Pengantar: Jejak Revolusi dan Identitas Bangsa
Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan adalah tapak-tapak perjuangan yang membentuk identitas dan arah bangsa. Salah satu periode paling krusial dan penuh gejolak adalah Orde Lama, sebuah era yang tak terpisahkan dari sosok proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Periode ini, yang membentang sejak proklamasi kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1960-an, bukan sekadar rentang waktu, melainkan sebuah babak penting di mana fondasi kebangsaan diletakkan, ideologi diuji, dan kedaulatan diperjuangkan di tengah arena politik global yang penuh intrik. Orde Lama adalah masa konsolidasi, eksperimentasi politik, dan pembangunan karakter bangsa yang kaya akan dinamika, konflik, dan pencapaian monumental.
Istilah "Orde Lama" sendiri baru muncul setelah berakhirnya era ini, merujuk pada tatanan politik yang dipimpin oleh Soekarno, sebagai pembeda dari "Orde Baru" yang dipimpin Soeharto. Namun, esensi dari Orde Lama jauh melampaui sekadar penamaan. Ia adalah cerminan dari semangat revolusi yang tak pernah padam, upaya pencarian bentuk demokrasi yang sesuai dengan jati diri bangsa, serta perjuangan tak henti untuk menegakkan kedaulatan ekonomi dan politik di kancah internasional. Di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia menjadi mercusuar bagi bangsa-bangsa terjajah lainnya, menyuarakan anti-kolonialisme, anti-imperialisme, dan semangat kemandirian.
Namun, di balik narasi kepahlawanan dan idealisme revolusioner, Orde Lama juga diwarnai oleh tantangan internal yang berat. Instabilitas politik, krisis ekonomi yang berkepanjangan, serta polarisasi ideologi yang tajam menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial-politik kala itu. Artikel ini akan menyelami berbagai aspek Orde Lama, mulai dari latar belakang pembentukannya, ciri-ciri politik, ekonomi, dan sosialnya, hingga warisan yang ditinggalkan bagi generasi berikutnya. Dengan memahami Orde Lama, kita dapat menelaah lebih dalam akar-akar sejarah yang membentuk Indonesia modern, serta pelajaran berharga tentang pembangunan bangsa dan kompleksitas kekuasaan.
Latar Belakang dan Kelahiran Republik Muda
Pembentukan Orde Lama tidak bisa dilepaskan dari konteks pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari fase yang lebih menantang: mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda yang ingin kembali menjajah, sekaligus membangun struktur negara yang kokoh dari nol. Periode yang dikenal sebagai Revolusi Fisik ini menjadi kawah candradimuka bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, menempa nasionalisme yang kuat dan kesadaran akan pentingnya persatuan.
Revolusi Fisik dan Perjuangan Kedaulatan
Sejak proklamasi hingga pengakuan kedaulatan penuh pada akhir tahun 1949, Indonesia harus menghadapi berbagai serangan militer dan diplomasi dari Belanda. Periode ini diwarnai oleh pertempuran sengit di berbagai daerah, seperti Pertempuran Surabaya, Bandung Lautan Api, hingga Agresi Militer Belanda I dan II. Di tengah desingan peluru dan meja perundingan yang alot, para pendiri bangsa, dengan Soekarno dan Hatta sebagai dwi-tunggalnya, berjuang keras untuk menegakkan legitimasi Republik di mata dunia. Kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari darah, keringat, dan air mata.
Pengakuan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar (KMB) membuka lembaran baru bagi Indonesia. Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk sebagai hasil KMB tidak bertahan lama, dan segera kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada pertengahan tahun 1950. Konsolidasi bentuk negara ini menandai berakhirnya Revolusi Fisik dan dimulainya fase pembangunan politik dan ekonomi dalam skala yang lebih besar.
Periode Demokrasi Parlementer: Ujian Awal Kebangsaan
Dengan kembalinya ke bentuk NKRI, Indonesia memasuki periode yang dikenal sebagai Demokrasi Parlementer, yang berlangsung sekitar pertengahan tahun 1950 hingga akhir dekade tersebut. Pada masa ini, sistem pemerintahan didasarkan pada konstitusi sementara yang menganut sistem parlementer, di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
- Instabilitas Kabinet: Ciri utama periode ini adalah seringnya pergantian kabinet. Dalam waktu singkat, Indonesia memiliki beberapa kabinet yang silih berganti, masing-masing dengan program dan prioritasnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh fragmentasi partai politik yang kuat, di mana tidak ada satu partai pun yang memiliki mayoritas mutlak di parlemen.
