Mukadimah: Ujian Sebagai Sunnatullah
Surah Al-Baqarah, sebagai surah terpanjang dalam Al-Qur'an, tidak hanya menetapkan kerangka hukum dan fiqih, tetapi juga membingkai prinsip-prinsip fundamental akidah dan moralitas. Di tengah rangkaian ayat yang membahas jihad, ibadah, dan hubungan sosial, muncul serangkaian ayat, dimulai dari ayat 153 hingga 157, yang secara spesifik menangani topik paling esensial dalam eksistensi manusia: cobaan, musibah, dan respons yang benar terhadapnya.
Ayat 156, meskipun singkat dalam redaksinya, adalah inti dari respons spiritual yang sempurna. Ia adalah deklarasi ketundukan total, sebuah pengakuan tauhid yang menggetarkan. Ayat ini bukan sekadar kalimat yang diucapkan saat kematian; ia adalah filosofi hidup yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri, adalah milik Dzat Yang Maha Abadi, dan oleh karena itu, kepulangan kita kepada-Nya adalah keniscayaan yang harus disikapi dengan penerimaan penuh hikmah.
Untuk memahami kedalaman ayat 156, kita harus melihatnya dalam konteks ayat sebelumnya. Ayat 155 telah secara jelas menggariskan jenis-jenis ujian yang pasti akan dialami manusia: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Ujian-ujian ini bersifat universal, melintasi batas geografis dan waktu. Lantas, bagaimana seharusnya seorang mukmin merespons ketika badai kehidupan menerpa? Jawabannya tersemat jelas dalam firman mulia ini.
Ayat 156: Teks, Makna, dan Istirja'
Analisis Linguistik dan Teologi Kalimat Istirja'
Istilah "Istirja'" (استرجاع) merujuk pada tindakan mengucapkan kalimat ini. Analisis per kata memberikan kedalaman teologis yang luar biasa:
1. إِنَّا لِلَّهِ (Innā lillāhi): Sesungguhnya Kami Milik Allah
Kata pertama ini adalah pengakuan atas Tauhid Rububiyyah (Keesaan Allah dalam kepemilikan dan penciptaan). Kata 'Innā' (Sesungguhnya kami) mencakup totalitas keberadaan manusia, baik jiwa, raga, maupun segala yang ada di sekitarnya. 'Lillāh' (Milik Allah) menegaskan kepemilikan mutlak. Musibah, dalam perspektif ini, bukanlah kehilangan, melainkan hanya pemindahan kepemilikan dari satu tangan (kita sebagai pemegang amanah) kembali ke Pemilik Sejati (Allah SWT).
Pilar kepemilikan mutlak ini menghancurkan akar kesedihan yang berlebihan. Bagaimana mungkin kita bersedih atas hilangnya sesuatu yang sejak awal bukan milik kita? Harta, jabatan, bahkan nyawa adalah pinjaman. Ketika masa pinjaman berakhir, kita tidak marah kepada pemberi pinjaman, melainkan bersyukur atas waktu yang telah diberikan untuk memanfaatkannya.
2. وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (Wa innā ilaihi rāji‘ūn): Dan Sesungguhnya Hanya Kepada-Nyalah Kami Kembali
Bagian kedua ini berfokus pada Tauhid Uluhiyyah (Keesaan Allah dalam tujuan akhir). Kata 'Rāji‘ūn' (kembali) tidak hanya berarti kembali setelah kematian, tetapi juga merujuk pada kepulangan dalam segala aspek kehidupan. Setiap usaha, setiap air mata, setiap rintihan, pada akhirnya akan kembali kepada Dzat yang akan menghitung dan membalasnya.
Pengakuan ini memberikan motivasi yang sangat kuat. Jika kita tahu bahwa kita akan kembali, maka fokus kita akan beralih dari penderitaan sementara di dunia menuju balasan yang abadi di akhirat. Ini adalah janji yang menguatkan: musibah adalah stasiun transit, bukan tujuan akhir. Kepulangan tersebut menjanjikan keadilan mutlak; setiap kerugian akan diganti, setiap penderitaan akan dihapus, asalkan diiringi dengan kesabaran yang tulus.
