Pendahuluan: Konteks Surah dan Ayat 61
Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an, diturunkan di Madinah, dan memiliki peran fundamental dalam meletakkan dasar-dasar syariat, akidah, serta sejarah kenabian. Bagian-bagian awal surah ini secara ekstensif membahas kisah interaksi antara Allah SWT dan Bani Israil, khususnya setelah mereka diselamatkan dari Fir’aun oleh Nabi Musa AS. Tujuannya bukan semata-mata penceritaan sejarah, melainkan sebagai peringatan keras kepada umat Islam—terutama pada masa awal dakwah di Madinah—agar tidak mengikuti jejak kesalahan spiritual dan etika yang dilakukan oleh Bani Israil.
Ayat ke-61 adalah salah satu puncak narasi yang menggambarkan kelemahan karakter mendasar Bani Israil: ketidakpuasan, kurangnya rasa syukur, dan penolakan terhadap nikmat ilahi yang bersifat mukjizat demi kepuasan materi yang rendah dan biasa. Ayat ini mengisahkan keluh kesah mereka di Padang Tih setelah Allah memberikan makanan surgawi berupa Manna dan Salwa.
Teks Suci dan Terjemahan
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Wahai Musa, kami tidak sabar (tahan) hanya dengan satu jenis makanan saja. Maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayur, mentimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.” Musa berkata: “Maukah kamu menukar yang lebih baik dengan yang lebih rendah (buruk)? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” Lalu ditimpakanlah kepada mereka kehinaan dan kefakiran, dan mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 61)
Konteks Historis dan Asbabun Nuzul
Ayat ini berkaitan langsung dengan periode pengembaraan Bani Israil di Padang Tih (Semenanjung Sinai). Setelah penyeberangan Laut Merah dan kehancuran Fir’aun, Bani Israil memasuki wilayah gurun yang tandus. Dalam kondisi ini, Allah SWT, dengan rahmat-Nya, memberikan mereka dua nikmat istimewa yang bersifat mukjizat: Manna (sejenis makanan manis seperti madu yang turun dari langit) dan Salwa (sejenis burung puyuh yang mudah ditangkap). Kedua makanan ini adalah bekal yang cukup, bergizi, dan tidak memerlukan usaha berat untuk menanam atau mencarinya.
Meskipun demikian, tabiat yang dibentuk oleh perbudakan di Mesir selama ratusan tahun membuat mereka terikat kuat pada rutinitas dan keinginan duniawi. Mereka bosan dengan makanan surgawi yang sama setiap hari dan mulai merindukan makanan yang mereka kenal saat di Mesir—makanan yang lebih kasar, tetapi beragam, seperti sayur, bawang, dan kacang-kacangan.
Permintaan Aneh: Menukar Yang Terbaik dengan yang Rendah
Permintaan mereka, sebagaimana dicatat dalam ayat ini, bukan sekadar permintaan makanan tambahan, tetapi menunjukkan keengganan untuk menerima anugerah ilahi yang unik. Manna dan Salwa, sebagai rezeki langsung dari langit, melambangkan kebebasan dan ketergantungan penuh kepada Allah, serta merupakan tanda keistimewaan. Sebaliknya, sayur-mayur (baqliha), mentimun (qiththa’iha), bawang putih (fuumihā), kacang adas (’adasihā), dan bawang merah (baṣalihā), melambangkan kehidupan perbudakan yang harus dicapai dengan kerja keras dan keringat. Mereka ingin kembali ke pola pikir budak yang hanya peduli pada variasi perut, mengabaikan status spiritual dan keajaiban yang mereka saksikan setiap hari.
Nabi Musa AS merespons dengan teguran keras: "أَتَسْتَبْدِلُونَ ٱلَّذِى هُوَ أَدْنَىٰ بِٱلَّذِى هُوَ خَيْرٌ" (Maukah kamu menukar yang lebih baik dengan yang lebih rendah?). Pertanyaan retoris ini menyoroti cacat logis dan spiritual mereka. Yang lebih baik (khayr) adalah Manna dan Salwa karena kemudahannya, kebersihannya, sifatnya yang surgawi, dan tidak adanya biaya. Yang lebih rendah (adnā) adalah hasil bumi karena memerlukan usaha, memiliki sifat yang lebih kasar, dan merupakan makanan yang umumnya dikonsumsi oleh budak.
