Pendahuluan: Sentralitas Ayat 163
Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai peta jalan komprehensif bagi umat Islam, mencakup hukum, sejarah, dan akidah. Di tengah berbagai peraturan dan kisah, terselip sebuah ayat yang menjadi jantung ajaran Islam, sebuah deklarasi yang tidak hanya indah secara bahasa namun juga absolut secara makna teologis: Ayat 163.
Ayat ini muncul setelah serangkaian pembahasan tentang tanda-tanda kebesaran Allah (Ayat 164) yang terdapat di alam semesta—perputaran siang dan malam, penciptaan langit dan bumi, dan kapal-kapal yang berlayar di lautan. Seolah-olah, setelah manusia diajak menyaksikan keajaiban ciptaan, mereka kemudian diarahkan pada kesimpulan yang tak terhindarkan: Hanya ada Satu Pencipta yang layak disembah. Ayat ini adalah jembatan antara observasi empiris terhadap alam semesta dan keyakinan spiritual yang murni.
Teks dan Terjemah Ayat yang Mulia
Analisis Linguistik dan Teologis Mendalam
Setiap kata dalam ayat 163 adalah permata yang mengandung makna mendalam tentang sifat ketuhanan (Uluhiyyah). Ayat ini dibagi menjadi tiga klausa utama yang saling menguatkan, menghasilkan sebuah proklamasi Tauhid yang sempurna.
1. وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa)
Kata “Ilahukum” (Tuhanmu, dalam bentuk jamak/kalian) menunjukkan bahwa pesan ini ditujukan kepada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang memiliki konsep ketuhanan yang berlainan. Ini adalah seruan universal. Kata ini mengandung makna yang berhak disembah, ditaati, diagungkan, dan dirindukan.
Frasa “Ilahun Wahid” (Tuhan Yang Esa) adalah penegasan pertama. Kata “Wahid” (Esa/Satu) menafikan segala bentuk kemajemukan, keterbelahan, atau pasangan dalam entitas Ketuhanan. Keunikan Allah tidak hanya berarti satu dalam jumlah, tetapi satu dalam esensi, sifat, dan tindakan-Nya (Af’al). Dialah Zat yang tidak membutuhkan yang lain, dan semua yang lain mutlak membutuhkan-Nya.
2. لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ (Tidak ada Tuhan melainkan Dia)
Ini adalah inti dari syahadat, penolakan total dan penegasan total. Struktur bahasa Arab yang digunakan (Nafyu wal Itsbat) adalah yang paling kuat dalam menafikan. Ia bermakna:
- Penafian (Nafyu): Lā Ilāha (Tidak ada Tuhan) — meniadakan semua bentuk tandingan, patung, dewa, ideologi, atau kekuasaan selain Allah yang pantas dipertuhankan.
- Penegasan (Itsbat): Illā Huwa (Melainkan Dia) — menegaskan bahwa hanya Dia (Allah) satu-satunya yang memiliki hak mutlak atas peribadatan dan ketaatan.
Bagian ini menegaskan Tauhid Uluhiyyah (Keesaan dalam Peribadatan). Jika klausa pertama adalah pengakuan keesaan esensi, klausa kedua adalah penegasan implikasi praktis dari keesaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, yaitu hanya menyembah kepada-Nya. Ini adalah pembebasan sejati dari penghambaan kepada materi, hawa nafsu, dan sesama makhluk.
3. الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Ayat ini tidak berhenti pada kekuasaan dan keesaan, tetapi segera diakhiri dengan dua nama agung yang menekankan sifat Rahmat Allah. Ini adalah penyempurnaan akidah. Keesaan Allah (Tauhid) dipancangkan di atas fondasi kasih sayang (Rahmat). Jika Dia Esa dan Perkasa tanpa Rahmat, maka manusia mungkin hanya akan merasakan ketakutan. Namun, karena Dia Esa dan Maha Penyayang, keesaan-Nya menjadi sumber harapan, ampunan, dan kedamaian.
