Tafsir Mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 102: Harut, Marut, dan Bahaya Besar Sihir

I. Pengantar: Kedudukan Ayat 102 dalam Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah adalah surah terpanjang dalam Al-Qur’an, memuat pedoman hidup, hukum, kisah para nabi, serta sejarah Bani Israil. Dalam rangkaian ayat-ayat yang mengkritik keras penyimpangan dan penolakan Bani Israil terhadap kenabian Muhammad ﷺ, muncullah Ayat 102 yang fokus pada salah satu penyimpangan terburuk mereka: berpaling dari wahyu Allah dan lebih memilih ilmu sihir.

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan universal bagi umat Islam tentang bahaya ilmu hitam dan segala bentuk praktik sihir yang menyesatkan. Ia membuka tabir sejarah kelam di mana Bani Israil, setelah menyaksikan mukjizat Nabi Sulaiman *‘alaihis salam*, justru menuduhnya menggunakan sihir dan mengikuti ajaran-ajaran sesat yang mereka temukan dalam catatan-catatan tua. Peringatan ini sangat relevan, menyoroti garis tipis antara pengetahuan yang bermanfaat (hikmah) dan ilmu yang mencelakakan (sihr).

Kisah yang terangkum dalam ayat ini adalah sebuah tragedi spiritual, yang menunjukkan bagaimana sebuah komunitas yang seharusnya memegang teguh perjanjian dengan Allah justru terjerumus ke dalam kekufuran akibat mengejar kekuasaan duniawi melalui cara-cara yang dilarang. Kekufuran ini tidak hanya terbatas pada penolakan Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga penodaan terhadap warisan kenabian sebelumnya, khususnya Nabi Sulaiman *‘alaihis salam*, yang mereka anggap sebagai penyihir, bukan seorang nabi yang diberkahi.

II. Teks dan Terjemah Ayat Al-Baqarah 102

۞ وَٱتَّبَعُوا۟ مَا تَتْلُوا۟ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَٰنَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَٰنُ وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُوا۟ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحْرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيْنَ ٱلْمَرْءِ وَزَوْجِهِۦ ۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا۟ لَمَنِ ٱشْتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنْ خَلَٰقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا۟ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ

Terjemah Makna: Dan mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan Sulaiman itu mengerjakannya). Padahal Sulaiman tidak kafir, hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil (Babilonia) yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seseorang sebelum mengatakan, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kafir." Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu, (ilmu sihir) yang dapat memisahkan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat mencelakakan seseorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan mereka, dan tidak memberi manfaat. Sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (atau memilih) sihir itu, niscaya dia tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh, amat buruk (perbuatan) mereka menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.

III. Pembersihan Nama Nabi Sulaiman dan Tuduhan Kafir

A. Latar Belakang Tuduhan

Ayat 102 ini pertama-tama bertujuan untuk membersihkan nama agung Nabi Sulaiman *‘alaihis salam* dari fitnah keji yang dilemparkan oleh kaumnya, Bani Israil, terutama setelah mereka menemukan catatan-catatan sihir yang disebarkan oleh setan. Ketika Sulaiman wafat, setan-setan menyebarkan kabar bahwa kerajaan Sulaiman didirikan atas dasar sihir, bukan mukjizat kenabian. Mereka bahkan menyembunyikan tulisan-tulisan sihir di bawah singgasana Sulaiman, dan setelah ditemukan, orang-orang Bani Israil yang sudah condong pada kemaksiatan mempercayainya sebagai warisan sejati Sulaiman.

Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, "Padahal Sulaiman tidak kafir, hanya setan-setan itulah yang kafir." Pernyataan ini merupakan penegasan teologis yang sangat kuat. Seorang nabi, yang dipilih oleh Allah untuk memimpin manusia dan jin, mustahil menjadi kafir atau pelaku sihir, karena sihir adalah kekufuran atau setidaknya perbuatan yang sangat dekat dengan kekufuran (sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ulama). Kerajaan Sulaiman adalah manifestasi kekuasaan Ilahi, sedangkan sihir adalah campur tangan setan.

