ini. Sekali lagi, kondisi ini disebut sebagai *ibtalaa* (ujian). Perbedaannya terletak pada jenis ujian: *qadara ‘alaihi rizqah* (membatasi rezekinya). Kata *qadara* di sini tidak berarti menghilangkan sepenuhnya, tetapi membatasi, menyempitkan, atau mengukur rezeki sehingga tidak melimpah.

Reaksi manusia terhadap ujian ini adalah, “Rabbī ahānan” (Tuhanku telah menghinakanku). Ini menunjukkan pemahaman teologis yang sama-sama keliru dengan orang kaya. Orang miskin mengira bahwa keterbatasan rezeki adalah tanda kebencian atau penghinaan dari Allah SWT.

Kesalahan mendasar di sini adalah menyamakan harga diri dan kemuliaan spiritual dengan kondisi rekening bank. Dalam pandangan Islam, kemiskinan (jika dihadapi dengan kesabaran) bisa menjadi tangga menuju derajat yang lebih tinggi, sebagaimana kekayaan (jika dihadapi dengan kesyukuran dan kedermawanan). Kemuliaan sejati tidak pernah diukur oleh banyaknya materi, tetapi oleh kualitas hati dan amal perbuatan.

Jalan pikiran yang menyatakan ‘Allah menghinakanku’ ketika miskin dapat menyebabkan dua dampak negatif:

  1. Keputusasaan (Al-Qunut): Hamba merasa bahwa ia tidak dicintai dan kehilangan harapan rahmat ilahi, yang merupakan dosa besar.
  2. Protes dan Ketidaktaatan: Ia mungkin mulai mempertanyakan keadilan Tuhan atau mencari rezeki melalui cara-cara haram, karena merasa bahwa cara yang halal telah diharamkan baginya.

Kedua ayat ini (15 dan 16) secara kolektif mengajarkan tauhid sejati dalam menghadapi takdir. Allah SWT mengingatkan kita bahwa Dia menguji siapapun yang Dia kehendaki dengan kekayaan, dan siapapun yang Dia kehendaki dengan kemiskinan. Kunci suksesnya adalah respons spiritual kita: syukur dan sabar. Status kita di akhirat tidak ditentukan oleh hasil ujian (kaya atau miskin), melainkan oleh perilaku kita selama ujian berlangsung.

Kesalahan fatal yang dikritik oleh Allah adalah menjadikan dunia ini sebagai parameter satu-satunya bagi nilai diri kita. Kekayaan tidak menjadikan seseorang mulia, dan kemiskinan tidak menjadikan seseorang hina, kecuali jika kekayaan itu membuat seseorang sombong atau kemiskinan itu membuatnya kufur nikmat dan putus asa. Inti pengajaran ini adalah pemisahan antara nilai material dan nilai spiritual.

Sintesis Ayat 15 dan 16: Konsep Al-Mizan

Ayat 15 dan 16 adalah sepasang ayat yang saling melengkapi dan menyanggah pandangan hedonistik. Keduanya menyoroti kesalahpahaman universal manusia: kecenderungan untuk mempersonalisasi takdir ekonomi. Padahal, Allah memberikan kelapangan dan kesempitan kepada hamba-Nya sebagai sarana untuk mendidik dan menguji integritas moral mereka. Kekayaan adalah ujian kepemimpinan dan kedermawanan; kemiskinan adalah ujian kesabaran dan keimanan.

Seorang yang beriman sejati tidak akan pernah merasa dimuliakan karena hartanya atau dihinakan karena kekurangannya. Ia tahu bahwa keduanya adalah anugerah yang harus dipertanggungjawabkan. Kehidupan adalah sebuah timbangan, di mana di satu sisi terdapat nikmat dan di sisi lain terdapat kesulitan, dan nilai seorang hamba ditentukan oleh keseimbangan antara syukur dan sabar.

Ayat 17: Pukulan Telak Kalla!

كَلَّا ۖ بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
Sekali-kali tidak! Bahkan, kamu tidak memuliakan anak yatim.

