Surah Al-Baqarah, ayat 165, adalah salah satu landasan teologis paling penting dalam memahami konsep Cinta (Al-Hubb) dalam Islam. Ayat ini bukan hanya sekadar peringatan tentang hukuman, melainkan sebuah peta jalan spiritual yang memisahkan antara kasih sayang yang benar, yang mengarah pada keselamatan abadi, dan kasih sayang yang sesat, yang berujung pada penyesalan yang tak terperikan.
Ayat ini berfungsi sebagai inti dari Tauhid Al-Uluhiyyah, yaitu pengesaan Allah dalam hal peribadatan dan kecintaan. Ayat ini mengajarkan bahwa dalam hierarki emosi dan devosi manusia, tidak ada satu pun objek, entitas, atau konsep yang boleh menempati posisi yang setara dengan pencipta alam semesta. Kegagalan memahami prioritas ini, menurut Al-Qur'an, adalah akar dari semua penyimpangan spiritual dan moral.
Ayat ini secara jelas membagi manusia menjadi dua kelompok utama, yang didasarkan pada orientasi kasih sayang mereka. Kelompok pertama adalah mereka yang mengambil 'Andād' (tandingan-tandingan), mencintai mereka dengan intensitas yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi Allah. Kelompok kedua adalah orang-orang yang beriman, yang menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya, dengan kadar cinta yang jauh lebih dahsyat dan mendalam (asyaddu hubban).
Kata Andād (bentuk jamak dari Nidd) secara harfiah berarti 'yang setara', 'yang menyerupai', atau 'yang menjadi tandingan'. Dalam konteks teologis, mengambil Andād selain Allah adalah esensi dari kesyirikan (syirik).
Para mufasir menjelaskan bahwa Andād tidak selalu berbentuk patung atau berhala fisik. Dalam konteks modern, Andād mencakup segala sesuatu yang dipertuhankan, baik secara sadar maupun tidak sadar, dan yang menuntut devosi serta kepatuhan yang seharusnya mutlak hanya untuk Allah. Ini bisa meliputi:
Intinya, tandingan muncul ketika cinta, ketaatan, harapan, dan ketakutan yang bersifat absolut diarahkan kepada selain Allah. Tindakan ini adalah zalim terbesar, karena ia merampas hak Allah yang paling fundamental.
Kontras utama dalam ayat ini terletak pada frase "wa alladzīna āmanū asyaddu hubban lillah" (dan orang-orang yang beriman itu lebih sangat cintanya kepada Allah). Kata Asyaddu berarti 'paling intens', 'paling kuat', atau 'paling dahsyat'. Ini menunjukkan bahwa cinta orang beriman bukanlah sekadar cinta, tetapi sebuah intensitas cinta yang melampaui segala bentuk cinta lainnya.
Cinta orang beriman memiliki ciri-ciri fundamental:
Jelas, ayat ini menuntut adanya monopoli spiritual. Allah SWT menuntut kecintaan total yang melampaui kecintaan kita pada anak, pasangan, orang tua, bahkan diri kita sendiri. Cinta kepada makhluk adalah cinta yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai cinta kepada Pencipta, bukan sebagai tujuan akhir.
Bagian kedua dari ayat 165 adalah peringatan keras dan gambaran mengerikan tentang konsekuensi dari cinta yang salah. Frase "Walaw yaralladzīna zhalamū idz yarawna al-'adzāba" (Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat siksa) mengandung makna penyesalan yang terlambat.
Ayat ini menyebut orang-orang yang mengambil tandingan sebagai "orang-orang yang berbuat zalim" (alladzīna zhalamū). Dalam terminologi Al-Qur'an, kezaliman terbesar adalah kesyirikan, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13). Kezaliman di sini adalah penempatan hak cipta (hak mutlak atas cinta dan ibadah) pada pihak yang salah.
Gambar 1: Realisasi Kekuatan Allah pada Hari Azab.
Penyesalan orang-orang musyrik tidak terjadi saat mereka masih di dunia, melainkan di Hari Kiamat, saat mereka secara fisik menyaksikan Al-'Adzāb (siksa) yang dijanjikan. Ini adalah realisasi yang datang terlambat dan bersifat traumatis. Segala objek cinta yang mereka agung-agungkan di dunia tiba-tiba lenyap kekuatannya. Dalam pandangan Ibn Katsir, jika saja mereka menyadari di dunia bahwa semua kekuatan adalah milik Allah (an-nal quwwata lillahi jamī‘an), mereka pasti akan menghentikan kesyirikan mereka.
Ayat ini menegaskan dua fakta absolut pada hari itu:
Untuk mencapai kedalaman pemahaman spiritual yang diminta oleh ayat ini, kita harus mengeksplorasi akar psikologis mengapa manusia memilih tandingan dan mengapa intensitas cinta kepada Allah harus melampaui segalanya.
