Tafsir Mendalam Surah Al-Baqarah Ayat 284:
Kekuasaan Mutlak dan Akuntabilitas Jiwa

Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai peta jalan komprehensif bagi kehidupan seorang Muslim. Di antara ayat-ayat yang memuat hukum, kisah, dan ajaran moral, terdapat satu ayat yang memiliki kedalaman teologis luar biasa dan pernah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan para sahabat Nabi: Ayat 284.

Ayat ini berbicara langsung tentang sifat kepemilikan Allah (Mulk) dan prinsip akuntabilitas (Muhasabah) yang meliputi setiap pikiran, tindakan, dan niat—baik yang tersembunyi maupun yang ditampakkan. Memahami konteks, lafazh, dan implikasi teologis dari Al-Baqarah 284 adalah kunci untuk menelusuri bagaimana Islam menyeimbangkan antara keadilan ilahi yang sempurna dengan rahmat-Nya yang tak terbatas.

Teks Ayat dan Terjemahan Utama

لِّلَّهِ مَا فِي السَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَإِن تُبْدُوا مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللَّهُ ۖ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍۢ قَدِيرٌ

Terjemahan: Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah memperhitungkannya (menghitungnya) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Ayat ini terbagi menjadi tiga bagian fundamental yang saling terkait, masing-masing membawa bobot doktrinal yang masif: 1. Kepemilikan Mutlak (Mulk), 2. Akuntabilitas Penuh (Muhasabah), dan 3. Kekuasaan Ilahi Mutlak (Qadiriyyah).

Pengetahuan Ilahi dan Keberadaan

Ilustrasi simbolis kepemilikan dan perhitungan ilahi.

I. Tafsir Lafazh: Struktur Kepemilikan dan Keilmuan

A. Lillahi Ma Fis Samawati wa Ma Fil Ardh (Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan di bumi)

Kalimat pembuka ini adalah fondasi teologis. Lafazh "Lillahi" (Milik Allah) didahulukan untuk menekankan eksklusivitas kepemilikan. Ini bukan kepemilikan sebagian atau sementara, melainkan Kepemilikan Mutlak (Mulk) atas seluruh eksistensi, baik yang tampak (langit dan bumi) maupun yang tersembunyi. Implikasi dari Mulk ini adalah bahwa tidak ada satu pun makhluk yang dapat luput dari otoritas dan penghitungan-Nya, karena segala sesuatu adalah properti-Nya. Kepemilikan ini mencakup tubuh, pikiran, waktu, dan setiap momen kehidupan manusia.

B. Wa In Tubdu Ma Fi Anfusikum Aw Tukhfuhu (Dan jika kamu menyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya)

Inilah inti dari ayat yang menyebabkan ketegangan di kalangan Sahabat. "Ma Fi Anfusikum" secara harfiah berarti "apa yang ada dalam jiwa/diri kalian." Para mufassir seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa frasa ini mencakup niat (keinginan), keyakinan, dan pemikiran yang tersembunyi. Kata "Tubdu" (menampakkan/menyatakan) mengacu pada niat yang diterjemahkan menjadi ucapan atau perbuatan, sementara "Tukhfuhu" (menyembunyikan) merujuk pada pikiran yang masih tersimpan di dalam hati, belum dieksekusi.

C. Yuhasibkum Bihillahu (Niscaya Allah memperhitungkannya/menghitungnya bagimu)

Lafazh "Yuhasibkum" (menghitung/memperhitungkan) berasal dari akar kata hasaba, yang berarti menghitung atau menuntut pertanggungjawaban. Ini adalah penegasan bahwa tidak ada satu pun pikiran atau niat yang dapat lolos dari catatan ilahi. Keilmuan Allah (Ilmu) adalah mutlak dan universal. Bagian ini menekankan bahwa akuntabilitas di hadapan Allah tidak hanya didasarkan pada manifestasi fisik dari perbuatan, tetapi juga pada sumber spiritual dan motivasi yang melatarbelakanginya.