Konteks Musibah dalam Al-Baqarah 155: Rincian Ujian Kehidupan
Untuk menghayati makna Istirja' sepenuhnya, kita harus kembali merenungkan lima jenis ujian yang disebutkan dalam ayat 155. Ayat 156 adalah respons langsung terhadap skenario yang digambarkan pada ayat sebelumnya. Pengujian ini dirancang untuk memilah siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang goyah.
1. Ujian Ketakutan (الخوف - Al-Khauf)
Ini adalah ujian yang berkaitan dengan ancaman terhadap stabilitas keamanan, baik itu ketakutan akan musuh, ancaman kesehatan global, maupun ketidakpastian masa depan. Ketakutan menguji sejauh mana tawakkal (ketergantungan) seseorang kepada Allah. Orang yang sabar dan mengucapkan Istirja' mengakui bahwa keamanan sejati hanya milik Allah, dan hanya Dialah Pelindung yang sesungguhnya.
2. Ujian Kelaparan (الجوع - Al-Juu’)
Ujian ini berkaitan dengan kebutuhan primer dan ketahanan fisik. Kelaparan menguji kesabaran dan keikhlasan dalam beribadah, karena dalam kondisi sulit, seringkali manusia menjadi mudah mengeluh dan menyalahkan takdir. Orang yang sabar akan memahami bahwa rezeki datang dari Allah, dan ujian kelaparan adalah cara untuk meningkatkan ketakwaan dan empati terhadap sesama.
3. Kekurangan Harta (نَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ - Naqshim Minal Amwaal)
Ini mencakup kerugian finansial, kemerosotan bisnis, atau bencana alam yang merusak aset. Ujian harta menguji sejauh mana hati seseorang terikat pada kekayaan duniawi. Bagi orang yang mengucapkan Istirja', harta adalah fana. Kerugian finansial dianggap sebagai pengurangan beban pertanggungjawaban di akhirat, dan sebagai pengingat bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa.
4. Kekurangan Jiwa (وَٱلْأَنفُسِ - Wal Anfus)
Ini adalah ujian terberat, yaitu kehilangan orang-orang tercinta: kematian anak, pasangan, kerabat, atau teman dekat. Kehilangan jiwa mengguncang fondasi emosional dan spiritual seseorang. Dalam menghadapi kematian, Istirja' menjadi obat penenang utama. Ini mengingatkan bahwa setiap jiwa telah ditetapkan batas waktunya, dan bahwa kita semua akan berkumpul kembali di sisi-Nya, mengganti rasa sakit perpisahan sementara dengan harapan reuni abadi.
5. Kekurangan Buah-buahan (وَالثَّمَرَاتِ - Wats Tsamaraat)
Secara literal, ini berarti kegagalan panen atau hasil bumi. Secara luas, ini melambangkan kegagalan dalam mencapai tujuan dan hasil dari usaha keras. Kegagalan bisnis, karir yang mandek, atau harapan yang pupus, termasuk dalam kategori ini. Istirja' mengajarkan bahwa hasil adalah hak mutlak Allah. Tugas manusia adalah berikhtiar; jika hasil tidak sesuai harapan, itu adalah kehendak-Nya yang di dalamnya pasti terdapat hikmah yang lebih besar.
Ash-Shabirin: Definisi dan Karakteristik Orang yang Sabar
Ayat 155 ditutup dengan janji: "Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (al-Shabirin)." Ayat 156 kemudian mendefinisikan siapa sebenarnya Al-Shabirin itu. Mereka bukanlah orang yang tidak merasakan sakit, melainkan orang yang memiliki mekanisme respons yang benar ketika musibah melanda.
Shabr: Penahanan Diri dan Kontrol Diri
Secara bahasa, *Shabr* (Kesabaran) berarti menahan atau mengendalikan diri (*habs an-nafs*). Kesabaran dalam Islam jauh lebih luas daripada sekadar menanti. Ia adalah kekuatan jiwa yang menahan lidah dari keluh kesah, anggota badan dari perbuatan yang dilarang (merobek pakaian, menampar pipi), dan hati dari rasa putus asa atau protes terhadap takdir.