- Ar-Rahman: Merupakan rahmat yang luas dan umum, meliputi seluruh makhluk di dunia ini, baik mukmin maupun kafir. Rahmat ini bersifat menyeluruh, tercermin dalam pemberian kehidupan, udara, air, dan nikmat fundamental lainnya.
- Ar-Rahim: Merupakan rahmat yang spesifik dan khusus, hanya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat. Ini terkait dengan ampunan, ganjaran, dan kebahagiaan abadi.
Penyebutan kedua nama ini memastikan bahwa Tauhid bukan sekadar dogma yang kaku, melainkan konsep yang menyeimbangkan Keagungan dan Keindahan. Dialah Zat Yang Maha Kuasa, tetapi kekuasaan-Nya diatur oleh kasih sayang yang tak terhingga.
Korelasi Ayat 163 dengan Ayat-Ayat Sebelumnya
Penempatan ayat 163 sangat strategis. Dalam ayat-ayat sebelumnya (160-162), Allah SWT berbicara tentang orang-orang yang bertaubat dan ampunan yang diberikan-Nya. Kemudian, ayat 164 berbicara tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta. Ayat 163 hadir sebagai kesimpulan logis yang menghubungkan semua hal:
- Jika Allah adalah Zat yang memberi ampunan bagi yang bertaubat (160-162), maka Dia pasti Esa dalam kekuasaan-Nya untuk mengampuni.
- Jika alam semesta (langit, bumi, awan, angin) bergerak dengan keteraturan sempurna (164), maka pasti ada hanya Satu Pengatur yang mutlak.
Ayat 163 menjawab pertanyaan mendasar: Siapakah yang melakukan semua keajaiban itu? Jawabannya adalah, Sang Ilahun Wahid, yang ditopang oleh Sifat Rahman dan Rahim. Ayat ini adalah transisi dari pengamatan dunia fisik (Ayat 164) menuju pengakuan spiritual (Ayat 163).
Kesempurnaan Argumentasi Ilahiah
Para ulama tafsir menekankan bahwa Al-Baqarah 163 adalah bukti terkuat (hujjah) bagi tauhid. Allah tidak hanya memerintahkan manusia untuk percaya, tetapi Dia juga memberikan bukti rasional. Tanda-tanda di alam (ayat-ayat kauniyyah) yang dijelaskan setelahnya, semuanya menunjukkan desain yang terpadu dan tunggal. Desain tunggal ini hanya mungkin berasal dari Desainer yang tunggal. Jika ada dua Tuhan, pasti akan terjadi kekacauan dan konflik dalam ciptaan, sebagaimana difirmankan dalam surah Al-Anbiya (21:22).
Implementasi Tauhid Murni (Al-Baqarah 163) dalam Kehidupan
Pemahaman mendalam tentang Al-Baqarah 163 bukan hanya sekadar pengetahuan teoretis, melainkan fondasi bagi seluruh perilaku, ibadah, dan pandangan hidup seorang mukmin. Keesaan Allah harus tercermin dalam tiga dimensi utama Tauhid.
1. Tauhid Rububiyyah (Keesaan dalam Ketuhanan)
Ayat 163 menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rezeki, dan Pengatur Alam Semesta. Ini berarti:
- Tidak ada daya atau kekuatan selain dari-Nya (La hawla wa la quwwata illa billah).
- Rasa takut dan harapan harus tertuju hanya kepada-Nya. Jika rezeki datang dari-Nya, kita tidak perlu merendahkan diri kepada manusia demi materi.
- Pengakuan bahwa segala musibah dan kebaikan adalah ketetapan-Nya, sehingga memunculkan sikap sabar (ketika ditimpa musibah) dan syukur (ketika mendapat nikmat).
- Kesadaran akan kelemahan diri dan kekuasaan mutlak Allah mendorong individu untuk selalu kembali dan bergantung pada Sang Khaliq dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari hal terkecil hingga masalah besar kenegaraan.
- Penolakan terhadap takhayul dan keyakinan akan kekuatan magis atau benda-benda yang dianggap dapat mendatangkan manfaat atau mudarat secara independen dari kehendak Allah.