Kekufuran yang dimaksud di sini adalah kekufuran yang diwariskan dari pemahaman bahwa sihir adalah sumber kekuasaan. Setan-setan mengajarkan sihir kepada manusia dengan tujuan utama membuat manusia ingkar kepada Allah. Ini adalah inti dari agenda setan: menggantikan tauhid dengan praktik-praktik syirik dan magis. Mereka mengajarkan cara-cara untuk memanggil kekuatan selain Allah, untuk mengendalikan takdir, dan untuk melakukan kerusakan, semua bertentangan langsung dengan ajaran kenabian Sulaiman.

B. Kejatuhan Bani Israil ke Dalam Sihir

Setelah Sulaiman *‘alaihis salam* wafat, dan terutama setelah Kitab Taurat mulai dipalsukan atau diabaikan, Bani Israil dihadapkan pada kekosongan spiritual. Mereka mulai mencari jalan pintas menuju kekuasaan dan pemenuhan hawa nafsu. Di sinilah sihir yang disebarkan setan menemukan lahan subur. Mereka mengikuti "apa yang dibacakan oleh setan-setan"—yaitu, mantra-mantra, jampi-jampi, dan prosedur-prosedur magis yang didiktekan oleh jin dan setan. Praktik ini semakin menjamur di kalangan mereka hingga sihir dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang valid dan berharga, padahal itu adalah ilmu yang membawa kehancuran dan kekufuran. Ini menunjukkan dekadensi moral dan keagamaan yang ekstrem.

Para ulama tafsir klasik, seperti Ibn Kathir, mencatat bahwa Bani Israil sangat terobsesi dengan hal-hal ghaib dan praktik sihir. Mereka meninggalkan hukum-hukum Nabi Musa dan Sulaiman, dan lebih memilih catatan-catatan sihir yang dianggap 'ilmu terlarang' yang konon memberi mereka kekuatan atas elemen-elemen alam dan manusia. Ironisnya, mereka bahkan menggunakan sihir ini untuk membenarkan penolakan mereka terhadap Nabi Muhammad ﷺ, menuduhnya sebagai penyihir ketika ia menunjukkan mukjizat Al-Qur'an.

IV. Kisah Harut dan Marut: Ujian di Babilon

Ayat 102 tidak hanya berbicara tentang sihir yang diajarkan setan, tetapi juga menyebutkan "apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil (Babilonia) yaitu Harut dan Marut." Bagian ini memicu diskusi tafsir yang mendalam selama berabad-abad mengenai sifat kedua entitas ini dan tujuan penurunan ilmu sihir itu sendiri.

A. Babilonia Sebagai Pusat Ilmu Sihir

Babilonia (Babil) pada masa kuno dikenal sebagai pusat peradaban dan juga pusat astrologi, okultisme, dan berbagai bentuk sihir. Ini adalah tempat di mana manusia memiliki kehausan besar terhadap ilmu terlarang. Dalam konteks sejarah ini, Allah memilih tempat tersebut untuk menurunkan sebuah ujian unik.

B. Sifat dan Tugas Harut dan Marut

Mayoritas ulama tafsir berpendapat bahwa Harut dan Marut adalah dua malaikat yang diturunkan ke bumi dalam rupa manusia. Mereka diturunkan bukan untuk menyebarkan kekufuran, melainkan untuk sebuah tujuan pedagogis yang ekstrem: sebagai fitnah (ujian) bagi umat manusia.

Tugas utama mereka adalah mengajarkan bentuk-bentuk sihir, tetapi dengan prasyarat peringatan yang sangat jelas: "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), karena itu janganlah kamu kafir." Peringatan ini penting karena menunjukkan bahwa Allah telah menyediakan garis pemisah yang jelas antara pengetahuan dan pengamalan. Mengetahui tentang sihir (sebagai bagian dari ujian) berbeda dengan mengamalkannya (yang berujung pada kekufuran).

Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa izin Allah untuk mengajarkan sihir ini berfungsi sebagai ujian kesetiaan manusia. Manusia diberikan pilihan: menggunakan pengetahuan ini untuk kebaikan atau meninggalkannya karena takut akan hukuman Allah. Mereka yang memilih mempelajari dan mempraktikkannya, meskipun sudah diperingatkan, telah memilih kekufuran.

