“Kutiba Alaikumul Qital”: Menggali Kedalaman Surat Al Baqarah Ayat 216

Pendahuluan: Panggilan yang Berat dan Hikmah Ilahi

Di antara ribuan ayat Al-Qur'an yang sarat dengan petunjuk, terdapat satu ayat yang memiliki bobot psikologis dan hukum yang sangat besar, yaitu Surat Al Baqarah ayat 216. Ayat ini turun pada masa awal pembentukan komunitas Muslim di Madinah, sebuah periode yang penuh dengan tantangan, ancaman, dan perjuangan untuk mempertahankan eksistensi. Ayat ini bukan sekadar perintah militer; ia adalah fondasi filosofis tentang hubungan antara kehendak manusia yang terbatas dan kehendak Allah yang Maha Mengetahui.

Ayat ini membuka tabir tentang konflik abadi dalam diri manusia: konflik antara kenyamanan dan kewajiban, antara naluri menghindari bahaya dan tuntutan pengorbanan demi kebenaran. Allah SWT berfirman bahwa sesuatu yang diwajibkan—dalam konteks ini, berperang—adalah sesuatu yang sangat dibenci oleh jiwa manusia. Namun, di saat yang sama, ayat ini menegaskan sebuah kaidah universal: manusia sering kali membenci sesuatu padahal itu baik baginya, dan mencintai sesuatu padahal itu buruk baginya.

Analisis mendalam terhadap Al Baqarah 216 memerlukan pemahaman tidak hanya tentang konteks historis, tetapi juga implikasi teologis, sosiologis, dan spiritualnya. Ayat ini memaksa setiap Muslim untuk merenungkan sejauh mana ia bersedia menundukkan preferensi pribadinya di bawah kedaulatan kebijaksanaan Ilahi. Perintah berperang (qital) yang disebutkan di sini menjadi pintu gerbang untuk memahami konsep pengorbanan yang lebih luas dalam Islam, yang melampaui medan pertempuran fisik semata. Ia adalah ajaran tentang ketaatan mutlak yang didasarkan pada keyakinan teguh bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, sementara ilmu manusia sangatlah terbatas dan dipengaruhi oleh hawa nafsu.

Teks Suci dan Makna Literal

كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al Baqarah: 216)

Analisis Linguistik dan Terminologi Kunci

1. Kutiba Alaikum (Diwajibkan atas Kamu)

Kata ‘Kutiba’ secara harfiah berarti ‘telah ditulis’ atau ‘telah ditetapkan’. Dalam konteks syariat, ini adalah sinonim dari ‘fardhu’ atau ‘wajib’. Penggunaan bentuk pasif (diwajibkan) menekankan bahwa kewajiban ini datang dari otoritas tertinggi, yaitu Allah SWT, dan bukan merupakan pilihan atau keputusan manusia. Penekanan pada bentuk ini menunjukkan bahwa perintah ini adalah sebuah ketetapan yang pasti, yang tidak dapat dinegosiasikan bagi komunitas Muslim yang berdaya. Para ulama fiqh sepakat bahwa ini menunjukkan adanya perintah yang mengikat, meskipun implementasinya harus dilihat dari sudut pandang kondisi saat itu (sebelum adanya ayat-ayat yang lebih spesifik mengatur jihad). ‘Kutiba’ menandakan bahwa perintah ini bukan bersifat saran, melainkan pilar dari tindakan kolektif.

2. Al-Qital (Perang/Berperang)

‘Al-Qital’ secara spesifik merujuk pada pertempuran fisik, berbeda dengan ‘Jihad’ yang memiliki makna lebih luas (mencakup perjuangan internal dan verbal). Di sinilah letak beban psikologis ayat ini. Perang melibatkan risiko kematian, kehilangan harta, dan penderitaan. Mengingat kondisi awal Muslimin yang minoritas dan rentan, perintah ini tentu terasa sangat berat dan menakutkan. Tafsir klasik menegaskan bahwa perintah ini pada awalnya bertujuan defensif, untuk melindungi agama dan komunitas dari agresi Quraisy dan ancaman eksternal lainnya yang bertujuan menghancurkan Islam di akarnya.