2. Tauhid Uluhiyyah (Keesaan dalam Peribadatan)
Karena Dia-lah Ilahun Wahid, maka hanya Dia yang berhak menerima segala bentuk ibadah. Ibadah mencakup seluruh tindakan yang dicintai dan diridhai Allah, baik lahir maupun batin:
- Ibadah Lahiriah: Shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya, harus dilakukan murni karena Allah, bukan karena riya (pamer) atau mencari pujian makhluk.
- Ibadah Batiniah: Tawakkal (berserah diri), Khauf (takut), Raja’ (berharap), Mahabbah (cinta), dan Inabah (kembali/bertaubat). Semua perasaan batiniah ini harus diarahkan secara eksklusif kepada Allah.
Praktik Uluhiyyah yang murni membebaskan hati manusia dari perbudakan kepada makhluk. Seorang mukmin yang menghayati ayat 163 tidak akan pernah mencari perlindungan sejati, kecuali dari Yang Maha Melindungi; tidak akan pernah mencari penghakiman akhir, kecuali dari Yang Maha Adil. Ini adalah dasar bagi kebebasan politik, sosial, dan spiritual.
Dalam konteks modern, Tauhid Uluhiyyah menuntut penolakan terhadap pemujaan ideologi, kekuasaan uang, atau figur manusia yang ditempatkan setara dengan hak-hak Allah dalam mengatur kehidupan. Konsep ini menantang segala bentuk syirik kontemporer.
3. Tauhid Asma wa Sifat (Keesaan dalam Nama dan Sifat)
Pengakuan terhadap Ar-Rahman Ar-Rahim di akhir ayat adalah kunci dari Tauhid Asma wa Sifat. Kita meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang sempurna, dan sifat-sifat ini unik, tidak serupa dengan sifat makhluk. Penerapan ini memerlukan:
- Penetapan: Meyakini semua nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih.
- Peniadaan: Menolak penyerupaan sifat Allah dengan sifat makhluk (Tasybih) dan menolak peniadaan sifat-sifat-Nya (Ta'til).
Pemahaman Asma wa Sifat ini membentuk karakter mukmin. Karena Allah adalah Ar-Rahman, mukmin didorong untuk menebarkan rahmat kepada sesama. Karena Dia adalah Al-Adl (Maha Adil), mukmin berjuang untuk keadilan. Karena Dia adalah Al-Ghafur (Maha Pengampun), mukmin menjadi pemaaf terhadap kesalahan orang lain.
Al-Baqarah 163 dan Penolakan Terhadap Syirik
Ayat 163 berdiri tegak sebagai benteng pertahanan melawan segala bentuk Syirik (menyekutukan Allah). Syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni jika dibawa mati tanpa taubat, karena ia secara langsung menentang proklamasi “Ilahun Wahid” dan “La Ilaha Illa Huwa”.
1. Syirik Akbar (Besar)
Ini adalah pengakuan terhadap tandingan Allah dalam peribadatan (Uluhiyyah) atau Rububiyyah. Misalnya, menyembah berhala, meminta kepada kuburan, atau menjadikan nabi/wali sebagai perantara yang dapat menentukan nasib tanpa izin Allah. Ayat 163 secara lugas menghancurkan fondasi pemikiran ini, menyatakan bahwa tidak ada perantara yang memiliki kuasa independen.
2. Syirik Ashghar (Kecil)
Ini adalah syirik tersembunyi, yang sering berupa Riya’ (pamer) atau sum’ah (mencari popularitas). Ketika seseorang beribadah tetapi sebagian niatnya adalah untuk dipuji manusia, ia telah mengotori kemurnian Tauhid Uluhiyyah. Ayat 163, dengan penekanannya pada kemutlakan keesaan Allah, mengingatkan bahwa amal yang diterima adalah amal yang murni (khalish) hanya karena Allah semata, sesuai dengan tuntutan "Lā Ilāha Illā Huwa".
Riya adalah penyakit berbahaya karena melukai integritas klausa pertama ayat 163. Apabila Allah adalah Satu-satunya, maka yang pantas menerima pujian dan pengakuan juga hanya Dia. Menyisipkan harapan pujian makhluk berarti mengotorinya dengan unsur kemusyrikan.