Tiga Dimensi Kesabaran (Shabr):
- Sabar dalam Ketaatan (Shabr 'alal Tha'ah): Menahan diri untuk terus melakukan ibadah meskipun terasa berat, seperti bangun malam untuk Tahajjud atau berpuasa di hari yang panjang dan panas.
- Sabar Menghindari Kemaksiatan (Shabr 'anil Ma'shiyah): Menahan diri dari godaan hawa nafsu dan bisikan syaitan. Ini membutuhkan pengendalian diri yang paling tinggi.
- Sabar dalam Menghadapi Musibah (Shabr 'alal Bala'): Inilah konteks utama Ayat 156. Ini adalah kesabaran yang diwujudkan dengan menerima takdir tanpa penolakan, tanpa keluhan yang menunjukkan ketidakridhaan.
Kesabaran yang Diterima: Sabrun Jamil
Para ulama tafsir membedakan antara kesabaran biasa dan *Sabrun Jamil* (Kesabaran yang indah). Sabrun Jamil adalah kesabaran yang tanpa keluhan sama sekali, bahkan tidak kepada orang terdekat. Ketika seseorang ditimpa musibah, kesabarannya dinilai pada saat pertama musibah itu datang (*'inda shokmatil ula*). Reaksi spontan dalam hati dan lisanlah yang menentukan apakah seseorang termasuk *Ash-Shabirin* yang dijanjikan dalam ayat 156.
Orang yang mengucapkan Istirja' segera setelah musibah adalah perwujudan dari Sabrun Jamil, karena ia langsung menyerahkan urusannya kepada Allah, memindahkan fokus dari kerugian materi duniawi menuju pahala dan ganti rugi yang abadi dari Sang Pemilik Segala Sesuatu.
Ilustrasi simbolis dari Ash-Shabirin, mereka yang mengamalkan prinsip Al-Baqarah 156.
Pembedaan antara Sabar dan Kepasrahan Fatalistik
Penting untuk dicatat bahwa kesabaran Islam bukanlah kepasrahan fatalistik yang menolak usaha. Sabar harus didahului oleh ikhtiar maksimal. Jika seseorang ditimpa penyakit, kesabaran adalah bagian dari proses pengobatan, bukan alasan untuk menolak pengobatan. Jika terjadi kerugian harta, kesabaran adalah motivasi untuk bangkit dan memperbaiki usaha, bukan alasan untuk menyerah dalam kemiskinan.
Istirja' dalam konteks ini adalah pengakuan bahwa meskipun upaya kita telah maksimal, hasil akhirnya adalah ketetapan ilahi. Ini membebaskan kita dari beban perasaan bersalah atau penyesalan yang mendalam atas hal-hal yang berada di luar kendali manusia.
Balasan Agung bagi Ash-Shabirin: Ayat 157
Ayat 157 adalah puncak dari janji Allah kepada orang-orang yang mengamalkan Istirja' di tengah musibah. Ini memberikan gambaran yang jelas mengenai imbalan spiritual yang jauh melebihi kerugian materi duniawi.
أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ
"Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 157)
1. Shalawat (Ammpunan dan Pujian) dari Allah
Imbalan pertama adalah *Shalawat* dari Tuhan mereka. Ketika kata shalawat (salawat) dinisbatkan kepada Allah, maknanya adalah pujian, ampunan, dan sanjungan di hadapan para malaikat. Ini adalah penghormatan tertinggi. Bayangkan, di saat manusia sedang remuk redam karena kehilangan dunia, Allah memuji dan membersihkan dosa-dosanya.
Shalawat Allah ini memiliki nilai yang tak terhingga. Dosa-dosa yang mungkin dilakukan sebelum musibah diampuni, dan derajat di surga diangkat. Musibah, jika dihadapi dengan Istirja', berubah menjadi proses pencucian jiwa dan peningkatan status spiritual.
