Prinsip Tayyibat, Rizq, dan Syukur dalam Kehidupan Umat Beriman
Surah Al-Baqarah, sebagai salah satu surah terpanjang dan paling komprehensif dalam Al-Qur'an, memuat pedoman hidup yang sangat mendasar bagi kaum Muslim. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, Ayat 172 menempati posisi sentral, menghubungkan secara eksplisit antara aspek material kehidupan—yakni makanan dan rezeki—dengan aspek spiritual tertinggi: syukur kepada Allah. Ayat ini tidak hanya sekadar perintah untuk makan, melainkan fondasi etik dan spiritual dalam interaksi manusia dengan karunia Ilahi.
Terjemah: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik (tayyibat) yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." (QS. Al-Baqarah [2]: 172)
Ayat ini merupakan seruan langsung (nida’) kepada "orang-orang yang beriman" (Ya ayyuhalladzina amanu), menegaskan bahwa ketaatan terhadap perintah ini merupakan ciri khas dan prasyarat keimanan yang sejati. Perintah ini datang dalam dua pilar utama: konsumsi hal-hal yang baik (*Tayyibat*) dan pelaksanaan rasa syukur (*Shukr*).
Kata kunci pertama dalam perintah ini adalah *ṭayyibāt* (الطيّبات), bentuk jamak dari *tayyib*. Secara bahasa, *tayyib* berarti baik, murni, lezat, menyenangkan, dan suci. Dalam konteks syariat, *tayyibāt* mencakup dimensi yang jauh lebih luas daripada sekadar halal.
Para ulama tafsir membagi makna *tayyibat* menjadi tiga dimensi utama yang harus dipenuhi secara simultan:
Makanan tersebut harus halal secara substansi, yakni tidak termasuk dalam kategori yang diharamkan secara jelas oleh syariat (seperti babi, darah, atau bangkai). Selain itu, makanan tersebut juga harus baik secara kualitas fisik, tidak basi, tidak beracun, tidak merusak kesehatan, dan bermanfaat bagi tubuh. Konsep ini mencakup pemahaman modern tentang nutrisi dan sanitasi. Sesuatu yang halal namun basi atau menyebabkan penyakit tidak dapat dikategorikan sebagai *tayyib*.
Ini adalah dimensi yang paling krusial. Makanan harus diperoleh melalui cara yang sah dan etis (kasb al-halal). Ini menolak segala bentuk perolehan yang melibatkan pencurian, penipuan, riba, korupsi, atau eksploitasi. Apabila seseorang mengonsumsi makanan yang dibeli dengan uang haram, meskipun zat makanan itu sendiri adalah daging sapi yang disembelih secara syar'i, maka rezeki tersebut telah kehilangan status *tayyib*nya di hadapan Allah. Keaslian keimanan seseorang diuji melalui kehati-hatiannya dalam menjaga sumber mata pencaharian.
Konsumsi *tayyibat* seharusnya membawa dampak positif pada ibadah dan kondisi spiritual seseorang. Makanan yang baik akan memudahkan hati untuk khusyuk, membersihkan jiwa dari karat, dan memicu energi untuk melakukan kebaikan. Sebaliknya, makanan yang didapat secara haram cenderung mengeraskan hati, menghalangi diterimanya doa, dan memicu keinginan untuk berbuat maksiat. Ayat ini menunjukkan hubungan kausalitas yang mendalam antara asupan fisik dan kesehatan spiritual.
Ayat 172 menggunakan frasa *mā razaqnākum* (apa yang Kami rezekikan kepadamu). Penggunaan kata 'Kami' (Allah) secara langsung menekankan bahwa setiap rezeki, baik besar maupun kecil, datang dari sumber Ilahi. Rezeki, dalam pandangan Islam, bukan sekadar hasil dari usaha semata, tetapi merupakan karunia, ujian, dan amanah.