II. Asbabun Nuzul dan Kekhawatiran Para Sahabat

Untuk memahami kedalaman teologis ayat 284, kita harus menilik pada konteks turunnya (Asbabun Nuzul). Diriwayatkan dalam hadis yang shahih (misalnya dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi) bahwa ketika ayat ini diturunkan, para Sahabat merasa sangat terbebani dan ketakutan.

Mereka mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, kami telah dibebankan dengan amalan (salat, puasa, jihad) yang mampu kami lakukan. Tetapi, jika ayat ini turun, (yang menghitung) apa yang ada di dalam hati, kami tidak mampu menanggungnya."

A. Beban Akuntabilitas Jiwa

Kekhawatiran mereka beralasan. Secara naluriah, manusia tidak mampu mengendalikan pikiran yang melintas (khawatir) di dalam benaknya. Mereka khawatir bahwa bahkan pikiran buruk yang terlintas sesaat, yang tidak pernah mereka niatkan untuk dilakukan, akan dicatat sebagai dosa. Ini menciptakan persepsi bahwa tugas keagamaan yang baru ini melampaui kemampuan manusia (taklif ma la yuthaq).

Tafsir awal ayat 284, jika dipahami secara harfiah tanpa batasan, menunjukkan bahwa setiap kilasan iri, dengki, keraguan, atau syahwat yang melintas dalam hati akan memicu perhitungan ilahi, terlepas dari apakah ia diubah menjadi niat yang teguh atau tidak. Ayat ini terasa sangat memberatkan karena menuntut kontrol sempurna atas dunia batin yang kacau balau.

B. Jawaban Rasulullah dan Konsep Kepatuhan

Rasulullah ﷺ menanggapi kekhawatiran mereka dengan memerintahkan mereka untuk taat dan patuh, sebagaimana umat-umat terdahulu menolak perintah yang berat. Beliau bersabda: "Apakah kalian akan mengatakan (seperti yang dikatakan Bani Israil): Kami dengar dan kami tidak patuh? Katakanlah: Kami dengar dan kami patuh (Sami'na wa Atha'na), ampunan-Mu yang kami harapkan, wahai Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat kembali."

Kepatuhan ini menjadi kunci. Tidak lama setelah mereka menyatakan kepatuhan mutlak tersebut, Allah menurunkan dua ayat terakhir dari Al-Baqarah (285 dan 286), yang berfungsi sebagai klarifikasi dan keringanan (Takhfif) yang luar biasa.

III. Hubungan dengan Ayat 285 dan 286: Klarifikasi dan Keringanan

Banyak ulama berpendapat bahwa meskipun lafazh ayat 284 tetap berlaku, penafsiran praktisnya telah diringankan (mansukh fil hukm la fil tilawah) oleh turunnya ayat 286, khususnya firman Allah:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286)

A. Membedakan Niat (Azm) dan Bisikan (Waswas/Khawatir)

Keringanan ini datang dalam bentuk pembedaan tegas antara tiga jenis pikiran yang melintas di dalam hati:

  1. Al-Khawatir (Bisikan/Lintasan Pikiran): Ini adalah pikiran yang datang dan pergi tanpa menetap, seringkali di luar kendali seseorang (seperti pikiran buruk yang tiba-tiba melintas). Ini tidak dicatat sebagai dosa.
  2. Al-Azm (Niat Tegas/Tekad): Ini adalah niat yang sudah menetap, yang dipegang teguh oleh hati dan direncanakan untuk dilaksanakan, meskipun pelaksanaan fisiknya belum terjadi. Jika niat ini buruk, ia dicatat (meskipun pahalanya berlipat ganda jika niat baik dibatalkan karena takut kepada Allah).
  3. Al-Hadits an-Nafs (Pembicaraan Diri): Pikiran yang lebih lama dari khawatir tetapi belum mencapai tingkat ketegasan Azm. Ini juga umumnya dimaafkan.

Imam An-Nawawi, dalam komentarnya tentang hadis akuntabilitas pikiran, menegaskan bahwa yang diampuni adalah lintasan pikiran yang tidak disengaja dan yang tidak diwujudkan dalam niat (Azm) untuk berbuat maksiat. Jika seseorang sengaja memelihara dan menikmati pikiran buruk, menumbuhkannya hingga menjadi keinginan yang kuat, di sinilah batas akuntabilitas mulai berlaku. Ayat 284 menuntut akuntabilitas, sementara 286 memberikan rahmat bahwa Allah hanya menuntut apa yang *sanggup* kita kendalikan, yaitu niat yang menetap.

