Pendahuluan: Pentingnya Perjanjian Ilahi
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang sarat dengan kisah, hukum, dan peringatan. Salah satu tema sentral yang diulang-ulang adalah konsep perjanjian atau Ahd, yaitu ikatan suci antara manusia dengan Tuhan, atau ikatan yang wajib dijaga antar sesama manusia. Konteks Surah Al-Baqarah, yang merupakan surah terpanjang dalam Al-Qur’an, banyak menyoroti interaksi Allah dengan Bani Israil, menyingkap sejarah panjang mereka, termasuk janji-janji yang mereka ikrarkan dan bagaimana janji-janji tersebut akhirnya mereka lalaikan.
Ayat ke-100 dari Surah Al-Baqarah berdiri sebagai pengingat yang tajam mengenai bahaya melanggar janji. Ayat ini tidak hanya menceritakan fakta historis tentang suatu kaum, tetapi juga memberikan cerminan abadi bagi setiap umat, termasuk umat Islam, tentang pentingnya kesetiaan, keikhlasan, dan integritas dalam menjalankan ajaran agama. Pelanggaran janji dalam konteks ini bukanlah sekadar kesalahan moral, melainkan pengkhianatan terhadap kebenaran ilahi yang telah diketahui dan disaksikan kebenarannya.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan narasi kenabian terdahulu dengan kehadiran wahyu terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Pemahaman mendalam terhadap al baqarah ayat 100 memerlukan analisis linguistik, kajian konteks sejarah nuzul (turunnya ayat), dan komparasi dengan berbagai pandangan tafsir klasik yang kaya.
Ayat ke-100: Teks, Terjemah, dan Makna Dasar
Ayat ini singkat namun mengandung substansi peringatan yang padat. Untuk memahami intisarinya, kita harus terlebih dahulu mencermati lafaz aslinya dan terjemahan literal yang menyertainya.
Terjemahan Resmi Bahasa Indonesia
“Mengapa (mereka berbuat demikian)? Bukankah setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkannya (mengingkarinya)? Bahkan, kebanyakan mereka tidak beriman.”
Visualisasi konsep janji suci (Ahd) yang diabaikan atau dilempar (Nabz).
Analisis Linguistik Kunci
Untuk memahami kedalaman ayat ini, tiga kata kunci harus diurai:
1. العهد (Al-Ahd – Perjanjian/Kovenan)
Kata Ahd dalam bahasa Arab mengandung makna sumpah, janji, ikrar, wasiat, atau tanggung jawab. Dalam konteks ilahi, ini sering merujuk pada perjanjian mendasar yang Allah ambil dari umat manusia atau yang Allah berikan kepada para nabi. Perjanjian yang dimaksud di sini bersifat ganda:
- Ahd Pertama: Perjanjian yang diambil oleh Allah dari Bani Israil melalui Musa (Taurat), yaitu untuk beribadah hanya kepada Allah, menjalankan syariat, dan mematuhi Rasul-Nya.
- Ahd Kedua: Janji yang secara spesifik ada dalam kitab suci mereka (Taurat dan Injil) mengenai kedatangan Nabi terakhir, Muhammad SAW, serta kewajiban untuk mengikuti dan membelanya. Inilah janji yang secara langsung mereka ingkari saat Nabi Muhammad tiba di Madinah.
2. نَبَذَهُ (Nabazahu – Melemparkannya/Mencampakkannya)
Kata Nabazahu sangat kuat maknanya. Ia berarti 'melempar jauh-jauh', 'mencampakkan', atau 'mengabaikan sepenuhnya', seolah-olah janji itu adalah sesuatu yang kotor atau tidak berharga. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa pengingkaran janji tersebut dilakukan bukan karena ketidaksengajaan atau kelalaian, melainkan karena kesadaran dan kesengajaan untuk menolak kebenaran yang telah diketahui.
3. فَرِيقٌ مِّنْهُم (Fariqun Minhum – Segolongan dari Mereka)
Penting untuk dicatat bahwa Al-Qur’an menggunakan frasa "segolongan dari mereka" (Fariqun Minhum). Ini menunjukkan bahwa tindakan pengingkaran janji ini dilakukan oleh para pemimpin agama, para rabi, atau kaum elit yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, yang secara sadar menyembunyikan kebenaran demi kepentingan duniawi atau menjaga status quo mereka. Ini tidak menuduh seluruh individu Bani Israil, meskipun ayat diakhiri dengan kesimpulan yang lebih luas.