2. Rahmat (Kasih Sayang) dari Allah
Rahmat adalah inti dari hubungan hamba dan Tuhannya. Rahmat Allah mencakup segala kebaikan di dunia dan akhirat. Dalam konteks musibah, rahmat berarti Allah tidak meninggalkan hamba-Nya sendirian dalam kesedihan. Rahmat di sini adalah penggantian yang lebih baik, kemudahan setelah kesulitan, dan ketenangan batin yang sejati.
Kesabaran memastikan bahwa hamba tersebut tetap berada dalam lingkaran kasih sayang Allah, tidak terputus oleh keluh kesah atau protes. Rahmat ini berfungsi sebagai selimut penenang yang melindungi hati dari keputusasaan yang bisa merusak iman.
3. Mendapat Petunjuk (Al-Muhtadūn)
Imbalan spiritual terakhir, dan mungkin yang paling penting, adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Petunjuk (Hidayah) di sini memiliki dua makna penting:
- Petunjuk saat Musibah: Petunjuk untuk tahu bagaimana harus bersikap, menuntun lisan mengucapkan Istirja', dan menuntun hati untuk ridha.
- Petunjuk menuju Surga: Petunjuk yang mengarahkan mereka ke jalan yang benar di dunia dan mengantarkan mereka pada keselamatan abadi di akhirat.
Sabar adalah bukti hidayah yang telah meresap ke dalam jiwa. Hanya orang yang dipandu oleh cahaya iman yang mampu melihat musibah bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai jalan pintas menuju keridhaan dan surga.
Filosofi Kepemilikan Mutlak dan Kepulangan Abadi
Inti dari Al-Baqarah 156 adalah pengakuan atas filsafat kosmik bahwa segala sesuatu bersifat fana dan sementara, sementara Allah bersifat abadi (*Al-Baqa'*).
Konsep Fana' dan Baqa'
Dunia ini diciptakan dengan sifat *fana* (mudah rusak, sementara). Kekayaan, kesehatan, masa muda, dan hubungan adalah entitas yang rentan terhadap perubahan dan kehilangan. Sebaliknya, Allah adalah *Al-Baqa'*. Ketika kita mengucapkan "Innā lillāhi," kita menyelaraskan diri dengan realitas kosmik ini. Kita mengakui bahwa hanya Dia yang kekal, dan kita sebagai ciptaan, harus rela kembali kepada Sumber Kekekalan.
Filosofi ini mengajarkan pembebasan. Keterikatan yang kuat pada hal-hal fana adalah sumber utama penderitaan manusia. Istirja' adalah proses pelepasan ikatan; ia membebaskan jiwa dari penjara ketergantungan pada materi, mengalihkan ketergantungan total kepada Allah SWT.
Dampak Psikologis Istirja'
Secara psikologis, pengucapan Istirja' berfungsi sebagai mekanisme pertahanan spiritual yang sangat efektif. Ketika musibah terjadi, otak manusia cenderung merespons dengan syok, marah, atau penolakan. Istirja' mengintervensi respons emosional tersebut dengan sebuah pernyataan logis yang didasarkan pada iman:
- Mengurangi Penyesalan: Karena semua adalah milik Allah, kita tidak perlu menyesali keputusan atau tindakan yang telah berlalu, sebab hasilnya telah ditetapkan oleh-Nya.
- Fokus pada Tugas: Istirja' mengembalikan fokus pada tugas kita sebagai hamba Allah, yaitu beribadah dan bersabar, daripada berkutat pada kerugian.
- Meningkatkan Ketenangan (Sakīnah): Dengan menyerahkan kepemilikan kepada Allah, hati akan dipenuhi dengan ketenangan (sakīnah), mengetahui bahwa urusan diatur oleh Dzat Yang Maha Bijaksana.
Istirja' mengubah narasi musibah. Musibah bukan lagi akhir dari segalanya, melainkan awal dari proses pembersihan diri dan pemanenan pahala. Ini adalah pernyataan harapan di tengah keputusasaan.
