Al-Baqarah Ayat 233: Pilar Hukum Keluarga Islami

Panduan Universal Mengenai Hak Anak, Menyusui, dan Tanggung Jawab Nafkah

Pendahuluan: Ayat Kunci Pengasuhan Setelah Perpisahan

Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, memuat pedoman fundamental dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tata kelola sosial dan hukum keluarga. Di antara ayat-ayat yang memiliki implikasi hukum dan moral yang sangat mendalam adalah ayat 233. Ayat ini hadir sebagai regulasi ilahi yang memastikan bahwa di tengah gejolak perpisahan atau perceraian orang tua, hak-hak paling mendasar anak, terutama yang berkaitan dengan gizi dan kasih sayang, tetap terlindungi secara absolut.

Ayat 233 tidak hanya mengatur durasi ideal penyusuan, tetapi juga menetapkan secara tegas siapa yang bertanggung jawab atas pembiayaan kehidupan ibu dan anak. Ia menegakkan prinsip keadilan, menekankan pentingnya musyawarah (Tarádhin), dan mencegah pihak mana pun, baik ayah maupun ibu, memanfaatkan anak sebagai alat tawar-menawar atau balas dendam pasca-perpisahan. Konteks ayat ini sangat relevan; ia merupakan bagian integral dari serangkaian hukum perceraian (talak) yang memberikan kerangka etis bagi pembubaran ikatan pernikahan.

Tafsir atas ayat ini melahirkan diskursus hukum yang kaya raya dalam khazanah Fiqh Islam, meliputi isu-isu krusial seperti haḍānah (hak asuh), nafkah (tunjangan pemeliharaan), dan hak radha’ah (menyusui). Memahami Al-Baqarah 2:233 adalah memahami betapa Islam menempatkan kemaslahatan anak (maṣlaḥah al-ṭifl) di atas kepentingan pribadi orang dewasa yang berpisah.

Teks dan Terjemahan Al-Baqarah Ayat 233

Ayat ini merupakan fondasi utama dalam hukum syariat mengenai kewajiban orang tua terhadap anak yang masih membutuhkan penyusuan.

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Terjemahan Resmi:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. Dan waris pun berkewajiban demikian (jika ayah meninggal). Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh wanita lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Analisis Mendalam Elemen Kunci Ayat 233

Ilustrasi Ibu Menyusui dan Perlindungan Anak

Ibu, Anak, dan Kewajiban Menyusui.

1. Durasi Menyusui: حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ (Dua Tahun Penuh)

Ayat ini secara eksplisit menetapkan durasi penyusuan maksimal yang direkomendasikan adalah dua tahun penuh. Penetapan ini memiliki dua fungsi utama: medis dan hukum. Secara medis, ini menegaskan bahwa Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik dan hak anak selama masa kritis perkembangannya. Secara hukum, ia menjadi batasan waktu bagi kewajiban ayah untuk menanggung nafkah penyusuan.

Para ulama sepakat bahwa frasa "bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan" (لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ) menunjukkan bahwa batas dua tahun adalah idealitas, bukan keharusan mutlak jika terdapat alasan syar'i untuk menyapih lebih awal. Namun, menyapih sebelum dua tahun tanpa persetujuan ibu dan tanpa pertimbangan syar’i yang kuat dilarang, karena dapat merugikan anak (dharar).

2. Kewajiban Nafkah: Tanggung Jawab Ayah (وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ)

Ayat ini menggunakan istilah 'Al-Mauludu Lahu' (pemilik anak, yakni ayah) untuk menegaskan bahwa kewajiban memberikan rezeki (rizquhunna) dan pakaian (kiswatuhunna) bagi ibu, selama ia menyusui, sepenuhnya berada di tangan ayah. Ini berlaku bahkan jika ibu tersebut telah dicerai (talak raj’i atau bain).

3. Prinsip Keadilan dan Kapasitas: لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا (Tidak Dibebani Melainkan Sesuai Kesanggupan)

Ayat ini menyisipkan prinsip universal Fiqh, yaitu kapasitas beban. Ayah tidak boleh dibebani nafkah melebihi kemampuannya (yus’uha). Sebaliknya, ibu tidak boleh menuntut nafkah yang melampaui kemampuan ayah. Keadilan harus menjadi tolok ukur utama dalam penentuan jumlah nafkah.