Manusia secara naluriah mencari sumber kekuatan, keamanan, dan kebahagiaan abadi. Mereka yang gagal mengenal Allah secara benar sering kali mengalihkan kebutuhan ini kepada objek-objek duniawi yang lebih mudah dijangkau atau lebih kasat mata, seperti kekuasaan, harta, atau kekasih. Mereka mencintai tandingan karena mereka melihat manfaat atau kekuatan instan pada objek tersebut. Cinta ini adalah cinta yang didorong oleh kebutuhan egois dan rasa aman yang fana.
Misalnya, seorang yang mencintai harta dengan intensitas melebihi Allah akan merasa aman secara emosional hanya ketika hartanya berlipat ganda. Kehilangan harta baginya sama dengan kehilangan Tuhan. Sementara itu, seorang mukmin memahami bahwa hanya Allah yang Abadi dan Maha Kaya. Oleh karena itu, cinta kepada-Nya membawa kedamaian sejati, karena Dia tidak akan pernah hilang atau mengecewakan.
Siksaan (Azab) di Hari Kiamat bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga refleksi spiritual dari hati yang terikat pada kefanaan. Rasa sakit terbesar bagi orang musyrik adalah saat objek cinta mereka di dunia berlepas diri dari mereka (tema yang ditekankan dalam ayat-ayat berikutnya dari Al-Baqarah, 166-167). Kerugian ini adalah azab psikologis yang menguatkan azab fisik.
Penegasan bahwa orang beriman memiliki cinta yang paling dahsyat kepada Allah adalah pilar doktrin spiritual. Kekuatan cinta ini harus diterjemahkan ke dalam setiap aspek kehidupan. Cinta ini adalah sumber energi yang tak terbatas dan motivasi utama bagi ketaatan. Ini bukan sekadar sebuah klaim, melainkan sebuah kualitas yang memiliki manifestasi yang jelas.
Cinta yang superior kepada Allah terlihat dalam beberapa hal praktis:
Islam tidak melarang cinta kepada makhluk (pasangan, anak, orang tua, kekayaan), tetapi menetapkan hierarki yang ketat. Cinta kepada makhluk harus berfungsi sebagai cinta karena Allah (Hubb fillah) dan cinta di jalan Allah (Hubb fī sabīlillāh). Jika cinta kepada makhluk tersebut mengalihkan seseorang dari kewajiban kepada Allah, maka ia telah merosot menjadi cinta yang bersifat Andād dan perlu segera dikoreksi. Cinta makhluk haruslah subordinat; ia adalah ranting, sementara Allah adalah akar pohon tauhid.
Ayat 165 secara spesifik menyebut bahwa pada hari itu, mereka akan menyadari bahwa seluruh kekuatan adalah milik Allah (an-nal quwwata lillahi jamī‘an). Penekanan pada kata jamī‘an (semuanya/seluruhnya) adalah penegasan final tentang ketiadaan daya objek-objek yang mereka sembah.
Di dunia, manusia seringkali terpedaya oleh ilusi kekuatan. Mereka percaya bahwa uang dapat membeli segalanya, bahwa koneksi politik dapat melindungi mereka, atau bahwa ilmu pengetahuan manusia dapat mengatasi setiap masalah. Ketika Kiamat tiba, semua ilusi ini runtuh. Tidak ada lagi perlindungan dari pihak manapun; tidak ada tawar-menawar, tidak ada suap, dan tidak ada yang mampu berdiri melawan kehendak Allah.
Realisasi ini melahirkan penyesalan karena mereka menyadari bahwa mereka telah mencurahkan cinta, waktu, dan energi mereka kepada entitas yang, pada saat paling genting, sama sekali tidak berdaya. Mereka mencintai kelemahan, sementara mengabaikan Kekuatan Sejati.
Frasa shadīdu al-'adzāb (amat berat siksa-Nya) menggarisbawahi bahwa hukuman bagi kesyirikan—yaitu mengambil tandingan dalam cinta—adalah yang paling berat. Mengapa begitu berat? Karena ia adalah penghinaan terbesar terhadap Keagungan Tuhan. Syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika dibawa mati tanpa taubat (QS. An-Nisa: 48). Cinta yang salah ini telah merusak fondasi hubungan antara hamba dan Penciptanya, sehingga konsekuensinya pun bersifat final dan abadi.
Siksaan ini tidak hanya merujuk pada panasnya api neraka, tetapi juga pada rasa malu, penyesalan, dan kehinaan spiritual abadi yang dialami oleh para pelaku kezaliman (syirik) ini, saat mereka melihat kemuliaan dan keindahan yang dinikmati oleh orang-orang yang mencintai Allah secara benar.
