Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai peta jalan fundamental bagi umat Islam. Di antara banyak perintah agung yang terkandung di dalamnya, ayat ke-43 menonjol sebagai formulasi ringkas namun padat mengenai pilar utama praktik keagamaan dan sosial. Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Bani Israel pada masa permulaan dakwah, tetapi juga mengandung pelajaran universal yang mengikat setiap Muslim hingga akhir masa.
Tiga perintah ini—Salat, Zakat, dan Rukuk bersama orang-orang yang rukuk—merupakan trias teologis yang merangkum keseluruhan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya (Hablum minallah) dan hubungannya dengan sesama manusia (Hablum minannas). Memahami kedalaman setiap elemen ini, serta keterkaitannya, adalah kunci untuk mencapai kualitas keimanan yang sempurna.
Bagian I: Pilar Vertikal – Menegakkan Salat (وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ)
Salat: Simbol Ketundukan Spiritual dan Disiplin Diri.
Perintah pertama, "Dirikanlah salat" (Aqīmū al-ṣalāh), menggunakan kata kerja Aqīmū yang berarti ‘mendirikan’ atau ‘menegakkan,’ bukan hanya ‘melakukan.’ Ini menunjukkan bahwa salat harus dilaksanakan secara sempurna, berkelanjutan, dan menjadi tiang penyangga kehidupan, yang terimplementasi dalam perilaku sehari-hari, bukan sekadar gugur kewajiban ritualistik.
Filosofi dan Tujuan Salat yang Sebenarnya
Salat adalah mekanisme pensucian jiwa dan pelatihan mental. Ia merupakan perjanjian harian antara hamba dan Penciptanya. Ketika seseorang menegakkan salat, ia sedang melatih:
- Disiplin Waktu (Mawaqit): Melakukan salat pada waktu yang ditentukan mengajarkan kepatuhan, ketepatan waktu, dan manajemen prioritas.
- Keikhlasan (Khushu'): Inti dari salat adalah kehadiran hati (khushu'). Tanpa khushu', gerakan fisik dan bacaan menjadi hampa. Ayat Al-Qur'an dan Hadis menekankan bahwa salat yang diterima adalah yang menumbuhkan ketenangan batin dan menjauhkan pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar.
- Pengingat (Dzikir): Salat adalah bentuk dzikrullah (mengingat Allah) yang paling terstruktur. Dalam hiruk pikuk dunia, lima kali sehari salat menarik kita kembali ke fokus utama eksistensi: pengabdian kepada Allah.
- Keadilan dan Kesetaraan: Berdiri dalam satu saf tanpa memandang status sosial.
- Tanggung Jawab: Rasa tanggung jawab terhadap perintah ilahi diterjemahkan menjadi tanggung jawab terhadap komunitas.
- Kesabaran dan Ketekunan: Konsistensi dalam menjaga salat lima waktu melatih jiwa untuk sabar dan tekun dalam menghadapi tantangan hidup.
- Mengurangi Kemiskinan: Zakat memberikan jaring pengaman finansial bagi fakir miskin.
- Mencegah Penimbunan Harta: Zakat dikenakan pada harta yang telah mencapai nisab (batas minimum) dan haul (jangka waktu kepemilikan), mendorong pemilik modal untuk menginvestasikan hartanya, bukan menimbunnya, karena harta yang tidak produktif tetap dikenakan zakat.
- Menguatkan Solidaritas Umat: Zakat adalah sarana praktis untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan empati di antara umat.
- Ukhuwah Islamiyah (Persaudaraan): Salat berjamaah meleburkan perbedaan dan memperkuat ikatan emosional serta spiritual antarindividu.
- Kesatuan Barisan: Saf yang rapat mencerminkan persatuan tujuan dan disiplin dalam kepemimpinan (imam). Ini adalah pelatihan militer spiritual di mana setiap anggota bergerak serempak.
- Dampak Sosial: Kehadiran fisik dalam jamaah memastikan bahwa umat saling mengenal, mengetahui keadaan satu sama lain, sehingga memudahkan pelaksanaan Zakat dan amal sosial lainnya.