Makna Kalla dan Koreksi Ilahi

Ayat 17 dimulai dengan kata tunggal yang sangat kuat dan tegas: *Kallā* (كَلَّا). Dalam konteks bahasa Arab, *Kallā* berfungsi sebagai penolakan yang keras dan menyeluruh terhadap pemikiran yang baru saja disebutkan dalam Ayat 15 dan 16. Artinya, “Tidak sama sekali!”, “Jauhi pikiran itu!”, atau “Bukan begitu persoalannya!”

Kata *Kallā* ini menolak kedua kesimpulan keliru manusia: baik anggapan bahwa harta adalah tanda kemuliaan, maupun anggapan bahwa kemiskinan adalah tanda kehinaan. Allah SWT menyatakan bahwa masalahnya bukan terletak pada berapa banyak harta yang kalian miliki, melainkan pada perilaku sosial kalian terhadap titipan harta tersebut.

Allah kemudian menunjukkan kesalahan nyata manusia yang menyebabkan mereka terjerumus pada hukuman, yaitu: *Bal lā tukrimūnal yatīm* (Bahkan, kamu tidak memuliakan anak yatim). Ini adalah koreksi langsung yang mengubah fokus dari teologi yang keliru menjadi etika sosial yang gagal.

Hak dan Kemuliaan Anak Yatim

Fokus pada anak yatim (*al-yatīm*) sangat signifikan. Anak yatim adalah simbol kelemahan dan ketidakberdayaan absolut dalam struktur masyarakat. Mereka adalah pihak yang paling rentan terhadap eksploitasi dan kelalaian. Memuliakan anak yatim (*tukrimūnal yatīm*) tidak hanya berarti memberinya makan. Ia mencakup:

  1. Perlakuan Fisik: Memberi makan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak.
  2. Perlakuan Emosional: Memberi kasih sayang, perhatian, dan rasa hormat, sehingga mereka tidak merasa terhina atau ditinggalkan.
  3. Perlakuan Hukum/Finansial: Menjaga harta mereka (jika ada) dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi.

Ayat ini menunjukkan bahwa kegagalan terbesar masyarakat yang makmur adalah ketika mereka mengabaikan lapisan masyarakat yang paling lemah. Seseorang mungkin rajin beribadah ritual (salat, puasa), tetapi jika ia gagal dalam ujian empati sosial, nilai amalannya akan gugur. Ketidakmampuan untuk memuliakan anak yatim adalah indikator paling jelas dari hati yang keras dan jiwa yang terikat pada materialisme semata.

Kritik Allah terhadap orang-orang kaya bukanlah semata karena mereka kaya, tetapi karena kekayaan mereka tidak menghasilkan kebaikan sosial. Mereka menggunakan harta untuk memuliakan diri sendiri dan kesenangan pribadi, namun pelit dalam memuliakan mereka yang paling membutuhkan perlindungan dan kehormatan. Inilah esensi kezaliman sosial yang dikutuk dalam Surah Al-Fajr.

Tangan Memberi Sedekah Gambar 2: Tangan yang terbuka, melambangkan kedermawanan dan memuliakan yang lemah.

Ayat 18: Kegagalan dalam Mendorong Kebaikan

وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
dan kamu tidak saling menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.

Tanggung Jawab Kolektif (At-Tahadhdhun)

Jika Ayat 17 membahas kegagalan individu dalam bertindak (memuliakan yatim), Ayat 18 membahas kegagalan kolektif dan struktural dalam bersikap. Frasa kuncinya adalah *lā tahāddūna ‘alā ṭa‘āmil miskīn* (kamu tidak saling menganjurkan untuk memberi makan orang miskin).

Kata *tahāddūna* berasal dari akar kata yang berarti mendorong atau menganjurkan. Ini menunjukkan bahwa kegagalan masyarakat bukan hanya terjadi pada orang yang memiliki harta dan tidak memberikannya, tetapi juga pada mereka yang melihat kemiskinan dan tidak berusaha mendorong orang lain, termasuk diri mereka sendiri, untuk bertindak.

Tanggung jawab sosial tidak berhenti pada tindakan pribadi. Ayat ini menetapkan standar yang lebih tinggi: menciptakan kesadaran sosial dan budaya kedermawanan. Seseorang mungkin tidak kaya, tetapi ia wajib menganjurkan yang kaya untuk bersedekah, dan mengingatkan masyarakat akan pentingnya menopang si miskin (*al-miskīn*).

