Mengupas Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 101: Manifestasi Penolakan Wahyu

Surat Al-Baqarah, sebagai surat terpanjang dalam Al-Qur'an, menyajikan spektrum pembahasan yang luas, mulai dari dasar-dasar akidah, hukum syariat, hingga sejarah interaksi antara para nabi dengan umat-umat terdahulu. Ayat 101 menempati posisi krusial dalam rangkaian ayat-ayat yang mengulas perilaku dan sikap skeptisisme yang ditunjukkan oleh sebagian Ahlul Kitab (Kaum Yahudi dan Nasrani) di masa kenabian Muhammad ﷺ.

Ayat ini bukan hanya sebuah narasi sejarah, melainkan sebuah peringatan abadi bagi setiap pemeluk agama mengenai bahaya memilih-milih kebenaran dan menolak ajaran yang melengkapi (melainkan membatalkan) kitab suci sebelumnya. Untuk memahami kedalaman makna dari ayat 101, kita perlu menelaah konteks linguistik, historis, dan implikasi teologisnya secara komprehensif.

I. Teks Suci dan Terjemahan Standar

وَلَمَّا جَآءَهُمْ رَسُولٌۭ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌۭ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌۭ مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah, yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang punggung mereka, seolah-olah mereka tidak tahu." (QS. Al-Baqarah: 101)

II. Analisis Linguistik Mendalam (Tahlil Lafdzi)

Membedah setiap kata kunci dalam ayat ini memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai niat ilahi dan ketegasan teguran yang disampaikan. Kedalaman struktur tata bahasa Arab (Nahu dan Sharf) mengungkap intensitas penolakan yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

A. Waktu dan Kedatangan (وَلَمَّا جَآءَهُمْ)

Kata "Wa lammā jā'ahum" (Dan setelah datang kepada mereka) menunjukkan temporalitas yang sangat spesifik. Ini bukan merujuk pada kedatangan Nabi Muhammad ﷺ secara umum, tetapi pada momen kritis ketika kebenaran (wahyu baru) disajikan secara jelas dan tidak terbantahkan. Penggunaan lammā mengimplikasikan bahwa respons penolakan terjadi segera setelah bukti atau utusan itu hadir. Ini menekankan bahwa penolakan mereka dilakukan atas dasar kesadaran dan bukan ketidaktahuan.

B. Fungsi Rasul (رَسُولٌۭ مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٌۭ لِّمَا مَعَهُمْ)

Rasul yang datang didefinisikan dengan dua sifat utama:

  1. Rasul min ‘indillāh: Utusan langsung dari sisi Allah. Ini menegaskan otentisitas dan keabsahan risalah. Tidak ada keraguan bahwa beliau adalah representasi kehendak Ilahi.
  2. Muṣaddiqun limā ma’ahum: Membenarkan apa yang ada pada mereka. Ini adalah titik kunci teologis. Al-Qur'an dan Nabi Muhammad ﷺ tidak datang untuk menghancurkan Taurat atau Injil secara total, tetapi untuk mengkonfirmasi ajaran dasar tauhid yang murni, serta menegakkan kembali hukum-hukum yang mungkin telah diubah atau dilupakan. Fungsi konfirmasi (taṣdīq) ini seharusnya menjadi alasan bagi Ahlul Kitab untuk menerima risalah baru, karena ia sejalan dengan ramalan dan prinsip dalam kitab mereka sendiri.
  3. Namun, penolakan mereka menunjukkan kontradiksi internal: mereka menolak apa yang membenarkan kitab suci yang mereka yakini.

C. Pelaku Penolakan (نَبَذَ فَرِيقٌۭ مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ)

Penting dicatat bahwa Allah menggunakan kata "farīqun" (sebagian/segolongan). Ini menunjukkan bahwa teguran ini tidak ditujukan kepada seluruh Ahlul Kitab. Selalu ada kelompok yang beriman dan menerima kebenaran. Penggunaan kata ini memberikan keadilan Ilahi dan membedakan antara mereka yang tetap teguh pada kebenaran dan mereka yang berpaling karena kepentingan duniawi atau kefanatikan.

D. Tindakan Penolakan: Melempar Kitab Allah (نَبَذَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ)

Kata "nabażahu" berarti melempar, membuang, atau mengabaikan. Namun, frasa yang digunakan sangat tegas dan figuratif: "warā’a ẓuhūrihim" (ke belakang punggung mereka).