4. Larangan Saling Merugikan (Dharar): لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا

Ini adalah inti etika pengasuhan. Dilarang keras bagi ibu untuk menyengsarakan ayah karena anak (misalnya menolak menyusui tanpa alasan syar’i agar ayah harus membayar mahal kepada wanita lain), dan dilarang keras bagi ayah untuk menyengsarakan ibu karena anak (misalnya menolak memberikan nafkah yang layak sehingga ibu terpaksa mencari pekerjaan yang mengganggu proses menyusui).

Anak adalah subjek, bukan objek konflik. Kepentingan anak harus menjadi prioritas di atas dendam atau perselisihan orang tua.

5. Musyawarah dan Kerelaan (Tarádhin): Syarat Menyapih Dini

Jika kedua orang tua sepakat (tarádhin) dan telah bermusyawarah (tasyāwur) untuk menyapih anak sebelum usia dua tahun (fiṣālan), maka hal itu diperbolehkan. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, keputusan parenting harus dilakukan secara kolektif, saling menghormati, dan didasarkan pada pertimbangan terbaik untuk anak.

Hukum Fiqh Lanjutan: Nafkah Radha’ah dan Waris

A. Nafkah Setelah Perceraian (Talak)

Dalam konteks talak, kewajiban nafkah ibu menyusui harus dibedakan menjadi dua fase, yang keduanya ditanggung oleh ayah:

1. Nafkah Selama Masa Iddah

Jika perceraian masih dalam masa iddah (talak raj'i), ayah wajib menanggung nafkah (tempat tinggal, makan, pakaian) bagi ibu karena ia masih berstatus istri secara hukum, terlepas dari persoalan menyusui.

2. Nafkah Setelah Masa Iddah (Nafkah Hadanah/Radha'ah)

Jika masa iddah telah berakhir (talak bain) dan ibu masih menyusui, kewajiban nafkah kepada ibu beralih, bukan sebagai istri, melainkan sebagai imbalan atas pengasuhan dan penyusuan anak (ujrat al-radha’ah), ditambah nafkah untuk kebutuhan anak itu sendiri. Nafkah ini bersifat wajib hingga anak mencapai usia dua tahun penuh, kecuali disepakati lain melalui musyawarah.

B. Penetapan Besaran Nafkah (Bi al-Ma’ruf)

Konsep ‘Bi al-Ma’ruf’ sangat fleksibel, memastikan hukum Islam dapat diterapkan di berbagai kondisi ekonomi.

Konsensusnya adalah bahwa nafkah harus mencakup biaya makanan yang cukup (agar kualitas ASI terjaga), biaya tempat tinggal yang aman (agar anak terlindungi), dan biaya kesehatan jika diperlukan, semuanya disesuaikan secara proporsional dengan standar hidup keluarga sebelumnya.

Perluasan Kewajiban: Tanggung Jawab Ahli Waris

Ayat 233 juga menyatakan: وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ (Dan waris pun berkewajiban demikian). Frasa ini muncul jika ayah (Al-Mauludu Lahu) meninggal dunia sebelum kewajiban nafkah penyusuan selesai.

Siapa yang Dimaksud dengan Waris?

Terdapat perbedaan pandangan Fiqh mengenai siapa yang wajib meneruskan kewajiban nafkah ini:

  1. Mazhab Syafi'i dan Hanbali (Pendapat Mayoritas): Yang dimaksud ahli waris di sini adalah waris dari pihak ayah yang memiliki hak waris dari anak tersebut (seperti kakek atau paman dari pihak ayah). Kewajiban ini bersifat tanggung jawab sosial dan moral untuk melindungi anak yatim, bukan dari harta warisan anak itu sendiri.
  2. Mazhab Hanafi: Ahli waris adalah semua orang yang berhak mewarisi harta anak jika anak itu meninggal.
  3. Pendapat Ketiga (Sebagian Mufasir): Kewajiban ini merujuk pada pemenuhan nafkah dari harta peninggalan ayah yang wajib dikeluarkan sebelum pembagian warisan, sebagai utang yang harus dipenuhi.