Konteks Sejarah dan Tafsir Klasik
Ayat 100 ini tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang kondisi Bani Israil di Madinah dan penolakan mereka terhadap kenabian Muhammad SAW, meskipun mereka telah menantikan kedatangan seorang nabi dari Arab.
Konteks Nuzul: Pengkhianatan di Madinah
Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, terdapat beberapa kabilah Yahudi (seperti Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’) yang tinggal di sana. Mereka memiliki perjanjian dengan suku-suku Arab lokal (Aus dan Khazraj). Namun, perjanjian yang lebih penting adalah janji yang terdapat dalam kitab-kitab suci mereka:
Bukti-bukti Janji yang Diingkari
Para mufasir, seperti Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa Ahd (janji) yang dilempar ini memiliki beberapa dimensi yang tumpang tindih:
Dimensi Pertama: Janji untuk Mengikuti Nabi Akhir Zaman.
Kitab-kitab suci yang ada pada mereka mencantumkan ciri-ciri Nabi Muhammad SAW. Mereka mengetahui bahwa waktunya telah tiba, bahkan sebelum kedatangan Nabi, mereka sering mengancam kaum musyrikin Madinah dengan mengatakan bahwa nabi akhir zaman akan datang, dan bersamanya mereka akan mengalahkan musuh-musuh mereka. Namun, ketika nabi itu datang dari keturunan Ismail (Arab) dan bukan keturunan Ishaq (Yahudi), kesombongan rasial dan kecemburuan mendorong mereka untuk melempar janji tersebut jauh-jauh.
Dimensi Kedua: Janji untuk Tidak Mendukung Kaum Musyrik.
Pada masa lalu, mereka telah membuat perjanjian dengan Allah untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi dan tidak membantu kaum musyrik melawan Nabi yang diutus. Namun, sebagian mereka justru bersekutu dengan kaum musyrik (seperti kabilah Aus dan Khazraj sebelum mereka masuk Islam) untuk berperang melawan sesama manusia, melanggar perjanjian moral dasar yang mereka miliki.
Dimensi Ketiga: Janji Taurat untuk Beramal.
Setiap perjanjian Taurat yang mereka ambil untuk beramal sesuai dengan hukum Allah selalu saja mereka lupakan atau mereka modifikasi demi keuntungan sesaat. Siklus ini—mengikat janji di satu saat, lalu segera melanggarnya di saat lain—adalah watak yang disorot oleh ayat ini.
Pandangan Tafsir oleh Imam Ar-Razi
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menekankan bahwa pertanyaan retoris di awal ayat, “Awa kullama ‘ahadu ‘ahdan…” (Mengapa setiap kali mereka mengikat janji...), menunjukkan keheranan ilahi atas sifat mereka yang berulang kali mengingkari. Ini bukan insiden tunggal, melainkan suatu pola perilaku yang mendarah daging. Ar-Razi menyoroti bahwa pengingkaran ini adalah bukti konkret bahwa hati mereka telah keras dan tidak lagi memiliki tempat bagi iman sejati.
Kesimpulan Ayat: Kebanyakan Mereka Tidak Beriman
Penutup ayat ini, “Bahkan, kebanyakan mereka tidak beriman,” memberikan pukulan teologis yang telak. Meskipun hanya segolongan yang secara aktif melakukan pengingkaran (para pemimpin), mayoritas dari mereka tidak memiliki keimanan sejati yang akan menahan mereka dari mengikuti jejak para pemimpin yang ingkar tersebut. Keimanan mereka rapuh, sehingga begitu janji dilempar oleh pemimpin mereka, mereka pun tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan kebenaran. Ini menunjukkan bahwa pengingkaran janji adalah akibat langsung dari ketiadaan akar keimanan yang kokoh.