Perintah "Kulū" (Makanlah!) adalah izin dan dorongan untuk menikmati karunia tersebut. Islam tidak mengajarkan praktik pengekangan diri yang berlebihan (asceticism) dalam hal makanan yang halal. Sebaliknya, ayat ini mengizinkan, bahkan mendorong umat beriman untuk menikmati kebaikan dunia yang telah diciptakan bagi mereka, selama batas-batas *tayyibat* tetap dijaga.
Penting untuk dipahami bahwa *rizq* tidak hanya terbatas pada makanan. Meskipun konteks ayat ini adalah tentang konsumsi, para mufasir sepakat bahwa prinsip *tayyibat* berlaku pada semua bentuk rezeki: pakaian, tempat tinggal, pengetahuan, kesehatan, bahkan waktu luang. Semua bentuk karunia ini harus diupayakan secara baik dan dimanfaatkan untuk kebaikan.
Pilar kedua dan penutup ayat ini adalah perintah: *Wasykurū lillāh* (dan bersyukurlah kepada Allah). Perintah syukur ini tidak diletakkan secara terpisah, melainkan langsung setelah perintah makan *tayyibat*, menunjukkan bahwa kenikmatan adalah pemicu langsung dari kewajiban spiritual.
Ayat ini ditutup dengan kalimat bersyarat: *in kuntum iyyahu ta‘budūn* (jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah). Kalimat ini menjadi kunci interpretasi yang sangat kuat: syukur bukan sekadar adab yang baik, melainkan merupakan inti dari ibadah (*‘ibadah*) itu sendiri. Jika seseorang mengaku beribadah hanya kepada Allah, maka ia harus membuktikannya melalui rasa syukur atas rezeki yang diberikan.
Syukur, dalam konteks ayat ini, menjadi indikator keikhlasan ibadah. Jika seseorang menikmati karunia Allah tetapi gagal menunaikan hak-hak syukur, maka klaimnya sebagai hamba yang menyembah hanya kepada Allah dipertanyakan.
Yaitu pengakuan tulus dalam hati bahwa segala kenikmatan, sumber rezeki, dan kemampuan untuk mencari nafkah datang sepenuhnya dari Allah. Ini melibatkan penghapusan ilusi bahwa kesuksesan semata-mata berasal dari keahlian atau kecerdasan diri sendiri.
Manifestasi yang paling umum, yaitu mengucapkan pujian dan terima kasih kepada Allah (misalnya, dengan membaca *Alhamdulillah*). Namun, syukur lisan juga mencakup penggunaan lisan untuk menyebarkan kebaikan dan mencegah perkataan yang merusak atau tidak berguna.
Inilah bentuk syukur yang paling menantang dan paling sesuai dengan konteks ayat ini. Syukur dengan amal berarti menggunakan rezeki (makanan, harta, kesehatan) yang diberikan Allah untuk ketaatan kepada-Nya. Rezeki yang dinikmati harus menjadi bahan bakar untuk shalat, puasa, zakat, sedekah, dan berbuat baik kepada sesama. Mengonsumsi makanan *tayyibāt* dan kemudian menggunakan energi dari makanan itu untuk melakukan maksiat adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat.
Ayat 172 mengajarkan bahwa terdapat hubungan timbal balik yang erat antara konsumsi yang bersih dan perilaku spiritual yang benar. Makanan adalah fondasi, dan syukur adalah bangunan yang berdiri di atas fondasi tersebut.
Salah satu pelajaran mendasar yang ditarik dari ayat ini dan hadis-hadis terkait adalah bahwa konsumsi barang haram atau yang tidak *tayyib* menjadi penghalang utama diterimanya doa. Ketika tubuh dipenuhi dengan substansi yang diperoleh secara tidak sah, hati menjadi tertutup, dan hubungan spiritual dengan Allah terganggu. Dengan memakan *tayyibāt*, seorang mukmin membersihkan jalannya menuju respons Ilahi atas permohonannya.
Perintah untuk makan *tayyibat* adalah perintah untuk menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan tujuan akhirat. Islam menolak ekstremitas; tidak membiarkan umatnya hidup dalam kemiskinan dan kelaparan yang tidak perlu (sebagaimana dipahami dari perintah *kulū*), tetapi juga mencegah umatnya tenggelam dalam konsumerisme tanpa batas (sebagaimana dipahami dari syarat *tayyibat* dan *wasykurū*).