B. Ilmu dan Pengampunan Ilahi

Ayat 284 tetap berfungsi sebagai penegasan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Meskipun Allah memberikan kemudahan bagi umat Muhammad dalam hal *khawatir* yang tidak menetap, ayat ini mengingatkan bahwa Allah SWT mengetahui *segala* yang disembunyikan. Fungsi ayat 284 pasca keringanan (mansukh) adalah sebagai penanam rasa takut (Khauf) dan pengawasan diri (Muraqabah).

Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa tujuan utama ayat ini bukan untuk menghukum setiap pikiran, melainkan untuk mendorong manusia membersihkan sumber niat mereka. Karena Allah mengetahui niat sejati, maka pahala atau siksa didasarkan pada ketulusan hati (Ikhlas).

IV. Analisis Kedalaman Teologis: Konsep Muhasabah (Akuntabilitas)

Porsi terbesar dari ayat 284 adalah tentang Muhasabah. Akuntabilitas ini memiliki dimensi yang meluas, jauh melampaui sekadar daftar perbuatan baik dan buruk.

A. Akuntabilitas atas Niat dan Motifasi

Dalam syariat, amal dinilai berdasarkan niatnya (Innamal a’malu bin niyyat). Ayat 284 memperkuat prinsip ini hingga ke tingkat yang paling ekstrem: bahkan niat yang belum diwujudkan dalam perbuatan fisik pun sudah masuk dalam domain perhitungan Allah.

Misalnya, seseorang melakukan amal kebaikan, namun niatnya tersembunyi untuk mencari pujian manusia (Riya'). Secara lahiriah, perbuatan itu baik, tetapi karena Allah mengetahui apa yang disembunyikan dalam hati (Tukhfuhu), amal tersebut bisa menjadi tidak bernilai atau bahkan menjadi dosa. Ayat ini menuntut keikhlasan mutlak, karena tidak ada dinding, bahkan di dalam hati, yang dapat menghalangi pandangan Ilahi.

B. Muhasabah dalam Konteks Kekuasaan Mutlak

Pikiran-pikiran yang kita anggap pribadi dan rahasia, dalam kerangka ayat 284, adalah wilayah yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Allah. Hal ini meniadakan konsep privasi total antara makhluk dengan Penciptanya. Ketika manusia menyembunyikan sesuatu dari manusia lain (karena malu, takut dihukum, atau riya'), mereka harus sadar bahwa sembunyi-sembunyi itu tidak berlaku bagi Allah.

Tuntutan akuntabilitas ini membentuk disiplin spiritual yang dikenal sebagai *Muraqabah* (kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi) dan *Tazkiyatun Nafs* (penyucian jiwa). Muhasabah diri yang dilakukan seorang hamba di dunia adalah latihan persiapan untuk Muhasabah yang lebih besar di hari Kiamat, sebagaimana diriwayatkan: "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab."

C. Perbedaan dalam Penafsiran Siksaan dan Pengampunan

Ayat ini menutup bagian Muhasabah dengan, "Fayaghfiru liman yasha'u wa yu'adzdzibu man yasha'u," (Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki). Ayat ini memberikan Allah otoritas penuh atas hasil perhitungan tersebut.

Para ulama tafsir menekankan bahwa pengampunan (Maghfirah) dan azab (Adzab) yang disebutkan di sini tidak selalu didasarkan pada perbuatan semata, tetapi juga pada kehendak Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kondisi batin hamba tersebut. Jika hati seseorang dipenuhi dengan iman dan ketakutan (taqwa) yang mencegahnya mewujudkan niat buruk, maka itu adalah salah satu pintu pengampunan.

Kekuasaan untuk mengampuni atau menyiksa adalah bukti dari sifat Al-Qadir yang disebutkan di akhir ayat, menekankan bahwa keputusan akhir tidak terikat oleh rumusan hukum manusia, melainkan oleh Kehendak Ilahi yang adil dan penyayang. Bagian ini menanamkan elemen harapan (Raja') sekaligus rasa takut (Khauf) di dalam hati Mukmin.