3. Kurhun Lakum (Tidak Menyenangkan Bagimu)

Kata ‘Kurh’ (atau ‘Karah’) menunjukkan kebencian atau ketidaksukaan yang didorong oleh naluri alami. Manusia secara fitrah diciptakan untuk mencintai kehidupan, keamanan, dan kedamaian, serta menghindari rasa sakit dan kematian. Ayat ini mengakui fitrah ini. Pengakuan Ilahi atas rasa berat ini adalah bentuk kasih sayang dan keadilan. Allah tidak menuntut hamba-Nya untuk menyukai bahaya, tetapi menuntut ketaatan meskipun ada rasa benci. Pengakuan ini membedakan syariat Islam dari doktrin-doktrin yang menuntut penekanan total terhadap emosi manusia.

4. Wa ‘Asaa (Boleh Jadi/Semoga)

Kata ‘Asaa’ (عسى) dalam Al-Qur'an, terutama ketika datang dari Allah, sering kali diartikan sebagai harapan yang sangat kuat atau kepastian yang terselubung. Ketika Allah menggunakan ‘Asaa’ dalam konteks bahwa sesuatu yang dibenci itu baik, ini memberikan jaminan bahwa hikmah di balik perintah tersebut adalah mutlak positif. Ini berfungsi sebagai penenang jiwa dan landasan teologis untuk menerima takdir Ilahi tanpa keraguan, meskipun pada pandangan pertama keputusan tersebut tampak merugikan atau menakutkan.

Simbol Konflik Internal dan Keseimbangan Hikmah Sebuah timbangan yang menyeimbangkan beban kewajiban (disukai Allah) dengan beban naluri (disukai manusia). Berat Ringan Hikmah Ilahi

Ilustrasi Konflik Internal: Timbangan antara yang dibenci (kewajiban) dan yang disukai (nafsu).

Tafsir Tematik: Kontradiksi Kehendak Manusia dan Ilahi

Bagian terpenting dari ayat 216 adalah prinsip filosofisnya yang melampaui perintah perang itu sendiri. Ayat ini mengajarkan kita tentang epistemologi (teori pengetahuan) dalam Islam: ilmu Allah adalah absolut dan komprehensif, sementara ilmu manusia bersifat relatif dan sering kali bias. Manusia menilai berdasarkan manfaat jangka pendek dan kenyamanan fisik, sementara Allah menilai berdasarkan konsekuensi abadi dan maslahat yang lebih besar.

A. Membenci Sesuatu Padahal Ia Baik (Tafsir 'Kurh')

Ayat ini memberikan contoh tertinggi dari kewajiban yang dibenci, yaitu perang, yang bertujuan untuk mempertahankan agama, kehormatan, dan kehidupan komunitas—yang merupakan kebaikan tertinggi (maslahat). Para mufassir seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kebencian terhadap qital disebabkan oleh ancaman kematian, cedera, kesulitan finansial, dan keterpisahan dari keluarga. Namun, manfaat yang dihasilkan (kemenangan, pahala syahid, perlindungan iman) jauh lebih besar.

Perluasan tafsir kontemporer melihat 'membenci sesuatu yang baik' dalam konteks kehidupan sehari-hari. Contoh-contohnya mencakup:

  1. Ibadah yang Berat: Shalat Subuh di tengah dingin, puasa di musim panas, atau menunaikan zakat yang terasa mengurangi harta. Semua ini secara naluriah dibenci (karena mengganggu kenyamanan), tetapi merupakan kebaikan mutlak bagi spiritualitas dan sosial.
  2. Disiplin Diri: Proses belajar yang keras, bekerja keras, atau menahan diri dari godaan. Secara instan, jiwa menolak kesulitan, tetapi melalui kesulitan itulah karakter dan kesuksesan dibentuk.
  3. Ujian dan Musibah: Manusia sangat membenci musibah, sakit, atau kehilangan. Namun, Al-Qur'an dan Sunnah mengajarkan bahwa musibah adalah jalan penggugur dosa dan peningkat derajat. Rasa benci terhadap musibah adalah wajar, tetapi pengetahuan bahwa musibah itu mengandung kebaikan adalah keyakinan yang wajib dipelihara.