Penekanan pada penegakan salat yang utuh memerlukan pemahaman mendalam tentang rukun, syarat, sunnah, hingga makna setiap bacaan. Salat yang benar adalah barometer keimanan; jika kualitas salat seseorang baik, maka kualitas amalnya yang lain cenderung ikut baik.
Salat Sebagai Fondasi Sosial
Meskipun salat adalah hubungan vertikal, dampaknya meluas secara horizontal. Individu yang salatnya tegak akan memiliki kesadaran moral yang tinggi. Hal ini dikarenakan salat mengajarkan:
Dalam konteks Al-Baqarah 43, perintah salat ini diletakkan pertama kali, menegaskan bahwa perbaikan masyarakat harus dimulai dari perbaikan individu melalui disiplin spiritual ini. Tanpa keteguhan spiritual yang dijamin oleh salat, amal sosial apapun akan mudah goyah atau disusupi kepentingan duniawi.
Para ulama tafsir kontemporer sering mengulas bagaimana penegakan salat harus melampaui batas-batas masjid. Salat yang ditegakkan harus menghasilkan integritas dalam perdagangan, kejujuran dalam berinteraksi, dan keadilan dalam pengambilan keputusan. Kegagalan dalam menegakkan salat—bukan hanya meninggalkannya, tetapi juga melakukannya tanpa kualitas—adalah sumber kegagalan etika sosial.
Konsep *istiqamah* (keteguhan) sangat erat kaitannya dengan *iqamah as-salat*. Seorang Muslim yang istiqamah adalah mereka yang mampu menjaga kualitas salatnya di tengah berbagai godaan dunia. Salat menjadi jangkar spiritual yang mencegah jiwa terseret arus materialisme dan hedonisme. Oleh karena itu, menegakkan salat adalah proyek seumur hidup, sebuah perjuangan (jihad) harian melawan kelalaian dan kemalasan spiritual.
Lebih jauh, dalam diskursus fikih, dibahas detail mengenai syarat sah dan syarat wajib salat, mulai dari kesucian (thaharah), menutup aurat, hingga menghadap kiblat. Semua persyaratan fisik ini berfungsi sebagai persiapan eksternal yang mendukung kehadiran hati internal. Tanpa persiapan fisik yang teliti, fokus batin akan terganggu. Kesempurnaan salat adalah sebuah sintesis antara kepatuhan lahiriah dan penyerahan batiniah.
Jika kita meninjau aspek historis, bahkan pada masa-masa sulit, seperti peperangan (salat khauf) atau perjalanan, Islam memberikan keringanan (rukhsah) dalam pelaksanaan salat (qasar dan jamak), tetapi tidak pernah membatalkan kewajibannya. Ini menunjukkan betapa absolutnya kedudukan salat sebagai penanda keislaman seseorang. Salat adalah identitas, bukan hanya ritual.
Bagian II: Pilar Horizontal – Menunaikan Zakat (وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ)
Zakat: Pemurnian Harta dan Keseimbangan Sosial Ekonomi.
Perintah kedua, "Tunaikanlah zakat" (Ātū al-zakāh), adalah pilar sosial Islam yang mengiringi salat di hampir 82 tempat dalam Al-Qur'an. Pemasangan keduanya menunjukkan bahwa keimanan tidak bisa berdiri tegak hanya dengan ibadah ritual; ia harus dimanifestasikan melalui kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.
Makna Linguistik dan Teologis Zakat
Secara bahasa, zakat berarti 'pertumbuhan', 'kesucian', atau 'pemurnian'. Menunaikan zakat bukan hanya tindakan memberi, tetapi proses pembersihan harta dari hak orang lain. Harta yang telah dikeluarkan zakatnya menjadi suci dan berkah (tumbuh). Konsep ini menantang pandangan kapitalis murni bahwa harta adalah mutlak milik pribadi; dalam Islam, kekayaan memiliki dimensi sosial.