Prinsip *tayyibat* yang diwahyukan berabad-abad lalu ini memiliki relevansi yang luar biasa dalam masyarakat modern yang kompleks, terutama dalam konteks globalisasi pangan, keuangan, dan etika kerja.
Dalam dunia industri pangan, memastikan makanan benar-benar *tayyib* menjadi semakin sulit. Ini tidak hanya mencakup memastikan standar halal (dhabihah), tetapi juga mempertimbangkan:
Tantangan terbesar dalam konteks modern adalah memastikan penghasilan benar-benar *tayyib*. Ayat 172 menuntut kehati-hatian dalam:
Kehati-hatian dalam mencari *tayyibat* bukanlah bentuk pesimisme, melainkan implementasi tertinggi dari *wara’* (kehati-hatian) yang merupakan jembatan menuju syukur yang sempurna.
Representasi simbolik Rizq (piring) dan Syukur (tangan menadah).
Perintah syukur dalam Al-Baqarah 172 selaras dengan janji Allah dalam Surah Ibrahim ayat 7, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu." Hubungan ini menegaskan bahwa syukur bukanlah akhir, melainkan mekanisme berkelanjutan untuk menarik lebih banyak karunia dan keberkahan (barakah) ke dalam kehidupan seseorang.
Ketika seorang mukmin mengonsumsi *tayyibat* dan bersyukur, ia secara efektif mengakui bahwa rezeki itu datang dari Allah. Pengakuan ini membuka saluran bagi *barakah*—kebaikan Ilahi yang tertanam dalam sesuatu. Rezeki yang sedikit namun penuh *barakah* dapat memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada rezeki yang melimpah tetapi diperoleh tanpa *tayyibāt* atau diabaikan syukurnya.
Tanpa syukur, karunia tersebut berisiko menjadi ujian atau bahkan azab, karena digunakan di jalan yang salah. Syukur mengubah konsumsi menjadi ibadah, dan ibadah ini menghasilkan peningkatan, baik secara material maupun spiritual.
Memahami akar kata dalam ayat ini memperdalam makna perintah yang terkandung di dalamnya:
Akar ṭ-y-b tidak hanya merujuk pada kebaikan fisik, tetapi juga kebaikan moral dan spiritual. Dalam konteks lain, ia merujuk pada perkataan yang baik (*kalimah ṭayyibah*) atau jiwa yang baik (*nafs ṭayyibah*). Ini menguatkan interpretasi bahwa *tayyibāt* dalam makanan adalah cerminan dari kesucian yang lebih besar, baik dalam perolehan maupun dampaknya pada jiwa.
Kata *Rizq* adalah nama perbuatan yang dikaitkan secara eksklusif dengan Allah (*Ar-Razzaq*). Kata ini menunjukkan pemberian yang konstan dan berkelanjutan, menegaskan ketergantungan total makhluk pada Sang Pencipta. Penggunaan bentuk lampau *razaqnākum* (yang telah Kami berikan) menunjukkan bahwa rezeki adalah sebuah fakta yang sudah terjadi dan terus mengalir, menuntut respons langsung berupa syukur.
Kata *Shukr* dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menggambarkan kuda yang sangat gesit dan bersemangat—yang menunjukkan kualitas terbaiknya. Dalam konteks manusia, syukur berarti menunjukkan kualitas terbaik manusia dalam merespons kebaikan (nikmat) yang diterima, yaitu dengan ketaatan, kepatuhan, dan pengakuan. Ini melampaui ucapan lisan, mewajibkan respons aktif dari seluruh keberadaan diri.
Untuk melaksanakan perintah Al-Baqarah 172 secara sempurna, seorang mukmin dituntut untuk mengadopsi prinsip *wara’*. *Wara’* adalah sikap kehati-hatian yang melampaui batas minimum syariat (halal-haram) dan menjauhi segala sesuatu yang meragukan (*syubhat*).