Kebencian terhadap kewajiban sering kali berasal dari keterbatasan pandangan manusia yang terfokus pada sisi duniawi (dunya). Kita melihat kerugian yang harus ditanggung hari ini, tetapi gagal melihat keuntungan spiritual atau sosial yang akan dipetik di masa depan atau di akhirat. Inilah yang diatasi oleh penutup ayat: “Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”

B. Menyukai Sesuatu Padahal Ia Buruk (Tafsir 'Hubb')

Sebaliknya, manusia sering kali mencintai hal-hal yang menyenangkan dan mudah, tetapi berbahaya bagi jiwa atau masyarakat. Ayat ini memperingatkan bahwa kecintaan terhadap kenyamanan, kekayaan berlebihan, atau menghindari tanggung jawab dapat membawa konsekuensi buruk.

Dalam konteks historis, para mufassir sering mengaitkan bagian ini dengan kecintaan berlebihan terhadap kehidupan dunia (hubbud dunya) atau kecintaan terhadap kemalasan dan pelarian dari tanggung jawab kolektif. Kecintaan terhadap harta dan anak-anak, jika tidak dikendalikan, dapat menghalangi seseorang untuk memenuhi kewajiban jihad (fisik maupun non-fisik). Seseorang mungkin mencintai keadaan damai yang nyaman meskipun kedamaian itu didapat dari pengkhianatan atau penyerahan kehormatan, dan inilah yang dinilai buruk oleh Allah.

Dalam konteks modern, ‘menyukai sesuatu yang buruk’ dapat diartikan sebagai:

  1. Hawa Nafsu: Kecintaan terhadap makanan haram, hiburan yang melalaikan, atau relasi yang dilarang. Semua ini memberikan kenikmatan instan (disukai), tetapi merusak spiritualitas dan moralitas (buruk).
  2. Jalan Pintas: Menyukai kekayaan tanpa usaha, praktik korupsi, atau penipuan. Ini menyenangkan dan memuaskan secara cepat, tetapi konsekuensinya adalah kehancuran sosial dan dosa besar.
  3. Kenyamanan Pasif: Mencintai kemudahan dan menolak kritik atau perubahan. Kondisi ini membunuh potensi kemajuan dan membuat umat terperosok dalam stagnasi, yang pada akhirnya adalah keburukan komunal.

C. Pondasi Teologis: Ilmu Allah yang Absolut

Penutup ayat 216—وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui)—adalah kunci teologis dan penutup semua perdebatan. Kalimat ini menetapkan kedaulatan pengetahuan Ilahi (al-'Ilm al-Mutlaq) sebagai satu-satunya standar bagi penentuan hukum dan moralitas. Kewajiban yang datang dari Allah harus diterima, bukan karena kita memahami semua hikmahnya, tetapi karena kita percaya pada kesempurnaan dan keadilan Sumbernya.

Ayat ini mendidik Muslim untuk berpindah dari 'Islam Ijtihadi' (Islam berdasarkan pemikiran dan preferensi) ke 'Islam Taslimi' (Islam berdasarkan penyerahan diri total). Ketika naluri dan akal terbatas manusia berbenturan dengan perintah syariat, yang harus menang adalah penyerahan diri. Ketaatan menjadi bukti iman yang sesungguhnya. Keyakinan bahwa Allah mengetahui apa yang tersembunyi, yang akan terjadi, dan apa yang terbaik untuk hamba-Nya di dunia maupun di akhirat, adalah inti dari tauhid dalam bertindak.

Implikasi Historis dan Fiqh Mengenai Al-Qital

1. Konteks Penurunan Ayat (Nuzul)

Al Baqarah 216 merupakan salah satu ayat terawal yang mewajibkan qital (pertempuran) setelah periode toleransi total di Mekah. Sebelum hijrah, Muslimin dilarang membalas kekerasan. Setelah hijrah ke Madinah, komunitas Muslim membentuk negara (entitas politik) dan mulai menghadapi ancaman eksistensial dari Quraisy dan suku-suku lain yang ingin memusnahkan mereka.

Ayat ini menjadi transisi dari izin berperang (seperti yang diisyaratkan dalam Al Hajj 39-40) menuju kewajiban. Perintah ini datang pada saat Muslimin masih lemah, harta dan properti mereka telah dirampas di Mekah, dan kerinduan mereka terhadap tanah air masih kuat. Oleh karena itu, perintah untuk meninggalkan kenyamanan Madinah dan menghadapi maut terasa sangat 'kurh' (dibenci). Ayat ini berfungsi sebagai dorongan dan peringatan bahwa meski perang itu berat, non-aksi dan penyerahan diri total kepada musuh adalah keburukan yang lebih besar bagi masa depan Islam.

2. Kedudukan Hukum Qital (Fardhu Kifayah vs Fardhu Ain)

Para ulama fiqh telah lama membahas status kewajiban ‘Al-Qital’ yang disebutkan dalam ayat ini. Konsensus umum adalah bahwa 'Qital' atau 'Jihad' memiliki beberapa tingkatan:

Fardhu Kifayah (Kewajiban Kolektif)

Dalam kondisi normal, membela negara Muslim atau memperluas dakwah melalui kekuatan (jika dibutuhkan dan memenuhi syarat) adalah Fardhu Kifayah. Jika sebagian umat telah melakukannya, gugurlah kewajiban bagi yang lain. Ayat 216 umumnya diletakkan dalam kerangka ini, di mana tujuannya adalah memastikan kekuatan dan keamanan kolektif umat Islam. Kebencian individu terhadap tugas tersebut harus diatasi demi kepentingan seluruh komunitas.

Fardhu Ain (Kewajiban Individu)

Jihad atau qital menjadi Fardhu Ain (wajib bagi setiap individu) dalam situasi darurat, seperti:

  1. Ketika musuh menyerang wilayah Muslim.
  2. Ketika pemimpin (imam) menetapkan mobilisasi umum.
  3. Ketika seseorang berada di garis depan pertempuran dan tidak diizinkan mundur.
Dalam situasi ini, tidak ada lagi ruang untuk mempertimbangkan perasaan "kurh" (benci) karena ancaman terhadap eksistensi iman dan komunitas adalah keburukan yang nyata.

3. Perluasan Makna Jihad

Meskipun ayat 216 secara literal berbicara tentang ‘qital’ (berperang), ayat ini menjadi landasan teologis bagi konsep ‘Jihad Akbar’ atau perjuangan besar melawan diri sendiri (hawa nafsu). Jika seseorang diwajibkan berperang melawan musuh yang terlihat meskipun ia membencinya, maka ia lebih wajib lagi untuk berperang melawan musuh internal yang tidak terlihat (bisikan setan dan nafsu buruk), yang sering kali lebih berbahaya bagi keselamatan abadi.

Kewajiban melawan hawa nafsu adalah kewajiban yang abadi, pribadi, dan terus-menerus. Ia juga merupakan sesuatu yang dibenci oleh jiwa yang cenderung kepada kemudahan. Seorang yang taat secara fisik mungkin mendapati dirinya membenci disiplin spiritual atau menahan lidahnya dari ghibah. Ayat 216 mengajarkan bahwa jika dorongan naluri untuk menghindari kesulitan spiritual itu kuat (kurh), ia harus diatasi dengan mengingat bahwa ketaatan ini adalah kebaikan mutlak yang Allah tetapkan.

Simbol Ilmu Allah dan Pengetahuan Terbatas Manusia Representasi cahaya Ilahi (pengetahuan) meliputi manusia yang terbatas. يَعْلَمُ

Visualisasi bahwa Ilmu Allah (cahaya) meliputi segala sesuatu yang tidak kita ketahui.

Kontemplasi Filosofis: Mengatasi Keterbatasan Pandangan Manusia

Pesan utama Al Baqarah 216 adalah sebuah pelajaran tentang etika teistik—bahwa kebaikan dan keburukan pada akhirnya ditentukan oleh Sang Pencipta, bukan oleh preferensi subyektif makhluk. Filsafat ini memiliki resonansi mendalam dalam berbagai aspek kehidupan yang sering diabaikan.

A. Konflik Antara Insting dan Syariat

Manusia modern sangat menghargai kebebasan insting dan otonomi individual. Ayat 216 secara langsung menantang pandangan ini. Insting kita untuk menghindari kesulitan dan mencari kepuasan segera adalah mekanisme bertahan hidup, tetapi syariat datang untuk mengatur insting tersebut. Misalnya, naluri untuk membalas dendam secara berlebihan mungkin terasa memuaskan (disukai), tetapi syariat mewajibkan pengampunan atau hukuman yang adil dan proporsional (yang mungkin dibenci oleh korban). Kebaikan sejati terletak pada penundukan insting kepada hukum yang lebih tinggi.

Kontradiksi ini menciptakan dinamika unik dalam hidup seorang Muslim: ia mengakui rasa sakit dan keengganan (kurh), tetapi memilih tindakan yang diwajibkan karena ia yakin bahwa ada kebaikan (khair) di dalamnya. Ini adalah seni memilih ketaatan yang sulit daripada kesenangan yang mudah. Keterbatasan ilmu manusia membuat kita seringkali keliru mengidentifikasi musuh sejati. Kadang kita melihat kawan sebagai musuh dan musuh sebagai kawan, semua karena tertutup oleh selubung kenyamanan dan hasrat pribadi.

B. Ujian dalam Keputusan Kehidupan

Prinsip “Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu” berlaku secara universal dalam setiap keputusan penting.

Pernikahan yang Berat:

Seseorang mungkin enggan menikahi individu yang shalih tetapi miskin atau yang memiliki kekurangan fisik (dibenci), namun pernikahan itu membawa ketenangan, keberkahan, dan keturunan yang baik (khair). Sebaliknya, seseorang mungkin mencintai pasangan yang kaya atau rupawan (disukai), tetapi pernikahan itu membawa kesengsaraan moral atau finansial (syarr). Kebijaksanaan Allah melihat potensi jangka panjang yang tidak dapat dijangkau oleh pandangan mata kita.

Pekerjaan dan Rezeki:

Mungkin kita membenci pekerjaan yang halal tetapi bergaji kecil atau berat secara fisik. Namun, kejujuran dalam pekerjaan itu melindungi iman dan menjauhkan dari fitnah harta (khair). Sebaliknya, pekerjaan yang menawarkan gaji besar dengan cara yang meragukan (syubhat) atau yang memaksa kita meninggalkan ibadah, mungkin disukai karena kekayaannya, padahal ia adalah keburukan.

Kehilangan dan Kebaikan Tersembunyi:

Kehilangan peluang bisnis, pekerjaan, atau bahkan orang yang dicintai (kurh) adalah salah satu ujian terbesar. Namun, di balik kehilangan itu, Allah mungkin menjauhkan kita dari bahaya yang lebih besar yang tidak kita ketahui. Keyakinan bahwa Allah telah memilihkan yang terbaik (khair) adalah manifestasi tertinggi dari penyerahan diri (taslim). Tanpa keyakinan ini, musibah akan menjadi kehancuran total.

C. Menjaga Keseimbangan Emosi

Ayat ini juga memberikan pedoman untuk mengelola emosi dan pandangan kita terhadap ketentuan Allah. Ketika kita menghadapi perintah yang sulit, kita tidak boleh jatuh ke dalam dua ekstrem:

  1. Ekstrem Penolakan: Menolak perintah karena hati membencinya, yang berarti menolak kedaulatan Allah.
  2. Ekstrem Kepura-puraan: Berpura-pura menyukai kesulitan padahal hati merasakan beban. Ini adalah bentuk munafik.
Jalan tengah yang diajarkan Al Baqarah 216 adalah: Mengakui rasa berat (Kurh) secara jujur, tetapi memilih untuk taat dan berserah diri (Taslim) karena keyakinan mutlak pada Ilmu Allah (Al-Ilm). Inilah yang membedakan ketaatan yang tulus dari kepura-puraan yang dangkal.

D. Dampak Sosial dan Komunal

Pada tingkat komunal, prinsip Al Baqarah 216 membenarkan perlunya pengorbanan kolektif demi maslahat umum. Kebencian terhadap regulasi sosial yang ketat, misalnya, mungkin dirasakan secara individual (seperti pembatasan dalam bermuamalah yang melanggar syariat), tetapi regulasi itu membawa ketertiban, keadilan, dan keberkahan bagi seluruh masyarakat. Jika setiap individu bertindak berdasarkan apa yang mereka sukai (egoisme), struktur sosial akan runtuh. Ayat ini mengajarkan bahwa kebaikan sejati bagi umat seringkali memerlukan pengekangan (disliked restraint) bagi anggota-anggotanya.

Oleh karena itu, ayat ini adalah seruan untuk memprioritaskan kepentingan akhirat, keadilan Ilahi, dan kesejahteraan komunitas di atas kepentingan diri sendiri yang didorong oleh kenyamanan instan. Kebencian terhadap pengorbanan adalah sebuah fakta, tetapi pengorbanan itu sendiri adalah jalan menuju kesucian dan kemenangan.

Pengulangan dan Penguatan: Prinsip Kebaikan Tersembunyi dalam Syariat

Untuk lebih memahami mengapa prinsip ini diletakkan di tengah-tengah ayat-ayat hukum (seperti ayat qital), kita harus melihat bagaimana Al-Qur'an secara berulang kali menekankan bahwa syariat bukanlah beban semata, melainkan jalan menuju kebahagiaan. Ayat ini adalah jembatan yang menghubungkan perintah hukum dengan motivasi spiritual. Tanpa prinsip ini, banyak kewajiban dalam Islam akan terasa tidak masuk akal atau terlalu memberatkan bagi jiwa.

1. Menggali Konsep Taqwa Melalui Kebencian

Taqwa (ketakwaan) sering didefinisikan sebagai menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ayat 216 mengajarkan bahwa taqwa paling murni muncul ketika perintah tersebut dibenci oleh nafsu. Jika seseorang berbuat baik karena ia menyukainya atau karena itu mudah, perbuatan itu mungkin kurang menguji keimanan. Namun, ketika seseorang taat *meskipun* ia membencinya (seperti saat berperang atau meninggalkan kesenangan haram), ketaatan itu menjadi murni karena Allah semata, bukan karena kenikmatan duniawi.

Proses pengujian inilah yang memurnikan jiwa. Seorang mujahid di medan perang mungkin takut mati, tetapi ia maju karena Allah. Seorang pelajar mungkin membenci perjuangan malam hari untuk belajar, tetapi ia bertahan karena mengejar ridha Allah dan manfaat ilmu. Kebencian (kurh) adalah katalisator yang mengubah kepatuhan biasa menjadi ibadah yang mendalam dan tulus.

2. Peran Sabar dan Syukur

Ayat 216 adalah landasan bagi sabar (kesabaran) dalam ketaatan. Sabar dalam ketaatan adalah yang paling sulit, karena melibatkan perjuangan aktif melawan keengganan diri. Jika kewajiban qital memerlukan sabar tingkat tertinggi, maka kewajiban sehari-hari (seperti menahan amarah, bersabar menghadapi kesulitan ekonomi, atau gigih dalam dakwah) memerlukan tingkat sabar yang serupa.

Bagian kedua ayat—menyukai sesuatu yang buruk—adalah landasan untuk syukur (terhadap nikmat yang ditarik). Ketika Allah mengambil sesuatu yang kita sukai (harta, kesehatan, kenyamanan), seorang Mukmin harus bersyukur (syukur) karena ia percaya bahwa penarikan nikmat itu adalah kebaikan yang tersembunyi (khair). Bisa jadi nikmat itu, jika dipertahankan, akan menjadi sumber dosa besar atau menjauhkan dari Allah. Syukur dalam kehilangan adalah puncak dari keyakinan pada “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

3. Menghindari Anthropomorphism dalam Hukum

Ayat ini juga merupakan penolakan terhadap pemikiran bahwa hukum Ilahi harus sepenuhnya sejalan dengan akal atau preferensi manusia. Jika hukum-hukum Allah selalu sesuai dengan apa yang kita sukai, maka kita akan menyembah diri kita sendiri (hawa nafsu), bukan Allah. Adanya elemen ‘kurh’ (ketidaksukaan) dalam syariat adalah pengingat konstan bahwa Allah adalah Yang Maha Kuasa dan hukum-Nya melampaui batas-batas keinginan kita.

Para ulama ushul fiqh membahas prinsip maslahah (kemaslahatan) yang terkandung dalam syariat. Meskipun kita harus mencari hikmah, kita harus tunduk bahkan jika hikmahnya tidak sepenuhnya kita pahami. Kebaikan syariat (khair) adalah kebaikan yang objektif, ditentukan oleh Pencipta, terlepas dari perasaan subjektif (kurh) manusia. Ketundukan total terhadap prinsip ini menghasilkan kepastian dalam kehidupan, karena sumber kebaikan tidak lagi berfluktuasi sesuai dengan suasana hati atau tren sosial.

4. Prinsip Jihad Kontemporer

Dalam konteks kehidupan global saat ini, di mana konflik fisik mungkin tidak terjadi di setiap sudut bumi, ayat 216 tetap relevan dalam menuntut ‘perang’ di medan non-fisik:

Jihad Ekonomi: Melakukan transaksi yang bersih, meskipun sistem ekonomi yang zalim menawarkan keuntungan haram yang disukai. Membenci kesulitan hidup miskin tetapi halal, adalah lebih baik daripada mencintai kekayaan haram.

Jihad Intelektual: Berjuang melawan ideologi yang merusak (yang sering kali disukai karena menawarkan kebebasan mutlak), dan membela kebenaran Islam, meskipun hal itu membawa kesulitan sosial, kritik, dan pengasingan.

Jihad Moral: Menahan diri dari kemudahan moral yang ditawarkan oleh budaya populer, dan memilih jalan kesucian yang seringkali terasa sulit dan membatasi.

Setiap bentuk ‘jihad’ ini memerlukan tindakan yang ‘dibenci’ (kesulitan, penolakan, pengorbanan) untuk meraih kebaikan tertinggi (ridha Allah dan perlindungan moral). Ayat 216 adalah kompas yang menunjukkan bahwa kesulitan adalah indikator yang kuat bahwa kita sedang berada di jalur kebenaran.

Penutup: Kepercayaan Absolut pada Pengetahuan Ilahi

Surat Al Baqarah ayat 216 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam membangun psikologi seorang Mukmin yang resilient (tangguh). Ia adalah pengakuan Ilahi atas kerapuhan manusia, sekaligus tuntutan untuk melampaui kerapuhan tersebut melalui iman yang teguh. Perintah untuk berperang hanyalah contoh paling ekstrem dari prinsip yang lebih luas: bahwa ketaatan sejati diukur dari seberapa besar kesiapan kita untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan, demi mencapai hasil yang paling baik di sisi Allah.

Hidup seorang Muslim adalah serangkaian pilihan di mana naluri dan syariat seringkali berlawanan. Melalui ayat ini, kita diajarkan bahwa penilaian final atas apa yang baik dan buruk bukanlah milik kita. Tugas kita adalah berjuang (berjihad) dalam bentuk apa pun yang diwajibkan, dengan kesabaran, sambil terus mengingat penutup ayat yang agung:

“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Inilah puncak dari tawakkal (penyerahan diri), sebuah pengakuan bahwa di balik setiap kesulitan dan kewajiban yang dibenci, tersembunyi sebuah rencana Ilahi yang sempurna, adil, dan penuh rahmat, yang akan membawa hamba-Nya menuju kebahagiaan abadi. Kepercayaan ini menghilangkan kecemasan, menguatkan langkah, dan memurnikan niat, memastikan bahwa setiap pengorbanan adalah investasi yang tidak akan pernah merugi.

🏠 Kembali ke Homepage