Perbedaan Antara Yatim dan Miskin

Penyebutan yatim dan miskin secara terpisah menunjukkan cakupan tanggung jawab yang luas. Anak yatim membutuhkan kehormatan, perlindungan, dan kasih sayang (selain kebutuhan materi), sedangkan orang miskin membutuhkan pemenuhan kebutuhan dasar, terutama makanan (*ṭa‘ām*).

Kegagalan dalam menganjurkan pemberian makanan kepada orang miskin menunjukkan kegagalan dalam membangun sistem jaring pengaman sosial yang berlandaskan iman. Masyarakat yang tidak memiliki empati kolektif adalah masyarakat yang fasik, meskipun individu-individu di dalamnya mungkin rajin shalat.

Dimensi Struktural Kezaliman

Ayat 18 sangat relevan dalam konteks modern. Kekayaan sering terakumulasi di tangan segelintir orang, sementara sebagian besar masyarakat berjuang. Ketika lapisan atas tidak memiliki kepedulian untuk menciptakan budaya berbagi, atau bahkan tidak mau mendengar seruan keadilan, maka mereka layak menerima teguran *Kallā*.

Ini adalah kritikan terhadap budaya hedonisme yang individualistis, di mana setiap orang fokus pada pengumpulan harta tanpa mempedulikan dampak sosial dari akumulasi tersebut. Kegagalan untuk menganjurkan kebaikan adalah bentuk pasif dari kezaliman. Ini menciptakan lingkungan di mana kemiskinan menjadi takdir yang diterima, bukan masalah sosial yang harus diatasi bersama.

Refleksi Teologis: Membongkar Kesalahpahaman Hakiki

Empat ayat ini (15-18) adalah pelajaran teologi dan sosiologi yang saling terjalin. Mereka mengajarkan bahwa hubungan kita dengan Allah tidak dapat dipisahkan dari hubungan kita dengan sesama manusia, khususnya mereka yang berada dalam posisi rentan.

Kritik terhadap Theologi Materialistik

Allah SWT melalui ayat-ayat ini mengoreksi pandangan bahwa status seseorang di sisi-Nya dapat dibaca dari saldo banknya. Ini adalah teologi materialistik yang ditolak keras oleh Islam. Jika kekayaan adalah tolok ukur kemuliaan, maka Fir’aun, yang memiliki kekayaan luar biasa, akan menjadi orang yang paling mulia. Namun, sejarah menunjukkan sebaliknya.

Kemuliaan sejati adalah karunia hati yang ditunjukkan melalui amal. Hamba yang mulia adalah yang bersyukur saat kaya dan bersabar saat miskin, dan yang terpenting, ia menggunakan sumber daya yang diberikan kepadanya untuk menegakkan keadilan sosial, dimulai dari memuliakan anak yatim dan memberi makan orang miskin.

Konsep Ibtalaa’ yang Mendalam

Pengulangan kata *ibtalaa* (menguji) pada Ayat 15 dan 16 menanamkan prinsip bahwa hidup adalah serangkaian tes. Ujian ini dirancang untuk memunculkan potensi terbaik atau terburuk dari karakter manusia. Ujian kekayaan membutuhkan kerendahan hati dan kedermawanan; ujian kemiskinan membutuhkan kepasrahan dan ketahanan. Manusia yang dikritik dalam surah ini gagal dalam kedua sisi ujian, karena mereka salah menafsirkan arti dari ujian itu sendiri.

Hati yang Terkunci oleh Harta

Kekalahan terbesar yang dialami oleh manusia yang dikritik dalam Al-Fajr adalah pengerasan hati. Kekayaan yang melimpah, tanpa filter keimanan, akan mengarah pada ketamakan yang tak pernah puas, yang disorot oleh ayat-ayat berikutnya (Ayat 19: *wa tuḥibbūnal māla ḥubban jammā* - dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan).