Dalam hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, "Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar)." Mereka yang mencari *tayyibat* yang tertinggi adalah mereka yang tidak hanya menjauhi yang haram, tetapi juga menghindari yang *syubhat*, demi menjaga kemurnian rezeki dan hati.
Ketika seseorang secara sadar dan konsisten menghindari *syubhat* dalam rezeki (seperti transaksi keuangan yang abu-abu atau hadiah yang tidak jelas sumbernya), ia memastikan bahwa pilar pertama ayat 172—*tayyibat*—terpenuhi dengan kemurnian maksimal. Kemurnian ini kemudian memfasilitasi syukur yang lebih mendalam dan ibadah yang lebih diterima.
Ayat ini tidak hanya bersifat individual, tetapi juga memiliki implikasi kolektif yang mendalam terhadap pembentukan komunitas yang sehat dan beradab (madaniyah).
Jika setiap individu dalam masyarakat Muslim berpegang teguh pada prinsip *tayyibat* dalam mencari nafkah, maka secara otomatis akan tercipta ekonomi yang bebas dari riba, penipuan, monopoli, dan eksploitasi. Ayat ini mendorong terciptanya sistem pasar yang adil, di mana kejujuran (amanah) dianggap sebagai modal utama, bukan hanya legalitas semata.
Syukur tidak hanya ditujukan kepada Allah, tetapi juga diwujudkan dalam berbagi rezeki. Bagian dari syukur atas rezeki yang diberikan adalah menunaikan hak-hak sesama yang membutuhkan. Zakat, infak, dan sedekah adalah mekanisme syukur kolektif yang memastikan bahwa rezeki tidak hanya beredar di antara orang kaya, tetapi juga membersihkan harta dan memberikan manfaat sosial.
Komunitas yang mengamalkan syukur akan menjadi komunitas yang suportif, di mana setiap anggotanya merasa bahwa kekayaan adalah amanah yang harus digunakan untuk kesejahteraan bersama. Ini adalah manifestasi nyata dari ibadah (*ta‘budūn*) yang disebutkan di akhir ayat.
Sementara Ayat 172 berfokus pada perintah syukur saat menikmati kelimpahan rezeki (*mā razaqnākum*), prinsip syukur memiliki peran penting bahkan ketika rezeki terasa berkurang. Syukur dalam kekurangan adalah bentuk ketaatan yang lebih tinggi.
Mukmin yang sejati, yang memahami hakikat *Ar-Razzaq*, akan tetap bersyukur atas apa yang masih dimilikinya (kesehatan, iman, keluarga), alih-alih meratapi apa yang hilang. Sikap ini menjaga jiwa dari keputusasaan dan kekufuran. Kekurangan rezeki material bisa menjadi ujian, dan respons syukur adalah ibadah yang membuktikan pengakuan akan hikmah Allah.
Ayat ini menekankan kualitas rezeki (*tayyibāt*), bukan kuantitasnya. Bahkan jika porsi makanan yang didapat sedikit, selama itu adalah *tayyib*, syukur harus tetap dilaksanakan. Ini mengajarkan qana’ah (sikap menerima dan puas) dan menghindari sikap serakah yang dapat mendorong seseorang melanggar batas *tayyibat* demi mendapatkan lebih banyak.
Ayat 172 adalah rangkuman dari filsafat konsumsi Islam yang sehat. Ia menolak dua ekstrem yang sering muncul dalam peradaban manusia:
Islam menentang monastisisme atau penolakan total terhadap kenikmatan dunia yang halal. Perintah *kulū* (makanlah) adalah izin Ilahi untuk menikmati dunia ini. Allah menciptakan yang baik-baik bukan untuk dihindari, melainkan untuk dinikmati sebagai sarana menuju ketaatan.
Islam secara tegas membatasi konsumsi dengan syarat *tayyibāt* (baik secara moral dan fisik) dan *wasykurū* (bertanggung jawab secara spiritual). Konsumsi yang didorong oleh hawa nafsu semata, tanpa mempedulikan sumber, kualitas, atau dampak sosial, secara fundamental bertentangan dengan ayat ini.