Zakat sebagai Mekanisme Keadilan Ekonomi
Zakat adalah sistem redistribusi kekayaan yang terstruktur dan wajib. Tujuannya adalah menghilangkan kesenjangan ekonomi yang ekstrem dan memastikan bahwa kebutuhan dasar kelompok mustahik (yang berhak menerima) terpenuhi. Beberapa fungsi esensial Zakat meliputi:
Kewajiban zakat mencakup berbagai jenis aset, mulai dari emas dan perak, hasil pertanian, ternak, hingga harta perniagaan (zakat mal). Detail perhitungan yang ketat menunjukkan keseriusan Islam dalam memastikan keadilan distribusi ini. Fikih Zakat mengatur siapa yang wajib membayar (muzakki) dan delapan golongan yang berhak menerima (asnaf), memastikan dana zakat disalurkan dengan efektif dan tepat sasaran.
Keterkaitan Zakat dengan Salat
Mengapa Zakat selalu berdampingan dengan Salat? Karena keduanya mencerminkan keseimbangan paripurna dalam hidup: ketundukan kepada Allah diwujudkan melalui Salat, dan cinta kepada sesama diwujudkan melalui Zakat. Orang yang rajin salat tetapi enggan berzakat menunjukkan ketidaksempurnaan imannya, karena ia menunaikan hak Allah tetapi mengabaikan hak hamba-hamba-Nya yang miskin. Ayat ini mengingatkan Bani Israel—dan umat Islam—bahwa ritual tanpa tanggung jawab sosial adalah ibadah yang cacat.
Sebaliknya, seseorang yang aktif dalam amal sosial tetapi meninggalkan salat juga kehilangan fondasi spiritualnya, membuat amalnya berisiko didasari oleh motivasi selain Allah. Al-Baqarah 43 mengajarkan bahwa fondasi spiritual (Salat) harus menghasilkan buah nyata dalam bentuk komitmen sosial (Zakat). Mereka adalah dua sisi mata uang keimanan yang tidak dapat dipisahkan.
Pengelolaan Zakat yang profesional dan transparan menjadi indikator kesehatan sebuah masyarakat Muslim. Dalam sejarah Islam, Zakat dikelola oleh negara dan berfungsi sebagai pilar ekonomi publik. Kegagalan dalam sistem Zakat akan menimbulkan ketidakadilan sosial, yang pada gilirannya dapat merusak kedamaian dan stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, perintah menunaikan Zakat adalah perintah untuk membangun sistem ekonomi yang adil dan beradab.
Perluasan makna Zakat modern juga mencakup pembahasan tentang pajak dan kontribusi sosial lainnya. Meskipun Zakat memiliki definisi fikih yang spesifik, semangatnya—yaitu berbagi kekayaan dan memastikan kesejahteraan komunal—harus meresap dalam setiap kebijakan ekonomi dan perilaku individu Muslim. Ketika Zakat ditunaikan dengan kesadaran penuh, ia berfungsi sebagai benteng pertahanan dari sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, dan kesenjangan sosial yang merusak tatanan kemanusiaan.
Kajian mendalam tentang Zakat juga menyoroti perbedaan krusial antara Zakat, Infaq, dan Sedekah. Zakat adalah kewajiban yang terstruktur dengan nisab dan haul yang jelas (wajib), sedangkan infaq dan sedekah adalah sumbangan sukarela. Ayat 43 secara spesifik memerintahkan Zakat, menekankan bahwa tanggung jawab ekonomi ini bersifat imperatif, bukan opsional. Kewajiban ini merupakan pengakuan bahwa harta yang kita miliki adalah amanah, dan sebagian kecil darinya telah ditetapkan sebagai hak mutlak bagi pihak yang membutuhkan.
Aspek pemurnian (tazkiyah) dalam Zakat juga berlaku bagi muzakki. Dengan menunaikan hak orang lain, jiwa si pemberi terbebas dari penyakit hati seperti kesombongan, ketamakan, dan rasa memiliki yang berlebihan. Zakat mengajarkan kerendahan hati dan pengakuan bahwa semua rezeki berasal dari Allah. Oleh karena itu, Zakat adalah ibadah yang membersihkan harta dan jiwa secara simultan.
Bagian III: Pilar Komunal – Rukuk Bersama Orang yang Rukuk (وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ)
Rukuk dalam Jamaah: Simbol Persatuan Umat dan Kepatuhan Kolektif.