Penerapan Praktis Ayat 156 dalam Kehidupan Sehari-hari
Istirja' tidak hanya berlaku untuk musibah besar seperti kematian, tetapi harus diterapkan pada setiap kehilangan, betapa pun kecilnya. Para ulama mengajarkan bahwa kita dianjurkan untuk mengucapkan Istirja' saat terjadi hal-hal berikut:
1. Kehilangan Materi dan Kegagalan Bisnis
Ketika dompet hilang, terjadi kebakaran, atau investasi mengalami kerugian besar, Istirja' adalah pengingat bahwa harta adalah alat, bukan tujuan. Mengucapkan Istirja' saat kerugian kecil melatih jiwa untuk bersiap menghadapi kerugian yang lebih besar. Ini adalah investasi jangka panjang dalam kesabaran.
2. Sakit dan Kehilangan Kesehatan
Kesehatan adalah salah satu pinjaman Allah yang paling berharga. Ketika sakit menyerang, Istirja' mengajarkan bahwa tubuh kita adalah milik-Nya, dan penyakit adalah ujian untuk menghapus dosa. Kesabaran dalam menanggung rasa sakit adalah ibadah yang dapat menggugurkan dosa-dosa seperti dedaunan di musim gugur.
3. Kehilangan Harapan dan Hubungan Sosial
Musibah bisa berupa kekecewaan mendalam terhadap seseorang, putusnya hubungan, atau pengkhianatan. Dalam situasi ini, mengucapkan Istirja' berarti melepaskan hak kepemilikan atas ekspektasi kita terhadap manusia, dan menyadarkan bahwa kesempurnaan hanya milik Allah. Kekecewaan terhadap manusia harus dikembalikan kepada keadilan Allah.
4. Kesadaran Diri dan Muhasabah
Bahkan ketika seseorang lupa melakukan ibadah, berbuat dosa, atau lalai dalam tanggung jawab, mengucapkan Istirja' adalah bentuk muhasabah (introspeksi). Ia mengingatkan bahwa waktu yang terlewat adalah milik Allah dan kita harus segera kembali kepada-Nya melalui taubat dan perbaikan diri.
Fungsi Istirja' sebagai Pendidik Jiwa
Istirja' adalah pendidikan berkelanjutan bagi jiwa yang mengajarkan tiga pelajaran fundamental:
- Pengakuan Keterbatasan: Manusia memiliki batas; kita tidak dapat mengontrol segalanya.
- Ridha pada Ketetapan: Menerima dengan lapang dada apa pun yang telah digariskan.
- Orientasi Akhirat: Mengalihkan energi dari ratapan dunia menuju persiapan untuk Hari Kepulangan.
Kedalaman Tauhid dalam Istirja': Kepemilikan dan Kehendak Mutlak
Istirja' adalah manifestasi paling murni dari Tauhid. Ayat ini menguatkan tiga dimensi Tauhid secara bersamaan, membentuk benteng pertahanan spiritual yang tak tertembus.
Tauhid Rububiyyah dan Kekuasaan Penuh
Ketika kita menyatakan "Innā lillāhi" (Kami milik Allah), kita menegaskan bahwa Allah adalah Rabb, Pemilik, Pengatur, dan Pencipta segala sesuatu. Ini mencakup kesadaran bahwa Allah memiliki hak prerogatif untuk mengambil kembali apa yang Dia pinjamkan kapan pun Dia kehendaki. Jika seorang hamba benar-benar memahami Tauhid Rububiyyah, ia tidak akan pernah mempertanyakan kebijakan atau ketetapan Tuhannya, bahkan ketika ketetapan itu menyakitkan.
Musibah adalah alat yang digunakan oleh Tauhid Rububiyyah untuk menguji sejauh mana pengakuan hamba terhadap kekuasaan mutlak ini. Protes, keluhan berlebihan, atau penolakan takdir adalah cacat dalam pengakuan Tauhid Rububiyyah.