Tanpa keberadaan ayat 285 dan 286 sebagai keringanan, ayat 284 akan menjadi ayat yang menakutkan, karena menuntut pertanggungjawaban atas setiap kilasan pikiran. Namun, dengan keringanan tersebut, ayat 284 menjadi pengingat abadi bahwa yang dituntut adalah *Azm* (niat yang teguh) dan kesungguhan hati, serta bahwa Allah Mahamengetahui kelemahan manusia.

V. Dimensi Kepemilikan Mutlak (Mulk)

Frasa pembuka, "Lillahi ma fis samawati wa ma fil ardh," memiliki konsekuensi hukum dan spiritual yang sangat luas. Ini adalah penegasan fundamental Tauhid Rububiyyah (Keesaan Allah dalam Kepengurusan).

A. Konsekuensi Hukum Mulk

Karena segala sesuatu adalah milik Allah, maka manusia adalah pengelola (Khalifah) sementara, bukan pemilik hakiki. Manusia tidak berhak menggunakan "miliknya" (seperti tubuhnya, hartanya, atau bahkan waktunya) untuk melanggar hukum Allah. Jika manusia menyadari bahwa ia adalah pengelola dari properti yang dimilikinya, ia akan lebih hati-hati dalam menggunakan nikmat tersebut, termasuk penggunaan potensi internal (pikiran dan hati).

Ayat ini mengajarkan bahwa bahkan pikiran kita bukanlah milik eksklusif kita dalam artian bebas dari perhitungan. Karena akal dan kemampuan berpikir diberikan oleh Allah, maka penggunaan akal tersebut untuk merencanakan kejahatan atau keraguan terhadap-Nya akan dipertanyakan.

B. Kepemilikan dan Kebergantungan

Kepemilikan Allah atas langit dan bumi juga mencakup kepemilikan atas segala sumber daya dan kekuatan. Ketaatan dan akuntabilitas menjadi logis karena kita sepenuhnya bergantung pada Pemilik tersebut. Ini mendorong seorang Mukmin untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada makhluk dan fokus hanya pada Pencipta. Ketika seseorang menyembunyikan suatu niat buruk (tukhfuhu), ia harus ingat bahwa ia menyembunyikannya di dalam hati yang berada dalam kendali Pemilik Mutlak segala sesuatu.

Para sufi sering menggunakan ayat ini sebagai dasar untuk konsep *Fana'* (peniadaan diri) dan *Tawakkal* (berserah diri). Jika semua adalah milik-Nya, maka rasa memiliki yang berlebihan (atas harta, jabatan, atau bahkan ideologi) adalah ilusi yang harus dilepaskan dalam rangka mencapai hakikat penghambaan yang sejati.

VI. Sifat Qadir: Kekuasaan Allah yang Mutlak

Ayat 284 ditutup dengan penegasan: "Wallahu 'ala kulli syai'in Qadir" (Allah Mahakuasa atas segala sesuatu). Penutup ini bukan sekadar kalimat penegas, tetapi berfungsi sebagai penjamin atas tiga bagian ayat sebelumnya.

A. Menjamin Kepastian Hisab

Kekuatan Allah (Qadir) memastikan bahwa janji Hisab (perhitungan) pasti terjadi. Tidak ada yang terlalu kecil untuk dicatat, dan tidak ada yang terlalu besar untuk dihakimi. Jika Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, maka Dia Mahakuasa untuk mengetahui hal yang paling tersembunyi (pikiran) dan Mahakuasa untuk menciptakan mekanisme perhitungan yang sempurna dan adil.

B. Menjamin Kehendak Maghfirah dan Adzab

Sifat Qadir mendukung bagian ayat yang menyebutkan pengampunan dan azab. Allah mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki—ini adalah demonstrasi dari Kekuasaan Mutlak. Manusia tidak dapat mendikte kapan dan bagaimana Rahmat Allah akan turun. Sifat Qadir menempatkan Maghfirah sebagai hak prerogatif Ilahi, bukan hasil otomatis dari perbuatan manusia.