Analisis Lughawiyah (Kebahasaan) dan Pilihan Kata Kunci
Untuk memahami kedalaman ayat 61, kita perlu menelaah beberapa kata kunci yang digunakan Al-Qur'an secara spesifik:
1. Istibdal (ٱتَسْتَبْدِلُونَ): Menukar
Kata ini berarti mengganti sesuatu dengan yang lain, dan dalam konteks ini mengandung makna penyesalan di masa depan. Allah menggunakan kata ‘tukar’ (istibdal) untuk menekankan bahwa mereka secara aktif memilih keburukan. Ini bukan sekadar permintaan tambahan, melainkan penolakan terhadap pemberian yang ada. Tindakan istibdal ini mencerminkan mentalitas materialistik yang selalu merasa kurang dan tidak puas dengan ketentuan Ilahi.
2. Adnā (ٱلَّذِى هُوَ أَدْنَىٰ): Yang Lebih Rendah
Akar kata *D-N-W* berarti rendah, dekat, atau hina. Dalam konteks ini, ia merujuk pada kualitas rendahnya makanan yang diminta dibandingkan Manna dan Salwa, baik secara fisik maupun spiritual. Yang rendah juga merujuk pada kebutuhan duniawi yang segera, yang mereka prioritaskan di atas rezeki surgawi yang melambangkan kebesaran Allah.
3. Khayr (ٱلَّذِى هُوَ خَيْرٌ): Yang Lebih Baik
Manna dan Salwa dianggap *khayr* (lebih baik) karena mereka adalah nikmat yang diberikan tanpa usaha, suci, dan merupakan keajaiban. Keutamaan ini bukan hanya pada rasa, melainkan pada keberkahan yang melekat padanya sebagai hadiah langsung dari sisi Tuhan.
4. Fuumihā (وَفُومِهَا): Bawang Putih atau Gandum
Ada sedikit perbedaan penafsiran mengenai kata fuum. Mayoritas mufassir klasik (seperti Mujahid dan Qatadah) menafsirkan *fuum* sebagai bawang putih (garlic), yang sejalan dengan konteks makanan berbau kuat yang mereka rindukan. Namun, sebagian kecil mufassir juga menafsirkan fuum sebagai gandum atau biji-bijian yang biasa diolah, menunjukkan kerinduan mereka pada makanan pokok yang memerlukan proses penanaman dan pengolahan manual, bertentangan dengan Manna yang siap santap. Tafsir bawang putih lebih kuat dalam konteks ini karena menyandingkannya dengan sayuran lain yang memiliki bau dan rasa yang khas.
5. Dhillah (ٱلذِّلَّةُ) dan Maskana (وَٱلْمَسْكَنَةُ): Kehinaan dan Kefakiran
Dua kata ini adalah inti dari hukuman duniawi yang ditimpakan. Dhillah adalah kehinaan atau kerendahan martabat yang bersifat eksternal, yaitu diperbudak atau ditundukkan oleh bangsa lain (kekalahan politik, wajib membayar Jizya, tidak memiliki kedaulatan). Maskana berasal dari kata *sakan* (diam), yang berarti kepasifan atau kefakiran batin (ketidakmampuan untuk bertindak, selalu memerlukan bantuan, kemiskinan hati) meskipun kadang memiliki harta. Penyatuan kedua kata ini menunjukkan kehancuran total: kehinaan di mata orang lain dan kemiskinan di dalam diri mereka.
Konsekuensi dan Hukuman Ilahi
Permintaan Bani Israil bukanlah sekadar tuntutan logistik, melainkan manifestasi dari penyakit spiritual yang dalam. Karena penolakan dan ketidakpuasan ini, Allah SWT menjatuhkan dua hukuman utama yang bersifat berkelanjutan:
1. Kehinaan dan Kefakiran (Dhillah wal Maskana)
Hukuman ini ditujukan untuk memutus kesombongan dan keangkuhan mereka. Tafsir klasik menjelaskan bahwa dhillah ini terwujud dalam kondisi sejarah di mana Bani Israil jarang memiliki negara yang berdaulat, sering menjadi kaum minoritas yang tertindas, dan harus hidup di bawah kekuasaan bangsa lain. Mereka kehilangan kehormatan politik dan sosial.