Analisis Teologis dan Hukum Perjanjian (Fiqh Al-Ahd)
Ayat al baqarah ayat 100 membawa kita pada diskusi yang lebih luas mengenai hukum dan etika perjanjian dalam Islam, yang memiliki status sangat tinggi—sejajar dengan menepati sumpah.
Status Hukum Perjanjian dalam Syariat
Dalam Islam, menepati janji (Al-Wafa’ bi al-Ahd) adalah salah satu karakteristik fundamental seorang mukmin sejati. Pengingkaran janji (Nakth al-Ahd) dianggap sebagai sifat kemunafikan. Rasulullah SAW bersabda bahwa salah satu tanda munafik adalah ketika berjanji, ia mengingkarinya.
Klasifikasi Perjanjian yang Disinggung
Ayat ini mencakup berbagai jenis perjanjian yang harus dihormati:
- Perjanjian Ilahiah (Ahdullah): Kewajiban teologis untuk mentauhidkan Allah, tunduk pada syariat-Nya, dan mengakui para Rasul-Nya. Ini adalah perjanjian primordial yang disorot dalam Al-Qur'an.
- Perjanjian Kenabian (Ahd al-Nubuwwah): Janji yang diberikan kepada nabi-nabi terdahulu untuk mengakui nabi yang datang setelah mereka, khususnya Nabi Muhammad SAW.
- Perjanjian Sosial dan Politik (Ahd al-Mujtama’): Kontrak damai dan kesepakatan non-agresi antar kelompok masyarakat, seperti yang diikat oleh komunitas Yahudi di Madinah.
Pengingkaran yang dilakukan oleh Bani Israil adalah pengingkaran terhadap ketiga jenis perjanjian ini secara simultan. Mereka mengkhianati ajaran dasar agama mereka (Ilahiah), menolak nabi yang dijanjikan (Kenabian), dan melanggar kesepakatan damai dengan kaum Muslimin (Sosial/Politik).
Korelasi antara Pengingkaran Janji dan Kekafiran
Penempatan frasa “Bahkan, kebanyakan mereka tidak beriman” setelah deskripsi pengingkaran janji menunjukkan hubungan sebab-akibat yang jelas: pengingkaran janji, khususnya yang berkaitan dengan kebenaran ilahi, adalah manifestasi lahiriah dari ketiadaan iman batiniah.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa orang yang mengetahui kebenaran suatu perjanjian (bahwa Muhammad adalah Rasulullah yang dijanjikan) namun sengaja melemparkannya, berarti dia tidak menghargai perintah Allah. Seseorang yang tidak menghargai perintah Allah, bagaimana mungkin dia dianggap beriman?
Siklus Pengingkaran Berulang
Struktur ayat yang menggunakan kata “kullama” (setiap kali) menunjukkan sebuah siklus kegagalan moral. Ini bukan sekali dua kali, tetapi merupakan karakteristik yang konsisten. Setiap kali ada kesempatan untuk memperbaharui janji atau membuat janji baru, mereka melanggarnya. Siklus ini menggambarkan kebobrokan spiritual yang akut dan kronis.
Pengingkaran yang terus-menerus ini, menurut para teolog, menghilangkan rasa hormat terhadap ikrar suci, hingga akhirnya janji itu tidak lagi memiliki makna apa pun bagi mereka, dan ini adalah puncak dari kekafiran praktis (kufr ‘amali).
Implikasi terhadap Hukum Islam (Syariah)
Dari ayat ini, syariat Islam mengambil pelajaran fundamental mengenai pentingnya menjaga kontrak, baik dalam aspek personal (sumpah, nazar) maupun publik (akad, muamalah, perjanjian damai). Konsep al-Wafa’ bi al-‘Uqud (memenuhi kontrak) diletakkan sebagai landasan interaksi sosial dan ekonomi dalam Islam. Jika janji kepada Allah pun dilempar, apalagi janji kepada sesama manusia.
Relevansi Abadi Al-Baqarah 100 bagi Umat Islam Kontemporer
Meskipun ayat al baqarah ayat 100 secara langsung ditujukan kepada Bani Israil, pelajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan relevan secara mendalam bagi umat Islam saat ini. Kita juga rentan terhadap ‘melempar’ janji yang kita miliki kepada Allah SWT.