Apapun interpretasinya, poin utama adalah: kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak anak yatim yang masih menyusui tidak gugur hanya karena ayah meninggal. Masyarakat dan keluarga besar wajib mengambil alih tanggung jawab ini, memastikan standar hidup anak tidak menurun drastis.

Prinsip Tarádhin (Kerelaan) dan Tasyāwur (Musyawarah)

Ilustrasi Musyawarah dan Kesepakatan Taradhin

Kerelaan dan Musyawarah dalam Keputusan Keluarga.

Ketika hubungan suami istri terputus, seringkali komunikasi menjadi sulit. Ayat 233 mengajarkan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak, terutama menyapih (fiṣāl), komunikasi harus tetap berjalan, dipandu oleh kerelaan dan musyawarah.

Makna تَرَاضٍ (Tarádhin)

Tarádhin berarti kerelaan hati, ketulusan, dan kesepakatan tanpa paksaan. Dalam konteks menyapih, ini berarti ibu dan ayah harus benar-benar yakin bahwa menyapih anak sebelum dua tahun adalah yang terbaik bagi kesehatan dan perkembangan mental anak, bukan didasari keinginan pribadi untuk mengakhiri kewajiban finansial atau ikatan emosional.

Makna تَشَاوُرٍ (Tasyāwur)

Tasyāwur adalah musyawarah atau konsultasi. Ini menyiratkan bahwa keputusan parenting yang penting harus didasarkan pada pertimbangan logis, etis, dan, jika perlu, konsultasi dengan ahli (misalnya dokter anak atau konselor). Ini mencegah keputusan yang didorong emosi sesaat atau konflik pasca-perceraian.

Penerapan Tarádhin dalam Kasus Lain

Walaupun ayat ini secara spesifik menyebutkan menyapih, prinsip Tarádhin dan Tasyāwur telah diperluas oleh fuqaha (ahli hukum) untuk mencakup semua keputusan utama dalam haḍānah (hak asuh) dan pendidikan anak, seperti sekolah anak, tempat tinggal, atau penentuan biaya kesehatan non-rutin. Semua keputusan harus disepakati bersama demi kemaslahatan anak.

Substitusi Penyusuan: Hak Mengganti Ibu Susuan

Ayat 233 juga mengakomodir kondisi di mana ibu kandung berhalangan atau tidak ingin menyusui. وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ (Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh wanita lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut).

Kondisi yang Memungkinkan Substitusi

Ayah boleh mencari ibu susuan (Mustardi’ah) pengganti jika:

  1. Ibu kandung menolak menyusui, meskipun anak masih membutuhkan ASI, dan ayah telah menawarkan pembayaran yang wajar.
  2. Ibu kandung secara fisik tidak mampu menyusui (sakit atau ASI tidak keluar).
  3. Ibu kandung meminta imbalan yang tidak wajar, melebihi harga pasar, sehingga ayah terpaksa mencari alternatif yang lebih ekonomis dan wajar (bi al-Ma’ruf).

Ayat ini menekankan bahwa biaya untuk ibu susuan pengganti adalah kewajiban ayah. Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, hubungan ibu susuan (radha’ah) menciptakan kemahraman (larangan menikah) antara anak dan keluarga ibu susuan, yang merupakan pertimbangan hukum tambahan yang harus diperhatikan.

Kewajiban Pembayaran (Bi al-Ma’ruf)

Pembayaran kepada ibu susuan pengganti harus wajar dan patut (bi al-Ma’ruf). Jika ayah memutuskan menggunakan ibu susuan pengganti, ia wajib segera menyerahkan bayaran yang telah disepakati. Ini memastikan bahwa ibu kandung atau ibu pengganti tidak dirugikan.

Implikasi Psikologis dan Sosial Ayat 233

Meskipun ayat ini adalah teks hukum, hikmah di baliknya sangat menyentuh aspek psikologis dan sosial keluarga.

1. Stabilitas Emosional Anak

Kewajiban menyusui selama dua tahun penuh bukan sekadar masalah gizi, tetapi juga stabilitas emosional. Kehadiran ibu dan kontak fisik selama menyusui adalah hak psikologis anak. Dengan mewajibkan ayah menanggung nafkah ibu meskipun telah berpisah, syariat memastikan bahwa ibu dapat fokus pada pengasuhan tanpa harus tertekan mencari nafkah, sehingga ikatan emosional ibu-anak tetap kuat, yang vital bagi perkembangan psikologis anak.