3. Syirik dalam Ketaatan
Ayat 163 juga mencakup penolakan terhadap ketaatan mutlak kepada otoritas manusia yang menentang syariat Allah. Ketika para pemimpin (ulama atau umara) ditaati secara membabi buta dalam mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, ini telah menyamai mereka dengan Allah dalam Rububiyyah (hak membuat hukum). Ketaatan tertinggi (Al-Hakimiyyah) harus dikembalikan kepada Sang Ilahun Wahid.
Kajian mendalam tentang konsekuensi syirik menunjukkan bahwa praktik menuhankan selain Allah tidak hanya melanggar ajaran agama, tetapi juga merusak akal sehat. Bagaimana mungkin sesuatu yang diciptakan, yang lemah, yang membutuhkan, dapat setara dengan Pencipta yang Maha Sempurna dan Maha Kaya? Al-Baqarah 163 menutup semua celah argumentasi yang mendukung kemusyrikan.
Rahmat dan Harapan: Manifestasi Ar-Rahman Ar-Rahim
Sangat penting untuk memahami mengapa Al-Baqarah 163 ditutup dengan Ar-Rahman Ar-Rahim. Setelah proklamasi keesaan yang menuntut ketaatan mutlak, Allah menanamkan harapan. Keesaan ini bukan ditujukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memberikan kepastian.
1. Rahmat sebagai Motivasi Ibadah
Ibadah yang didasarkan pada Tauhid Mutlak harus seimbang antara Khauf (takut) dan Raja’ (harapan). Seorang mukmin menyembah Allah karena takut akan azab-Nya (sebagai konsekuensi logis dari tidak menyembah Yang Esa) DAN karena berharap akan rahmat-Nya (Ar-Rahman Ar-Rahim).
Rasa harap ini mencegah keputusasaan. Bahkan ketika seorang hamba melakukan dosa, selama ia mengingat bahwa Tuhannya adalah Ar-Rahman Ar-Rahim, pintu taubat senantiasa terbuka lebar. Rahmat Allah mendahului murka-Nya. Ayat ini adalah jaminan bahwa meskipun manusia sering lalai dan berbuat salah, keesaan Allah yang diliputi kasih sayang menjamin kesempatan untuk kembali.
2. Rahmat dalam Pengaturan Dunia (Tadbir)
Ketika mukmin menyaksikan bencana atau musibah di dunia, pemahaman terhadap Ar-Rahman Ar-Rahim mengajarkan bahwa di balik ujian tersebut pasti tersimpan hikmah dan kasih sayang yang bersifat umum. Ujian adalah bagian dari mekanisme rahmat untuk membersihkan dosa, menaikkan derajat, atau menjadi pengingat bagi manusia untuk kembali kepada keesaan-Nya. Rahmat Allah hadir dalam bentuk teguran, bukan hanya dalam bentuk kenikmatan materi.
Rahmat ini juga terlihat dalam ketetapan syariat yang memudahkan, mengharamkan yang membahayakan, dan memerintahkan yang bermanfaat. Semua hukum Islam, yang didasarkan pada keesaan Allah, pada hakikatnya adalah manifestasi dari rahmat-Nya yang ingin manusia mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.
3. Rahmat dan Keadilan
Keadilan Allah adalah bagian dari rahmat-Nya. Dia tidak akan menyamakan antara yang beriman dan yang ingkar, atau antara yang taat dan yang bermaksiat. Keadilan-Nya memastikan bahwa setiap jiwa mendapatkan balasan yang setimpal. Keadilan ini mutlak karena tidak ada yang dapat mempengaruhi keputusan Sang Ilahun Wahid. Keadilan ini adalah rahmat terbesar bagi orang-orang yang tertindas, karena mereka tahu bahwa pada akhirnya, kebenaran akan menang di sisi-Nya.
