Niat Puasa Rajab Hari Ketiga: Panduan Lengkap dan Keutamaannya
Memasuki bulan Rajab, umat Islam di seluruh dunia menyambut salah satu dari empat bulan suci yang dimuliakan oleh Allah SWT. Bulan ini menjadi gerbang spiritual menuju bulan Sya'ban dan puncaknya, bulan suci Ramadan. Salah satu amalan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan pada bulan ini adalah puasa sunnah. Melaksanakan puasa, baik pada hari pertama, kedua, ketiga, ataupun hari-hari lainnya di bulan Rajab, merupakan wujud ketaatan dan upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Inti dari setiap ibadah, termasuk puasa, terletak pada niat yang tulus dan ikhlas di dalam hati.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengenai niat puasa Rajab, khususnya pada hari ketiga. Namun, pembahasannya tidak akan berhenti di situ. Kita akan menyelami makna niat dalam Islam, menyingkap keagungan bulan Rajab, memahami landasan syariat puasa sunnah di dalamnya, serta merenungkan hikmah dan manfaat yang terkandung di balik amalan mulia ini. Pemahaman yang komprehensif ini diharapkan dapat mengokohkan hati kita dalam beribadah dan menjadikan setiap amalan kita lebih bermakna di hadapan Allah SWT.
Bab 1: Memahami Kedudukan Niat Sebagai Ruh Ibadah
Sebelum kita membahas lafal spesifik niat puasa Rajab, sangat penting untuk memahami fondasi dari segala amal, yaitu niat (niyyah). Dalam khazanah Islam, niat bukanlah sekadar ucapan di lisan, melainkan sebuah getaran, kehendak, dan tujuan yang terpatri kuat di dalam hati. Ia adalah ruh yang menghidupkan jasad sebuah amalan. Tanpa niat yang benar, sebuah ibadah yang tampak agung dari luar bisa jadi hampa tak bernilai di sisi Allah.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadis yang menjadi pilar ajaran Islam, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan."
Hadis ini menegaskan secara mutlak bahwa kualitas dan nilai sebuah perbuatan ditentukan oleh tujuan di baliknya. Niat berfungsi sebagai kompas yang mengarahkan sebuah amal. Apakah amal tersebut ditujukan murni untuk mencari keridhaan Allah, ataukah ada campuran tujuan duniawi seperti ingin dipuji orang lain (riya'), mencari keuntungan materi, atau sekadar ikut-ikutan. Niat yang lurus dan tulus karena Allah adalah syarat diterimanya amal.
Dalam konteks puasa, niat memegang dua peranan krusial. Pertama, niat berfungsi untuk membedakan antara satu jenis ibadah dengan ibadah lainnya. Misalnya, niat membedakan antara puasa wajib Ramadan, puasa sunnah Rajab, puasa qadha (pengganti), atau puasa nazar. Tanpa niat yang spesifik, puasa seseorang menjadi tidak jelas statusnya. Kedua, niat membedakan antara ibadah dan kebiasaan (adat). Seseorang yang tidak makan dan minum dari fajar hingga maghrib karena alasan diet atau kesibukan kerja tidak bisa disebut sedang berpuasa secara syar'i. Yang menjadikannya ibadah adalah niat yang terpatri di hati untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa semata-mata karena Allah SWT.
Para ulama juga membahas mengenai tempat niat, yaitu di dalam hati (mahallun niyyah fil qalbi). Hati adalah pusat kendali spiritual manusia. Kehendak yang muncul dari hati inilah yang disebut niat. Adapun melafalkan niat dengan lisan (talaffuzh binniyyah), mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i memandangnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Tujuannya bukan untuk menggantikan niat di hati, melainkan untuk membantu memantapkan dan mengonkretkan apa yang telah terbesit di dalam hati. Lisan membantu hati untuk lebih fokus dan hadir dalam meniatkan sebuah ibadah. Namun, jika seseorang hanya berniat di dalam hati tanpa melafalkannya, niatnya tetap dianggap sah. Sebaliknya, jika seseorang hanya melafalkan di lisan namun hatinya lalai atau berniat lain, maka niatnya tidak sah. Ini menunjukkan supremasi niat hati di atas segalanya.