Sedangkan maskana, kefakiran, merujuk pada kondisi spiritual yang tidak pernah puas. Meskipun mereka mungkin memiliki kekayaan, hati mereka tetap miskin. Mereka senantiasa gelisah, cemas, dan tidak menemukan ketenangan (sakinah) karena fokus mereka selalu pada dunia materi yang mereka pilih di atas spiritualitas.
Penting untuk dicatat bahwa hukuman Dhillah dan Maskana ini bersifat kausalitas moral. Allah tidak menghukum mereka tanpa sebab. Hukuman ini adalah hasil alami dari karakter yang tidak bersyukur dan mendurhakai nikmat.
2. Kemurkaan dari Allah (Ba'ū bi Ghaḍabin)
Frasa "وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ" (dan mereka mendapat kemurkaan dari Allah) menunjukkan bahwa mereka kembali dengan membawa murka Allah. Ini adalah hukuman yang paling berat, bersifat eskatologis, dan menunjukkan bahwa hubungan mereka dengan Sang Pencipta telah rusak parah. Kemurkaan ini adalah puncak dari penolakan mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh para nabi.
Akar Permasalahan: Ingkar dan Pelanggaran Batas
Ayat 61 tidak berhenti pada deskripsi hukuman, tetapi menjelaskan akar kausalitasnya. Allah SWT memberikan dua alasan utama mengapa Bani Israil ditimpa kehinaan dan murka:
A. Mengingkari Ayat-Ayat Allah (Yakfurūna bi Āyāti Allāh)
Ini merujuk pada penolakan terhadap bukti-bukti nyata kebenaran (mukjizat), tanda-tanda keesaan Allah, dan perjanjian (mitsaq) yang telah mereka ambil. Dalam konteks Ayat 61, mereka mengingkari nikmat Manna dan Salwa, yang merupakan ayat (tanda) dari kekuasaan Allah. Kegagalan mereka melihat keajaiban dalam rezeki sehari-hari menunjukkan kebutaan spiritual.
B. Membunuh Para Nabi (Yaqtulūna an-Nabiyyīna bi Ghayri al-Ḥaqq)
Pembunuhan para nabi adalah manifestasi ekstrem dari penolakan terhadap otoritas Ilahi. Mereka membunuh nabi-nabi yang datang membawa petunjuk hanya karena pesan tersebut bertentangan dengan hawa nafsu atau kepentingan duniawi mereka. Frasa "bi ghayri al-ḥaqq" (tanpa alasan yang benar) menunjukkan bahwa tindakan mereka adalah kezaliman murni. Contoh terkenal dari nabi yang dibunuh oleh Bani Israil mencakup Yahya (Yohanes Pembaptis) dan Zakaria.
C. Durhaka dan Melampaui Batas (Maa 'aṣaw wa Kānū Ya'tadūn)
Kedua sifat ini berfungsi sebagai payung yang mencakup semua dosa mereka. *’Aṣaw* (durhaka) adalah pelanggaran langsung terhadap perintah (seperti perintah untuk tidak berburu di hari Sabat, atau dalam kasus ini, perintah untuk bersyukur). Sementara *Ya’tadūn* (melampaui batas) merujuk pada agresi dan tindakan zalim terhadap sesama manusia atau terhadap diri mereka sendiri. Kombinasi durhaka dan agresi menghasilkan pola perilaku yang menjauhkan mereka dari rahmat Allah.