Perintah ketiga adalah "rukuklah beserta orang-orang yang rukuk" (wa irka‘ū ma‘a al-rāki‘īn). Meskipun secara harfiah berarti membungkuk, dalam konteks teologis dan perintah ini, para mufassir sepakat bahwa ini adalah perintah untuk melaksanakan ibadah (khususnya salat) secara berjamaah, atau yang lebih luas lagi, perintah untuk bergabung dan bersatu dengan komunitas orang-orang beriman (Umat Islam).
Pentingnya Ibadah Berjamaah
Rukuk adalah salah satu rukun salat yang menunjukkan ketundukan total kepada Allah. Ketika diperintahkan untuk melakukannya 'bersama orang-orang yang rukuk' (ma‘a al-rāki‘īn), penekanan bergeser dari tindakan individu menjadi tindakan kolektif. Ini mengajarkan beberapa nilai kunci:
Perintah ini secara eksplisit menyerukan partisipasi dalam aktivitas komunal. Bagi Bani Israel, perintah ini ditafsirkan sebagai ajakan untuk meninggalkan isolasi dan bergabung dalam barisan umat Nabi Muhammad SAW, sebagai umat yang melaksanakan salat dan zakat. Bagi umat Islam secara umum, ini adalah penegasan terhadap wajibnya salat jamaah bagi laki-laki dan pentingnya kebersamaan dalam semua bentuk ibadah.
Rukuk sebagai Simbol Kepatuhan Universal
Di luar makna fikih salat berjamaah, 'rukuk bersama orang yang rukuk' juga merupakan metafora untuk ketaatan kolektif. Ini berarti mengikuti jalan kebenaran yang telah disepakati oleh mayoritas ulama dan umat (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), serta menghindari pemisahan diri atau menciptakan sekte yang memecah belah persatuan. Ayat ini adalah seruan untuk konsensus dalam prinsip-prinsip dasar keimanan.
Kepatuhan kolektif ini penting karena Islam adalah agama yang menghendaki kekuatan dalam persatuan. Ketika umat bersatu dalam tujuan (rukuk kepada Allah) dan tindakan (melaksanakan salat dan zakat), mereka menjadi kekuatan yang tidak hanya kuat secara spiritual, tetapi juga berpengaruh secara politik, ekonomi, dan sosial.
Ketiga perintah ini – Salat, Zakat, dan Jamaah – membentuk siklus yang saling menguatkan. Salat memberi energi spiritual, Zakat memastikan keadilan sosial, dan Jamaah memberikan struktur dan dukungan komunal untuk menjaga kedua pilar sebelumnya tetap tegak. Seorang Muslim tidak bisa menjadi saleh secara individual saja; kesalehan harus terefleksi dalam kontribusi dan kebersamaan umat.
Konteks historis penurunan ayat ini kepada Bani Israel sangat relevan. Mereka dikenal sebagai komunitas yang seringkali menekankan ritual (seperti puasa atau kurban) namun seringkali gagal dalam aspek sosial dan persatuan. Dengan perintah ini, Al-Qur'an menawarkan sebuah model keimanan yang seimbang dan terintegrasi, di mana tugas kepada Tuhan dan tugas kepada sesama adalah satu kesatuan yang utuh.
Perintah rukuk ini juga memberikan pemahaman tentang pentingnya kepemimpinan dalam ibadah. Adanya imam dalam salat berjamaah mengajarkan umat tentang tata krama kepemimpinan dan kepatuhan. Seorang imam harus adil dan memahami fikih, sementara makmum wajib mengikuti. Disiplin ini menciptakan tatanan sosial yang harmonis dan terstruktur, yang sangat dibutuhkan untuk kesuksesan komunitas secara keseluruhan.
Lebih jauh, esensi dari rukuk dalam salat adalah pengagungan terhadap Allah (Subhana Rabbiyal Azhim). Ketika perintah ini dilakukan bersama, ia menghasilkan resonansi spiritual yang jauh lebih kuat dibandingkan ibadah individual. Ayat ini, oleh karena itu, merupakan undangan langsung untuk meninggalkan isolasi spiritual dan memeluk kekuatan yang datang dari persatuan dalam pengabdian.