C. Perbedaan antara Ajaran Setan dan Ajaran Malaikat

Ada perbedaan mendasar antara sihir yang diajarkan oleh setan dan sihir yang 'diturunkan' kepada Harut dan Marut. Sihir yang diajarkan setan datang tanpa peringatan dan bertujuan murni untuk menyesatkan. Sementara ajaran Harut dan Marut datang dengan peringatan keras dan bertujuan untuk mengungkap sifat sihir sebagai suatu kekufuran, sehingga manusia dapat menghindarinya. Ini seperti seorang guru yang menjelaskan tentang racun: ia memberitahu komposisinya, tetapi melarang murid meminumnya. Sayangnya, banyak manusia yang gagal dalam ujian ini.

Sihir yang diajarkan oleh Harut dan Marut secara spesifik disebutkan sebagai sihir yang "dapat memisahkan antara seorang suami dengan istrinya." Ini menyoroti sifat destruktif sihir yang paling parah, yaitu merusak fondasi masyarakat terkecil: keluarga dan ikatan perkawinan. Kehancuran ikatan sakral ini menunjukkan betapa dalamnya dampak buruk sihir dalam kehidupan sosial dan spiritual manusia.

Penting untuk dicatat bahwa dalam Islam, sihir yang paling berbahaya sering kali melibatkan pemisahan, kebencian, atau sakit penyakit, yang semuanya bertujuan merusak ketentraman yang dianugerahkan Allah. Kejahatan ini mencapai puncaknya ketika digunakan untuk memecah belah cinta dan kasih sayang yang seharusnya menjadi lambang kekuasaan Allah (sebagaimana difirmankan dalam Surah Ar-Rum: 21).

V. Realitas Sihir dan Keterbatasannya

Bagian akhir ayat 102 memberikan tiga penegasan penting mengenai realitas sihir dan konsekuensi spiritualnya. Ketiga poin ini membentuk doktrin Islam mengenai sihir yang harus dipahami oleh setiap Muslim.

A. Kekuatan Sihir Terikat pada Izin Allah

Allah ﷻ berfirman, "Dan mereka (ahli sihir) itu tidak dapat mencelakakan seseorang pun kecuali dengan izin Allah."

Pernyataan ini adalah pilar tauhid (keesaan Allah) dalam menghadapi ketakutan terhadap sihir. Meskipun sihir itu nyata dan dapat menimbulkan kerugian (seperti penyakit atau perpisahan), ia bukanlah kekuatan independen. Ia hanyalah salah satu dari sekian banyak sebab-akibat yang telah diciptakan Allah. Tidak ada penyihir, jin, atau setan yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi takdir atau mencelakakan tanpa kehendak (Iradah) dan izin (Idzn) Allah. Ini adalah penenang bagi orang beriman: perlindungan sejati hanya dari Allah.

Keyakinan ini membedakan seorang Muslim dari mereka yang terjebak dalam mitos dan takhayul. Seorang Mukmin harus meyakini bahwa jika sihir menimpanya, itu adalah ujian dari Allah, dan hanya Allah yang dapat mencabut atau meringankan dampaknya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mencari perlindungan kepada dukun atau penyihir lainnya, karena itu berarti menggantungkan diri pada makhluk yang lemah, bukan pada Sang Pencipta.

B. Ilmu yang Membahayakan, Bukan Memberi Manfaat

Ayat tersebut melanjutkan, "Dan mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan mereka, dan tidak memberi manfaat."

Ini adalah penilaian tegas terhadap sihir. Meskipun secara dangkal sihir mungkin tampak memberi kekuasaan, kekayaan, atau pembalasan, pada intinya, sihir membawa kerugian yang jauh lebih besar, terutama bagi pelakunya sendiri. Kerugian terbesar adalah kerugian spiritual, yaitu kehilangan iman dan pahala di akhirat, dan kerugian duniawi berupa kegelisahan, ketergantungan pada setan, dan kehidupan yang penuh dosa.

Ilmu sihir adalah ilmu yang 'darar' (mencelakakan) dan tidak 'naf’u' (memberi manfaat). Manfaat yang terlihat hanyalah ilusi jangka pendek, sedangkan kerugiannya abadi. Ulama fiqih menekankan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu yang mencelakakan adalah ilmu yang menjauhkan, dan sihir berada pada kategori yang terakhir dan terburuk.