1. Mengingkari Perjanjian Qur'ani
Perjanjian utama umat Islam adalah Al-Qur’an itu sendiri. Setiap Muslim telah berjanji untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Pengingkaran modern terhadap janji ini terjadi ketika:
- Pengabaian Ajaran: Mengetahui hukum-hukum Allah (misalnya, tentang riba, jilbab, atau amanah), namun sengaja mengabaikannya demi kenyamanan atau tren dunia. Ini sama saja dengan 'melempar' Ahd (janji) itu.
- Selektivitas Ayat: Mengimani sebagian ayat yang mudah (shalat, puasa) tetapi menolak atau mengesampingkan ayat-ayat yang dirasa sulit atau tidak sesuai dengan hawa nafsu (hukum waris, jihad, muamalah).
Jika Bani Israil mengabaikan janji yang ada di kitab suci mereka tentang Nabi yang akan datang, maka umat Islam modern berpotensi mengabaikan janji yang sudah tertulis jelas di dalam Al-Qur'an yang mereka klaim imani.
2. Pengingkaran Ahd dalam Kepemimpinan
Ayat ini secara khusus menyebutkan “segolongan dari mereka” (para pemimpin dan ulama). Dalam konteks modern, ini memperingatkan para pemimpin (ulama, cendekiawan, politisi) yang memegang amanah umat. Ketika pemimpin mengorbankan prinsip-prinsip syariat atau keadilan demi kekuasaan atau keuntungan pribadi, mereka telah 'melempar' janji yang mereka ikrarkan saat menerima jabatan atau tanggung jawab keagamaan.
Tindakan pengingkaran oleh pemimpin ini sangat berbahaya karena, seperti yang terjadi pada Bani Israil, mayoritas umat yang lemah imannya akan ikut terseret dalam pengingkaran tersebut, sehingga kesimpulan ayat “kebanyakan mereka tidak beriman” akan berlaku pada generasi penerusnya.
3. Menjaga Integritas Diri: Ahd Personal
Setiap ibadah adalah pembaruan perjanjian. Shalat adalah janji untuk mengingat Allah; puasa adalah janji untuk mengendalikan diri. Ketika seseorang melaksanakan ibadah hanya sebagai rutinitas tanpa makna batin, dan segera kembali melanggar syariat setelah ibadah selesai, maka ini adalah bentuk Nabz al-Ahd (mencampakkan janji) yang dilakukan secara personal.
Pelajaran terpenting dari ayat al baqarah ayat 100 adalah bahwa konsistensi dalam kebaikan (istiqamah) adalah bukti keimanan sejati. Keimanan yang fluktuatif, yang hanya taat saat mudah dan ingkar saat sulit, adalah keimanan yang rapuh, dan rentan jatuh ke dalam kategori yang disorot oleh ayat ini.
Ekspansi Mendalam: Fenomena Nabz al-Ahd (Mencampakkan Perjanjian)
Kata Nabazahu yang digunakan dalam ayat ini memiliki konotasi yang sangat mendalam dan kritis. Ini bukan hanya masalah kelupaan atau kekhilafan, tetapi tindakan yang disengaja. Untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang komprehensif, kita perlu membedah lebih jauh apa saja bentuk dari Nabz al-Ahd dan bagaimana para mufasir memandang kesengajaan ini.
A. Makna Kesengajaan dalam Nabz
Para ulama bahasa membandingkan kata Nabz dengan kata lain yang berarti meninggalkan, seperti Tark (meninggalkan) atau Ighfal (melalaikan). Nabz mengandung unsur penghinaan. Ketika seseorang mencampakkan sesuatu, ia menunjukkan bahwa barang tersebut tidak layak dipertahankan. Dalam konteks ayat ini, Bani Israil mencampakkan janji Allah, menunjukkan bahwa dalam pandangan mereka, janji tersebut tidak layak dihormati dibandingkan dengan keuntungan duniawi mereka.
Ibnu Kathir dalam tafsirnya mencatat bahwa pengingkaran janji ini terjadi karena sifat materialisme dan keduniaan telah menguasai hati mereka. Mereka tahu persis bahwa Muhammad adalah nabi yang dijanjikan—sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri—tetapi mereka memilih kekafiran dan ingkar karena takut kehilangan status sosial dan finansial sebagai pemegang otoritas agama di Madinah.