Dalam konteks tafsir, "Kitab Allah" yang mereka buang dapat merujuk pada dua hal, yang keduanya memiliki implikasi yang saling menguatkan:

  1. Kitab Allah yang lama (Taurat/Injil): Mereka menolak bagian-bagian dalam kitab mereka sendiri yang meramalkan kedatangan Muhammad ﷺ dan Al-Qur'an.
  2. Kitab Allah yang baru (Al-Qur'an): Mereka menolak wahyu baru yang datang kepada mereka, meskipun ia membenarkan asas-asas yang ada pada mereka.

Mayoritas mufasir berpendapat bahwa yang dibuang adalah Al-Qur'an, yang membawa perintah dan larangan Allah. Namun, penolakan ini berakar pada penolakan terhadap ajaran Taurat yang memerintahkan mereka untuk menerima nabi terakhir.

E. Pura-Pura Tidak Tahu (كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ)

Frasa "ka'annahum lā ya‘lamūn" (seolah-olah mereka tidak tahu) adalah puncak dari teguran keras ini. Mereka tidak dapat beralasan tidak tahu. Mereka adalah "orang-orang yang diberi Kitab," yang memiliki pengetahuan tentang kenabian, wahyu, dan janji-janji Allah. Tindakan penolakan mereka adalah kebodohan yang disengaja, atau ketidaktahuan yang dipaksakan, demi mempertahankan posisi sosial, kekuasaan, atau penafsiran yang salah.

Ayat ini menyiratkan bahwa pengetahuan yang dimiliki tetapi diabaikan adalah bentuk kejahilan yang paling berbahaya.

Ilustrasi menolak perjanjian dan wahyu ilahi Sebuah tangan yang membuang gulungan kitab suci ke belakang punggung, menandakan pengabaian terhadap janji suci. Kitab نَبَذَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ

Ilustrasi: Melempar Kitab Allah ke Belakang Punggung.

III. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

Ayat 101 datang setelah serangkaian ayat (mulai dari ayat 89 dan seterusnya) yang mengkritik sikap Bani Israil di Madinah terhadap kenabian Muhammad ﷺ. Mereka sebelumnya sangat menanti-nantikan kedatangan seorang nabi akhir zaman yang diharapkan akan membantu mereka memenangkan pertempuran melawan suku-suku Arab penyembah berhala.

A. Harapan dan Kekecewaan

Kaum Yahudi di Madinah (seperti Bani Quraizah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’) memiliki pengetahuan rinci tentang ciri-ciri Nabi terakhir melalui kitab-kitab suci mereka. Mereka menggunakan pengetahuan ini untuk mengintimidasi suku Aus dan Khazraj, mengklaim bahwa nabi yang akan datang akan memimpin mereka menuju kemenangan. Ini adalah konteks harapan yang dimiliki oleh Ahlul Kitab.

Namun, ketika Rasulullah ﷺ benar-benar datang, dan beliau berasal dari bangsa Arab (Ismail), bukan dari garis keturunan Ishak yang mereka yakini eksklusif, harapan mereka berubah menjadi kekecewaan dan kemudian penolakan. Mereka menolak beliau bukan karena keraguan terhadap kenabiannya—banyak dari mereka yang yakin—tetapi karena faktor kesukuan (rasialisme), fanatisme agama, dan takut kehilangan otoritas keagamaan dan sosial yang telah mereka nikmati.

B. Sikap Selektif Terhadap Wahyu

Ayat ini menggambarkan sebuah mentalitas di mana wahyu diubah menjadi alat, bukan petunjuk. Mereka hanya menerima bagian dari Kitab Suci (Taurat) yang menguntungkan mereka atau yang sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka, dan menolak bagian yang menuntut pengorbanan, kerendahan hati, atau penerimaan terhadap nabi baru. Ini adalah inti dari penolakan yang digambarkan sebagai 'melempar Kitab Allah ke belakang punggung'.

Tafsir Imam Ath-Thabari menjelaskan bahwa ketika Rasulullah ﷺ membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang selaras dengan Taurat (seperti perintah Tauhid dan larangan syirik), mereka mengakui kebenarannya. Namun, ketika beliau membacakan ayat-ayat yang bertentangan dengan kepentingan mereka (misalnya, menyingkap manipulasi yang mereka lakukan terhadap Taurat, atau tuntutan untuk mengikuti syariat Islam), mereka memilih untuk berpaling, bertindak seolah-olah wahyu tersebut tidak pernah ada dalam kitab mereka.

IV. Tafsir Komprehensif: Kedalaman Makna Penolakan

Para mufasir besar memberikan interpretasi yang beragam namun saling melengkapi mengenai apa sebenarnya yang dilemparkan oleh Ahlul Kitab. Pemahaman ini memperluas implikasi ayat dari sekadar peristiwa historis menjadi pelajaran moral universal.