Al-Baqarah 163: Pesan yang Sama bagi Semua Nabi
Keesaan Allah (Tauhid) yang termaktub dalam ayat 163 bukanlah konsep baru yang hanya diperkenalkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat ini menggemakan pesan sentral yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul, mulai dari Nuh, Ibrahim, Musa, hingga Isa AS. Setiap utusan diutus dengan satu tujuan utama:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut.'" (QS. An-Nahl: 36)
Oleh karena itu, Al-Baqarah 163 berfungsi sebagai ringkasan akidah universal. Semua kitab suci, dalam bentuk aslinya, pasti dimulai dan ditutup dengan proklamasi bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Ini menekankan persatuan agama-agama samawi pada akar akidah, meskipun syariat (hukum praktis) mungkin berbeda.
Konteks Sejarah dan Multireligius
Pada masa penurunan Al-Qur'an, masyarakat Arab dipenuhi dengan berbagai bentuk syirik: penyembahan berhala klan, pemujaan bintang, dan pengaruh Zoroastrianisme serta keyakinan yang menyimpang dari ajaran Tauhid murni Ibrahim. Al-Baqarah 163 hadir sebagai pembersihan total, mengembalikan fokus kepada keesaan yang mutlak, menolak trinitas, dualisme, dan politeisme.
Visualisasi Kesempurnaan Tauhid (Al-Wahid)
Tauhid: Titik Tolak Eksplorasi Ilmu Pengetahuan
Ayat 163, sering kali diikuti oleh ayat 164 yang berisi ajakan untuk merenungkan fenomena alam, menunjukkan bahwa Tauhid bukan anti-intelektual, melainkan justru fondasi bagi ilmu pengetahuan sejati. Jika Tuhan adalah Esa (Ilahun Wahid), maka alam semesta diatur oleh hukum-hukum yang konsisten dan terpadu.
Konsistensi hukum alam (fisika, kimia, biologi) adalah bukti nyata dari keberadaan Sang Pengatur Tunggal. Jika ada dua atau lebih Tuhan, hukum alam pasti akan saling bertentangan dan kacau. Ilmuwan yang memahami Tauhid akan mencari keteraturan, karena mereka yakin bahwa alam diciptakan oleh Zat Yang Maha Sempurna dan Teratur (Ar-Rahman).
Oleh karena itu, setiap penemuan ilmiah, mulai dari gravitasi hingga struktur atom, pada dasarnya adalah penemuan salah satu manifestasi kekuasaan dan keteraturan dari Ilahun Wahid. Sains tidak menafikan Tuhan; sebaliknya, sains memperkuat keesaan-Nya.
Implikasi Metodologis
Dalam mencari kebenaran, Tauhid mengajarkan objektivitas. Peneliti yang bertauhid tidak terikat oleh dogma atau kepentingan pribadi yang sempit, karena ketaatan tertinggi hanya kepada Allah. Mereka mencari kebenaran (hakikat) di mana pun ia berada, karena hakikat adalah cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sempurna.
Kesesuaian antara ajaran tauhid dan penemuan ilmiah modern telah menjadi tema sentral dalam kajian Islam kontemporer, menunjukkan relevansi ayat 163 melampaui batas waktu dan peradaban. Keesaan-Nya adalah kebenaran universal yang dapat diakses melalui wahyu dan akal.
Menghadirkan Ayat 163 dalam Kesadaran Spiritual
Ayat ini harus dihidupkan dalam hati, menjadikannya lebih dari sekadar mantra, tetapi sebuah kondisi spiritual permanen (maqam). Bagaimana seorang mukmin mencapai kesadaran hakiki akan Lā Ilāha Illā Huwa?
1. Peningkatan Tawakkul (Ketergantungan)
Ketika seseorang yakin bahwa hanya Allah-lah yang Esa dan Maha Kuasa, ia akan melepaskan ketergantungan (kecuali usaha yang diperintahkan) dari makhluk. Tawakkul yang sejati adalah buah dari pengakuan Tauhid Rububiyyah. Ini menghasilkan ketenangan jiwa, bebas dari kecemasan akan masa depan yang hanya diketahui oleh Sang Esa.
