Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, mencapai puncaknya pada tiga ayat terakhirnya, yaitu ayat 284, 285, dan 286. Ayat-ayat ini bukan hanya berfungsi sebagai penutup, melainkan juga mengandung intisari ajaran Islam mengenai tauhid, pertanggungjawaban manusia, batas kemampuan, dan rahmat Allah yang melampaui segala sesuatu. Ayat-ayat ini memiliki kedudukan istimewa (diketahui sebagai ‘Harta Karun di bawah ‘Arsy’), dan pemahaman mendalam atas maknanya adalah kunci untuk memahami hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya, terutama dalam konteks amal perbuatan dan niat.
Terjemahan maknanya: "Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Ayat ini dimulai dengan penegasan Tauhid Rububiyah: kepemilikan mutlak Allah atas seluruh jagat raya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi di langit dan di bumi. Klausa pembuka ini berfungsi sebagai premis logis yang mendukung klausa selanjutnya. Jika Allah memiliki segalanya, maka Dia memiliki hak penuh untuk menentukan aturan, memberikan pertanggungjawaban, dan menghakimi segala niat dan perbuatan hamba-Nya. Konsep kepemilikan ini (ملك – mulk) tidak terbatas pada fisik, tetapi mencakup hukum, takdir, dan pengetahuan.
Bagian inti ayat ini, "Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu," menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan para Sahabat ketika ayat ini pertama kali diturunkan. Mereka memahami bahwa ayat ini menuntut pertanggungjawaban atas segala yang terlintas dalam hati (bisikan, niat jahat, keraguan) bahkan jika niat itu tidak pernah diwujudkan dalam tindakan fisik atau lisan.
Menurut riwayat yang masyhur (seperti yang dicatat oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad), para Sahabat merasa ini adalah beban yang tidak mungkin mereka pikul, karena pikiran buruk terkadang datang tanpa disengaja. Mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami dibebani dengan perkara yang kami mampu, seperti shalat, puasa, dan jihad. Namun, ayat ini turun, dan kami tidak mampu melaksanakannya (karena ia mencakup niat yang tidak disengaja)."
Kekhawatiran ini menggarisbawahi betapa seriusnya Islam memandang peran niat (الإرادة – al-iradah) dan kondisi batin. Para ulama tafsir membagi interpretasi mengenai perhitungan ini menjadi dua pandangan utama, yang kemudian diselesaikan oleh ayat 286:
Ayat 284 ditutup dengan penegasan bahwa hasil dari perhitungan ini sepenuhnya berada di tangan Allah. Klausa "Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya" menegaskan otoritas kehendak (المشيئة – al-mashī’ah) Allah yang tidak terbatas. Ini adalah penyeimbang terhadap rasa takut yang timbul dari klausa perhitungan sebelumnya. Meskipun Dia mampu menghitung setiap detail, bahkan yang tersembunyi, keputusan akhir adalah milik-Nya, didasarkan pada Hikmah dan Rahmat-Nya yang tak terhingga.
Kekuasaan mutlak ini (Wallāhu ‘alā kulli shay’in Qadīr) adalah penutup yang sempurna, mengingatkan bahwa kapasitas Allah untuk memberi rahmat jauh melampaui kemampuan manusia untuk berbuat dosa. Ayat 284 menetapkan standar ketuhanan yang tinggi dan mutlak, yang kemudian menjadi landasan bagi permohonan dan janji pada dua ayat berikutnya.
Terjemahan maknanya: "Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata): "Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.""
Ayat 285 (dikenal juga sebagai bagian dari Āmanar Rasūl) merupakan respon langsung dari umat Islam terhadap ketetapan keras yang termuat dalam ayat 284. Ayat ini berfungsi sebagai deklarasi iman (syahadah) yang komprehensif, menandakan bahwa seorang mukmin menerima segala sesuatu yang diturunkan Allah tanpa keraguan, sebagai bentuk penyerahan total.