Pencampakan Janji sebagai Siklus Generasi
Lebih lanjut, tafsir menunjukkan bahwa Bani Israil yang hidup di zaman Nabi Muhammad SAW telah mewarisi tradisi pengingkaran dari leluhur mereka. Siklus ini dimulai sejak zaman Musa AS, di mana mereka berjanji untuk taat namun kemudian menyembah anak sapi emas. Mereka berjanji untuk masuk ke tanah suci namun menolak karena takut berperang. Setiap generasi datang dengan janji baru, dan segolongan dari mereka selalu ada yang melemparnya. Ayat 100 ini menyimpulkan sejarah panjang pengkhianatan ini.
B. Perjanjian Rahasia dan Pengingkaran Kebenaran
Salah satu aspek janji yang paling sensitif adalah janji untuk menyampaikan kebenaran ilahi. Para rabi Yahudi yang disebutkan dalam ayat ini dituduh menyembunyikan kebenaran tentang ciri-ciri Nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam Taurat dan Injil (yang telah diubah, namun masih memuat sisa-sisa kebenaran). Dalam Surah Al-Baqarah, Allah telah memperingatkan mereka tentang menyembunyikan kebenaran (ayat 42, 79).
Pengingkaran (Nabz) terhadap perjanjian di sini adalah tindakan proaktif: Mereka tidak hanya tidak mau beriman, tetapi mereka juga berusaha mencegah orang lain beriman dengan menutupi dan memalsukan teks suci yang ada di tangan mereka. Ini adalah bentuk pengingkaran janji terburuk, karena melibatkan penipuan terhadap umat yang mereka pimpin.
C. Perbandingan dengan Ahd dalam Surah Lain
Penting untuk membandingkan al baqarah ayat 100 dengan ayat-ayat lain yang membahas perjanjian, untuk melihat betapa uniknya kasus Bani Israil yang disorot di sini:
- Al-Ma’idah (5:7): Allah memerintahkan umat Muslim untuk mengingat janji (Ahd) yang mereka ikat dengan Allah. Ayat ini bernada perintah positif.
- Al-A’raf (7:102): Menyatakan bahwa kebanyakan umat yang ada sebelumnya adalah orang-orang yang melanggar janji (fa ma wajadna li aktharihim min ‘ahd). Ayat ini menunjukkan bahwa pengingkaran janji adalah masalah umum pada umat-umat terdahulu.
- Ar-Ra'd (13:20): Memuji orang-orang yang menepati janji Allah dan tidak melanggarnya.
Ayat 100 di Al-Baqarah menonjol karena menggunakan pertanyaan retoris yang mengecam keterulangan dan kesengajaan pengingkaran tersebut (Awa kullama ‘ahadu ‘ahdan nabazahu fariqun minhum). Fokusnya adalah pada kebiasaan yang tidak dapat diperbaiki. Ini adalah kronologi kerusakan moral.
D. Dampak Pengingkaran Perjanjian
Akibat dari Nabz al-Ahd ini sangat fatal, baik secara duniawi maupun ukhrawi. Di dunia, pengkhianatan ini menyebabkan hilangnya kepercayaan, perpecahan, dan akhirnya, hukuman dari Allah (seperti pengusiran dari Madinah). Secara ukhrawi, hal ini memastikan tempat mereka bersama dengan orang-orang yang secara eksplisit menolak kebenaran, sebagaimana disimpulkan oleh akhir ayat: “kebanyakan mereka tidak beriman.”
Sikap 'melempar janji' adalah sikap menafikan otoritas. Jika janji Allah yang merupakan janji tertinggi saja dianggap remeh, maka tidak ada lagi otoritas yang diakui oleh mereka. Inilah akar dari segala bentuk kesesatan dan penyimpangan dalam sejarah keagamaan.
Kajian Ekstensif: Konsep Ahd (Perjanjian) dalam Yurisprudensi Islam
Pembahasan mengenai al baqarah ayat 100 menuntun kita kepada pentingnya etika kontrak dan perjanjian dalam seluruh sistem hukum Islam. Islam sangat menekankan bahwa janji adalah hutang (al-'Ahd dayn). Ayat ini menegaskan bahwa keimanan sejati berbanding lurus dengan kemampuan untuk menepati janji, baik yang bersifat vertikal (kepada Allah) maupun horizontal (kepada manusia).