Tauhid Uluhiyyah dan Tujuan Akhir
Pernyataan "Wa innā ilaihi rāji‘ūn" (Dan hanya kepada-Nya kami kembali) adalah inti dari Tauhid Uluhiyyah. Jika kita kembali kepada-Nya, maka tujuan hidup kita, ibadah kita, dan segala upaya kita harus hanya tertuju kepada-Nya. Kepulangan ini adalah janji pertemuan yang indah bagi orang yang sabar.
Konsep kepulangan ini memisahkan seorang mukmin dari pandangan dunia sekuler yang melihat kematian sebagai akhir tragis. Bagi mukmin, kematian adalah gerbang menuju Pemilik Sejati, dan musibah adalah biaya masuk yang harus dibayar untuk memurnikan diri sebelum pertemuan tersebut.
Tauhid Asma wa Sifat dan Keyakinan pada Nama-Nama Allah
Istirja' tidak akan efektif tanpa keyakinan penuh pada Asmaul Husna. Ketika menghadapi musibah, kita meyakini nama-nama Allah seperti:
- Al-Hakim (Maha Bijaksana): Meyakini bahwa ada hikmah di balik musibah, meskipun akal kita tidak dapat menjangkaunya.
- Al-Adl (Maha Adil): Meyakini bahwa kerugian di dunia akan diganti dengan keadilan yang sempurna di akhirat.
- Al-Wadud (Maha Mencintai): Meyakini bahwa musibah adalah bentuk kasih sayang, ujian untuk meningkatkan derajat, atau penebus dosa.
Dengan meyakini sifat-sifat ini, hati menjadi tenang. Musibah bukanlah tindakan sewenang-wenang, melainkan tindakan dari Dzat Yang Maha Sempurna dalam segala sifat-Nya.
Memperdalam Makna Kesabaran: Sabar, Syukur, dan Ridha
Dalam perjalanan spiritual yang diisyaratkan oleh Al-Baqarah 156, kesabaran tidak berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan konsep ridha (kerelaan) dan syukur (terima kasih).
Hubungan antara Sabar dan Syukur
Para ulama menyatakan bahwa kehidupan mukmin adalah perpaduan antara sabar dan syukur. Sabar dibutuhkan ketika terjadi musibah; syukur dibutuhkan ketika mendapatkan nikmat. Namun, pada level spiritual tertinggi, sabar itu sendiri adalah bentuk syukur.
Bagaimana? Syukur diwujudkan dengan berterima kasih bahwa musibah tersebut:
- Tidak menimpa agama (iman tetap utuh).
- Tidak lebih besar daripada yang seharusnya (selalu ada yang lebih buruk).
- Menjadi jalan penghapus dosa dan peningkat derajat.
Dengan demikian, Ash-Shabirin adalah orang yang tetap mampu bersyukur dalam musibah, karena ia melihat musibah tersebut melalui lensa keimanan yang fokus pada balasan abadi.
Tingkatan Spiritual Ridha (Kerelaan)
Ridha adalah tingkatan yang lebih tinggi dari sabar. Sabar adalah menahan diri agar tidak protes. Ridha adalah menyambut ketetapan Allah dengan hati yang gembira, seolah-olah musibah itu adalah anugerah yang telah lama dinantikan.
Orang yang mencapai ridha sepenuhnya terhadap ayat 156 tidak hanya mengucapkan Istirja', tetapi jiwanya benar-benar lega dan menerima. Ia menyadari bahwa pilihan Allah atas dirinya (musibah) adalah pilihan yang terbaik, bahkan lebih baik daripada pilihan yang ia inginkan. Ridha adalah buah matang dari kesabaran yang tulus.
Pengucapan Istirja' adalah langkah pertama menuju ridha. Ia adalah deklarasi bahwa "Aku milik-Mu, ya Allah. Lakukanlah apa yang Engkau kehendaki atas milik-Mu." Ini adalah kebebasan tertinggi, melepaskan kendali pribadi yang seringkali menjadi sumber kegelisahan.