2. Memitigasi Konflik Orang Tua

Ayat ini secara eksplisit melarang penggunaan anak sebagai alat balas dendam (لَا تُضَارَّ). Dalam konteks perceraian, sering kali orang tua saling menyulitkan melalui hak asuh atau nafkah. Ayat 233 menutup celah ini dengan menetapkan hak dan kewajiban yang jelas, memaksa orang tua untuk berinteraksi hanya berdasarkan kebutuhan anak, bukan berdasarkan konflik pribadi mereka.

Prinsip Tarádhin memastikan bahwa meskipun cinta suami-istri telah hilang, tanggung jawab sebagai orang tua (partnership in parenting) harus tetap berlanjut melalui saluran komunikasi yang konstruktif dan musyawarah yang jujur.

3. Jaminan Keberlanjutan Hidup (Social Safety Net)

Peralihan kewajiban nafkah kepada ahli waris (jika ayah meninggal) menunjukkan bahwa Islam membangun jaring pengaman sosial di tingkat keluarga. Anak yang sangat rentan (bayi yang menyusui) dijamin pemeliharaannya oleh komunitas keluarga besar, mencegah mereka jatuh miskin atau terlantar akibat musibah.

Elaborasi Hukum Nafkah (Rizq) dan Pakaian (Kiswah) Secara Lebih Mendalam

Untuk memahami sepenuhnya komitmen finansial yang dituntut oleh ayat 233, kita harus membedah komponen nafkah secara rinci, sebagaimana yang dilakukan oleh para fuqaha selama berabad-abad. Kewajiban ayah di sini adalah menafkahi ibu karena pekerjaan menyusui, dan menafkahi anak karena ia adalah keturunannya.

1. Detail Komponen Rizq (Makanan dan Kebutuhan Dasar)

Rizq tidak hanya berarti makanan pokok, tetapi segala sesuatu yang mendukung kelangsungan hidup yang layak. Jika ibu tinggal di rumah ayah (misalnya selama iddah raj’i), maka kewajiban rizq mencakup biaya operasional rumah tangga, termasuk listrik, air, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Jika ibu telah pindah (setelah iddah bain), rizq yang diberikan harus cukup untuk makanan ibu dan anak, yang harus diperhitungkan dengan cermat agar ibu mendapatkan nutrisi terbaik untuk menghasilkan ASI berkualitas. Para ulama menekankan bahwa nafkah harus mencakup:

2. Detail Komponen Kiswah (Pakaian)

Kiswah yang wajib diberikan kepada ibu dan anak harus bersifat 'ma’ruf' (layak dan sesuai adat). Hal ini berarti pakaian harus memenuhi tiga kriteria:

  1. Kebutuhan Dasar: Pakaian yang menutupi aurat dan melindungi dari cuaca.
  2. Standar Adat: Tidak boleh terlalu mewah (jika ayah miskin) dan tidak boleh terlalu lusuh (jika ayah kaya). Harus sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat yang terhormat.
  3. Frekuensi Pemberian: Biasanya, fuqaha menetapkan pakaian musim dingin dan musim panas, yang diberikan secara berkala, bukan hanya sekali saat talak terjadi.

3. Implikasi Financial Abuse

Larangan dharar (saling merugikan) memiliki implikasi kuat terhadap pencegahan financial abuse. Jika ayah mampu tetapi menunda atau mengurangi nafkah secara sengaja, ia dianggap melanggar ayat ini. Begitu pula, jika ibu menolak menyusui hanya agar ayah mengeluarkan uang lebih besar untuk ibu susuan pengganti, ia juga melanggar prinsip dharar.

Kontroversi dan Penafsiran Ulama Kontemporer

Kasus Durasi 30 Bulan (Garis Batas Minimal)

Ayat 233 menetapkan maksimal menyusui adalah dua tahun (24 bulan). Ayat lain, Al-Ahqaf [46]: 15, menyebutkan bahwa masa mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Para ulama, terutama Imam Syafi'i, menyimpulkan dari penggabungan kedua ayat ini bahwa durasi minimal kehamilan yang dianggap sah adalah 6 bulan (30 bulan total - 24 bulan menyusui = 6 bulan). Implikasi ini sangat penting dalam penentuan nasab (keturunan) dan waris.