Kegagalan memuliakan yatim dan memberi makan miskin bukanlah sekadar kelalaian finansial; itu adalah manifestasi eksternal dari hati yang telah terkunci. Hati yang tertutup tidak mampu merasakan penderitaan orang lain, karena ia terlalu sibuk menghitung dan memuja hartanya sendiri. Kikir adalah penyakit spiritual yang menyebabkan kegagalan dalam ujian sosial.

Implikasi Kata ‘Kalla’ dalam Kehidupan Kontemporer

Peringatan *Kallā* ini berlaku universal, melintasi zaman. Dalam masyarakat yang sangat kapitalistik, di mana kesuksesan diukur hanya dengan kekayaan, pesan Al-Fajr menjadi semakin urgen. Ketika perusahaan-perusahaan menghasilkan keuntungan besar namun menekan upah buruh, ketika infrastruktur mewah dibangun di samping daerah kumuh, atau ketika miliarder hidup dalam kemewahan ekstrem sementara jutaan anak yatim dan miskin hidup kelaparan, maka teguran ‘Kallā’ menggema keras.

Tanggung jawab kita sebagai umat beriman bukan hanya memastikan rumah tangga kita sendiri makmur, tetapi memastikan bahwa seluruh komunitas hidup dalam martabat. Kita diuji bukan hanya oleh apa yang kita miliki, tetapi juga oleh apa yang kita berikan, dan yang lebih penting, seberapa keras kita mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Prinsip Etika Sosial dari Ayat 15-18: Mengukuhkan Tanggung Jawab Komunal

Ayat-ayat ini menetapkan tiga pilar utama dalam etika sosial Islam, yang menjadi penentu status spiritual seseorang di hadapan Allah SWT. Pilar-pilar ini membentuk konsep *Takaful* (saling menanggung beban) dalam masyarakat.

1. Menghargai Manusia Lebih dari Materi

Teguran terhadap orang kaya yang sombong mengajarkan bahwa kepemilikan materi tidak boleh menjadi dasar untuk merendahkan orang lain. Yatim dan miskin memiliki hak atas kehormatan. Ketika masyarakat gagal melihat kemuliaan (karamah) dalam diri setiap individu, terlepas dari status ekonomi mereka, masyarakat tersebut berada di ambang kehancuran moral.

Memuliakan anak yatim adalah sebuah investasi spiritual. Rasulullah SAW bersabda, “Aku dan pengasuh anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,” sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya, dengan sedikit merenggangkan keduanya. Hadits ini menggarisbawahi betapa tingginya kedudukan spiritual yang diperoleh dari menunaikan kewajiban sosial yang spesifik ini.

2. Melampaui Batas Sedekah Pribadi (Tahadhdhun)

Ayat 18 mengajarkan bahwa berbuat baik harus menjadi gerakan sosial. *Tahadhdhun* (saling menganjurkan) adalah sebuah kewajiban yang bersifat aktif dan proaktif. Ini menuntut pembentukan opini publik dan budaya yang mengutamakan keadilan dan kedermawanan. Jika kita melihat kelaparan di sekitar kita, diam adalah bentuk dosa sosial.

Konsep ini relevan bagi semua orang, termasuk mereka yang tidak memiliki kelebihan harta. Seseorang yang miskin pun dapat menunaikan kewajiban ini dengan mendorong orang lain beramal. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab membangun masyarakat yang adil adalah tanggung jawab kolektif seluruh anggota masyarakat, bukan hanya tugas para dermawan.

3. Korelasi Antara Ujian Dunia dan Hari Pembalasan

Empat ayat ini adalah jembatan yang menghubungkan ujian kehidupan dunia (Ayat 15-16) dengan akuntabilitas di akhirat. Kekayaan dan kemiskinan hanyalah kondisi sementara. Pertanyaan di Hari Kiamat nanti adalah, “Bagaimana kamu merespons kondisi tersebut? Apakah kamu gagal karena sombong atau putus asa, dan apakah kamu mengabaikan mereka yang telah Kami uji dengan kelemahan?”

Kezaliman sosial, yang diwakili oleh pengabaian yatim dan miskin, adalah dosa yang membawa konsekuensi langsung dan mengerikan. Ayat-ayat berikutnya dalam surah ini (tentang hari di mana harta tidak lagi berguna) menegaskan betapa seriusnya kegagalan dalam menunaikan hak-hak sosial ini.