A. Tafsir Ibn Katsir: Pengabaian terhadap Perjanjian

Imam Ibn Katsir mengaitkan ayat 101 dengan konteks ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang perjanjian (mītsāq) yang diambil oleh Allah dari Bani Israil. Penolakan terhadap Rasulullah ﷺ dianggap sebagai pelanggaran janji terbesar. Ibn Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ datang dengan bukti-bukti nyata yang membenarkan keaslian Taurat yang mereka miliki (sebelum diubah), termasuk deskripsi terperinci mengenai diri beliau. Dengan menolak utusan ini, mereka secara implisit menolak bagian dari Kitab Allah yang memerintahkan mereka untuk beriman.

Penolakan mereka terhadap Al-Qur'an dan kenabian Muhammad ﷺ adalah bentuk kekafiran yang paling ekstrem, sebab mereka menyembunyikan kebenaran yang jelas tertulis dalam kitab mereka sendiri, seolah-olah mereka tidak pernah mempelajarinya. Mereka memilih jalan kerugian dunia dan akhirat demi mempertahankan kepentingan sesaat.

B. Tafsir Al-Qurtubi: Prioritas Hawa Nafsu di atas Wahyu

Imam Al-Qurtubi fokus pada makna frasa "ka'annahum lā ya‘lamūn". Beliau berpendapat bahwa ini adalah kritik terhadap kesombongan intelektual. Mereka memiliki ilmu, namun mereka tidak mengamalkannya, sehingga posisi mereka disamakan dengan orang bodoh. Pengetahuan mereka menjadi sia-sia karena tidak menghasilkan tindakan keimanan. Al-Qurtubi menegaskan bahwa yang dibuang ke belakang punggung bukan hanya Al-Qur'an, tetapi juga hukum-hukum Allah yang ada dalam Taurat yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka, seperti hukum rajam atau hukuman bagi perzinahan.

Penolakan ini adalah sebuah pilihan sadar untuk memprioritaskan tradisi atau penafsiran rabbinik mereka sendiri (yang dipengaruhi oleh kepentingan) di atas perintah Allah yang universal dan mutlak.

C. Tafsir Ath-Thabari: Kedudukan Al-Qur'an sebagai Muhaimin

Imam Ath-Thabari menekankan aspek muṣaddiqun limā ma’ahum. Al-Qur'an datang sebagai Kitab yang membenarkan dan mengawasi (muhaimin) kitab-kitab sebelumnya. Dengan menolak Al-Qur'an, mereka menolak otoritas yang dapat menjaga keaslian ajaran ilahi. Penolakan ini menunjukkan bahwa tujuan mereka bukanlah kebenaran, tetapi kepemilikan eksklusif terhadap kebenaran tersebut.

Ath-Thabari juga menjelaskan bahwa sifat "farīqun" merujuk pada para rahib dan pendeta yang memimpin masyarakat mereka, yang takut kehilangan pengaruh jika umat mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Penolakan mereka adalah penolakan strategis yang didasarkan pada perhitungan politik dan ekonomi, bukan keraguan teologis yang murni.

V. Pilar-Pilar Aqidah dalam Ayat 101

Ayat ini membuka pintu diskusi mengenai doktrin-doktrin fundamental dalam Islam, terutama mengenai wahyu (wahy), kenabian (nubuwwah), dan sifat kekafiran (kufr).

A. Kontinuitas dan Puncak Risalah

Al-Qur'an menegaskan bahwa risalah Ilahi adalah sebuah rangkaian yang tidak terputus. Setiap nabi membenarkan nabi sebelumnya dan mengumumkan kedatangan nabi berikutnya. Ayat 101 secara khusus menyoroti Muhammad ﷺ sebagai penyempurna (muṣaddiq) bagi risalah Musa dan Isa. Menolak penyempurna risalah berarti merusak seluruh struktur keimanan terhadap kenabian secara keseluruhan.

Dalam konteks ini, keimanan kepada Al-Qur'an tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Taurat dan Injil yang asli, sebab Al-Qur'an menjadi saksi atas keaslian ajaran dasar tauhid yang dibawa oleh semua nabi.

B. Kekafiran yang Disengaja (Kufr 'Inadi)

Tindakan melempar Kitab Allah ke belakang punggung mencerminkan jenis kekafiran yang disebut kufr ‘inadi, yaitu kekafiran yang didasarkan pada penolakan setelah mengetahui dan meyakini kebenarannya. Ini berbeda dengan kekafiran karena kebodohan atau kurangnya akses informasi (kufr jahl).