Tafsir Mendalam dari Para Mufassir Klasik
Tafsir Ibnu Katsir: Fokus pada Kepuasan Duniawi
Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa Bani Israil adalah kaum yang cenderung tidak bersyukur dan materialistik. Ketika mereka bosan dengan Manna dan Salwa—makanan mulia yang turun tanpa usaha—mereka merindukan makanan yang memiliki bau dan tekstur yang lebih kasar, karena itulah yang mereka kenal selama di Mesir. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi Musa AS menegur mereka karena meminta hal yang rendah padahal mereka sedang dalam kondisi diistimewakan (di Padang Tih). Ibnu Katsir menafsirkan ucapan Musa, "Pergilah kamu ke suatu kota," sebagai perintah yang mengandung ironi dan teguran, yang secara implisit berarti: jika kalian sangat menginginkan makanan kasar yang diperoleh dengan kerja keras, maka kalian harus kembali ke peradaban di mana makanan itu ada, bukan mengharapkannya turun secara ajaib di padang gurun.
Ibnu Katsir mengaitkan langsung hukuman Dhillah (kehinaan) dengan nasib Bani Israil yang terus-menerus di bawah dominasi bangsa lain. Kehinaan ini hanya bisa diangkat jika mereka mematuhi syariat dan petunjuk Ilahi. Beliau menegaskan bahwa akar semua masalah adalah kekafiran (ingkar kepada ayat-ayat Allah) dan kezaliman (membunuh para nabi), yang menunjukkan parahnya kerusakan jiwa mereka.
Tafsir Al-Qurtubi: Analisis Hukum (Fiqh) dan Kekuatan Hujjah
Imam Al-Qurtubi, seorang mufassir yang fokus pada hukum Islam, membahas beberapa poin penting dari ayat ini. Salah satunya adalah diskusi tentang makanan mana yang sebenarnya lebih baik. Al-Qurtubi setuju dengan Musa AS bahwa Manna dan Salwa adalah *khayr* (lebih baik) karena mereka adalah rezeki yang turun dari langit, tanpa cela, dan merupakan karunia yang menunjukkan pengawasan langsung Allah. Beliau juga menggunakan ayat ini sebagai dalil untuk membahas konsep syukr (syukur) dan kufrun ni'mah (mengingkari nikmat). Permintaan Bani Israil adalah bentuk ekstrem dari kufrun ni'mah.
Al-Qurtubi juga membahas makna Fuumihā, di mana beliau condong pada makna bawang putih, namun menambahkan bahwa jika mereka benar-benar ingin hidup layaknya petani, mereka harus pergi ke kota (Miṣran, yang di sini bisa berarti kota manapun, bukan spesifik Mesir), karena padang gurun tidak menumbuhkan sayuran yang mereka dambakan. Perintah Musa "Ihbithū Miṣran" (Pergilah ke suatu kota) adalah konsekuensi logis dari permintaan materialistik mereka.
Tafsir Ath-Thabari: Fokus pada Lughah dan Makna Miṣran
Imam Ath-Thabari memberikan perhatian mendalam pada perbedaan pendapat tentang kata *Miṣran*. Apakah yang dimaksud adalah kota besar Mesir (Cairo) ataukah hanya 'suatu kota' (indefinite)? Ath-Thabari, didukung oleh pendapat mayoritas ulama tafsir, menafsirkan *Miṣran* sebagai 'suatu kota' secara umum, karena jika yang dimaksud adalah Mesir spesifik, mereka tidak akan diperintahkan untuk pergi ke sana lagi setelah Allah menyelamatkan mereka darinya. Perintah ini berarti mereka harus meninggalkan kehidupan mukjizat di gurun dan kembali ke kehidupan normal di mana mereka harus berusaha keras untuk mendapatkan makanan duniawi.
Ath-Thabari juga memperkuat argumen bahwa hukuman kehinaan (*Dhillah*) adalah balasan langsung atas pembunuhan nabi-nabi, yang merupakan kejahatan spiritual dan moral tertinggi.
Pelajaran dan Relevansi Kontemporer
Bahaya Kufrun Ni’mah (Mengingkari Nikmat)
Ayat 61 memberikan pelajaran abadi tentang bahaya kurangnya rasa syukur. Manna dan Salwa dalam kehidupan modern dapat dianalogikan dengan nikmat-nikmat istimewa yang diberikan Allah kepada kita: keamanan, kesehatan, waktu luang, atau karunia hidayah (iman). Seringkali, manusia modern mengabaikan nikmat rohani dan kemudahan yang diberikan Allah, dan malah fokus pada "sayur-mayur" duniawi yang bersifat fana, seperti ambisi kekayaan berlebihan, status sosial palsu, atau hiburan yang melalaikan.