C. Kerugian di Akhirat (Jual Beli Diri)

Peringatan puncak datang pada kalimat terakhir: "Sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (atau memilih) sihir itu, niscaya dia tidak mendapat keuntungan di akhirat."

Frasa "membeli sihir" (atau "menjual diri") adalah metafora yang kuat. Ini berarti menukar keimanan, keselamatan, dan kebahagiaan abadi di akhirat dengan kesenangan atau kekuasaan yang fana di dunia melalui sihir. Para pelaku sihir secara sadar atau tidak sadar telah membuat transaksi terburuk: mereka menukar Jannah (Surga) dengan api Neraka, hanya untuk memperoleh pengaruh duniawi sesaat.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa para pelaku sihir ini "sudah tahu" konsekuensinya, menunjukkan bahwa mereka melakukan kekufuran ini dengan kesadaran penuh akan risikonya. Ini menguatkan status sihir sebagai dosa besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari batas-batas Islam, tergantung pada jenis sihir yang dipraktikkan dan tingkat syirik yang terlibat.

VI. Analisis Mendalam Fiqih dan Teologi tentang Sihir

Karena Ayat 102 menghubungkan sihir dengan kekafiran (*yakfurun*), para ulama sepanjang sejarah Islam berdebat mengenai definisi, klasifikasi, dan hukuman bagi pelaku sihir. Kontroversi ini sangat penting untuk memahami batas-batas antara keyakinan dan praktik terlarang.

A. Definisi dan Jenis Sihir

Sihir secara umum didefinisikan sebagai upaya untuk mengubah realitas melalui sarana tersembunyi yang melibatkan bantuan setan atau jin, seringkali dengan menggunakan mantra (ruqyah) yang mengandung unsur syirik atau kalimat-kalimat kufur.

Ulama membagi sihir menjadi beberapa kategori utama:

  1. Sihr Haqiqi (Sihir Sejati): Ini adalah sihir yang dibantu oleh setan dan jin, yang pelaksanaannya mensyaratkan syirik (seperti mengurbankan untuk jin, atau menghina Al-Qur'an). Inilah yang dipandang sebagai kekufuran secara mutlak dan yang disebut dalam Ayat 102.
  2. Sihr Takhayyul (Sihir Ilusi/Tipuan Mata): Ini adalah jenis sihir yang dilakukan melalui kecepatan tangan, trik, dan ilusi optik untuk menipu pandangan orang. Ini tidak dianggap kufur, tetapi tetap haram karena menipu dan menyesatkan. Kisah para tukang sihir Firaun termasuk dalam kategori ini sebelum mereka bertaubat.
  3. Sihr 'Ilmi (Sihir Ilmiah/Kimia): Penggunaan ilmu kimia atau sifat-sifat benda untuk menghasilkan efek yang mengejutkan. Hukumnya adalah haram jika digunakan untuk menipu atau mencelakakan, tetapi tidak secara otomatis menyebabkan kekufuran.

Menurut Mazhab Hambali dan beberapa ulama Syafi'i, siapa pun yang mempraktikkan sihir jenis pertama (Sihr Haqiqi) secara otomatis dihukumi kafir, karena praktik tersebut memerlukan pengingkaran terhadap Allah dan penyembahan atau pengabdian kepada jin. Ini adalah kesimpulan yang diambil dari penegasan ayat: "hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." Ini menunjukkan bahwa pengajaran sihir identik dengan pengajaran kekafiran.

B. Hukuman bagi Pelaku Sihir

Masalah hukuman bagi penyihir adalah salah satu yang paling diperdebatkan dalam Fiqih Islam, mencerminkan betapa seriusnya ancaman sihir terhadap masyarakat dan akidah.