A. Ahd dan Amanah: Sebuah Keterkaitan
Perjanjian (Ahd) seringkali disandingkan dengan Amanah (kepercayaan atau tanggung jawab). Janji yang dibuat adalah amanah yang harus ditunaikan. Ketika Bani Israil mencampakkan janji ilahi, mereka juga mengkhianati amanah kenabian yang telah diwariskan kepada mereka. Mereka diberikan Taurat sebagai amanah, dan mereka diberi amanah untuk menjadi saksi atas kebenaran nabi yang akan datang.
Imam Al-Ghazali dalam karyanya menekankan bahwa menjaga amanah dan janji adalah bagian dari akhlak seorang muslim yang tidak terpisahkan dari tauhid. Pengabaian janji ilahi menunjukkan ketidakmampuan individu untuk memikul tanggung jawab moral, yang secara teologis menjauhkannya dari esensi keimanan.
B. Perjanjian dan Kontrak Sosial (Al-Ahd Al-Ijtima'i)
Dalam konteks Madinah, ayat ini juga merujuk pada perjanjian damai antara kaum Muslimin dan kabilah-kabilah Yahudi. Sejarah mencatat bahwa Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah, pada waktu-waktu berbeda, secara sistematis melanggar perjanjian yang mereka buat dengan Nabi Muhammad SAW. Pelanggaran ini, yang merupakan pengulangan dari sifat leluhur mereka (seperti yang disinggung di ayat 100), sering terjadi saat mereka melihat peluang keuntungan politik atau militer.
Ayat ini mengajarkan bahwa pengkhianatan dalam kontrak sosial tidak hanya merusak tatanan masyarakat, tetapi juga merupakan dosa besar di sisi Allah. Seorang Muslim diajarkan untuk menghormati perjanjian, bahkan dengan pihak yang berbeda agama, selama pihak lain menepatinya. Pengkhianatan adalah sifat yang dibenci oleh Islam.
C. Fiqh al-Mu'ahadat (Hukum Perjanjian Internasional)
Dari ayat ini dan ayat-ayat terkait, para fuqaha (ahli hukum Islam) menyimpulkan prinsip-prinsip dasar Fiqh al-Mu'ahadat:
- Wajib Menepati: Semua perjanjian yang sah dan tidak melanggar syariat harus dipenuhi (Al-Wafa').
- Larangan Melanggar: Pelanggaran janji tanpa sebab yang dibenarkan adalah haram (Nabz).
- Proses Pengakhiran: Jika terjadi kekhawatiran pengkhianatan dari pihak lain, perjanjian harus diakhiri secara terbuka dan jujur, bukan dengan pengkhianatan diam-diam (seperti diatur dalam Surah Al-Anfal). Tindakan Bani Israil dalam ayat 100 adalah pengkhianatan diam-diam, di mana mereka melemparkan perjanjian tanpa pemberitahuan resmi atau alasan yang jelas, melainkan karena ambisi tersembunyi.
Oleh karena itu, al baqarah ayat 100 tidak hanya merekam sejarah, tetapi menetapkan standar etika yang abadi. Ayat ini menggarisbawahi bahwa tidak ada alasan—baik itu keuntungan duniawi, politik, atau ketidaknyamanan pribadi—yang membenarkan seorang Muslim untuk 'melempar' janji yang telah ia ikrarkan di hadapan Allah atau manusia.
D. Dampak Psikologis dan Spiritual Pengingkaran
Para ulama tasawuf (sufi) melihat Nabz al-Ahd sebagai penyakit hati yang akut. Ketika hati terbiasa mengkhianati, ia kehilangan kemampuan untuk merasakan manisnya iman (halawatul iman). Siklus pengingkaran yang berulang menciptakan kerak di hati, sehingga kebenaran tidak lagi dapat menembusnya.