Jika kita menukar waktu shalat (sebuah Manna spiritual) demi keuntungan materi kecil (sebuah bawang), kita telah melakukan ‘Istibdal’ yang sama seperti Bani Israil. Ketidakpuasan adalah penyakit yang diturunkan, dan rasa syukur adalah benteng pertahanan spiritual.
Konsekuensi Kehinaan dan Kemurkaan di Masa Kini
Konsep *Dhillah* (kehinaan) dan *Maskana* (kefakiran batin) tidak hanya berlaku secara historis. Dalam skala individu dan komunitas, kehinaan dapat berarti hilangnya martabat di mata masyarakat karena perilaku amoral atau keengganan untuk berpegang teguh pada prinsip. Kefakiran batin berarti ketenangan (sakinah) dicabut, sehingga meskipun seseorang kaya, ia hidup dalam kegelisahan, kekhawatiran, dan ketidakpuasan abadi.
Ayat ini mengingatkan bahwa murka Allah tidak harus berupa azab fisik yang dramatis, tetapi bisa berupa kehancuran akhlak, hilangnya keberkahan (barakah) dalam hidup, dan kegagalan total dalam mencari tujuan hidup sejati.
Pola Penolakan terhadap Kebenaran
Sikap Bani Israil yang membunuh para nabi adalah contoh ekstrem dari penolakan terhadap kebenaran yang tidak disukai. Dalam konteks modern, hal ini terwujud dalam penolakan terhadap nasihat agama yang benar, kritik yang membangun, atau ajaran syariat yang dianggap memberatkan, semata-mata karena ajaran tersebut mengganggu kenyamanan dan hawa nafsu. Siapa pun yang menolak petunjuk yang jelas demi mempertahankan gaya hidup yang melampaui batas, ia meniru pola *’Aṣaw wa Ya’tadūn* yang dikutuk dalam ayat ini.
Elaborasi Filosofis: Pertukaran Nilai
Inti filosofis dari Al-Baqarah 61 adalah pertukaran nilai. Ini bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang cara manusia memandang nilai dalam hidup. Allah menawarkan nilai tertinggi: kemudahan, keajaiban, keberkahan, dan rezeki yang datang langsung sebagai hasil dari kasih sayang-Nya (Manna dan Salwa). Namun, Bani Israil, karena kerusakan jiwa mereka yang diakibatkan oleh perbudakan material, menolak nilai-nilai ini. Mereka hanya bisa memahami nilai yang diperoleh melalui kerja keras, keringat, dan variasi material (sayur-mayur).
Filosofi ini mengajarkan bahwa spiritualitas menuntut pengakuan terhadap hal-hal yang tidak kasat mata, sementara materialisme hanya mengakui apa yang dapat disentuh dan dihitung. Ketika mereka meminta bawang dan adas, mereka pada dasarnya meminta: "Tuhan, cabutlah anugerah mukjizat-Mu; kami lebih suka kembali ke nilai-nilai pasar yang kami kenal."
Istibdal Dalam Konteks Ruang dan Waktu
Ayat ini juga memberi pelajaran tentang ruang dan waktu yang diberikan oleh Allah. Di Padang Tih, mereka berada di ruang yang seharusnya mereka gunakan untuk pembersihan jiwa dan pembangunan karakter, didukung oleh makanan yang menyucikan (Manna dan Salwa). Ketika mereka menolak ruang dan waktu ini, mereka diperintahkan untuk kembali ke 'kota'—simbol peradaban yang penuh persaingan, penyakit, dan godaan—di mana mereka harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan apa yang mereka minta. Mereka kehilangan ruang sakral dan kembali ke ruang profan sebagai akibat pilihan mereka sendiri.