Deklarasi ini dimulai dari Rasulullah ﷺ sendiri, yang merupakan contoh ketaatan tertinggi, diikuti oleh seluruh orang mukmin. Urutan ini penting: kepemimpinan Rasul dalam penerimaan wahyu, kemudian diikuti oleh ummatnya. Ini adalah fondasi Islam: menerima ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai kebenaran mutlak yang datang dari sisi Tuhan.
Ayat ini merangkum Rukun Iman yang esensial, yaitu:
Poin krusial dalam ayat ini adalah penolakan terhadap diskriminasi rasul: "Lā nufarriqu bayna ahadin min rusulihī". Ini membedakan umat Islam dari kelompok agama lain yang mungkin menerima beberapa nabi tetapi menolak yang lain. Dalam Islam, penerimaan terhadap kerasulan bersifat universal. Kegagalan mengakui satu nabi yang diakui oleh Al-Qur'an berarti menolak seluruh rantai kenabian.
Kalimat "Kami dengar dan kami taat" (سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا) adalah puncak dari penyerahan diri. Setelah mendengar perintah (termasuk yang tampak berat di ayat 284), umat mukmin tidak menawar, tidak berdalih, dan tidak mempertanyakan hikmahnya. Mereka memilih kepatuhan total. Frasa ini menjadi antitesis dari apa yang dikatakan oleh Bani Israil terhadap Musa, sebagaimana dicatat dalam Al-Qur'an: "Kami dengar dan kami durhaka" (سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا).
Kepatuhan ini membuktikan kualitas iman umat Muhammad ﷺ. Mereka mengakui bahwa jika perintah itu datang dari Allah, pasti itu adalah yang terbaik, meskipun akal manusia awalnya mungkin kesulitan memahaminya (seperti konsep pertanggungjawaban niat dalam V. 284).
Deklarasi iman dan ketaatan diakhiri dengan doa yang menunjukkan kerendahan hati: "Ghufrānaka Rabbanā wa ilaykal maṣīr" (Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali). Meskipun telah menyatakan ketaatan, mereka mengakui fitrah manusia yang lemah dan rentan terhadap kesalahan. Pengampunan adalah kebutuhan primer mereka, dan kesadaran bahwa tempat kembali terakhir adalah kepada Allah menegaskan kembali pentingnya pertanggungjawaban yang disebut di ayat 284.
Terjemahan maknanya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.""
Ayat 286 adalah inti dari keadilan dan rahmat Islam. Klausa "Lā yukallifullāhu nafsan illā wus'ahā" (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya) adalah penghapusan (nasakh) terhadap interpretasi yang menakutkan dari ayat 284, yang menyiratkan pertanggungjawaban atas bisikan hati yang tidak disengaja.
Ayat ini adalah janji ilahi bahwa syariat Islam (taklif) selalu berada dalam batas kemampuan fisik, mental, dan spiritual manusia. Ini menjelaskan mengapa terdapat keringanan (rukhsah) dalam ibadah, seperti tayamum bagi yang tidak menemukan air, mengqadha puasa bagi yang sakit, atau shalat sambil duduk/berbaring bagi yang tidak mampu berdiri. Ini menegaskan bahwa tujuan utama syariat adalah kebaikan (maslahah), bukan kesulitan (masyaqqah).
Lanjutan dari prinsip taklif ini adalah pembedaan yang halus namun mendalam antara amal baik dan amal buruk:
Dalam konteks teologis Asy'ariyah dan Maturidiyah, perbedaan ini menekankan bahwa Rahmat Allah mendahului murka-Nya. Perbuatan baik dihitung secara luas, sementara pertanggungjawaban atas perbuatan buruk dihitung secara lebih ketat dan spesifik (niat jahat yang menjadi kokoh, atau kesalahan yang disengaja).