Dalam diri seorang Muslim, janji kepada Allah diwujudkan melalui niat dan amal. Ketika niat seseorang goyah dan amalnya tidak konsisten, ia telah melakukan 'Nabz al-Ahd' secara internal. Ia berjanji akan taat saat membaca syahadat, namun kemudian mencampakkan janji itu saat berhadapan dengan godaan. Ayat ini mengajarkan kita untuk waspada terhadap penyakit kronis ini yang dapat menggerogoti keimanan hingga ke akar-akarnya, menjadikannya rentan dan pada akhirnya, tidak berharga.
Ini kembali pada kesimpulan ayat: “Bahkan, kebanyakan mereka tidak beriman.” Pengingkaran janji adalah indikator yang paling jelas dan tampak dari kehampaan iman di dalam diri.
Pemahaman Mendalam: Mengapa Hanya 'Segolongan' yang Melempar Janji?
Frasa “fariqun minhum” (segolongan dari mereka) adalah kunci interpretasi dalam al baqarah ayat 100. Mengapa Al-Qur’an membedakan antara segolongan yang melakukan pengingkaran aktif dan mayoritas yang digambarkan sebagai "tidak beriman"?
A. Peran Elit Agama (Rabi-rabi)
Segolongan yang dimaksud hampir secara universal diidentifikasi oleh mufasir sebagai rabi-rabi (pemimpin agama) dan para cendekiawan Yahudi pada masa itu. Merekalah yang memiliki pengetahuan mendalam tentang kitab suci mereka (Taurat) dan tahu persis ciri-ciri kenabian Muhammad SAW. Mereka juga yang bertanggung jawab untuk membuat dan menjaga perjanjian, baik dengan Allah maupun dengan masyarakat Madinah.
Al-Qur’an menekankan bahwa kesalahan terburuk datang dari mereka yang tahu. Ketika mereka melempar janji, itu adalah tindakan yang diperhitungkan. Mereka takut kehilangan otoritas dan penghasilan yang mereka peroleh dari status mereka sebagai "pemegang kunci" pengetahuan agama. Mereka lebih memilih janji palsu yang mereka buat sendiri daripada janji Allah yang akan mengharuskan mereka untuk tunduk kepada otoritas baru (Nabi Muhammad SAW).
Korupsi Intelektual dan Spiritual
Tindakan mencampakkan janji oleh segolongan elit ini adalah bentuk korupsi intelektual dan spiritual. Mereka menggunakan pengetahuan mereka bukan untuk membimbing umat menuju kebenaran, tetapi untuk membenarkan penolakan mereka. Ini adalah peringatan keras bagi semua yang memegang otoritas agama atau pengetahuan dalam komunitas Muslim: penyalahgunaan ilmu adalah pengkhianatan janji yang paling berbahaya.
B. Implikasi bagi Mayoritas yang Tidak Beriman
Lalu, mengapa ayat menyimpulkan bahwa mayoritas (aktharuhum) tidak beriman? Jika hanya segolongan yang melempar janji, seharusnya yang tidak beriman hanya segolongan itu.
Para ulama menafsirkan hal ini sebagai berikut:
- Iman yang Bersyarat: Mayoritas Bani Israil memiliki iman yang lemah dan bersyarat. Iman mereka sangat tergantung pada kenyamanan dan kepuasan duniawi. Ketika para pemimpin mereka melempar janji, mayoritas tidak memiliki keberanian atau kekuatan spiritual untuk berdiri tegak membela kebenaran.
- Kepasifan adalah Bentuk Pengingkaran: Dalam masalah kebenaran, kepasifan dapat dianggap sebagai bentuk pengingkaran. Ketika umat melihat kebenaran (Nabi Muhammad) datang dan pemimpin mereka menolaknya, namun umat tidak protes atau mencari kebenaran, mereka secara efektif ikut serta dalam pengingkaran janji tersebut.
- Penerimaan Dusta: Mayoritas menerima pembenaran palsu dari pemimpin mereka. Karena mereka menerima kebohongan yang dibuat oleh segolongan elit, mereka menunjukkan bahwa keimanan mereka terhadap janji Allah sangatlah rapuh.