Mereka menolak Al-Qur'an bukan karena gagal melihat bukti, melainkan karena mereka melihat bukti itu terlalu jelas, yang mengancam status quo dan kepentingan pribadi mereka. Sikap ka'annahum lā ya‘lamūn adalah manifestasi dari penolakan yang sombong, menolak untuk mengakui otoritas Ilahi karena takut kehilangan otoritas manusiawi.

C. Keseimbangan antara Teks dan Konteks

Pelajaran mendalam dari ayat ini adalah mengenai cara berinteraksi dengan wahyu. Ahlul Kitab di sini gagal karena mereka memisahkan teks dari tujuan Ilahi. Mereka fokus pada teks warisan mereka (Taurat) sebagai identitas budaya dan politik, tetapi mengabaikan tujuan utamanya: petunjuk menuju Allah yang satu. Ketika petunjuk baru yang sejati datang dalam bentuk Al-Qur'an, yang membawa tujuan Ilahi yang sama, mereka menganggapnya sebagai ancaman daripada anugerah.

Simbol hati yang berpaling dari kebenaran Al-Qur'an Sebuah hati yang tertutup oleh gembok, dikelilingi oleh cahaya wahyu yang diabaikan, melambangkan kekafiran yang disengaja. Wahyu Petunjuk Pikiran yang Tertutup (كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ)

Ilustrasi: Hati yang menolak cahaya ilmu dan wahyu.

VI. Implikasi Universal dan Pelajaran Abadi (Ibrah)

Meskipun ayat 101 secara eksplisit ditujukan kepada Ahlul Kitab di masa Nabi, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan berlaku bagi seluruh umat Islam di setiap zaman. Ayat ini memperingatkan kita tentang bahaya kemunafikan intelektual dan seleksi hukum Tuhan.

A. Bahaya Selektivitas dalam Beragama

Pelajaran terbesar adalah peringatan terhadap praktik selektivitas dalam mengimani dan mengamalkan ajaran agama. Jika seseorang hanya mengambil ayat-ayat yang nyaman, yang mendukung kepentingan pribadinya, atau yang sesuai dengan tren masyarakat, dan meninggalkan atau "melempar ke belakang punggung" ayat-ayat yang menuntut pengorbanan, menantang hawa nafsu, atau bertentangan dengan budaya yang sedang berlaku, maka ia telah jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan kaum yang ditegur dalam Al-Baqarah 101.

Syekh Muhammad Abduh menekankan bahwa selektivitas ini adalah akar dari kerusakan umat beragama. Ketika wahyu dijadikan pelayan bagi ideologi, politik, atau kepentingan pribadi, ia kehilangan statusnya sebagai panduan mutlak, dan akhirnya, iman menjadi formalitas tanpa substansi.

B. Kewajiban Menghormati Sumber Ilmu Ilahi

Ayat ini mengajarkan kita bahwa sumber pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah Kitab Allah. Tidak peduli seberapa tinggi pendidikan atau jabatan seseorang, jika ia mengabaikan petunjuk dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah, ia sama saja dengan orang yang berpura-pura tidak tahu. Ilmu yang sebenarnya (‘ilm nāfi‘) adalah ilmu yang mendekatkan diri pada petunjuk wahyu, bukan yang memungkinkan kita mencari alasan untuk menolaknya.

Dalam konteks modern, ‘melempar Kitab Allah ke belakang punggung’ bisa diinterpretasikan sebagai:

  1. Mengabaikan hukum syariat dalam sistem peradilan, ekonomi, atau politik, meskipun secara lisan mengakuinya.
  2. Mengutamakan fatwa manusia atau tradisi yang jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur'an yang sharih (jelas).
  3. Menggunakan interpretasi yang sangat liberal dan merusak (ta’wil fasid) untuk menjustifikasi praktik yang dilarang.

C. Sumpah dan Perjanjian Ilahi

Dalam konteks yang lebih luas, ayat 101 adalah teguran keras bagi pelanggaran janji. Setiap orang yang bersyahadat telah membuat perjanjian (mītsāq) dengan Allah untuk taat dan patuh. Ketika seorang Muslim menyadari kebenaran dari suatu ajaran atau hukum, tetapi menolaknya karena hawa nafsu atau tekanan sosial, ia telah melanggar janji tersebut, mengulangi kesalahan Ahlul Kitab.

Ayat ini berfungsi sebagai cermin untuk introspeksi diri: Apakah kita menerima seluruh ajaran Al-Qur'an, atau hanya bagian yang mudah dan menyenangkan? Keutuhan iman terletak pada penerimaan total terhadap Kitab Allah, sebagaimana Al-Qur'an itu sendiri menuntut, tanpa kecuali.