Meskipun ayat 165 utamanya bersifat teologis dan spiritual, dampaknya merembes ke dalam struktur sosial dan politik masyarakat. Ketika cinta diarahkan secara keliru, masyarakat akan menjadi korup dan rentan terhadap tirani.
Ketika sekelompok orang mencintai seorang pemimpin atau ideologi (tandingan) seperti mereka mencintai Allah, mereka akan memberikan ketaatan mutlak (hubb ka-hubbillah). Ketaatan ini menghilangkan nalar kritis dan kepatuhan terhadap standar ilahiah.
Seorang mukmin yang cintanya asyaddu hubban lillah hanya akan mengikuti pemimpin selama pemimpin tersebut mematuhi Allah. Jika pemimpin menyimpang, cinta kepada Allah menuntut adanya koreksi atau penolakan. Cinta yang benar menjamin keadilan sosial, sementara cinta yang salah menjamin kepatuhan buta yang mengarah pada penindasan dan kebobrokan moral.
Masyarakat yang orientasi cintanya materialistis (mencintai uang, status, dan kesenangan fisik sebagai tujuan akhir) akan menghasilkan individu yang hampa secara spiritual. Cinta mereka rapuh. Ketika krisis datang, ikatan sosial akan mudah putus, karena dasar cinta mereka adalah manfaat timbal balik yang fana, bukan ketaatan pada nilai-nilai yang kekal.
Gambar 2: Arah Cinta Hakiki.
Hanya cinta yang asyaddu hubban lillah yang dapat menghasilkan persaudaraan sejati, karena ia berakar pada tujuan Ilahiah, yang melampaui kepentingan duniawi semata. Inilah yang mendasari kekuatan komunitas Muslim awal.
Pertanyaan yang mendasar adalah: mengapa Allah menuntut intensitas cinta yang paling dahsyat (Asyaddu Hubban)? Jawabannya terletak pada kesempurnaan dan kesucian sifat-sifat-Nya.
Objek cinta yang fana (harta, kedudukan, manusia) adalah makhluk yang penuh kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Cinta yang kita berikan harus sebanding dengan nilai objek tersebut. Allah SWT adalah Al-Khaliq (Sang Pencipta), Al-Malik (Sang Raja), Al-Quddus (Yang Maha Suci). Tidak ada kekurangan sedikit pun pada-Nya. Oleh karena itu, cinta yang diberikan kepada-Nya haruslah sempurna, tanpa cacat, dan melampaui segala perbandingan. Memberikan cinta yang setara dengan makhluk adalah pelecehan terhadap keagungan-Nya.
Cinta kepada tandingan selalu membawa risiko penyesalan. Mereka mungkin meninggalkan kita, menipu kita, atau mati. Cinta kepada Allah adalah satu-satunya investasi emosional yang menjanjikan keuntungan abadi dan kepastian. Allah adalah Al-Wadud (Yang Maha Mencintai) dan janji-Nya pasti. Intensitas cinta yang paling dahsyat inilah yang memungkinkan hati mencapai thuma'ninah (ketenangan hakiki), karena ia bersandar pada Sandaran yang tidak akan pernah goyah.
Ulama-ulama Tasawuf sering membahas tingkatan cinta (mahabbah). Cinta sejati yang dimaksud dalam Al-Baqarah 165 adalah cinta yang menguasai seluruh indra, pikiran, dan tindakan seseorang, menjadikan tujuan hidupnya semata-mata mencari keridhaan-Nya. Cinta ini mengubah kewajiban (seperti shalat dan zakat) menjadi kebutuhan spiritual yang menyenangkan.
Bagaimana seorang Muslim dapat mengevaluasi apakah cintanya kepada Allah telah mencapai level Asyaddu Hubban?
Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan antara kemudahan duniawi dan ketaatan kepada Allah. Misalnya, ketika panggilan shalat datang saat kita sedang sibuk dengan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, pilihan kita dalam momen itu adalah termometer yang mengukur intensitas cinta kita. Apakah kita menunda Allah demi pekerjaan? Jika ya, pekerjaan tersebut telah mengambil posisi sebagai Andād.
Ketika perintah Allah menuntut pengorbanan harta, waktu, atau kenyamanan (seperti berpuasa di hari yang panas atau menyumbang di saat kita sendiri butuh), kesediaan untuk mengorbankan hal-hal yang dicintai di jalan-Nya adalah bukti nyata dari cinta yang paling dahsyat. Cinta kepada Allah menuntut pembuktian nyata (QS. Ali Imran: 31).
Ayat ini menunjukkan bahwa cinta bukanlah klaim emosional kosong, melainkan sebuah kontrak ketaatan. Mengikuti Rasulullah SAW adalah jalan untuk membuktikan bahwa cinta kita kepada Allah adalah yang paling dahsyat.