Dengan demikian, Al-Qur’an membuat perbedaan penting: Segolongan adalah pelaku kejahatan (melempar janji), sementara mayoritas adalah penderita penyakit iman (tidak beriman sejati), yang membuat mereka mudah dipimpin oleh para pelaku kejahatan tersebut.
C. Waspada Terhadap Sifat 'Segolongan'
Bagi umat Islam, pelajaran di sini adalah agar selalu waspada terhadap figur otoritas yang menggunakan posisi mereka untuk memutarbalikkan ajaran. Janji kita kepada Allah haruslah independen dari fatwa atau tindakan manusia, terutama jika tindakan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika kita, sebagai umat, membiarkan para pemimpin (baik dalam politik maupun agama) untuk 'melempar' janji keadilan, kejujuran, dan ketaatan kepada syariat tanpa perlawanan yang jujur, maka kita telah jatuh ke dalam perangkap yang sama dengan yang disorot oleh al baqarah ayat 100: kita membiarkan segolongan merusak perjanjian, dan kita sendiri dicap sebagai kaum yang tidak memiliki keimanan sejati yang cukup untuk melawan arus kebatilan.
Kesinambungan makna ini menunjukkan bahwa keimanan sejati memerlukan aktivisme dan penolakan terhadap kebatilan, bukan hanya penerimaan pasif.
D. Mengintegrasikan Pelajaran Historis ke dalam Kehidupan Spiritual
Umat terdahulu gagal karena mereka memisahkan pengetahuan dari amal, dan memisahkan perjanjian suci dari realitas politik sehari-hari. Mereka melihat perjanjian ilahi sebagai konsep abstrak yang dapat dinegosiasikan dengan keuntungan duniawi.
Tugas kita sebagai umat Muhammad SAW adalah menyatukan kembali aspek-aspek ini. Setiap tindakan kita—mulai dari cara kita berinteraksi di pasar, cara kita menjalankan tanggung jawab keluarga, hingga cara kita berinteraksi dengan negara—harus didasarkan pada perjanjian yang kita ikrarkan saat bersyahadat. Jika kita membiarkan pengabaian janji masuk ke dalam aspek-aspek tersebut, sedikit demi sedikit kita akan mengikuti jejak kaum yang dikritik dalam al baqarah ayat 100, dan pada akhirnya, kita pun akan dicap sebagai umat yang 'kebanyakan tidak beriman' sejati.
Penutup: Keutamaan Istiqamah dan Wafa’ al-Ahd
Surah Al-Baqarah ayat 100 adalah salah satu landasan teologis yang menjelaskan mengapa Allah SWT murka terhadap Bani Israil, dan mengapa umat Islam harus berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ayat ini bukan sekadar narasi sejarah tentang Bani Israil; ia adalah hukum universal tentang konsekuensi pengkhianatan terhadap kebenaran yang telah diketahui.
Pesan utama dari al baqarah ayat 100 dapat dirangkum dalam dua poin:
- Waspada terhadap Nabz al-Ahd: Jangan pernah secara sadar dan sengaja mencampakkan janji kepada Allah, terutama janji untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, terlepas dari tekanan sosial atau keuntungan pribadi.
- Perkuat Akar Iman: Keimanan yang kokoh akan mencegah seseorang menjadi bagian dari 'kebanyakan' yang tidak memiliki kekuatan untuk menolak pengingkaran janji yang dilakukan oleh segolongan elit.
Dalam menjalani kehidupan di tengah tantangan zaman, umat Islam harus memegang teguh perjanjian (Ahd) mereka. Kesetiaan pada janji Allah adalah tolok ukur tertinggi keimanan. Hanya dengan istiqamah (keteguhan) dalam menunaikan janji-janji ilahi dan sosial, umat Islam dapat memastikan bahwa mereka tidak akan pernah dicela dengan kecaman yang sama yang diungkapkan dalam ayat suci ini: bahwa setiap kali mereka membuat janji, segolongan dari mereka dengan sengaja melemparnya, dan kebanyakan mereka tidak beriman.
Perjanjian adalah pondasi peradaban, dan kehancuran perjanjian adalah awal dari kehancuran spiritual suatu kaum. Semoga kita termasuk golongan yang selalu menjaga janji hingga akhir hayat.
-- Akhir Kajian Mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 100 --