VII. Pendalaman Teologis dan Filosofi Wahyu

Untuk memahami kedalaman pesan Al-Baqarah 101, kita perlu menelaah lebih jauh filosofi di balik wahyu dan mengapa penolakannya dianggap sebagai dosa besar.

A. Hakikat Tasdiq (Pembenaran)

Ketika Al-Qur'an datang sebagai muṣaddiq (pembenar) bagi kitab-kitab sebelumnya, ini memiliki makna lebih dari sekadar pengakuan. Ia berfungsi sebagai standar keaslian. Jika seorang Ahlul Kitab menolak Al-Qur'an, ia secara logis harus menolak bagian dari kitabnya sendiri yang diramalkan oleh Al-Qur'an. Ini menciptakan konflik teologis yang tidak dapat diselesaikan kecuali melalui penerimaan Al-Qur'an secara utuh.

Teologi Islam menegaskan bahwa Allah tidak akan mengirimkan dua wahyu yang bertentangan secara fundamental dalam hal akidah dasar (Tauhid). Perbedaan yang ada hanya terletak pada syariat atau hukum praktis, yang disesuaikan dengan kebutuhan umat pada zamannya (tadrīj fi tasyri’). Penolakan terhadap Al-Qur'an menunjukkan bahwa Ahlul Kitab lebih memilih syariat yang telah diubah oleh manusia daripada syariat yang dimodifikasi oleh Allah yang sama, yang menunjukkan kelemahan iman mereka terhadap kekuasaan dan kebijaksanaan Allah (hikmah).

B. Ilmu yang Menjadi Bala

Frasa "ka'annahum lā ya‘lamūn" (seolah-olah mereka tidak tahu) memberikan landasan filosofis tentang peran ilmu dalam agama. Ilmu yang tidak diikuti oleh amal atau yang digunakan untuk menjustifikasi kejahatan adalah bencana (bala’). Ahlul Kitab memiliki keunggulan pengetahuan; mereka adalah pemegang tradisi kenabian. Namun, ketika ilmu itu malah menghalangi mereka dari kebenaran yang baru, ilmu itu menjadi penghalang antara mereka dan Allah.

Dalam tradisi Islam, ada perbedaan tajam antara 'ilm (pengetahuan) dan ma'rifah (pengenalan sejati yang menghasilkan ketaatan). Ahlul Kitab mungkin memiliki 'ilm tentang Nabi Muhammad, tetapi mereka tidak memiliki ma'rifah yang menuntut ketaatan dan kepasrahan. Inilah yang mengubah mereka dari orang berilmu menjadi orang yang berpura-pura bodoh.

C. Konsep Perjanjian (Mītsāq) dan Konsekuensi

Rangkaian ayat-ayat Al-Baqarah menekankan bahwa hubungan antara Allah dan manusia didasarkan pada perjanjian. Perjanjian ini menuntut kepatuhan total dan tanpa syarat. Pelanggaran perjanjian di sini adalah penolakan terhadap inti dari risalah yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ, yaitu penyatuan kembali semua manusia di bawah satu panji Tauhid yang murni dan menyeluruh.

Konsekuensi dari ‘melempar Kitab Allah’ dijelaskan dalam ayat-ayat selanjutnya, yang berbicara tentang mereka yang menukarkan kebenaran dengan harga yang murah (ayat 102). Ini menggarisbawahi bahwa penolakan wahyu selalu didorong oleh motivasi duniawi—kekayaan, status, atau kekuasaan—yang pada akhirnya hanya membawa kerugian abadi.

VIII. Pengembangan Detail Wacana Tafsir Klasik

Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang memadai, kita perlu menjelajahi bagaimana mufasir dari berbagai mazhab menafsirkan setiap aspek penolakan yang digambarkan dalam ayat ini, terutama fokus pada dimensi psikologis dan sosiologis dari kekafiran.

A. Dimensi Psikologis Penolakan (Nabażahu)

Mufasir modern, seperti Sayyid Qutb dalam Fī Ẓilāl al-Qur'ān, menganalisis tindakan nabażahu (melempar) sebagai sebuah fenomena psikologis. Ini adalah tindakan internal pemutusan hubungan. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan otoritas keagamaan mereka sendiri, menerima otoritas baru, meskipun ia adalah kebenaran, memerlukan kerendahan hati yang mendalam. Ketika kerendahan hati ini hilang, ego menggantikannya, dan Kitab Allah dipandang sebagai ancaman. Jiwa mereka memilih untuk menenangkan diri dengan berpura-pura bahwa wahyu itu tidak relevan atau tidak sahih, meskipun hati kecil mereka mengakui sebaliknya.