Ayat 165 adalah bagian dari rangkaian ayat yang membahas tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta (ayat 164) dan diikuti oleh gambaran kehancuran hubungan di Hari Kiamat (ayat 166 dan 167).
Ayat 164 merinci keajaiban penciptaan—pergantian malam dan siang, kapal di lautan, awan yang membawa hujan. Semua ini adalah bukti nyata akan Kekuatan dan Kemurahan Allah (Al-Qowiyy dan Ar-Rahman). Orang yang cerdas harusnya melihat keagungan ini dan secara otomatis mengarahkan seluruh cintanya kepada sumber keagungan tersebut. Mencintai tandingan setelah melihat semua bukti ini adalah tindakan yang sangat tidak logis dan zalim.
Ayat 165 berfungsi sebagai jembatan menuju gambaran Hari Kiamat. Konsekuensi dari mengambil Andād diperjelas dalam ayat 166: "Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti..."
Ini adalah klimaks dari penyesalan. Ketika azab terlihat (seperti yang disebutkan di ayat 165), orang-orang yang zalim itu akan mencari pertolongan pada tandingan mereka, tetapi mereka akan menemukan bahwa tandingan tersebut berlepas diri dan menolak tanggung jawab. Cinta yang dulu diberikan kini berubah menjadi permusuhan abadi, menggenapi janji bahwa kekuatan sejati hanya milik Allah.
Realitas azab dalam ayat 165 adalah realitas keterputusan total. Tidak ada lagi koneksi, tidak ada lagi kasih sayang. Semua ikatan yang dibangun atas dasar selain cinta kepada Allah akan putus dan menjadi bumerang yang menyakitkan. Kontrasnya, ikatan antar mukmin yang didasarkan pada cinta kepada Allah akan semakin erat.
Mencapai level cinta yang paling dahsyat kepada Allah bukanlah hasil dari meditasi pasif, tetapi melalui serangkaian tindakan spiritual yang konsisten dan terencana. Ini adalah sebuah jihad (perjuangan) melawan hawa nafsu dan bisikan syaitan.
Seseorang tidak akan mencintai seseorang yang tidak dikenalnya. Cinta yang paling dahsyat lahir dari pengetahuan yang paling mendalam. Merenungkan Asmaul Husna—Nama-nama Indah Allah—adalah cara untuk memahami mengapa Dia layak mendapatkan seluruh cinta kita. Ketika kita merenungkan Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), kita menyadari bahwa mencari rezeki dari manusia adalah kebodohan, dan kecintaan pada uang harus subordinat. Ketika kita merenungkan Al-Ghafur (Maha Pengampun), kita merasa malu dan rindu untuk bertaubat kepada-Nya.
Jika cinta yang keliru berakar pada lingkungan atau objek tertentu (misalnya, terlalu banyak menghabiskan waktu dalam hiburan yang melalaikan), maka langkah praktis adalah mengurangi keterikatan tersebut. Hijrah spiritual berarti menjauhi hal-hal yang berpotensi menjadi tandingan dalam hati kita.
Cinta yang dahsyat dipertahankan melalui ketaatan yang konsisten, terutama ibadah sunnah yang mendekatkan hamba. Qiyamul Lail (shalat malam) dan tilawah Al-Qur'an adalah sarana ampuh untuk memperkuat ikatan cinta, karena ia merupakan waktu yang sunyi di mana hati berinteraksi langsung dengan Sang Pencipta.
Surah Al-Baqarah ayat 165 adalah sebuah pengingat abadi bahwa kehidupan dunia adalah sebuah ujian besar atas orientasi cinta kita. Ayat ini membedakan secara tajam antara kebahagiaan sejati dan ilusi kenyamanan duniawi. Kehidupan kita akan dipenuhi dengan kekecewaan dan penyesalan jika kita menyamakan kelemahan dengan Kekuatan Mutlak. Sebaliknya, kehidupan akan dipenuhi dengan ketenangan, kemuliaan, dan keselamatan jika kita menempatkan Allah di posisi tertinggi dalam hierarki hati.
Tuntutan asyaddu hubban lillah bukan bertujuan untuk memberatkan, melainkan untuk melindungi manusia dari kehampaan abadi. Allah SWT, dengan rahmat-Nya, menunjukkan jalan agar kita tidak terjerumus ke dalam kezaliman terbesar. Realitas azab yang digambarkan dalam ayat ini adalah motivasi terakhir bagi setiap jiwa yang lalai untuk segera mengoreksi arah kiblat hatinya.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang beriman, yang mencintai Allah dengan cinta yang paling dahsyat, sehingga di Hari Kiamat, saat kezaliman para musyrik terlihat jelas, kita termasuk yang berbahagia menyaksikan janji kebenaran dan kekuatan Allah yang sempurna.