Bagian IV: Sinergi Tiga Pilar – Integrasi Kehidupan Muslim Sejati
Analisis mendalam terhadap Al-Baqarah 43 menunjukkan bahwa ayat ini adalah cetak biru untuk kehidupan Muslim yang integral. Tiga komponen ini tidak boleh dipisahkan; mereka berinteraksi secara dinamis untuk membentuk karakter individu dan kesehatan masyarakat.
1. Keterkaitan Fungsional
Salat (Ibadah Murni) menghasilkan kesucian individu. Kesucian individu ini mendorong pelaksanaan Zakat (Amal Sosial), yang pada gilirannya menciptakan masyarakat yang adil. Masyarakat yang adil dan beradab ini kemudian memperkuat Jamaah (Persatuan Umat) dalam ketundukan bersama kepada Allah. Jika salah satu pilar runtuh, seluruh struktur akan terancam.
Bayangkan sebuah komunitas yang rajin salat, tetapi enggan berzakat. Mereka mungkin tampak religius, tetapi ketidakadilan ekonomi akan merusak persatuan mereka, menghasilkan iri hati dan konflik sosial, yang pada akhirnya melemahkan semangat jamaah. Sebaliknya, komunitas yang kaya dan dermawan (zakatnya baik), tetapi meninggalkan salat, akan kehilangan kompas moral dan spiritualnya, menyebabkan kekayaan digunakan untuk tujuan yang tidak bermoral.
2. Perjuangan Melawan Kemunafikan
Ayat 43 juga dapat dilihat sebagai peringatan keras terhadap kemunafikan. Ada orang yang salat hanya untuk dilihat (riya') dan ada yang berderma tanpa ikhlas. Namun, ketika salat (khushu') dan zakat (tanggung jawab sosial) dilakukan bersama dalam bingkai Jamaah (persatuan), ia menjadi filter yang kuat. Kehadiran dalam jamaah menuntut konsistensi, dan pengorbanan harta (zakat) menuntut keikhlasan yang sesungguhnya, bukan sekadar basa-basi ritual.
Inti dari pesan ini adalah tentang konsistensi (istiqamah). Bukan hanya melakukan salat sesekali atau membayar zakat saat diingatkan, melainkan menjadikannya sebagai gaya hidup, rutinitas yang tak terpisahkan dari identitas seorang Mukmin. Istiqamah dalam pelaksanaan kedua pilar ini secara kolektif akan menghasilkan sebuah peradaban yang berlandaskan spiritualitas dan keadilan.
3. Mendefinisikan Komunitas Islam
Siapakah 'orang-orang yang rukuk' (al-rāki‘īn)? Mereka adalah umat yang tunduk sepenuhnya, yang memegang teguh ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Perintah untuk bergabung dengan mereka adalah perintah untuk menjadi bagian dari umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ayat 43 menetapkan tiga ciri fundamental dari komunitas yang diakui dan diberkahi oleh Allah: disiplin spiritual (Salat), keadilan ekonomi (Zakat), dan persatuan kolektif (Jamaah).
Perluasan interpretasi terhadap *al-rāki‘īn* juga mencakup makna filosofis bahwa kita harus menjadi bagian dari barisan orang-orang yang senantiasa tunduk kepada kebenaran, terlepas dari tantangan dan tekanan zaman. Ini adalah seruan untuk kesetiaan (loyalty) terhadap nilai-nilai fundamental Islam dan kesediaan untuk berjuang bersama demi tegaknya nilai-nilai tersebut di muka bumi.
Pentingnya Mendalami Ilmu Fikih yang Berkaitan
Untuk melaksanakan perintah Al-Baqarah 43 dengan sempurna, seorang Muslim dituntut untuk mendalami ilmu fikih, baik fikih ibadah (yang mengatur detail salat) maupun fikih muamalah (yang mengatur detail zakat dan interaksi sosial). Ketidakpahaman terhadap rukun dan syarat salat dapat merusak validitas ibadah vertikal, sementara ketidaktahuan tentang nisab dan asnaf zakat dapat menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi harta.