Sisa dari ayat 286 adalah serangkaian doa yang diajarkan oleh Allah kepada umat Muhammad ﷺ sebagai cara untuk memohon keringanan, sekaligus merupakan janji bahwa doa tersebut akan dikabulkan.
Ini adalah permintaan untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban atas dosa yang dilakukan karena lupa (nasiyan) atau tidak disengaja/salah (akhṭa’nā). Menurut hadis Qudsi, ketika umat Islam mengucapkan ini, Allah menjawab: "Ya, telah Aku kabulkan." Ini secara definitif menghapuskan pertanggungjawaban atas kesalahan yang benar-benar tidak disengaja. Ini adalah keringanan besar dibandingkan dengan umat-umat terdahulu yang terkadang dihukum karena kesalahan murni.
Iṣr (اِصْرًا) berarti beban berat atau belenggu yang sangat memberatkan, seperti hukum syariat yang keras yang pernah dibebankan kepada Bani Israil (misalnya, kewajiban untuk membunuh diri sendiri sebagai bentuk taubat, atau memotong pakaian yang terkena najis). Umat Islam memohon agar syariat mereka bersifat fleksibel dan mudah. Allah menjawab: "Ya, telah Aku kabulkan." Syariat Islam adalah syariat yang paling ringan dan paling mudah diterima oleh fitrah manusia.
Permintaan ini adalah perlindungan dari ujian atau cobaan yang melampaui kemampuan manusia (ṭāqah). Ujian yang dimaksud bisa bersifat fisik, mental, atau spiritual. Ini adalah pengakuan akan keterbatasan diri dan bergantung sepenuhnya kepada Allah. Permohonan ini juga dikabulkan oleh Allah, menegaskan bahwa Dia tidak akan menguji hamba-Nya melampaui batas ketahanan mereka.
Ini adalah klimaks spiritual dari doa. Terdapat gradasi makna:
Urutan ini menunjukkan bahwa seorang hamba harus memohon pembersihan total (maaf), perlindungan aib (ampunan), dan penganugerahan kebaikan (rahmat) secara berturut-turut.
Doa ditutup dengan penegasan Tauhid Uluhiyah dan janji perlindungan. Anta Mawlānā (Engkaulah Penolong/Pelindung kami) adalah pengakuan ketergantungan total. Berdasarkan perlindungan ini, umat Islam memohon pertolongan (naṣr) melawan kaum yang kafir, bukan hanya dalam konteks perang fisik, tetapi juga dalam menghadapi godaan, kesesatan, dan fitnah dalam kehidupan.
Para ulama sepakat bahwa Ayat 284 (yang keras) dan Ayat 286 (yang lembut) tidak dapat dipisahkan. Ayat 284 menetapkan standar teoretis kedaulatan dan pengetahuan Allah yang absolut (Dia tahu *segala* niat). Ayat ini ditujukan untuk membangun rasa takut dan kesadaran diri (taqwa) yang mendalam. Kemudian, Ayat 286 datang sebagai manifestasi Rahmat-Nya yang praktis, memberikan keringanan (rukhsah) kepada umat Nabi Muhammad ﷺ.
Jika 284 adalah Hukum Dasar, maka 286 adalah Amandemen Hukum Dasar tersebut, yang diaktivasi berkat doa dan ketaatan yang ditunjukkan dalam Ayat 285 ("Sami’nā wa aṭa’nā"). Imam Al-Ghazali, dalam tafsirnya, menekankan bahwa ketakutan yang ditimbulkan oleh Ayat 284 adalah motivasi yang kuat untuk pernyataan ketaatan dalam 285, yang kemudian mendapatkan imbalan keringanan di 286.
Isu sentral dalam Ayat 284 adalah pertanggungjawaban atas niat, khususnya bisikan jahat (waswasa). Tafsir modern, yang disepakati oleh mayoritas ulama, membedakan tiga jenis niat:
Ayat 286 menjamin bahwa Allah tidak akan menghukum umat ini atas bisikan yang tidak bisa mereka hindari, asalkan mereka tidak membiarkan bisikan tersebut berkembang menjadi ‘azam yang menetap. Ini adalah manifestasi nyata dari janji "Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā."