Tindakan ini juga menunjukkan kecerobohan spiritual yang akut. Sesuatu yang seharusnya dipegang erat (Kitab Allah) diperlakukan dengan penghinaan dan pengabaian, sebuah indikasi bahwa hati telah menjadi keras dan tidak lagi sensitif terhadap petunjuk Ilahi.

B. Analisis Sosial: Konteks Kepemimpinan Agama

Dalam konteks Madinah, Ahlul Kitab, terutama para rahib mereka, memainkan peran sentral dalam struktur sosial dan hukum. Ayat 101 secara implisit mengkritik para pemimpin agama yang memanipulasi wahyu demi mempertahankan kekuasaan. Ibnu Zaid berpendapat bahwa yang paling aktif dalam melempar Kitab Allah adalah para pemimpin yang khawatir bahwa penerimaan Islam akan mengurangi sumbangan yang mereka terima dari umat mereka dan menghilangkan status mereka sebagai penjaga eksklusif kebenaran.

Kekafiran mereka bukanlah kekafiran massa, melainkan kekafiran yang didorong oleh elit. Ini adalah pelajaran sosiologis: ketika ilmu agama menjadi komoditas atau alat politik, penolakan terhadap kebenaran yang baru akan menjadi respons yang diprediksi untuk mempertahankan hegemoninya.

C. Sifat Kitab Allah yang Dilempar

Perdebatan mengenai apakah yang dilempar adalah Taurat/Injil atau Al-Qur'an memiliki dimensi teologis penting:

Tafsir Razi menyimpulkan bahwa penolakan itu bersifat komprehensif. Dengan menolak Al-Qur'an (yang membenarkan Tauhid murni), mereka secara de facto menolak bagian yang benar dari kitab mereka. Dengan demikian, melempar satu Kitab Allah setara dengan menolak seluruh rantai wahyu, karena semua wahyu memiliki mata rantai tauhid yang sama.

IX. Keterkaitan Rantai Ayat: Koherensi Al-Baqarah

Ayat 101 tidak berdiri sendiri. Ia merupakan jembatan naratif yang penting, menghubungkan kritik terhadap Ahlul Kitab (mulai dari ayat 89) dengan peringatan keras terhadap mereka yang terlibat dalam sihir dan mengikuti ajaran yang menyesatkan (ayat 102 dan seterusnya).

A. Hubungan dengan Ayat 90: Pertukaran Murah

Ayat 90 sebelumnya berbunyi: "Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya dengan kekafiran..." Ayat 101 adalah deskripsi operasional dari bagaimana penjualan diri ini dilakukan: yaitu dengan melempar Kitab Allah ke belakang punggung. Mereka menukar karunia iman dan pengetahuan yang mahal dengan keuntungan duniawi yang rendah (seperti mempertahankan kedudukan atau menghindari pajak). Ayat 101 menunjukkan bahwa proses 'pertukaran' ini membutuhkan pengabaian yang disengaja terhadap sumber kebenaran.

B. Gerbang Menuju Ayat 102: Mengikuti Kebatilan

Setelah menolak wahyu yang murni (Al-Qur'an), ayat 102 menjelaskan ke mana mereka berpaling: mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan pada masa Nabi Sulaiman, yaitu praktik sihir dan kebatilan. Ini adalah jalur logis yang keras dari Al-Qur'an: jika Anda menolak petunjuk yang jelas dari Allah, kekosongan spiritual itu akan diisi oleh kebatilan dan kesesatan. Penolakan terhadap Kitab Allah (ayat 101) adalah penyebab utama dari merangkul kebatilan dan sihir (ayat 102).

Keterkaitan ini menunjukkan bahwa tidak ada posisi netral dalam berinteraksi dengan wahyu. Jika kebenaran (wahyu) dibuang, maka kekafiran dan kebohongan (sihir/kebatilan) akan diterima sebagai pengganti. Ini adalah sebuah hukum spiritual yang abadi.

C. Peringatan bagi Umat Islam

Rantai ayat ini berfungsi sebagai peringatan profetik bagi umat Islam sendiri. Kita adalah Ummatan Wasatan (umat pertengahan) yang diberi Kitab (Al-Qur'an) sebagai warisan terbaik. Jika kita mulai bersikap selektif terhadap Al-Qur'an, menolak ayat-ayat yang sulit atau tidak populer, kita berisiko mengulangi kesalahan Ahlul Kitab yang ditegur dalam ayat 101 ini. Konsekuensinya adalah hilangnya petunjuk dan jatuhnya umat ke dalam berbagai bentuk penyimpangan dan perpecahan.

X. Implementasi Nilai dan Sikap Seorang Mukmin

Kesimpulan dari kajian mendalam terhadap Al-Baqarah ayat 101 adalah penetapan sikap yang harus dimiliki oleh setiap mukmin terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.