  • Pendapat Mayoritas (Abu Hanifah, Ahmad): Pelaku sihir yang praktik sihirnya mengandung unsur kekufuran dan syirik harus dihukum mati. Mereka berpendapat bahwa sihir adalah bentuk murtad, dan hukuman mati didasarkan pada Hadits dan praktik Khalifah Umar bin Khattab dan lainnya yang memerintahkan pembunuhan tukang sihir.
  • Pendapat Mazhab Syafi'i: Hukuman mati hanya dijatuhkan jika sihir tersebut mengakibatkan kematian seseorang (sebagai qisas) atau jika penyihir itu mengakui bahwa sihirnya adalah kekufuran yang menyebabkan kemurtadan. Jika sihirnya hanya tipuan atau tidak mencapai tingkat kekufuran, maka hukumannya adalah hukuman ta’zir (cambuk, penjara, dll.).
  • Pendapat Mazhab Maliki: Hukum mati berlaku bagi penyihir, bahkan jika sihirnya tidak menyebabkan kematian, asalkan terbukti bahwa sihir itu dilakukan.

Kesimpulan dari semua mazhab ini adalah bahwa sihir bukanlah kejahatan ringan. Ia mengancam keamanan akidah umat, dan oleh karena itu, harus diberantas dengan hukuman yang paling berat, karena ia adalah jalan menuju syirik dan kekafiran yang telah diwanti-wanti oleh Allah dalam Surah Al-Baqarah 102.

C. Perbedaan antara Sihir dan Mukjizat

Ayat 102 secara implisit membandingkan dua sumber kekuasaan: kekuasaan kenabian Sulaiman yang berbasis wahyu Ilahi (mukjizat) dan kekuasaan palsu yang berbasis sihir. Mukjizat (atau karamah bagi wali) adalah kejadian luar biasa yang datang dari Allah untuk membuktikan kebenaran seorang nabi atau kesalehan seorang wali. Mukjizat selalu membawa kebaikan dan tidak dapat dipelajari.

Sebaliknya, sihir dapat dipelajari (sebagaimana diajarkan Harut dan Marut), membawa kerusakan, dan mensyaratkan kekufuran atau pengabdian kepada selain Allah. Orang-orang Bani Israil keliru dalam membedakan keduanya, dan kekeliruan fatal ini adalah akar dari penyimpangan mereka.

VII. Elaborasi Konsep Fitnah dan Ujian Pengetahuan

Ayat 102 menyebutkan bahwa Harut dan Marut berkata, "Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (fitnah) bagimu." Konsep fitnah di sini sangat mendalam, mencakup ujian keimanan melalui pengetahuan yang berbahaya.

A. Fitnah Pengetahuan

Fitnah yang dihadirkan oleh Harut dan Marut adalah ujian terbesar: ujian pengetahuan. Allah tidak hanya menguji manusia dengan kemiskinan atau kekayaan, tetapi juga dengan informasi. Mereka yang diberi akses ke pengetahuan terlarang (cara kerja sihir) diuji untuk melihat apakah mereka akan menggunakan pengetahuan itu untuk dosa (mempraktikkan sihir) atau meninggalkannya demi tauhid.

Ujian ini menyoroti bahaya memiliki ilmu tanpa takwa. Jika ilmu sihir dapat dipelajari, itu berarti manusia memiliki kemampuan untuk melakukannya, tetapi ketaatan menuntut mereka menolak kemampuan tersebut. Bani Israil gagal karena nafsu mereka terhadap kekuasaan lebih besar daripada takwa mereka kepada Allah. Mereka memilih menggunakan "ilmu" tersebut, padahal mereka tahu konsekuensinya di Akhirat.

B. Kerusakan yang Disebabkan oleh Sihir

Fokus ayat pada sihir pemisah suami istri (*ma yufarriquna bihi bainal mar'i wa zaujihi*) adalah penekanan pada dampak sosial sihir. Pernikahan adalah perjanjian suci (mitsaqan ghaliza) dan fondasi ketenangan. Setan mengetahui bahwa jika fondasi ini dihancurkan, maka masyarakat akan mudah runtuh.

Sihir pemisah ini bekerja dengan menanamkan kebencian, kecurigaan, atau ilusi. Kerusakan yang ditimbulkan bersifat ganda: merusak hubungan kemanusiaan dan merusak keimanan, karena kedua belah pihak yang terkena sihir cenderung mencari solusi yang juga melibatkan syirik (seperti pergi ke dukun). Ini adalah siklus kekufuran yang diawali oleh praktik ilmu hitam itu sendiri.

C. Pengetahuan vs. Ketaatan

Peristiwa di Babilon ini menjadi pelajaran bahwa tidak semua pengetahuan boleh dipraktikkan. Sebagian pengetahuan harus diketahui hanya untuk dihindari atau dilindungi darinya. Ilmu tentang sihir harusnya memimpin Bani Israil untuk memperkuat diri dengan iman, bukan untuk mencoba-coba mempraktikkannya. Kegagalan mereka menunjukkan betapa mudahnya nafsu duniawi mengalahkan ketaatan, bahkan ketika peringatan datang dari malaikat Allah.

Konteks global masa kini pun tidak jauh berbeda. Meskipun sihir mungkin berbentuk lain—seperti bentuk-bentuk penyesatan spiritual modern, pemujaan energi gelap, atau praktik okultisme—inti masalahnya tetap sama: upaya mencari kekuatan di luar batas-batas syariat Allah, yang selalu berujung pada kerugian dan penyesalan abadi, sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini yang berulang kali menyatakan bahwa mereka memilih jalan yang "mencelakakan dan tidak bermanfaat."

Ilustrasi Kitab Suci dan Peringatan terhadap Sihir Sebuah buku terbuka yang mewakili wahyu suci (Al-Qur'an/Tauhid) dilindungi dari simbol-simbol magis (lingkaran dan bintang) yang tersebar di sekitarnya, melambangkan perlindungan iman dari sihir dan kekufuran. Tauhid

VIII. Perlindungan Spiritual dari Sihir dan Setan

Mengingat bahaya sihir yang diuraikan dalam Al-Baqarah 102, tugas seorang Muslim adalah mencari perlindungan dan benteng diri dari praktik-praktik kekufuran tersebut. Perlindungan ini dikenal sebagai *Tahassun* (memperkuat diri) dan *Isti'adzah* (memohon perlindungan).

A. Benteng Akidah (Tauhid)

Perlindungan utama adalah Tauhid yang murni. Ayat 102 mengingatkan bahwa sihir pada dasarnya adalah kekufuran. Oleh karena itu, seseorang yang akidahnya kuat dan meyakini bahwa hanya Allah yang dapat memberi manfaat atau bahaya, akan kebal secara spiritual dari godaan sihir dan ketakutan terhadapnya. Jika seseorang tertimpa sihir, ia harus melihatnya sebagai ujian, bukan sebagai bukti keunggulan kekuatan magis di atas kehendak Ilahi. Mengandalkan sepenuhnya kepada Allah ﷻ adalah tameng yang tidak tertembus.

Orang yang beriman tidak akan pernah mencari solusi kepada tukang sihir atau paranormal, karena itu adalah tindakan yang bertentangan dengan Tauhid yang dia yakini. Mencari kesembuhan sihir melalui sihir adalah seolah-olah menggunakan api untuk memadamkan api, sebuah lingkaran setan yang justru semakin mendekatkan pelakunya kepada kekufuran yang dihindari.

B. Penguatan Diri Melalui Bacaan Al-Qur'an dan Doa

Ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an dikenal sebagai *Ayat-Ayat Ruqyah* atau pelindung. Ayat 102 sendiri adalah dasar pengetahuan tentang bahaya sihir, tetapi ayat-ayat lain berfungsi sebagai penangkal langsung:

  1. Ayat Kursi (Al-Baqarah 255): Ini adalah ayat teragung yang jika dibaca, akan memberikan perlindungan dari setan hingga pagi atau sore hari.
  2. Al-Falaq dan An-Naas (Al-Mu'awwidzatain): Kedua surah pendek ini diturunkan secara spesifik sebagai pelindung dari kejahatan yang tersembunyi, termasuk sihir (khususnya Al-Falaq) dan bisikan setan (An-Naas). Nabi ﷺ sangat menganjurkan pembacaan kedua surah ini.
  3. Akhir Surah Al-Baqarah (285-286): Ayat-ayat ini juga berfungsi sebagai pelindung dan cukup bagi seorang hamba di malam hari.

Konsistensi dalam menjalankan shalat lima waktu, membaca zikir pagi dan sore, serta menjaga diri dari dosa adalah rutinitas yang membangun benteng spiritual yang kuat, jauh lebih efektif daripada jimat atau mantra yang menyesatkan. Praktik-praktik ini adalah wujud nyata dari pengamalan firman Allah: "mereka (ahli sihir) itu tidak dapat mencelakakan seseorang pun kecuali dengan izin Allah." Dengan mendekat kepada-Nya, kita memohon agar izin celaka itu tidak pernah diberikan atas diri kita.

C. Perluasan Lingkup Kekufuran

Pelajaran dari Al-Baqarah 102 meluas ke segala bentuk ramalan, peramalan nasib, dan praktik spiritual yang meminta bantuan entitas ghaib selain Allah. Seorang Muslim harus menjauhi dukun, tukang ramal, dan peramal bintang, karena pada dasarnya, mereka beroperasi dalam spektrum kekufuran yang sama seperti yang diajarkan setan. Nabi ﷺ bersabda bahwa shalat seseorang tidak akan diterima selama empat puluh hari jika ia mendatangi peramal dan mempercayai perkataannya. Ini adalah penegasan keras tentang betapa rapuhnya iman seseorang yang memilih mengikuti jalan gelap ini.

Ayat 102 menggarisbawahi urgensi pemurnian sumber pengetahuan dan spiritualitas. Jika Bani Israil gagal membedakan antara kenabian (Sulaiman) dan sihir (Setan/Harut & Marut), umat ini harus belajar dari kesalahan itu. Kita harus menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber hukum dan perlindungan, menolak segala bentuk jalan pintas magis yang ditawarkan dunia.

IX. Kesimpulan: Peringatan yang Kekal

Surah Al-Baqarah Ayat 102 adalah salah satu peringatan paling komprehensif dalam Al-Qur’an mengenai ancaman sihir, kekufuran yang diakibatkannya, dan kerugian abadi yang menimpa pelakunya. Ayat ini membersihkan nama Nabi Sulaiman *‘alaihis salam*, menegaskan kebenaran dan keadilan Ilahi, serta menetapkan sihir sebagai ilmu yang mencelakakan dan tidak bermanfaat.

Dari Babilon hingga hari kiamat, pesan utamanya tetap teguh: Janganlah menjual kebahagiaan Akhirat demi kekuasaan duniawi yang fana. Janganlah memilih jalan setan yang membawa kekufuran, padahal telah datang peringatan yang jelas dari utusan Allah. Mereka yang memilih sihir telah membuat pertukaran yang terburuk: mereka menukar iman dengan kekufuran, dan Surga dengan Neraka.

Ayat ini menutup dengan frasa "sekiranya mereka mengetahui," sebuah kritik tajam bahwa meskipun mereka memiliki pengetahuan tentang konsekuensinya, mereka bertindak seperti orang yang bodoh. Ini adalah teguran bagi setiap orang beriman untuk senantiasa menggunakan akalnya dan ilmu yang benar untuk membedakan antara cahaya kebenaran dan kegelapan sihir, sehingga kita tidak terjerumus pada kesalahan fatal Bani Israil.

Sangatlah penting bagi umat Muslim untuk terus-menerus mengkaji ulang pesan dari ayat ini, memahami bahwa perlindungan sejati terletak pada ketauhidan yang murni, ketaatan pada syariat, dan memohon pertolongan hanya kepada Allah ﷻ, satu-satunya Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, termasuk sihir dan efeknya.

Pesan ini harus diinternalisasi secara mendalam: pengejaran sihir, baik untuk kepentingan pribadi, keuntungan finansial, atau balas dendam, adalah jalan pintas menuju kerugian abadi. Allah telah menyediakan jalan yang lurus dan terang, dan berpegang teguh pada tali Allah adalah jaminan keselamatan dari fitnah dunia, termasuk fitnah sihir yang merusak. Umat Islam diperintahkan untuk menjadi umat yang bijaksana, yang tidak terombang-ambing oleh tipuan setan dan ilusi magis. Peringatan tentang Harut dan Marut adalah bukti bahwa bahkan pengetahuan yang diturunkan untuk ujian pun harus dihadapi dengan keimanan yang kokoh. Jika pengetahuan itu digunakan untuk kekufuran, maka itu adalah kegagalan terbesar dalam ujian hidup.

Pelaku sihir, dengan segala bentuk praktik dan ritual mereka, sebenarnya sedang menghancurkan diri mereka sendiri. Mereka menjadi budak bagi entitas yang mereka layani (jin dan setan), dan harga dari perbudakan itu adalah iman mereka sendiri. Setiap jampi, setiap mantera, setiap ritual yang bertentangan dengan Tauhid adalah langkah yang disengaja menuju kehinaan di dunia dan siksa yang kekal di akhirat. Peringatan ini harus menjadi pegangan teguh agar generasi Muslim hari ini dan mendatang menjauhi bayang-bayang kegelapan sihir.

Para ulama juga menekankan bahwa sihir sering kali berakar pada rasa dengki (*hasad*) dan keinginan untuk mencelakakan orang lain. Kedua sifat tercela ini adalah penyakit hati yang harus diobati dengan iman dan tawakkal. Sihir hanya dapat tumbuh subur di hati yang lemah dan penuh kebencian. Seorang Mukmin yang hatinya bersih akan menolak mentah-mentah godaan untuk menggunakan cara-cara terlarang, bahkan ketika merasa terzalimi, karena ia yakin bahwa keadilan sejati akan ditegakkan oleh Allah, Dzat Yang Maha Adil.

Oleh karena itu, Surah Al-Baqarah 102 bukan hanya kisah sejarah Bani Israil, melainkan peta jalan spiritual untuk seluruh umat manusia. Ini adalah garis demarkasi yang jelas antara jalan para nabi (Tauhid) dan jalan setan (Sihir). Pilihan ada di tangan kita: mengikuti cahaya kenabian Sulaiman yang suci, atau terjerumus dalam tipuan setan yang berakhir dengan penyesalan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh mereka yang menukar Akhirat dengan kesenangan yang sesaat.

Dalam konteks modern, sihir mungkin tersembunyi di balik nama-nama yang lebih canggih—paranormal, metafisika gelap, atau praktik kultus yang menyesatkan. Namun, esensinya tetap sama: mencari kekuatan di luar Allah dan melanggar batas-batas yang telah ditetapkan. Ujian yang dihadapi oleh Bani Israil di Babilonia kini hadir dalam berbagai bentuk, menantang keimanan setiap Muslim. Keselamatan hanya bisa ditemukan dalam kepatuhan total dan pengakuan bahwa "tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah."

Pembelajaran sihir, bahkan dengan niat untuk melawannya atau mengungkap rahasianya, adalah risiko besar yang dilarang oleh banyak ulama. Peringatan dari Harut dan Marut, "janganlah kamu kafir," menunjukkan betapa tipisnya batas antara mempelajari dan mempraktikkan. Bagi kebanyakan manusia, mengetahui cara kerja kekufuran adalah awal dari terjerumusnya ke dalamnya. Oleh karena itu, cara teraman adalah dengan menolak pintu sihir sama sekali, dan memperkuat diri dengan ruqyah syar'iyyah (doa-doa perlindungan yang sesuai sunnah), yang merupakan jalan para salafus shalih.

Pengulangan penekanan pada "kerugian di akhirat" adalah penutup yang sempurna dan mengikat seluruh ayat. Segala kesenangan duniawi yang diperoleh melalui sihir adalah fana, tidak berharga, dan akan lenyap. Yang tersisa hanyalah konsekuensi dari transaksi yang buruk: menjual jiwa dan tempat di Surga. Jika manusia benar-benar memahami beratnya timbangan di Hari Kiamat, mereka tidak akan pernah memilih jalan sihir, bahkan untuk kekuasaan sebesar kerajaan Sulaiman sekalipun.

Maka, kita memohon kepada Allah agar senantiasa menjauhkan kita dari segala bentuk fitnah dan ujian, termasuk fitnah sihir, dan menjadikan kita termasuk golongan yang berpegang teguh pada Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya, sehingga kita mendapatkan keuntungan abadi di Akhirat, sebagaimana dijanjikan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.

🏠 Kembali ke Homepage