Ujian Pengelolaan Sumber Daya

Dalam skala yang lebih luas, Surah Al-Fajr menguji konsep kepemilikan. Dalam Islam, harta hanyalah titipan (amanah) dari Allah. Orang yang gagal memuliakan yatim dan memberi makan miskin adalah orang yang lupa bahwa ia hanyalah pengelola sementara. Ia mengklaim kepemilikan absolut atas harta yang sejatinya memiliki bagian hak orang lain (hak yatim dan miskin). Kesalahan ini sama berbahayanya dengan syirik (menyekutukan Allah), karena ia menempatkan dirinya sebagai pemilik mutlak, menafikan kehendak Allah sebagai pemilik sejati segala sesuatu.

Pemahaman ini mendorong kita untuk senantiasa bersikap kritis terhadap motif kita dalam mencari dan membelanjakan harta. Apakah kita bekerja keras hanya untuk akumulasi pribadi, ataukah kita bekerja untuk memperluas lingkup kedermawanan dan dukungan sosial? Kekayaan sejati diukur dari dampak positifnya, bukan dari jumlahnya yang tersimpan.

Penutup: Peringatan untuk Mengoreksi Prioritas

Surah Al-Fajr Ayat 15-18 adalah seruan keras untuk kembali kepada nilai-nilai inti kemanusiaan dan spiritualitas. Ini adalah koreksi terhadap teologi yang berpusat pada diri sendiri dan pemikiran yang didominasi oleh materialisme.

Pelajaran terpenting yang dapat kita petik adalah: Ujian Allah tidak bersifat diskriminatif. Ia datang dalam bentuk kelapangan dan kesempitan. Respons kita terhadap ujian tersebut akan menentukan nasib kita di akhirat. Seseorang yang kaya namun sombong dan pelit akan dihinakan. Seseorang yang miskin namun bersabar dan tetap mendorong kebaikan akan dimuliakan.

Kesejahteraan umat tidak diukur dari kemewahan infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi semata, melainkan dari sejauh mana masyarakat berhasil menopang lapisan yang paling rentan. Selama masih ada anak yatim yang merasa diabaikan dan orang miskin yang kelaparan, teguran *Kallā* akan terus bergema, mengingatkan kita bahwa kita telah gagal dalam ujian terbesar: ujian kemanusiaan dan tanggung jawab sosial.

Maka, mari kita tinggalkan anggapan keliru bahwa harta adalah bukti kasih sayang ilahi atau kemiskinan adalah bukti kehinaan. Marilah kita fokus pada tindakan nyata: memuliakan anak yatim dengan segenap hati dan jiwa, serta aktif mendorong budaya memberi makan orang miskin, sehingga kita dapat menjadi hamba yang bersyukur dan lulus dalam setiap bentuk ujian kehidupan.

Ketegasan kata *Kallā* menuntut kita untuk segera mengubah orientasi. Bukan harta yang menentukan takdir, melainkan bagaimana kita mengelola amanah harta tersebut untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Ini adalah panggilan untuk bertransformasi dari individualisme yang rakus menjadi komunitas yang penuh kasih dan adil.

Pesan Al-Fajr adalah cerminan langsung dari keimanan kita. Jika keimanan kita otentik, ia harus termanifestasi dalam tindakan nyata. Kita harus menjadi agen perubahan, bukan hanya penonton. Kita harus menjadi bagian dari solusi, memastikan bahwa tidak ada satupun yatim yang kehilangan kehormatan dan tidak ada satupun miskin yang menderita kelaparan karena kelalaian kita atau kelalaian masyarakat di sekitar kita.

Mari kita renungkan betapa besar ancaman bagi mereka yang menumpuk harta, sementara di saat yang sama mereka menyaksikan penderitaan tanpa bergerak, tanpa menganjurkan kebaikan. Inilah inti kezaliman yang Allah ancam dengan kehancuran di dunia dan siksa yang kekal di akhirat. Kewajiban kita adalah mengedepankan etika Ilahi di atas nafsu duniawi.

🏠 Kembali ke Homepage