Oleh karena itu, penegakan Al-Baqarah 43 adalah proyek keilmuan yang berkelanjutan. Setiap Muslim wajib belajar bagaimana melaksanakan salat yang khusyuk dan bagaimana menghitung serta menyalurkan zakat secara benar. Fikih ini memastikan bahwa kepatuhan kita bukan sekadar emosi keagamaan, melainkan praktik yang terstruktur, terukur, dan berdampak nyata.
Sistematisasi ini juga mencerminkan sifat Islam yang komprehensif. Ia bukan sekadar kepercayaan dalam hati, melainkan seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari hubungan pribadi dengan Tuhan hingga sistem ekonomi dan sosial yang adil.
Konsekuensi Meninggalkan Salah Satu Pilar
Sejarah Islam memberikan pelajaran bahwa runtuhnya sebuah peradaban sering kali didahului oleh pengabaian terhadap salah satu atau ketiga pilar ini. Ketika salat ditinggalkan, spiritualitas umat melemah, moralitas merosot. Ketika zakat diabaikan, kesenjangan kaya dan miskin melebar, yang memicu konflik sosial dan instabilitas politik. Ketika jamaah (persatuan) dipecah belah, umat kehilangan kekuatan dan menjadi mangsa bagi musuh-musuhnya. Ayat 43 adalah resep ilahi untuk menjaga kekuatan spiritual dan material umat.
Ancaman terbesar bagi umat bukanlah kekuatan eksternal, melainkan kerapuhan internal yang disebabkan oleh pengabaian terhadap perintah-perintah dasar ini. Salat yang lalai, zakat yang ditunda-tunda, dan perpecahan internal adalah penyakit kronis yang harus dihindari dengan teguh berpegang pada esensi Al-Baqarah 43.
Penutup: Mewujudkan Keimanan yang Utuh
Al-Baqarah ayat 43, dengan tiga perintahnya yang saling terkait, mengajarkan kita bahwa keimanan yang sejati adalah keimanan yang seimbang. Keseimbangan antara hak Allah (Salat) dan hak sesama manusia (Zakat), yang dilaksanakan dalam kerangka Persatuan Umat (Jamaah), adalah inti dari ajaran Islam yang paripurna. Ayat ini mendorong umat untuk keluar dari individualisme religius menuju komunitas yang aktif, peduli, dan bertanggung jawab.
Menegakkan salat memerlukan perjuangan batin yang tak henti. Menunaikan zakat menuntut kerelaan berkorban harta demi kepentingan yang lebih besar. Sementara itu, rukuk bersama orang yang rukuk menuntut kerendahan hati untuk tunduk pada tatanan dan persatuan umat. Dengan konsistensi menjalankan ketiga perintah ini, seorang Muslim tidak hanya mencapai keselamatan pribadi, tetapi juga berkontribusi langsung pada pembangunan peradaban yang adil dan diridai oleh Allah SWT.
Tugas kita sebagai umat adalah merefleksikan kembali kualitas pelaksanaan Al-Baqarah 43 dalam hidup kita. Apakah salat kita sudah khusyuk? Apakah zakat kita sudah ditunaikan secara sempurna? Dan apakah kita sungguh-sungguh berjuang untuk persatuan umat? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan seberapa tegaknya fondasi keimanan kita.
Ayat 43 adalah panggilan abadi: bangunlah spiritualitasmu, tunaikanlah tanggung jawab sosialmu, dan eratkanlah barisanmu. Inilah jalan menuju kesempurnaan iman dan kesejahteraan abadi.
Pengamalan ayat ini secara menyeluruh adalah janji untuk mencapai *al-falah* (kesuksesan sejati) di dunia dan di akhirat. Ia adalah manifestasi nyata dari ketundukan (Islam) dan pengakuan akan keesaan Allah, baik dalam ritual harian, maupun dalam transaksi ekonomi dan interaksi sosial. Kesadaran akan perintah ini harus menjadi motivasi utama dalam setiap langkah kehidupan seorang Mukmin.
Akhir kata, makna dari Al-Baqarah 43 adalah seruan untuk menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan yang utuh dan tidak terpecah-pecah. Perintah-perintah ini adalah jaminan kebahagiaan dan kekuatan bagi individu maupun komunitas.
[TAMAT – ARTIKEL LENGKAP]