Dalam tradisi Islam, tiga ayat penutup Al-Baqarah memiliki kedudukan unik. Mereka disebut sebagai "Dua Cahaya" (An-Nūrān) yang diberikan khusus kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, yang tidak pernah diberikan kepada nabi manapun sebelumnya (selain inti dari kedua ayat ini). Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Mi'raj, beliau menerima tiga hal, salah satunya adalah ayat-ayat penutup Al-Baqarah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas, Jibril sedang duduk bersama Nabi Muhammad ﷺ, tiba-tiba terdengar suara dari atas. Jibril menengadah dan berkata, "Ini adalah pintu langit yang baru terbuka, yang belum pernah dibuka sebelumnya." Dari pintu itu turunlah malaikat yang memberikan salam dan berkata, "Terimalah dua cahaya yang belum pernah diberikan kepada nabi sebelummu: Pembukaan Kitab (Al-Fatihah) dan ayat-ayat penutup Surah Al-Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf pun darinya melainkan kamu akan diberikan apa yang kamu minta."
Keutamaan lain yang sangat ditekankan adalah fungsi perlindungannya. Hadis shahih Bukhari dan Muslim menyatakan: "Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah pada suatu malam, maka cukuplah baginya (yakni, melindunginya dari segala keburukan dan mencukupi ibadahnya pada malam itu)." Perlindungan ini mencakup perlindungan dari gangguan setan, musibah, dan penyakit hati.
Ayat-ayat ini menyimpulkan Surah Al-Baqarah, yang dimulai dengan deskripsi orang-orang yang bertakwa, dan diakhiri dengan esensi ketakwaan itu sendiri: Kepatuhan penuh kepada Allah meskipun perintah-Nya tampak berat, diikuti oleh pengakuan Allah atas kelemahan manusia melalui prinsip keringanan. Ini adalah gambaran sempurna tentang Syariat yang seimbang antara tuntutan dan kapasitas, antara keadilan dan rahmat.
Prinsip Lā yukallifullāhu nafsan illā wus’ahā adalah dasar dari seluruh hukum Islam (Fiqh). Ayat ini memastikan bahwa semua kewajiban (shalat, puasa, haji) didasarkan pada kemampuan. Jika kewajiban tersebut melampaui kemampuan seseorang (misalnya, sakit parah atau bahaya keselamatan), maka kewajiban tersebut gugur atau diringankan. Hal ini mencegah kesesatan dalam agama, seperti ekstremisme atau beban ritual yang tidak manusiawi.
Meskipun bisikan hati yang lewat diampuni, Ayat 284 tetap menjadi peringatan keras. Ini mendorong mukmin untuk tidak hanya fokus pada tindakan lahiriah, tetapi juga pada pembersihan lingkungan batin (tazkiyatun nafs). Seorang mukmin harus senantiasa memohon pertolongan Allah agar niat jahat (‘azam) tidak sempat mengakar, karena akar niat jahat itu sendiri sudah diketahui oleh Allah sebelum diwujudkan.
Doa yang termuat di Ayat 286 bukanlah sekadar pengharapan, tetapi merupakan instruksi ilahi mengenai bagaimana cara meminta. Allah mengajarkan umat ini enam permohonan spesifik: 1. Perlindungan dari kesalahan. 2. Keringanan beban sejarah. 3. Perlindungan dari cobaan melebihi batas. 4. Pembersihan dosa (Maaf). 5. Penutupan aib (Ampunan). 6. Pengangkatan derajat (Rahmat). 7. Kemenangan.
Setiap mukmin yang membaca ayat ini seolah-olah sedang mengulang permohonan yang telah dijamin pengabulannya oleh Allah, menciptakan jembatan langsung antara ketakutan terhadap kedaulatan-Nya (V. 284) dan kelegaan dari rahmat-Nya (V. 286).