Musibah Sebagai Pemurnian dan Pelajaran Ilahi
Pola Al-Qur'an dalam menyajikan musibah (155) dan respons (156) menunjukkan bahwa ujian memiliki tujuan yang jelas, bukan sekadar siksaan tanpa arti.
1. Memurnikan Niat dan Iman
Kenyamanan hidup seringkali melenakan dan membuat ibadah terasa rutin. Musibah, seperti kehilangan harta atau kesehatan, memaksa hamba untuk kembali ke sumber daya utama: Allah. Ia memurnikan niat, memisahkan ibadah yang didasari kebiasaan dari ibadah yang didasari kebutuhan mendesak akan pertolongan Allah. Istirja' adalah penegasan bahwa ibadah dilakukan bukan untuk menjauhkan musibah, melainkan karena Allah adalah Tuhan yang layak disembah dalam kondisi apa pun.
2. Pelatihan Empati dan Kemanusiaan
Ujian kelaparan dan kekurangan harta (disebutkan dalam ayat 155) mengajarkan empati. Orang yang pernah kehilangan atau merasa takut akan memahami penderitaan orang lain. Dengan demikian, musibah bukan hanya urusan pribadi; ia adalah katalis sosial yang mendorong mukmin untuk saling membantu dan mengokohkan ikatan persaudaraan.
Ketika seorang mukmin mengucapkan Istirja', ia diingatkan bahwa musibah ini adalah bagian dari takdir yang juga dialami oleh banyak orang lain, memecahkan isolasi kesedihan, dan mendorongnya untuk mencari hikmah melalui interaksi dan solidaritas sosial.
3. Mengingat Hakikat Kematian
Kehilangan jiwa adalah pengingat paling tajam bahwa kita semua akan mati. Istirja' adalah latihan kematian yang konstan. Dengan sering mengucapkannya, kematian tidak lagi menjadi subjek yang menakutkan atau asing, tetapi menjadi bagian dari perjalanan yang disadari dan dipersiapkan. Ini mendorong manusia untuk beramal saleh selagi masih memiliki waktu pinjaman.
4. Penguatan Tawakkul
Tawakkul (berserah diri total) adalah hasil tertinggi dari pengamalan ayat 156. Setelah Istirja' diucapkan, tawakkul harus mengikutinya. Ini berarti menyerahkan sepenuhnya hasil dari usaha dan kesabaran kita kepada Allah. Tawakkul yang benar tidak menghilangkan kerja keras (ikhtiar), melainkan membebaskan hati dari keterikatan pada hasil tersebut. Inilah yang membedakan seorang mukmin yang teguh dari mereka yang mudah jatuh ke dalam jurang putus asa.
Transformasi Diri melalui Deklarasi Kepulangan
Surah Al-Baqarah ayat 156 bukanlah sekadar frasa belasungkawa, melainkan manual transformasi spiritual. Ia menawarkan jalan keluar dari keputusasaan duniawi menuju janji kemuliaan abadi. Ia mengubah pandangan kita tentang kepemilikan, waktu, dan tujuan.
Orang-orang yang sabar, yang terdefinisi oleh deklarasi Istirja', adalah mereka yang telah memenangkan peperangan batin melawan ego dan keterikatan dunia. Mereka telah memahami rahasia kehidupan: bahwa kita datang dari Allah, dan kita kembali kepada Allah. Musibah hanyalah alat ukur yang menilai kualitas perjalanan kita di antara kedua titik abadi tersebut.
Dengan menjadikan Istirja' sebagai pilar utama dalam merespons setiap gejolak kehidupan, seorang mukmin memastikan bahwa setiap detik musibahnya dihitung sebagai investasi pahala. Mereka memperoleh shalawat, rahmat, dan petunjuk, yang merupakan tiga hadiah ilahi yang jauh melampaui segala harta dan nyawa yang hilang di dunia ini. Inilah hakikat kemuliaan dan kemenangan sejati bagi *Ash-Shabirin*.
Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un.
Semoga kita termasuk dalam golongan yang senantiasa sabar dan mendapat kabar gembira dari-Nya.