Oleh karena itu, ketika kita hendak berpuasa pada hari ketiga di bulan Rajab, proses pertama dan utama adalah menghadirkan niat di dalam hati. Kita sadarkan diri kita sepenuhnya bahwa esok hari kita akan menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu, bukan karena tujuan lain, melainkan sebagai bentuk ibadah sunnah untuk meraih cinta dan ampunan dari Allah SWT di bulan yang mulia ini.
Bab 2: Keagungan dan Keistimewaan Bulan Rajab
Bulan Rajab memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam kalender Islam. Ia adalah salah satu dari empat bulan yang disebut sebagai Asyhurul Hurum atau bulan-bulan haram (suci). Kemuliaan bulan-bulan ini telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At-Tawbah: 36)
Keempat bulan suci tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Disebut bulan haram karena pada bulan-bulan ini, Allah melipatgandakan pahala bagi setiap amal kebaikan dan melipatgandakan dosa bagi setiap kemaksiatan. Di masa lalu, peperangan juga diharamkan pada bulan-bulan ini untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat. Larangan untuk menganiaya diri sendiri dalam ayat di atas memiliki makna yang sangat dalam. Para ulama menafsirkannya sebagai larangan keras untuk berbuat maksiat, karena dosa yang dilakukan di bulan-bulan ini memiliki bobot yang lebih berat. Sebaliknya, ayat ini juga menjadi isyarat kuat untuk memperbanyak amal saleh, karena pahalanya pun akan dilipatgandakan oleh Allah.
Secara etimologi, kata "Rajab" berasal dari kata "tarjib" yang berarti memuliakan atau mengagungkan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, bulan ini sudah dikenal sebagai bulan yang agung. Bulan Rajab sering disebut sebagai Syahrullah (Bulan Allah), yang menandakan kemuliaan khususnya. Sebagaimana bulan Sya'ban disebut bulan Rasulullah dan Ramadan disebut bulan umatnya.
Salah satu peristiwa monumental dalam sejarah Islam yang sering dikaitkan dengan bulan Rajab adalah Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa luar biasa ini merupakan perjalanan spiritual agung di mana Rasulullah SAW diperjalankan oleh Allah dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina (Isra'), kemudian dinaikkan ke langit tertinggi hingga Sidratul Muntaha (Mi'raj). Dalam perjalanan inilah, perintah shalat lima waktu diterima langsung oleh Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT. Peristiwa ini bukan hanya menunjukkan kebesaran kuasa Allah, tetapi juga menjadi penghiburan bagi Nabi setelah melewati masa-masa sulit yang dikenal sebagai 'Tahun Kesedihan' ('Amul Huzn). Terjadinya peristiwa agung ini di bulan Rajab semakin menambah kemuliaan dan keberkahan bulan ini.
Bulan Rajab juga dipandang sebagai bulan persiapan. Para ulama salaf menganalogikannya seperti musim tanam. Rajab adalah bulan untuk menanam benih kebaikan, Sya'ban adalah bulan untuk menyiraminya, dan Ramadan adalah bulan untuk memanen hasilnya. Artinya, amal kebaikan yang kita mulai di bulan Rajab, seperti puasa sunnah, sedekah, dan dzikir, akan menjadi modal dan latihan berharga untuk dapat menjalankan ibadah di bulan Ramadan dengan lebih optimal dan khusyuk. Memulai "pemanasan" spiritual di bulan Rajab akan membuat transisi menuju Ramadan terasa lebih ringan dan penuh makna.
Bab 3: Landasan Syariat dan Pandangan Ulama Mengenai Puasa Rajab
Setelah memahami keutamaan bulan Rajab, pertanyaan selanjutnya adalah apa landasan syariat untuk berpuasa di bulan ini? Secara umum, tidak ada dalil khusus dari Al-Qur'an atau hadis shahih yang secara eksplisit memerintahkan atau menetapkan keutamaan puasa pada tanggal-tanggal tertentu di bulan Rajab secara spesifik. Namun, para ulama menyimpulkan anjuran berpuasa di bulan Rajab berdasarkan dalil-dalil yang bersifat umum.
Dalil utama adalah anjuran untuk memperbanyak puasa sunnah di bulan-bulan haram (Asyhurul Hurum), dan Rajab adalah salah satunya. Terdapat sebuah hadis, meskipun sanadnya diperdebatkan, yang sering dijadikan rujukan. Diriwayatkan bahwa seorang sahabat dari kabilah Bahilah datang kepada Rasulullah SAW, lalu setahun kemudian datang lagi dalam keadaan fisik yang berubah. Rasulullah SAW bertanya mengapa fisiknya berubah. Ia menjawab bahwa ia terus-menerus berpuasa sejak berpisah dengan beliau. Maka Rasulullah SAW bersabda:
صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ
"Puasalah pada bulan-bulan haram dan tinggalkanlah, puasalah pada bulan-bulan haram dan tinggalkanlah, puasalah pada bulan-bulan haram dan tinggalkanlah." (HR. Abu Dawud)
Meskipun terdapat perdebatan di kalangan ahli hadis mengenai kekuatan riwayat ini, banyak ulama yang berpendapat bahwa maknanya sejalan dengan prinsip umum untuk memuliakan bulan-bulan haram dengan memperbanyak ibadah, termasuk puasa. Kalimat "puasalah dan tinggalkanlah" diartikan sebagai anjuran untuk berpuasa beberapa hari dan tidak berpuasa di hari lainnya, bukan berpuasa sebulan penuh, agar tidak memberatkan diri dan tidak menyamainya dengan puasa Ramadan.
Imam An-Nawawi, seorang ulama besar dari mazhab Syafi'i, dalam kitabnya Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, menyatakan bahwa tidak ada larangan untuk berpuasa di bulan Rajab, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Beliau menjelaskan bahwa anjuran berpuasa secara umum tetap berlaku, dan Rajab termasuk di dalamnya. Pandangan ini didukung oleh banyak ulama lainnya, yang memandang puasa Rajab sebagai bagian dari puasa sunnah mutlak yang pahalanya menjadi lebih besar karena dilakukan di waktu yang mulia.
Adapun mengenai hadis-hadis yang menyebutkan pahala yang sangat fantastis untuk puasa satu hari, dua hari, atau tiga hari di bulan Rajab, mayoritas ahli hadis mengklasifikasikannya sebagai hadis yang lemah (dha'if) atau bahkan palsu (maudhu'). Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya berhati-hati dalam menyandarkan amalnya pada riwayat-riwayat yang tidak kuat. Namun, kelemahan hadis tentang fadhilah (keutamaan) spesifik tidak menafikan kebolehan dan anjuran puasa Rajab itu sendiri, yang didasarkan pada dalil-dalil umum yang lebih kuat.
Kesimpulannya, berpuasa di bulan Rajab, termasuk pada hari ketiga, adalah amalan yang dianjurkan (sunnah) dan memiliki dasar dalam syariat Islam. Niatnya adalah untuk menjalankan puasa sunnah mutlak di salah satu bulan yang dimuliakan Allah. Tidak ada batasan jumlah hari tertentu; seseorang boleh berpuasa satu hari, tiga hari, atau lebih, sesuai dengan kemampuannya, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih keberkahan di bulan yang agung ini.
Bab 4: Lafal Niat Puasa Rajab Hari Ketiga dan Waktunya
Inilah inti dari pembahasan kita. Setelah memahami fondasi niat, keutamaan bulan Rajab, dan landasan syariatnya, kini kita akan fokus pada lafal niat puasa Rajab, yang berlaku untuk hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Penting untuk diingat kembali bahwa niat sesungguhnya ada di dalam hati. Lafal yang diucapkan adalah sarana untuk membantu konsentrasi.
Niat Puasa Rajab di Malam Hari
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ رَجَبَ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i sunnati Rajaba lillāhi ta‘ālā.
"Aku berniat puasa sunah Rajab esok hari karena Allah Ta'ala."
Niat ini dianjurkan untuk dibaca atau dihadirkan di dalam hati pada malam hari, yaitu sejak terbenamnya matahari (waktu Maghrib) hingga sebelum terbit fajar (waktu Subuh). Ini adalah waktu yang paling utama untuk berniat puasa, baik puasa wajib maupun sunnah. Dengan berniat di malam hari, kita telah mempersiapkan diri secara spiritual untuk ibadah keesokan harinya.
Mari kita bedah makna dari setiap kata dalam lafal niat tersebut untuk pemahaman yang lebih dalam:
- Nawaitu (نَوَيْتُ): Aku berniat. Ini adalah penegasan kehendak yang berasal dari hati.
- Shauma (صَوْمَ): Puasa. Menjelaskan jenis ibadah yang akan dilakukan.
- Ghadin (غَدٍ): Esok hari. Menunjukkan waktu pelaksanaan puasa.
- 'An adā'i (عَنْ أَدَاءِ): Untuk menunaikan. Menunjukkan bahwa kita sedang melaksanakan sebuah amalan.
- Sunnati Rajaba (سُنَّةِ رَجَبَ): Sunnah Rajab. Ini adalah bagian terpenting yang membedakan puasa ini dari puasa lainnya. Kita menegaskan bahwa ini adalah puasa sunnah di bulan Rajab.
- Lillāhi ta‘ālā (لِلهِ تَعَالَى): Karena Allah Ta'ala. Ini adalah puncak dari niat, yaitu penegasan keikhlasan bahwa seluruh ibadah ini dipersembahkan hanya untuk Allah, bukan untuk tujuan lain.
Lafal niat ini bersifat universal untuk setiap hari puasa sunnah di bulan Rajab. Jadi, niat untuk puasa hari pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya adalah sama. Tidak ada lafal khusus yang menyebutkan "hari ketiga" di dalamnya. Yang terpenting adalah kesadaran di dalam hati bahwa kita sedang melaksanakan puasa pada hari tersebut di bulan Rajab.
Fleksibilitas Waktu Niat untuk Puasa Sunnah
Salah satu kemudahan yang Allah berikan dalam pelaksanaan puasa sunnah (berbeda dengan puasa wajib Ramadan) adalah kelonggaran waktu dalam berniat. Jika seseorang lupa atau belum sempat berniat pada malam hari, ia masih bisa berniat di pagi harinya. Batas waktunya adalah sebelum tergelincirnya matahari (masuk waktu Zhuhur), dengan syarat ia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar, seperti makan, minum, atau lainnya.
Jika seseorang bangun di pagi hari dan memutuskan untuk berpuasa Rajab, ia bisa melafalkan niat sebagai berikut:
Niat Puasa Rajab di Pagi Hari
نَوَيْتُ صَوْمَ هٰذَا الْيَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ رَجَبَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adā’i sunnati Rajaba lillâhi ta‘âlâ.
"Aku berniat puasa sunah Rajab hari ini karena Allah Ta'ala."
Perbedaan utamanya terletak pada kata "ghadin" (esok hari) yang diganti dengan "hâdzal yaumi" (hari ini). Kemudahan ini berdasarkan hadis dari Aisyah RA yang berkata: "Pada suatu hari, Nabi SAW masuk menemuiku lalu bertanya, 'Apakah kamu punya sesuatu (makanan)?' Kami menjawab, 'Tidak.' Beliau bersabda, 'Kalau begitu, aku berpuasa'." (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW berniat puasa sunnah pada pagi hari setelah fajar terbit.
Fleksibilitas ini membuka pintu kebaikan yang lebih luas. Terkadang, niat untuk beribadah muncul secara spontan. Ketika kita terbangun di bulan Rajab dan merasa memiliki energi serta tidak ada halangan, kita bisa langsung memutuskan untuk berpuasa dan meraih pahalanya, meskipun niatnya baru hadir di pagi hari. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Bab 5: Meraih Hikmah dan Manfaat di Balik Puasa Rajab
Melaksanakan puasa di bulan Rajab bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga. Di baliknya terkandung hikmah dan manfaat yang sangat besar, baik bagi spiritualitas, kesehatan fisik, maupun kepekaan sosial kita. Ibadah ini adalah sebuah madrasah (sekolah) yang mendidik jiwa untuk menjadi lebih baik.
1. Latihan Spiritual dan Peningkatan Ketakwaan: Puasa adalah ibadah yang sangat personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tidak ada yang tahu apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya dan Allah. Ini melatih kejujuran dan keikhlasan. Dengan menahan diri dari hal-hal yang dihalalkan (seperti makan dan minum) karena perintah-Nya, kita sedang melatih ketaatan total. Puasa di bulan Rajab berfungsi sebagai "pemanasan" atau "latihan" sebelum memasuki ibadah puasa wajib di bulan Ramadan. Jiwa yang telah terbiasa berpuasa sunnah akan lebih siap dan ringan dalam menjalankan puasa Ramadan sebulan penuh. Ini membantu kita meningkatkan level ketakwaan, yang merupakan tujuan utama dari ibadah puasa.
2. Sarana Pengampunan Dosa dan Mendekatkan Diri: Bulan Rajab adalah Bulan Allah, di mana rahmat dan ampunan-Nya tercurah luas. Dengan mengisi bulan ini dengan amal saleh seperti puasa, kita sedang mengetuk pintu ampunan Allah. Setiap detik menahan lapar dan haus menjadi sarana untuk menghapus dosa-dosa kecil yang mungkin kita lakukan tanpa sadar. Puasa adalah cara efektif untuk memutus dominasi hawa nafsu dan menguatkan koneksi ruhani dengan Allah SWT. Saat perut kosong, hati cenderung lebih lembut, lebih mudah khusyuk dalam berdzikir, berdoa, dan merenungi kebesaran-Nya.
3. Manfaat Kesehatan Fisik: Dari sisi medis, puasa yang dilakukan dengan benar telah terbukti memberikan banyak manfaat bagi tubuh. Puasa memberikan kesempatan bagi sistem pencernaan untuk beristirahat dan melakukan detoksifikasi atau pembuangan racun-racun dari dalam tubuh. Proses ini dapat membantu meregenerasi sel-sel, meningkatkan metabolisme, menstabilkan kadar gula darah, dan bahkan meningkatkan kesehatan jantung. Puasa sunnah di bulan Rajab bisa menjadi momentum untuk memulai gaya hidup yang lebih sehat, sebagai persiapan fisik menyambut Ramadan.
4. Mengasah Kepekaan dan Empati Sosial: Ketika kita merasakan lapar dan haus, kita akan lebih mudah memahami dan merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang kurang beruntung, yang mungkin merasakan lapar setiap hari bukan karena pilihan. Rasa empati ini diharapkan dapat mendorong kita untuk lebih peduli, lebih banyak bersedekah, dan lebih bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan. Puasa mengajarkan kita untuk tidak egois dan lebih peka terhadap kondisi sosial di sekitar kita.
5. Madrasah Pengendalian Diri: Puasa bukan hanya menahan makan dan minum, tetapi juga menahan lisan dari perkataan yang tidak baik, menahan mata dari pandangan yang haram, dan menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat. Ini adalah latihan komprehensif dalam mengendalikan diri (self-control). Kemampuan mengendalikan diri yang terlatih selama puasa akan sangat bermanfaat dalam menghadapi berbagai tantangan dan godaan dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah fondasi untuk membentuk karakter seorang mukmin yang kuat dan berakhlak mulia.
Kesimpulan
Niat puasa pada hari ketiga bulan Rajab, pada hakikatnya, adalah sama dengan niat puasa pada hari-hari lainnya di bulan yang mulia ini. Intinya terletak pada kehendak hati yang tulus untuk melaksanakan ibadah puasa sunnah demi meraih keridhaan Allah Ta'ala. Melafalkan niat adalah cara untuk membantu memantapkan kehendak hati tersebut, dan syariat memberikan kemudahan dengan memperbolehkan niat di malam hari ataupun di pagi hari untuk puasa sunnah.
Lebih dari sekadar lafal, berpuasa di bulan Rajab adalah sebuah kesempatan emas untuk melakukan investasi spiritual. Ia adalah momentum untuk menanam benih-benih kebaikan, melatih jiwa, membersihkan diri dari dosa, dan mempersiapkan diri menyambut tamu agung, bulan suci Ramadan. Dengan memahami kedudukan niat, keagungan bulan Rajab, serta hikmah di balik puasa, semoga kita dapat melaksanakan ibadah ini dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan semangat, sehingga setiap detik lapar dan dahaga kita tercatat sebagai amal saleh yang berat timbangannya di sisi Allah SWT.