Permohonan "Lā taḥmil ‘alaynā iṣran kamā ḥamaltahu ‘ala alladhīna min qablinā" memerlukan kajian yang sangat mendalam mengenai sejarah taklif pada umat-umat terdahulu. Para mufasir mengidentifikasi beberapa jenis isr yang dibebankan kepada Bani Israil (umat sebelum kita) yang dihapuskan dari syariat Muhammad ﷺ, menunjukkan keistimewaan dan kemudahan agama Islam:
Dalam kisah penyembahan anak sapi, taubat Bani Israil hanya diterima jika mereka bersedia saling membunuh (Q.S. Al-Baqarah: 54). Dalam Islam, taubat yang tulus cukup dilakukan dengan penyesalan, niat untuk tidak mengulang, dan perbaikan diri (tawbah nasuha).
Pada syariat terdahulu, jika pakaian terkena najis, bagian yang terkena itu harus dipotong atau dibuang seluruhnya. Dalam Islam, cukup mencuci bagian yang terkena najis saja. Ini adalah keringanan besar dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umat terdahulu, harta rampasan perang (ghanimah) tidak diizinkan untuk dikonsumsi oleh para prajurit; harta tersebut harus dikumpulkan dan dibakar oleh api yang turun dari langit sebagai tanda diterima. Dalam Islam, ghanimah dihalalkan bagi umat Muhammad ﷺ, dengan pembagian yang jelas, yang merupakan bentuk rahmat dan penghargaan bagi jihad mereka.
Beberapa riwayat menunjukkan bahwa syariat terdahulu memiliki batasan ibadah yang lebih kaku, misalnya dalam urusan puasa, di mana mereka yang tertidur setelah berbuka puasa tidak diizinkan makan hingga keesokan harinya. Islam membatasi puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dan memungkinkan makan dan minum di malam hari.
Semua contoh ini memperjelas mengapa Allah mengajarkan umat ini untuk memohon agar mereka tidak dibebani isr (belenggu), dan mengapa Allah menjawab permohonan tersebut dengan janji pengabulan. Ayat 286 adalah piagam keringanan dan kemudahan, sebuah pengakuan bahwa Syariat Muhammad ﷺ adalah Syariat yang paling universal dan mudah dilaksanakan oleh seluruh umat manusia, tanpa memandang kondisi geografis atau historis.
Tiga ayat penutup Surah Al-Baqarah adalah sebuah mikrokosmos dari seluruh ajaran Islam. Ayat 284 menanamkan rasa takut dan kesadaran akan pengetahuan Allah yang tak terbatas; Ayat 285 menegaskan fondasi keimanan dan kepatuhan yang menjadi respons atas kedaulatan tersebut; dan Ayat 286 menawarkan jalan keluar berupa rahmat, keringanan beban, dan doa yang spesifik, yang berfungsi sebagai penjamin kelangsungan iman bagi umat manusia yang lemah.
Pesan utama yang harus diambil oleh setiap Muslim dari ayat-ayat ini adalah pentingnya keseimbangan: antara ketakutan yang mendorong ketaatan, dan harapan yang dijamin oleh Rahmat Ilahi. Umat Islam tidak dituntut untuk menjadi sempurna, tetapi dituntut untuk berusaha, berjuang sesuai kapasitas (wus’ahā), dan selalu kembali kepada-Nya dengan permohonan ampunan, karena Dialah Penolong sejati (Mawlānā) atas segala urusan dunia dan akhirat.
Oleh karena keutamaan dan kedalaman maknanya, para ulama menyarankan agar umat Muslim senantiasa merenungkan dan mengamalkan doa-doa dalam ayat 286 setiap hari, menjadikannya perisai spiritual dan penegasan janji Allah atas keringanan beban bagi mereka yang beriman.