Filosofi Ayat 172 adalah jalan tengah: menikmati karunia yang disediakan Allah secara bertanggung jawab dan menjadikannya jembatan menuju ibadah yang lebih tinggi. Makanan, dalam pandangan Islam, adalah bahan bakar untuk tugas kekhalifahan di bumi, bukan tujuan akhir itu sendiri.
Jika seorang mukmin mengabaikan perintah dalam Al-Baqarah 172—baik dengan mengonsumsi yang haram (melanggar *tayyibat*) atau dengan menikmati rezeki halal tanpa rasa syukur (*kufur nikmat*)—maka ia merusak janji ibadahnya.
Melanggar *tayyibat* berujung pada konsekuensi langsung berupa rusaknya spiritualitas dan terhalangnya hubungan dengan Allah (tidak diterimanya doa). Sementara itu, kufur nikmat mengundang ancaman pengurangan atau penarikan nikmat tersebut, sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur'an. Ini adalah siklus yang dijabarkan oleh ayat 172: rezeki Ilahi yang bersih menuntut respons syukur, dan respons syukur menjamin keberlanjutan dan peningkatan rezeki tersebut.
Oleh karena itu, Ayat 172 berdiri tegak sebagai kompas bagi umat Islam dalam mengarungi kehidupan dunia: panduan praktis menuju kehidupan yang tidak hanya sejahtera secara material, tetapi juga suci, etis, dan sarat makna spiritual.
Kepatuhan terhadap perintah untuk mencari *tayyibat* dan mengamalkan *syukur* adalah esensi dari pengakuan iman dan bukti nyata bahwa "hanya kepada-Nya kamu menyembah."
Syukur yang diperintahkan dalam ayat ini memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan psikologis dan struktur sosial. Secara psikologis, praktik syukur yang konsisten telah terbukti meningkatkan kebahagiaan, mengurangi stres, dan menumbuhkan optimisme. Ketika seseorang secara sadar mengakui bahwa rezekinya adalah karunia, fokusnya bergeser dari rasa kekurangan atau iri hati kepada orang lain, menjadi apresiasi atas anugerah yang telah diterima. Ini adalah terapi spiritual yang mengubah persepsi individu terhadap tantangan hidup.
Di sisi sosiologis, kurangnya syukur sering kali bermanifestasi sebagai kekufuran sosial: sikap tidak puas yang menghasilkan fitnah, gosip, dan ketidakpuasan kolektif. Ketika setiap anggota masyarakat gagal bersyukur atas rezeki mereka, mereka cenderung menyalahkan sistem atau orang lain, menghancurkan kohesi sosial. Sebaliknya, masyarakat yang didasarkan pada prinsip syukur akan menjadi masyarakat yang damai, saling mendukung, dan memegang teguh keadilan, karena mereka menghargai setiap karunia yang diberikan Allah dan bertanggung jawab atas penggunaannya.
Meskipun ayat 172 secara literal menggunakan kata *kulū* (makanlah), mufasir modern menekankan bahwa perintah *tayyibat* harus diterapkan pada semua rezeki. Mari kita telaah beberapa aspek rezeki non-makanan yang juga harus dipenuhi syarat *tayyibat* dan *syukur*:
Ilmu pengetahuan adalah rezeki terbesar bagi akal. Prinsip *tayyibat* menuntut bahwa ilmu yang dicari harus benar, bermanfaat, dan diperoleh melalui metode yang etis (misalnya, tidak menjiplak atau menyalahgunakan data). Syukurnya adalah dengan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain, mengamalkannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak menyembunyikannya.
Pasangan hidup adalah rezeki dan pakaian bagi jiwa. Untuk memenuhi syarat *tayyibat*, hubungan ini harus dibangun di atas dasar *halal* (pernikahan sah) dan etika yang baik. Syukurnya adalah dengan memperlakukan pasangan dengan *ihsan* (kebaikan), menjaga kehormatan mereka, dan bersama-sama membangun keluarga yang bertakwa.