Fleksibilitas Hukum di Era Modern

Di era modern, sebagian ulama dan ahli kesehatan merevisi konsep radha’ah. Meskipun 24 bulan adalah ideal Al-Qur'an, jika terdapat anjuran medis yang kuat (misalnya, kondisi anak memerlukan suplemen dini atau susu formula khusus), prinsip musyawarah (Tasyāwur) dalam ayat ini menjadi sangat vital. Hukum Islam modern (seperti di beberapa negara Timur Tengah dan Asia Tenggara) memungkinkan hakim keluarga untuk mempertimbangkan laporan medis sebagai bagian dari ‘musyawarah’ sebelum memutuskan penyapihan dini atau penggunaan susu formula.

Peran Negara dalam Pengawasan Nafkah

Dalam konteks kontemporer, penegakan prinsip ‘Bi al-Ma’ruf’ seringkali membutuhkan intervensi sistem peradilan. Pengadilan Agama berfungsi sebagai lembaga yang menjamin bahwa janji dan kewajiban yang termaktub dalam Al-Baqarah 233 dipenuhi, khususnya memastikan bahwa ayah yang mampu tidak lolos dari tanggung jawabnya, dan sebaliknya, tuntutan ibu tetap berada dalam batas kewajaran finansial ayah.

Penutup: Pesan Integral Kemanusiaan Ayat 233

Al-Baqarah ayat 233 adalah salah satu contoh paling jelas tentang betapa Syariat Islam mendalam dan rinci dalam mengatur kehidupan keluarga, bahkan pada titik terpisahnya ikatan suami istri. Ayat ini adalah piagam hak anak yang mengikat, menekankan bahwa kewajiban pengasuhan tidak berakhir dengan talak, melainkan berlanjut dengan tanggung jawab finansial, moral, dan psikologis.

Intinya terletak pada tiga poros utama:

  1. Hak Mutlak Anak: Gizi dan kasih sayang (menyusui) harus terjamin selama dua tahun.
  2. Kewajiban Mutlak Ayah: Nafkah yang layak (rizq dan kiswah) harus diberikan kepada ibu yang menyusui dan anak.
  3. Etika Pengasuhan: Semua keputusan harus didasarkan pada musyawarah, kerelaan, dan larangan saling merugikan (Tarádhin dan larangan Dharar).

Dengan memegang teguh prinsip-prinsip ini, umat Islam diinstruksikan untuk membubarkan ikatan pernikahan mereka dengan cara yang paling bermartabat, memastikan bahwa korban utama dari perpisahan tersebut—anak—tetap mendapatkan hak hidup dan pemeliharaan yang sempurna, sebuah cerminan Takwa dan kesadaran bahwa Allah Maha Melihat apa pun yang kita kerjakan.

Ayat ini mengajarkan bahwa tanggung jawab sosial, keadilan ekonomi, dan etika komunikasi tidak dapat dipisahkan dari hukum ilahi, membentuk dasar bagi komunitas yang stabil dan penuh kasih sayang, meskipun dalam bayangan perpisahan.

Kewajiban terus berlanjut, dan pemahaman mendalam atas setiap frasa dalam Al-Baqarah 2:233 adalah kunci untuk mewujudkan keluarga yang damai, baik saat bersatu maupun saat berpisah, karena pada akhirnya, semua tindakan kita berada dalam pengawasan Dzat Yang Maha Melihat.

Setiap detail nafkah, setiap kata musyawarah, dan setiap tetes ASI yang diberikan adalah implementasi langsung dari ketakwaan yang diperintahkan di akhir ayat, menekankan pentingnya integritas dalam mengelola amanah pengasuhan ini.

Penghormatan terhadap hak ibu untuk mendapatkan imbalan yang layak, dan kewajiban ayah untuk memastikan pemeliharaan anak tanpa mengurangi martabat mantan istrinya, adalah manifestasi keadilan sosial yang diajarkan oleh syariat Islam sejak empat belas abad yang lalu.

Dengan demikian, Al-Baqarah 233 tidak sekadar menjadi aturan hukum; ia adalah pedoman etika parenting universal yang melampaui waktu dan budaya.

🏠 Kembali ke Homepage