Hal ini mencegah hamba untuk merasa sombong atas amal baiknya atau putus asa atas dosa-dosanya, karena keputusan akhir tetap berada di tangan Zat yang Mahakuasa.

C. Keseimbangan Khauf (Takut) dan Raja' (Harapan)

Ayat ini adalah salah satu ayat terbaik yang menanamkan keseimbangan spiritual. Bagian Muhasabah (akuntabilitas atas yang tersembunyi) menumbuhkan rasa takut yang mendalam terhadap murka Allah (Khauf), mendorong introspeksi diri yang ketat.

Namun, diikuti oleh janji pengampunan (Fayaghfiru liman yasha'u), ia segera membuka pintu harapan (Raja'), mengingatkan bahwa kesempurnaan keadilan Allah selalu didampingi oleh kesempurnaan Rahmat-Nya. Seorang Muslim sejati hidup di antara dua sayap ini: takut akan hisab yang ketat, namun penuh harap akan ampunan yang tak terhingga.

VII. Aplikasi Kontemporer Ayat 284: Etika Batin dan Dunia Modern

Meskipun diturunkan pada abad ke-7, prinsip-prinsip dalam Al-Baqarah 284 memiliki relevansi yang sangat tajam di era kontemporer, terutama dalam masalah etika, kejujuran digital, dan kesehatan mental.

A. Integritas di Era Informasi

Di dunia yang didominasi oleh media sosial dan komunikasi digital, seringkali ada perbedaan besar antara persona publik (yang ditampakkan/tubdu) dan niat pribadi (yang disembunyikan/tukhfuhu). Ayat 284 mengajarkan bahwa integritas sejati adalah kesesuaian antara batin dan lahir.

Ketika seseorang melakukan amal kebaikan hanya demi validasi daring (like atau pujian), ia menampakkan kebaikan, tetapi menyembunyikan niat yang rusak. Ayat ini menegaskan bahwa validasi yang sesungguhnya hanya datang dari Allah, Yang mengetahui niat tersembunyi di balik setiap unggahan, komentar, atau aksi filantropi.

B. Tantangan Kesehatan Mental dan Waswas

Di masa kini, banyak orang bergumul dengan pikiran negatif, obsesi (waswas), atau pikiran yang mengganggu (intrusive thoughts). Pemahaman yang benar terhadap keringanan (takhfif) dari ayat 286 menjadi sangat penting.

Seorang Muslim yang menderita kecemasan atau OCD sering merasa bersalah atas pikiran negatif yang ia benci dan coba tolak. Tafsir Al-Baqarah 284 dan 286 memberikan jaminan psikologis dan spiritual: selama pikiran-pikiran tersebut bersifat khawatir (lintasan tanpa niat tegas) dan dilawan, ia tidak akan dicatat sebagai dosa. Sebaliknya, upaya melawan bisikan buruk tersebut dicatat sebagai pahala ketaatan terhadap perintah untuk bersabar dan bertaqwa.

C. Menegakkan Ikhlas

Pada akhirnya, Al-Baqarah 284 adalah ayat tentang Ikhlas (ketulusan murni). Karena Allah akan memperhitungkan apa yang disembunyikan dalam hati, maka satu-satunya cara untuk menyelamatkan amal adalah dengan memurnikan niat sepenuhnya hanya untuk Allah. Ayat ini menjadi parameter tertinggi bagi pengujian spiritual: apakah kita berbuat karena mencari wajah Allah, atau karena mencari keuntungan duniawi atau pujian manusia.

Pemurnian niat ini adalah perjuangan abadi seorang hamba, dan kesadaran akan pengawasan Allah yang meliputi alam batin (sebagaimana ditegaskan 284) adalah kekuatan pendorong utama dalam perjalanan menuju kesempurnaan spiritual.

VIII. Pengulangan dan Penekanan Prinsip Universal

Prinsip-prinsip yang termaktub dalam Al-Baqarah 284 diulang dalam berbagai surah Al-Qur'an, menunjukkan bobotnya yang universal dalam ajaran Islam. Pengulangan ini mempertegas bahwa kepemilikan dan keilmuan Allah adalah dasar dari semua sistem etika dan hukum Islam. Berikut adalah elaborasi mendalam tentang bagaimana ayat ini memperkokoh doktrin inti:

A. Keagungan Ilmu Allah (Ilmu Ilahi)

Ayat ini adalah manifestasi konkret dari sifat Allah sebagai Al-'Alim (Yang Mahamengetahui). Keilmuan Allah tidak terbatas pada data empiris atau tindakan yang dapat diukur. Ia menembus batas-batas kesadaran dan ketidaksadaran manusia. Ketika Allah berfirman "atau kamu menyembunyikannya," ini merujuk pada lapisan niat dan motif yang bahkan kadang-kadang disamarkan oleh individu itu sendiri melalui pembenaran diri (justifikasi).

Jika seorang hamba mencoba menipu dirinya sendiri tentang motif sebenarnya melakukan suatu amal (misalnya, beramal karena takut dianggap buruk oleh masyarakat, bukan karena takut kepada Allah), Allah tetap mengetahui realitas yang tersembunyi itu. Dalam tafsir At-Tabari, ditekankan bahwa keilmuan ini adalah bukti kemuliaan Allah dan ketiadaan kebutuhan-Nya terhadap perantara atau laporan dari makhluk. Ilmu-Nya adalah sempurna dan mandiri.

B. Pengaruh terhadap Fiqh dan Hukum

Meskipun ayat 286 memberikan keringanan pada *khawatir*, ayat 284 tetap menjadi landasan bagi hukum niat dalam Fiqh. Sebagai contoh, dalam ibadah (seperti wudu, salat, puasa), niat yang tersembunyi dan teguh (Azm) adalah syarat sahnya. Jika seseorang melakukan gerakan salat tetapi menyembunyikan niat untuk beribadah (misalnya, hanya untuk olahraga atau pamer), maka ibadahnya batal, karena Allah menghitung apa yang tersembunyi (tukhfuhu) di dalam hatinya.

Dalam Fiqh Jinayat (hukum pidana), niat (mens rea) memainkan peran krusial. Namun, dalam perhitungan akhir di hari Kiamat, perhitungan Allah lebih teliti dari sistem hukum manusia mana pun, karena Dia tidak hanya menghitung niat kejahatan yang terwujud, tetapi juga niat kejahatan yang ditahan semata-mata karena ketakutan kepada-Nya.

C. Kekuatan Peringatan dan Harapan

Ayat 284 berfungsi sebagai peringatan keras (Inzar) bahwa tidak ada tempat persembunyian, bahkan dalam diri sendiri. Namun, kekuatan ayat ini terletak pada janji Rahmat yang menyertainya: "Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki."

Dapat dikatakan bahwa ayat 284, ketika dibaca bersama 285-286, mewakili seluruh spektrum hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya: dari tuntutan Keadilan Ilahi yang sempurna hingga luapan Rahmat Ilahi yang melampaui segala sesuatu. Akuntabilitas ditetapkan, tetapi mekanisme pengampunan juga dijelaskan, memastikan bahwa Mukmin tidak hidup dalam keputusasaan total.

Imam Al-Qurtubi menafsirkan bahwa rasa takut yang ditimbulkan oleh ayat 284 adalah rasa takut yang produktif, yang mendorong hamba untuk segera bertaubat (Tawbah) ketika niat buruk mulai menetap, sebelum niat tersebut sempat diwujudkan dalam perbuatan. Ketakutan akan perhitungan atas niat yang tersembunyi adalah benteng pertama pertahanan moral.

IX. Perluasan Konsep 'Ma Fis Samawati wa Ma Fil Ardh'

Pengulangan frasa kepemilikan dalam berbagai surah menunjukkan bahwa ini adalah konsep utama yang mendasari kedaulatan Allah. Dalam konteks ayat 284, kepemilikan ini memberikan legitimasi mutlak bagi Allah untuk menghitung segala sesuatu.