A. Sikap Penerimaan Total (Sami'na wa Ata'na)

Seorang mukmin sejati harus menginternalisasi prinsip "Sami’nā wa aṭa’nā" (Kami dengar dan kami taat). Penerimaan ini harus meliputi seluruh ajaran, baik yang mudah dipahami maupun yang memerlukan penafsiran mendalam, baik yang disukai maupun yang menantang ego. Perbedaan fundamental antara kaum yang dikritik dalam ayat 101 dan kaum mukmin sejati adalah penolakan terhadap selektivitas.

Ayat ini mendorong kita untuk selalu menjadikan Kitab Allah sebagai rujukan pertama dan utama dalam menghadapi dilema moral, sosial, atau politik. Kitab suci harus diletakkan di depan mata kita (sebagai panduan), bukan di belakang punggung kita (sebagai sesuatu yang diabaikan).

B. Mengatasi Fanatisme Sektarian

Penolakan Ahlul Kitab berakar pada fanatisme (ta’aṣṣub) terhadap tradisi dan kelompok mereka sendiri. Ayat 101 mengajarkan bahwa kebenaran tidak terikat pada garis keturunan, suku, atau institusi keagamaan tertentu, melainkan terikat pada wahyu Ilahi. Seorang mukmin harus selalu siap menerima kebenaran, dari mana pun asalnya, selama ia bersesuaian dengan Kitab Allah dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ.

C. Memelihara Kesadaran Ilmiah

Tindakan berpura-pura tidak tahu (ka'annahum lā ya‘lamūn) menunjukkan krisis kesadaran. Umat Islam harus terus berupaya mencari ilmu dan memahami wahyu agar tidak jatuh pada pengabaian yang disengaja. Pengabaian terhadap Al-Qur'an hari ini, meskipun tidak dalam bentuk fisik melempar kitab, bisa berupa:

Ayat 101 adalah seruan keras untuk kembali kepada Kitab Allah dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, mengakui bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk berpura-pura tidak tahu setelah wahyu telah disampaikan secara sempurna dan jelas.

Dengan memahami Tafsir Al-Baqarah ayat 101, kita menyadari bahwa ujian terbesar bagi umat beragama bukanlah apakah mereka memiliki Kitab Suci, melainkan bagaimana mereka memperlakukan Kitab Suci itu ketika Kitab Suci tersebut menuntut kepatuhan total dan berhadapan dengan kepentingan diri sendiri. Kekuatan iman sejati terletak pada kemampuan untuk memeluk seluruh kebenaran tanpa syarat, dan menghindari jebakan penolakan yang disengaja, sebagaimana diperingatkan dalam firman-Nya yang abadi. Ayat ini mengajarkan bahwa sejarah penolakan wahyu akan terus berulang, kecuali jika hati manusia dijaga dengan ketulusan dan kepasrahan kepada Allah SWT.

XI. Elaborasi Konsep Ketidakpedulian Spiritual

Konsep ketidakpedulian spiritual yang diwakili oleh frasa "warā’a ẓuhūrihim" (di belakang punggung mereka) memerlukan analisis mendalam. Dalam tradisi retorika Arab, jika sesuatu diletakkan di depan mata, ia adalah prioritas, fokus, dan perhatian. Sebaliknya, menempatkannya di belakang punggung menunjukkan pembuangan, ketidakpedulian, dan peniadaan nilai.

A. Pengabaian Aktif vs. Pasif

Tindakan melempar (nabażahu) bukanlah pengabaian pasif (seperti lupa). Ini adalah pengabaian aktif yang disengaja. Mereka secara sadar memutar badan mereka dan membuang Kitab itu. Hal ini menegaskan bahwa dosa yang mereka lakukan adalah dosa pilihan, bukan dosa kelalaian semata. Ini relevan dengan kehidupan modern, di mana akses terhadap informasi agama sangat mudah; memilih untuk mengabaikan atau tidak mempelajari Al-Qur'an hari ini adalah bentuk aktif dari penolakan.

Pengabaian aktif ini sering kali didorong oleh ketakutan. Takut terhadap komitmen, takut terhadap kesulitan, takut terhadap kritik sosial. Para elit Ahlul Kitab takut kehilangan muka di hadapan kaumnya sendiri. Ketakutan ini menjadi tirai yang membuat mereka berpura-pura tidak melihat kebenaran yang jelas di depan mata mereka.