Kerugian terbesar mereka adalah kehilangan nilai kemuliaan (karamah) yang diberikan Allah. Manna dan Salwa adalah karamah; bawang dan adas adalah kebutuhan pasar. Mereka menukar karamah dengan kebutuhan.
Keteladanan Nabi Musa AS dalam Menghadapi Pembangkangan
Respon Nabi Musa AS dalam ayat ini juga menjadi pelajaran kepemimpinan. Beliau tidak langsung mengutuk atau menghukum, tetapi mengajukan pertanyaan reflektif: "Maukah kamu menukar yang lebih baik dengan yang lebih rendah?" Ini adalah upaya terakhir untuk menyadarkan mereka tentang kesalahan logis dan spiritual mereka. Pertanyaan ini menunjukkan batas kesabaran seorang nabi dalam menghadapi umat yang terus-menerus meminta hal yang tidak masuk akal dan menolak kebenaran.
Ketika nasihat dan peringatan tidak mempan, Musa AS menyampaikan keputusan Ilahi: mereka akan mendapatkan apa yang mereka minta, tetapi dengan konsekuensi dan di tempat yang berbeda. Ini mengajarkan bahwa Allah terkadang memberikan apa yang kita inginkan, bukan sebagai hadiah, melainkan sebagai hukuman, agar kita menyadari betapa buruknya pilihan kita.
Perbandingan dengan Umat Nabi Muhammad SAW
Para ulama tafsir sering membandingkan kesabaran umat Nabi Muhammad SAW dengan ketidakpuasan Bani Israil. Meskipun umat Islam awal menghadapi kesulitan yang jauh lebih besar (perang, kelaparan, penganiayaan), mereka umumnya tidak pernah secara eksplisit menuntut penggantian nikmat ilahi dengan hal yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa salah satu fungsi narasi Bani Israil dalam Al-Baqarah adalah sebagai pembeda dan penguatan karakter umat Islam agar selalu bersyukur dan tidak mudah tergoda oleh kenyamanan materi yang fana.
Penutup: Hikmah Abadi Ayat 61
Ayat 61 dari Surah Al-Baqarah adalah peringatan monumental tentang pentingnya memilih nilai yang benar. Kisah Bani Israil yang menuntut bawang dan adas sebagai ganti Manna dan Salwa bukanlah sekadar anekdot kuno, melainkan cermin universal bagi setiap jiwa yang cenderung memprioritaskan kepuasan fisik sesaat di atas anugerah spiritual yang abadi. Kehinaan, kefakiran batin, dan murka Allah adalah hasil pasti dari kegagalan untuk mensyukuri nikmat Ilahi yang telah diberikan.
Kita belajar bahwa hukuman terbesar adalah kehilangan pandangan jernih (kefakiran batin) yang membuat seseorang secara sadar menukar yang terbaik dengan yang terburuk (istibdal), dan puncak kezaliman adalah menolak kebenaran yang dibawa oleh petunjuk para nabi. Selama manusia masih berjuang melawan hawa nafsu dan mencari kepuasan duniawi yang tak terbatas, pelajaran dari Al-Baqarah Ayat 61 akan terus relevan, mengingatkan kita untuk selalu memilih *al-khayr* (yang lebih baik) di atas *al-adnā* (yang lebih rendah).
Tuntutan mereka untuk makanan yang beragam, meskipun tampak wajar secara naluri manusia, menjadi dosa besar karena dilakukan dalam konteks penolakan terhadap mukjizat dan anugerah langsung dari Allah, menunjukkan hati yang keras dan tidak mau tunduk. Inilah yang membedakan permintaan Bani Israil dengan permintaan makanan biasa. Mereka telah menyaksikan keajaiban dan keselamatan yang luar biasa, namun hati mereka tetap terpaku pada keinginan perut, yang pada akhirnya menuntun mereka pada kehinaan sejarah.
Kesimpulannya, melalui narasi yang ringkas namun padat ini, Al-Qur'an memberikan kerangka teologis yang jelas: kualitas hidup sejati tidak ditentukan oleh seberapa banyak variasi makanan atau materi yang kita miliki, melainkan oleh seberapa besar rasa syukur dan ketaatan kita terhadap Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki.