Sifat spiritual yang tertutup—metafora untuk penolakan kebenaran.
Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan termasuk golongan surah Madaniyyah, yang berarti diturunkan setelah hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Periode Madinah ditandai dengan pembentukan masyarakat Islam, penetapan hukum-hukum, serta konfrontasi yang semakin intens dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk Yahudi, Nasrani, dan terutama kaum munafik (hipokrit).
Ayat-ayat pembuka Surah Al-Baqarah secara fundamental mengklasifikasikan manusia menjadi tiga kelompok utama berdasarkan sikap mereka terhadap wahyu yang diturunkan, yaitu:
Ayat 18 adalah kesimpulan deskriptif dari kondisi spiritual kaum munafik yang dibahas sejak Ayat 8. Setelah Allah menjelaskan bahwa mereka telah menipu diri sendiri dan hati mereka berpenyakit, Ayat 18 menyajikan metafora puncak mengenai kondisi spiritual mereka yang telah mati, mengakhiri deskripsi ini sebelum Al-Qur'an beralih ke perumpamaan api dan air.
“Mereka tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 18)
Ayat ini, meskipun singkat, memuat kedalaman makna yang luar biasa. Ia menggunakan bahasa metaforis yang kuat untuk menggambarkan hukuman spiritual yang diterima oleh orang-orang yang memilih jalan kemunafikan dan penolakan kebenaran. Poin utama ayat ini adalah ketidakmampuan untuk kembali (la yarji’un) ke jalan yang benar, yang merupakan akibat langsung dari tertutupnya indra spiritual mereka.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah tiga istilah kunci yang digunakan dalam ayat ini, serta implikasi dari frase penutup.
Kata Shummun berasal dari akar kata ص م م (S-M-M), yang secara harfiah berarti tuli. Dalam konteks ayat ini, dan dalam penggunaan Al-Qur'an secara umum, istilah ini melampaui makna fisik. Ini adalah ketulian spiritual, yakni ketidakmampuan untuk mendengar, memahami, dan menerima kebenaran ilahi (haq) ketika disampaikan kepada mereka.
Bagi kaum munafik, meskipun mereka menghadiri majelis Nabi ﷺ, pendengaran mereka tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka mungkin mendengar lantunan ayat, namun hati mereka tidak tersentuh atau tergerak. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa petunjuk (hidayah) adalah suara yang membimbing jiwa, dan ketulian spiritual ini mencegah petunjuk tersebut menembus ke dalam hati.
Ayat ini menunjukkan bahwa indra pendengaran adalah gerbang pertama menuju iman. Ketika gerbang ini tertutup karena kesombongan, prasangka, atau kepentingan duniawi, kebenaran tidak memiliki jalan masuk. Mereka tuli terhadap seruan Allah, meskipun mereka mendengar seruan syaitan dan hawa nafsu mereka sendiri.
Kata Bukmun berasal dari akar kata ب ك م (B-K-M), yang secara harfiah berarti bisu atau tidak bisa bicara. Dalam konteks spiritual, kebisuuan ini memiliki dua dimensi penting:
Kaum munafik takut untuk menyatakan iman yang sejati (karena mereka tidak memilikinya) dan juga takut untuk menyatakan kekafiran mereka secara terang-terangan (karena takut hukuman atau kehilangan keuntungan sosial). Oleh karena itu, lisan mereka terbelenggu, hanya mampu mengucapkan kepalsuan atau kemunafikan. Ketika mereka dituntut untuk bersaksi tentang keesaan Allah dengan ketulusan hati, lidah mereka seolah lumpuh.
Kebisuuan juga berarti ketidakmampuan untuk berinteraksi secara konstruktif dengan kebenaran. Mereka tidak bertanya untuk mencari pemahaman, dan mereka tidak mampu memohon ampunan (taubat) dari hati yang tulus. Lidah mereka membisu dari zikir yang bermakna dan doa yang ikhlas, hanya mampu melafalkan kata-kata yang berfungsi sebagai tameng sosial.
Kata Umyun berasal dari akar kata ع م ي (A-M-Y), yang berarti buta. Ini adalah kerusakan indra yang paling parah, karena kebutaan spiritual berarti ketidakmampuan untuk melihat tanda-tanda (ayat) Allah, baik yang ada di alam semesta (ayat-ayat kauniyah) maupun yang ada dalam Al-Qur'an (ayat-ayat qauliyah).
Dalam Surat Al-Hajj ayat 46, Allah menjelaskan jenis kebutaan yang sesungguhnya: "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada." Kebutaan spiritual ini adalah penolakan terhadap cahaya petunjuk. Meskipun mereka melihat mukjizat Nabi ﷺ, menyaksikan keindahan penciptaan, dan memahami logika agama, hati mereka menutup diri dari pemahaman tersebut.
Kebutaan adalah hasil akhir. Setelah tidak mau mendengar (tuli) dan tidak mau berbicara (bisu) tentang kebenaran, mereka kehilangan kemampuan untuk melihat kebenaran itu sendiri. Mata hati mereka ditutup, sehingga mereka berjalan dalam kegelapan yang diyakini sebagai cahaya.
Frasa penutup ini adalah inti dari hukuman spiritual kaum munafik. Yarji’un (kembali) berarti kembali kepada kebenaran, kembali kepada iman yang sejati, atau kembali kepada petunjuk (hidayah).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa frase ini merupakan keputusasaan (dalam istilah spiritual) yang dihasilkan dari penyegelan indra. Karena sumber masuknya petunjuk (telinga), alat untuk mengekspresikan taubat (lisan), dan alat untuk memahami tanda (mata hati) semuanya telah rusak atau tertutup, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk berbalik dan bertaubat.
Ini bukan berarti Allah menutup pintu taubat secara mutlak bagi setiap individu yang melakukan dosa, melainkan merupakan deskripsi keadaan mental dan spiritual mereka yang telah memilih kemunafikan hingga mencapai titik jenuh. Mereka telah mengunci diri mereka sendiri dalam kondisi di mana kebenaran terasa menjijikkan dan kesalahan terasa manis, sehingga secara aktif mereka tidak memiliki keinginan untuk kembali.
Penggunaan metafora tuli, bisu, dan buta dalam Al-Qur'an adalah salah satu teknik balagha (retorika) tertinggi untuk menggambarkan kondisi psikologis dan spiritual. Ayat ini secara berurutan mencantumkan indra yang rusak, yang mencerminkan proses kerusakan petunjuk.
Mengapa Allah menyebutkan ‘tuli’ (pendengaran) terlebih dahulu, kemudian ‘bisu’ (ucapan), dan terakhir ‘buta’ (penglihatan)? Para mufassir kontemporer dan klasik meninjau urutan ini sebagai logistik penerimaan ilmu dan petunjuk:
Kondisi ini, secara kolektif, menciptakan isolasi spiritual total. Kaum munafik terputus dari sumber petunjuk (wahyu), terputus dari kemampuan untuk menyampaikan atau memohon petunjuk (ucapan), dan terputus dari kemampuan untuk menyaksikan bukti keberadaan dan keesaan Allah (penglihatan).
Ayat 18 menimbulkan pertanyaan teologis yang penting: apakah ketidakmampuan mereka untuk kembali adalah hukuman dari Allah ataukah konsekuensi alami dari pilihan mereka sendiri? Tafsir Ahlus Sunnah Wal Jama’ah cenderung melihatnya sebagai kombinasi yang kompleks:
Kondisi ‘tuli, bisu, dan buta’ ini bukanlah takdir awal yang dipaksakan. Ini adalah hukuman yang dihasilkan dari pilihan awal kaum munafik untuk menyembunyikan kekafiran dan terus-menerus menipu. Ketika seseorang secara sadar dan berulang kali menolak cahaya yang datang, hati mereka secara bertahap menjadi keras dan gelap.
Setelah manusia memilih jalan penolakan, Allah mengunci atau menyegel indra spiritual mereka (seperti yang disebutkan di Ayat 7 mengenai kaum kafir murni). Penyegelan (khatam) ini adalah sunnatullah (hukum alam ilahi) terhadap penolakan kebenaran. Frase “fahum la yarji’un” menyiratkan bahwa pada titik ini, kemauan untuk kembali telah sepenuhnya hilang, dan hanya intervensi ilahi yang mungkin bisa mengubahnya, tetapi mereka tidak akan mendapatkannya karena mereka tidak memintanya.
Dengan kata lain, Allah tidak membiarkan hati yang meremehkan petunjuk untuk terus-menerus menerima petunjuk. Ketiadaan kemampuan untuk kembali adalah hukuman atas penyalahgunaan kebebasan memilih yang telah diberikan kepada mereka.
Ayat 18 berada di tengah-tengah deskripsi kaum munafik. Segera setelah ayat ini, Al-Qur'an menyajikan dua perumpamaan yang luar biasa (Ayat 19 dan 20), yang berfungsi untuk memperjelas dan menguatkan kondisi spiritual yang dijelaskan sebagai ‘tuli, bisu, dan buta’.
Ayat 17 menggunakan perumpamaan tentang seseorang yang menyalakan api untuk mendapatkan cahaya, tetapi ketika api itu menyala, Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan. Api di sini melambangkan iman dan janji yang mereka ucapkan, yang seharusnya membawa cahaya petunjuk. Namun, karena kemunafikan mereka, cahaya itu padam, dan mereka ditinggalkan dalam kegelapan.
Kaitan dengan Ayat 18: Kegelapan yang ekstrem ini adalah kondisi ‘buta’ (Umyun). Mereka berada dalam kegelapan (dhulumat) sehingga mereka tidak dapat melihat jalan untuk kembali, meskipun mereka sempat merasakan sedikit cahaya dari pengakuan iman mereka.
Perumpamaan kedua menggambarkan orang-orang yang ditimpa badai langit, disertai kegelapan, guruh, dan kilat. Mereka menyumbat telinga mereka karena takut mati oleh suara petir, dan setiap kali kilat menyambar, mereka berjalan sedikit, dan ketika gelap, mereka berhenti.
Kaitan dengan Ayat 18:
Kedua perumpamaan ini secara puitis menggarisbawahi mengapa mereka menjadi tuli, bisu, dan buta. Mereka takut akan kebenaran (badai), menolak mendengar peringatan (guruh), dan tidak mampu mempertahankan cahaya petunjuk (kilat/api yang padam).
Kekuatan linguistik Al-Qur'an terlihat jelas dalam kepadatan dan efisiensi Ayat 18. Hanya terdiri dari tujuh kata, ia menyampaikan hukuman spiritual yang mendalam.
Kata-kata Shummun, Bukmun, dan Umyun adalah bentuk jamak dari kata sifat yang menunjukkan intensitas (shighatul mubalaghah). Ini tidak hanya berarti 'mereka tuli' (seperti kata sifat biasa), melainkan ‘mereka adalah orang-orang yang sepenuhnya termanifestasi dalam ketulian.’ Ini menunjukkan kondisi permanen dan sangat ekstrem, bukan hanya kondisi sementara.
Struktur ayat ini sangat efisien. Dalam bahasa Arab, terkadang predikat (khabar) dihilangkan jika maknanya sudah jelas. Kalimatnya berbunyi: "Mereka (adalah) Tuli, Bisu, Buta." Penghilangan predikat "mereka adalah" meningkatkan dampak retoris, menjadikannya pernyataan yang tegas dan lugas tentang identitas spiritual mereka. Kaum munafik didefinisikan oleh kecacatan spiritual ini.
Frase “Fahum La Yarji’un” menggunakan huruf fa’ (ف) yang berfungsi sebagai penjelas sebab-akibat (fa’ sababiyah). Artinya, "Maka, karena kondisi mereka yang tuli, bisu, dan buta (sebagai akibatnya), mereka tidak akan kembali." Ini menegaskan bahwa keterputusan dari petunjuk bukanlah sebuah kecelakaan, melainkan hasil logis dan pasti dari penutupan indra spiritual.
Mereka tidak dapat kembali (la yarji’un) karena mereka telah menghancurkan semua jembatan dan alat untuk menerima informasi yang memungkinkan mereka untuk berbalik. Ketiadaan kemampuan ini adalah hukuman yang setimpal dengan keengganan mereka yang disengaja.
Ayat 18 tidak hanya berfungsi sebagai deskripsi sejarah kaum munafik di Madinah, tetapi juga sebagai peringatan abadi bagi umat Islam dari segala zaman tentang bahaya kemunafikan batin dan kelalaian spiritual.
Pelajarannya adalah kita harus secara teratur menguji apakah kita telah menjadi tuli, bisu, atau buta terhadap kebenaran dalam kehidupan sehari-hari:
Jika seorang Muslim mulai menunjukkan pola-pola penolakan sadar terhadap kebenaran, ia berisiko jatuh ke dalam kondisi spiritual yang dijelaskan dalam Ayat 18, di mana jalan kembali menjadi sangat sulit, bahkan mustahil, kecuali melalui rahmat Allah yang besar.
Para ulama tafsir menekankan bahwa jalan keluar dari kemunafikan adalah dengan menjaga fungsi indra spiritual tetap terbuka dan aktif. Ini dilakukan melalui dua pilar utama:
Mendalami ilmu agama secara tulus, menghadiri majelis ilmu, dan membaca Al-Qur'an dengan perenungan (tadabbur). Ini membuka telinga terhadap seruan kebenaran dan mempertajam mata hati untuk melihat tanda-tanda Allah. Jika petunjuk diterima dengan tulus, maka cahaya petunjuk itu akan menetap.
Lisan harus digunakan untuk menyatakan iman (syahadat), berzikir, dan memohon ampunan (taubat). Taubat adalah proses aktif 'kembali' (yarji’un). Selama seseorang masih memiliki keinginan untuk bertaubat, berarti ia belum sepenuhnya menjadi ‘bisutuli-buta’ yang dikunci. Kaum munafik dalam Ayat 18 kehilangan keinginan untuk taubat, yang merupakan puncak dari penyakit hati.
Kondisi spiritual yang tertutup ini juga memiliki konsekuensi sosial. Individu yang tuli, bisu, dan buta secara spiritual tidak hanya terisolasi dari Tuhan, tetapi juga terisolasi dari komunitas iman yang sejati.
Mereka tidak bisa sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan komunitas yang didasarkan pada kebenaran dan keikhlasan. Lisan mereka yang bisu dari kebenaran berarti mereka tidak bisa menjadi saksi kebenaran (syahid) di dunia. Mereka hanya dapat berbicara tentang hal-hal duniawi atau kepalsuan.
Meskipun kaum munafik hidup di tengah cahaya dan berkah, batin mereka tetap kosong karena mereka tidak dapat menyerap petunjuk (tuli) atau melihat masa depan yang abadi (buta). Mereka hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran yang dijelaskan dalam perumpamaan badai (Ayat 19), di mana mereka hanya bergerak ketika ada keuntungan seketika (kilat), tetapi segera kembali ke stagnasi begitu tantangan muncul.
Ayat 18 mengajarkan bahwa penyakit spiritual yang paling fatal bukanlah dosa-dosa lahiriah, melainkan penolakan yang disengaja terhadap sumber cahaya, yang mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk berubah atau ‘kembali’ ke fitrah yang benar.
Frasa "sehingga mereka tidak dapat kembali" membawa konotasi yang kuat, baik di dunia maupun di akhirat.
Di dunia, frase ini menyinggung bahwa meskipun pintu taubat secara teoritis terbuka hingga nafas terakhir, bagi kelompok munafik yang digambarkan di sini, mereka telah kehilangan kemauan internal dan kesadaran untuk memanfaatkannya. Mereka terperangkap dalam lingkaran setan kepalsuan mereka sendiri. Setiap hari yang berlalu semakin menguatkan penyegelan hati mereka.
Dalam konteks akhirat, jika mereka mati dalam keadaan munafik, maka mereka pasti tidak akan kembali dari hukuman tersebut. Ini selaras dengan banyak ayat lain yang menjelaskan bahwa kemunafikan yang disengaja dan kronis menempatkan pelakunya di lapisan neraka yang paling bawah.
Kondisi ‘tuli, bisu, dan buta’ di dunia ini menjamin kondisi ‘tidak dapat kembali’ di akhirat, karena tidak ada lagi peluang bagi mereka untuk mendengar panggilan surga, berbicara memohon syafaat (kecuali yang diizinkan), atau melihat kebahagiaan abadi.
Ayat 18 adalah sebuah peringatan keras: bahwa ada konsekuensi serius dan permanen dari mempermainkan agama. Ketika kebenaran datang, seseorang harus segera merespons dengan ketulusan dan keterbukaan, agar pintu indra spiritual tidak tertutup rapat oleh kekerasan hati dan tipu daya dunia.
Untuk memahami kedalaman retorika dalam teks Al-Qur'an, kita perlu mengamati struktur tata bahasa yang digunakan pada Ayat 18. Ayat ini terstruktur sebagai kalimat nominal yang sangat ringkas, menggunakan bentuk jamak kolektif yang tegas.
Ketiga kata sifat tersebut adalah bentuk jamak yang menunjukkan kolektivitas dan keparahan. Mereka bukanlah nomina (kata benda) biasa, melainkan deskripsi tegas tentang keadaan mereka. Penggunaan bentuk jamak ini menunjukkan bahwa kondisi spiritual tersebut tidak hanya menimpa satu atau dua orang munafik, tetapi merupakan ciri khas kelompok tersebut secara keseluruhan.
Secara linguistik, kata sifat jamak ini memiliki efek yang lebih kuat daripada sekadar menggunakan predikat tunggal, seolah-olah mengatakan: "Mereka adalah wujud konkret dari ketulian itu sendiri."
Frase "لَا يَرۡجِعُونَ" (la yarji’un) menggunakan negasi (لا - *la*) yang berfungsi untuk meniadakan kemampuan atau kemauan mereka untuk kembali. Kata kerja yarji’un (mereka kembali) adalah bentuk present tense/future tense, yang menunjukkan peniadaan yang berkelanjutan, yaitu mereka tidak akan kembali sekarang, dan juga tidak akan kembali di masa depan. Ini menggarisbawahi sifat permanen dari hukuman spiritual tersebut selama mereka mempertahankan kondisi kemunafikan mereka.
Dalam tafsir Al-Qurtubi, disebutkan bahwa 'kembali' di sini bisa berarti kembali ke Islam (bertobat) atau kembali dari kesesatan mereka. Karena indra mereka telah disegel, sarana untuk taubat telah hilang, dan mereka tidak melihat jalan pulang.
Konsep tuli, bisu, dan buta sebagai hukuman spiritual diulang berkali-kali dalam Al-Qur'an untuk menegaskan pentingnya penggunaan indra lahir dan batin sesuai tujuan penciptaan:
Surah Al-Anfal Ayat 22: “Sesungguhnya makhluk bergerak (bernyawa) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu (tidak mau menggunakan akalnya), yaitu orang-orang yang tidak mengerti.” Ayat ini memperjelas bahwa ‘tuli dan bisu’ ini adalah bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya (la ya'qilun), menghubungkan indra yang rusak dengan hilangnya rasionalitas spiritual.
Surah Al-Isra Ayat 97: “Dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari Kiamat dalam keadaan tertelungkup di atas muka mereka, dalam keadaan buta, bisu dan tuli.” Ayat ini menunjukkan bahwa kondisi ‘buta, bisu, dan tuli’ yang mereka alami di dunia (sebagai metafora) akan termanifestasi secara harfiah dan kolektif pada Hari Kiamat sebagai hukuman abadi.
Melalui perbandingan ini, kita melihat bahwa Ayat 18 di Surah Al-Baqarah adalah fondasi teologis yang menetapkan gambaran kaum munafik: mereka menempatkan diri mereka pada level yang lebih rendah daripada hewan, karena meskipun memiliki indra, mereka menolaknya dari fungsi utama mereka—menerima dan menyatakan kebenaran.
Meskipun Ayat 18 berbicara tentang keputusasaan bagi kaum munafik yang telah mencapai titik tidak kembali, keberadaan ayat ini dalam Al-Qur'an itu sendiri adalah rahmat dan peringatan bagi orang-orang beriman. Pesannya adalah:
Selama kita masih mampu mendengar seruan kebenaran (adzan, ayat Al-Qur'an), selama kita masih mampu mengucapkan taubat dan zikir dengan ikhlas, dan selama kita masih berusaha melihat tanda-tanda kebesaran Allah, kita belum termasuk dalam kategori yang indra spiritualnya telah disegel secara permanen.
Ketakutan terbesar bagi seorang mukmin bukanlah melakukan dosa, melainkan jatuh ke dalam kondisi kemunafikan yang kronis dan menolak kebenaran hingga ia menjadi tuli, bisu, dan buta, sehingga pada akhirnya, ia kehilangan kemampuan untuk kembali (fahum la yarji’un).