B. Kehampaan Moral yang Diciptakan

Ketika wahyu, yang merupakan sumber moralitas dan etika universal, dilempar ke belakang, yang terjadi adalah kehampaan moral. Masyarakat yang seharusnya dipandu oleh prinsip-prinsip Ilahi (seperti keadilan, kesetaraan, dan Tauhid) mulai dipandu oleh kepentingan sempit dan hukum buatan manusia yang seringkali korup. Ayat 101 menunjukkan bahwa kemunduran moral suatu komunitas dimulai dari keputusan kolektif untuk mengabaikan sumber kebenaran yang diturunkan.

C. Sifat 'Kolektif' dari Penolakan

Meskipun Al-Qur'an menggunakan "farīqun" (sebagian), kelompok ini seringkali adalah kelompok yang dominan atau berpengaruh. Penolakan mereka menciptakan gelombang penolakan di kalangan masyarakat yang lebih luas, yang mengikuti pemimpin mereka tanpa pertanyaan. Ayat ini mengajarkan pentingnya integritas kepemimpinan agama. Jika para pemimpin spiritual kehilangan integritas mereka dan menolak wahyu demi keuntungan, masyarakat awam akan tersesat dalam jumlah besar.

Dalam konteks modern, ini berlaku untuk para cendekiawan dan intelektual Muslim. Jika mereka menggunakan ilmu mereka untuk membenarkan ketidaktaatan atau untuk menyesuaikan Islam agar sesuai dengan setiap ideologi sekuler, mereka berisiko menjadi "farīqun" yang baru, yang membuang pesan inti Al-Qur'an ke belakang punggung mereka.

Implikasi ketidakpedulian spiritual ini sangat luas. Ia menyentuh setiap aspek kehidupan, mulai dari cara berinteraksi di pasar hingga cara memutuskan kebijakan negara. Jika Kitab Allah telah dibuang, tidak ada lagi panduan yang konsisten, yang menyebabkan masyarakat berkutat dalam relativisme dan kekacauan hukum. Inilah harga yang harus dibayar oleh komunitas yang memilih untuk bertindak seolah-olah mereka tidak tahu, padahal mereka memiliki sumber pengetahuan tertinggi di tangan mereka.

XII. Mendalami Makna Teologis Kitab Allah sebagai Pemberi Janji

Penting untuk menghubungkan ayat 101 dengan tema perjanjian ('ahd atau mītsāq) yang berulang kali disoroti dalam Surat Al-Baqarah. Kitab Allah, baik Taurat maupun Al-Qur'an, adalah dokumen perjanjian. Ia menjamin keselamatan bagi mereka yang taat dan konsekuensi buruk bagi mereka yang melanggar.

A. Kontrak Ilahi yang Dilanggar

Kitab Suci adalah kontrak yang mengikat antara Pencipta dan ciptaan. Dengan menolak utusan yang membenarkan dan memperbarui kontrak tersebut (Nabi Muhammad ﷺ), Ahlul Kitab tidak hanya menolak ajaran baru, tetapi mereka melanggar janji utama yang telah mereka ambil di hadapan Allah. Pelanggaran kontrak ini adalah inti dari kekafiran mereka, karena ia menunjukkan ketidaksetiaan fundamental kepada Allah.

Tindakan melempar Kitab ke belakang punggung adalah cara retoris Al-Qur'an untuk mengatakan: mereka telah membatalkan kontrak tersebut. Mereka telah melepaskan diri dari tanggung jawab spiritual yang telah mereka ambil, memilih otonomi spiritual yang palsu di atas petunjuk Ilahi yang sejati.

B. Implikasi pada Sifat Wahyu

Ayat 101 menegaskan bahwa wahyu adalah cahaya yang datang untuk mengungkap kegelapan. Penolakan terhadap cahaya ini adalah pilihan yang menempatkan kegelapan sebagai preferensi. Ini memperkuat sifat wahyu sebagai otoritas tertinggi yang tidak bisa disubordinasikan oleh tradisi, tafsir, atau kekuasaan manusia.

Jika Ahlul Kitab berhak menolak bagian dari Kitab Suci yang tidak mereka sukai, maka konsep wahyu menjadi subjektif dan kehilangan kekuatan mutlaknya. Al-Qur'an menolak relativisme ini, menegaskan bahwa kebenaran itu tunggal, dan penolakan yang disengaja akan selalu membawa pelakunya pada kekafiran yang disamarkan sebagai kebodohan (ka'annahum lā ya‘lamūn).

Pelajaran yang terus-menerus relevan bagi umat Islam adalah: menjaga Kitab Allah di hadapan kita berarti menjadikannya penentu dalam setiap polemik, setiap keputusan, dan setiap perselisihan, sehingga kita tidak pernah menjadi golongan yang membuang petunjuk Ilahi ke belakang punggung kita.

🏠 Kembali ke Homepage