Waktu adalah karunia yang terus berkurang. Agar waktu menjadi *tayyib*, ia harus digunakan secara produktif dan diinvestasikan dalam hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Syukurnya adalah dengan tidak menyia-nyiakan waktu dalam kesia-siaan, dan menjadikannya saksi atas ibadah yang telah dilakukan.
Dengan menerapkan *tayyibat* dan *syukur* pada setiap aspek kehidupan, seorang mukmin memenuhi maksud ayat 172 secara komprehensif, mentransformasikan seluruh eksistensinya menjadi bentuk ibadah yang utuh.
Penting untuk memahami konteks Al-Baqarah 172. Ayat ini datang setelah serangkaian ayat yang mencela orang-orang kafir yang mengikuti langkah-langkah setan dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah (Al-Baqarah 168-171). Ayat 172 berfungsi sebagai antitesis dan koreksi langsung terhadap perilaku tersebut.
Ayat 168 dan 169 memperingatkan manusia untuk tidak mengikuti langkah-langkah setan, yang salah satunya adalah memerintahkan keburukan dan kemungkaran. Salah satu bentuk terburuk mengikuti setan adalah mengharamkan apa yang baik (*tayyibāt*) atau menghalalkan apa yang buruk. Ayat 172 dengan tegas memerintahkan umat beriman untuk melakukan hal yang sebaliknya: makanlah yang baik (yang halal dan etis) sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan kepada bisikan setan atau tradisi nenek moyang yang sesat.
Oleh karena itu, ketika Allah memerintahkan umat beriman untuk makan dari *tayyibāt*, ini sekaligus menjadi penolakan total terhadap ideologi yang membatasi rezeki tanpa dasar syariat, dan penolakan terhadap pembenaran konsumsi barang haram hanya karena kenikmatan sesaat.
Ayat 172 menutup dengan penegasan: *in kuntum iyyahu ta‘budūn* (jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah). Penggunaan penekanan (iyyahu) yang mendahului kata kerja menekankan keeksklusifan ibadah hanya kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa ibadah (ketaatan total) adalah motivasi tertinggi untuk menjalankan kedua perintah sebelumnya.
Syukur adalah praktik *tauhid* (keesaan Allah) dalam dimensi praktis. Ketika seseorang bersyukur, ia mengakui bahwa pemberi nikmat hanyalah Allah. Ini membersihkan hati dari syirik tersembunyi (seperti merasa berhak atas rezeki karena usaha sendiri semata) dan mengukuhkan keimanan bahwa Allah adalah satu-satunya sumber segala karunia.
Dengan demikian, Al-Baqarah 172 adalah siklus kesempurnaan seorang mukmin: Keimanan memicu pencarian rezeki yang etis (*tayyibāt*), konsumsi rezeki yang etis memurnikan jiwa, jiwa yang murni menghasilkan syukur yang sejati, dan syukur yang sejati mengukuhkan kembali ibadah eksklusif kepada Allah.
Dalam tradisi tasawuf, interpretasi terhadap *tayyibāt* seringkali diperluas hingga mencapai kemurnian total batin. Seorang sufi tidak hanya memperhatikan apakah makanan itu diperoleh secara halal, tetapi juga bagaimana makanan itu memengaruhi konsentrasi dalam zikir dan kualitas shalat.
Bagi mereka, *tayyibat* tertinggi adalah rezeki yang membuat seseorang semakin dekat dengan Allah (ma'rifah). Oleh karena itu, mereka akan sangat hati-hati terhadap rezeki *syubhat*, bahkan menghindari rezeki yang halal secara syar'i namun berpotensi mengalihkan perhatian dari tujuan utama hidup. Kehati-hatian ini adalah puncak dari *wara’* yang ditekankan dalam ajaran Al-Baqarah 172, yang bertujuan untuk mencapai maqam syukur yang abadi.
Prinsip-prinsip ini, ketika diinternalisasi, membentuk karakter seorang mukmin yang utuh, yang memahami bahwa setiap gigitan makanan, setiap keping penghasilan, dan setiap napas yang dihela adalah peluang untuk menegaskan kembali perjanjiannya dengan Allah, Tuhan semesta alam.