2. Pengendalian Nafsu dan Syahwat
Banyak manusia modern yang menjadikan hawa nafsu sebagai 'tuhan' kedua, tunduk pada keinginan instan, materialisme, dan hedonisme. Ayat 163 adalah terapi spiritual. Ia menegaskan bahwa Ilahun Wahid tidak akan pernah memerintahkan sesuatu yang merusak jiwa. Kepatuhan pada syariat adalah bentuk penghambaan kepada Yang Esa, membebaskan diri dari tirani nafsu yang berlipat ganda dan tidak pernah puas.
Pengendalian diri (mujahadah) adalah manifestasi praktis dari penolakan syirik ashghar, yaitu penolakan untuk mempertuhankan ego dan keinginan pribadi di atas kehendak Ilahi.
3. Akhlak Mulia (Khuluq)
Menghayati nama Ar-Rahman Ar-Rahim mendorong mukmin untuk menjadi sumber rahmat di lingkungan mereka. Menunjukkan kasih sayang, memaafkan, dan berlaku adil adalah upaya meneladani sifat-sifat Allah (tanpa menyerupai-Nya). Seseorang tidak bisa mengklaim menghayati ayat 163 jika ia kikir dalam memberi rahmat kepada sesama makhluk.
Kedermawanan, kesabaran, dan empati menjadi ciri khas orang yang mengakui bahwa Rahmat yang paling besar berasal dari Sumber Tunggal.
Kesimpulan Filosofis: Keesaan Sebagai Jawaban Akhir
Surah Al-Baqarah ayat 163 adalah jawaban akhir terhadap semua pertanyaan metafisika manusia: Dari mana kita datang? Apa tujuan hidup kita? Siapa yang berhak mengatur kita?
Ayat ini adalah penyederhanaan yang menakjubkan dari kompleksitas eksistensi. Semua dualitas, konflik, dan kebingungan teologis diakhiri dengan deklarasi tegas: Tuhanmu adalah Satu. Tidak ada kompromi, tidak ada tandingan, tidak ada sekutu, dan tidak ada pembagian kekuasaan.
Keesaan ini adalah sumber ketertiban kosmik (Rububiyyah) dan sumber kedamaian hati manusia (Uluhiyyah). Ketika hati telah berlabuh pada kesadaran bahwa "Tidak ada Tuhan selain Dia," maka hilanglah segala kegelisahan dan kekhawatiran yang disebabkan oleh ketergantungan pada hal-hal fana. Inilah hakikat Islam, penyerahan diri total kepada Sang Ilahun Wahid, Ar-Rahman, Ar-Rahim.
Oleh karena itu, setiap tarikan napas, setiap sujud, dan setiap tindakan kebajikan haruslah menjadi penegasan ulang dari janji yang terkandung dalam Ayat 163. Ini adalah inti ajaran Al-Qur'an, yang menjadi kunci bagi pemahaman seluruh hukum dan kisah yang terkandung di dalamnya, mengarahkan umat manusia kembali kepada keesaan yang sempurna dan rahmat yang abadi.
Pengulangan dan penegasan makna dari ayat ini dalam berbagai bentuk ibadah harian (misalnya dalam adzan, shalat, dan doa) memastikan bahwa konsep tauhid tetap segar dan menjadi poros kehidupan. Memahami dan mengamalkan ayat 163 adalah jalan menuju kebahagiaan sejati, sebab ia menyelaraskan hati, akal, dan tindakan manusia dengan fitrah penciptaannya.
Ayat ini terus menerus menantang kita untuk membersihkan diri dari segala bentuk pemujaan tersembunyi, baik itu pemujaan harta, status, atau ego. Selama syirik (kecil maupun besar) masih bercokol dalam hati, klausa Lā Ilāha Illā Huwa belum terwujud secara sempurna. Hanya dengan mewujudkan kemurnian Tauhid inilah, seorang hamba berhak mendapatkan rahmat yang telah dijanjikan oleh Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Ini adalah seruan abadi yang memastikan bahwa fondasi peradaban dan moralitas umat manusia harus dibangun di atas satu pilar yang tidak akan pernah goyah: Keesaan Sang Pencipta, Pemelihara, dan Pemberi Rahmat.