A. Kepemilikan atas Waktu dan Takdir (Qadar)

Jika Allah memiliki segala yang ada di langit dan di bumi, Dia juga memiliki waktu, yaitu rangkaian kejadian (Takdir). Kesadaran bahwa Allah mengendalikan masa lalu, kini, dan masa depan menghilangkan kesombongan manusia untuk mengklaim keberhasilan sebagai hasil usaha murni, atau menyalahkan takdir sepenuhnya atas kegagalan.

Manusia dituntut akuntabel atas pilihan (Ikhtiyar) yang dibuat dalam kerangka takdir yang ditetapkan. Ayat 284 memperingatkan bahwa manusia akan dihisab atas bagaimana mereka menggunakan kehendak bebas yang diberikan Allah dalam wilayah 'ma fi anfusikum' (apa yang ada dalam jiwamu) untuk memilih antara kebaikan dan keburukan.

B. Kepemilikan dan Kesempurnaan Ciptaan

Frasa 'ma fis samawati wa ma fil ardh' juga mengindikasikan kesempurnaan ciptaan. Keteraturan alam semesta yang menakjubkan adalah bukti nyata bagi setiap pikiran (baik yang disembunyikan atau ditampakkan) bahwa Pencipta ini layak untuk ditaati dan ditakuti. Jika hamba merenungkan keagungan alam semesta, ia akan merasa kecil dan semakin menyadari bahwa segala hal—besar maupun kecil (termasuk bisikan hati)—berada dalam genggaman dan pengawasan Allah.

Dengan demikian, ayat 284 tidak hanya berfungsi sebagai ancaman, tetapi juga sebagai undangan untuk merenungkan keagungan Allah yang meliputi kosmos dan jiwa manusia.

X. Ringkasan Prinsip Akuntabilitas (Muhasabah)

Tafsir atas Al-Baqarah 284 secara komprehensif mengajarkan beberapa prinsip inti yang wajib dipahami oleh setiap Mukmin yang mencari kesucian hati:

1. **Kedaulatan Mutlak:** Allah memiliki seluruh alam semesta, yang memberikan Dia hak mutlak untuk menghakimi ciptaan-Nya.

2. **Keilmuan Total:** Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik yang tersembunyi (tukhfuhu) dalam hati maupun yang ditampakkan (tubdu) melalui perbuatan.

3. **Niat yang Diperhitungkan:** Pikiran dan niat yang telah menjadi *Azm* (tekad kuat) akan dicatat dan dipertanggungjawabkan, menjadikannya lebih penting daripada sekadar perbuatan fisik.

4. **Keringanan Ilahi:** Berkat rahmat dari ayat 286, lintasan pikiran (khawatir/waswas) yang tidak disengaja dan tidak diwujudkan sebagai niat yang menetap, dimaafkan.

5. **Harapan dan Takut:** Ayat ini menyeimbangkan antara ancaman hisab yang sangat teliti dengan janji Maghfirah, menempatkan hamba dalam kondisi antara Khauf dan Raja'.

Oleh karena itu, Al-Baqarah 284 adalah mercusuar yang menerangi kegelapan hati, memaksa Mukmin untuk menyucikan sumber amal—yaitu niat dan motifasi batin—sebelum perbuatan itu sendiri terwujud. Ayat ini adalah cerminan atas integritas batin yang sesungguhnya diminta oleh Islam: keikhlasan total yang tidak menyisakan ruang bagi riya’ atau penipuan diri, sebab setiap helai rahasia jiwa tetap berada dalam hitungan Allah SWT.

Kesadaran akan perhitungan yang detail ini, dikombinasikan dengan pengetahuan tentang kemudahan yang diberikan (sebagaimana ditegaskan di ayat-ayat berikutnya), merupakan fondasi bagi ketenangan spiritual dan moral yang sesungguhnya.

Ayat 284 menyempurnakan Surah Al-Baqarah dengan pengingat kuat tentang hakikat penghambaan sejati. Setelah semua aturan, hukum, dan kisah disampaikan dalam surah ini, penutupnya membawa manusia kembali kepada Yang Maha Memiliki dan Yang Maha Mengetahui, menegaskan bahwa ketaatan sejati harus berakar dari hati yang paling dalam dan tulus.

Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan kepada-Nya lah tempat kembali segala urusan.

🏠 Kembali ke Homepage