- Fragmentasi Politik: Munculnya banyak partai politik dengan ideologi yang beragam, mulai dari nasionalis (PNI), agama (Masyumi, NU), hingga sosialis dan komunis (PSI, PKI), menciptakan lanskap politik yang sangat kompetitif. Partai-partai ini kerap kali sulit mencapai konsensus, mengakibatkan kebijakan yang tidak stabil dan pembangunan yang terhambat.
- Pemilihan Umum: Salah satu capaian penting pada masa ini adalah pelaksanaan pemilihan umum pertama pada tahun 1955. Pemilu ini dianggap sebagai tonggak demokrasi di mana rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya. Hasil pemilu menunjukkan empat partai besar: PNI, Masyumi, NU, dan PKI, yang masing-masing memperoleh suara signifikan.
- Tantangan Pembangunan: Meskipun berupaya membangun ekonomi dan infrastruktur, seringnya pergantian kabinet menghambat konsistensi kebijakan. Isu-isu seperti pemberantasan korupsi, pembangunan ekonomi yang merata, dan penyelesaian masalah daerah menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk.
Soekarno, sebagai Presiden, pada masa ini cenderung memiliki peran seremonial sesuai konstitusi parlementer, namun ia semakin merasa tidak puas dengan kinerja sistem politik yang dianggapnya tidak stabil dan tidak sesuai dengan jiwa revolusi Indonesia. Kegagalan Konstituante untuk menghasilkan konstitusi baru yang permanen dan merespons krisis kenegaraan, serta munculnya berbagai pemberontakan daerah seperti PRRI/Permesta, semakin memperkuat keyakinan Soekarno bahwa Indonesia membutuhkan sistem yang lebih kuat dan stabil.
Konsepsi Soekarno dan Jalan Menuju Demokrasi Terpimpin
Ketidakpuasan Soekarno terhadap Demokrasi Parlementer bukan tanpa alasan. Sebagai 'penyambung lidah rakyat' dan seorang ideolog revolusi, ia melihat bahwa sistem tersebut terlalu berkiblat ke Barat dan tidak cocok dengan karakter bangsa Indonesia yang mengutamakan musyawarah-mufakat. Pertentangan ideologi antarpartai, ketidakstabilan pemerintahan, dan ancaman disintegrasi bangsa menjadi pemicu bagi Soekarno untuk mencari solusi baru yang diyakininya lebih 'Indonesiawi'.
Kritik terhadap Demokrasi Parlementer
Soekarno secara terbuka mengkritik Demokrasi Parlementer sebagai "demokrasi yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia." Ia menyoroti beberapa kelemahan fundamental:
- Seringnya Jatuh Bangun Kabinet: Ini menyebabkan program pembangunan tidak bisa berjalan konsisten dan berkelanjutan. Fokus pemerintah lebih banyak pada upaya mempertahankan kekuasaan daripada melayani rakyat.
- Politik Pecah Belah: Partai-partai lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan bangsa, menciptakan polarisasi yang tajam dan menghambat persatuan.
- Liberalisme yang Ekstrem: Menurut Soekarno, liberalisme yang dianut pada masa itu berujung pada individualisme dan tidak selaras dengan semangat gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
- Kegagalan Konstituante: Lembaga ini yang bertugas membuat UUD baru justru terjebak dalam perdebatan ideologis yang tak berujung, memperparah krisis konstitusional.
- Ancaman Disintegrasi: Munculnya pemberontakan daerah seperti PRRI/Permesta yang menuntut otonomi lebih luas atau bahkan memisahkan diri, menunjukkan rapuhnya persatuan nasional di bawah sistem yang ada.
Dari kritiknya ini, Soekarno mulai menggagas sebuah konsep yang ia sebut sebagai "Demokrasi Terpimpin." Baginya, Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat dan terarah untuk mengendalikan jalannya revolusi, menuntaskan pembangunan, dan menjaga persatuan bangsa.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Lahirnya Demokrasi Terpimpin
Puncak dari kegagalan Demokrasi Parlementer adalah ketika Konstituante, setelah bertahun-tahun bersidang, tidak juga mampu menghasilkan konstitusi baru. Situasi politik semakin memanas, ditambah dengan memburuknya kondisi ekonomi dan ancaman disintegrasi. Dalam suasana genting tersebut, Soekarno mengambil langkah drastis.
Pada 5 Juli 1959, dengan dukungan penuh dari Angkatan Darat, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang dikenal luas sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi penting dari dekrit tersebut adalah:
- Pembubaran Konstituante.
- Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD '45) dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit ini secara efektif mengakhiri era Demokrasi Parlementer dan menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin, sekaligus menjadi tonggak dimulainya Orde Lama secara definitif dalam bentuk yang paling khas. Dengan berlakunya kembali UUD 1945, kekuasaan eksekutif presiden menjadi sangat kuat, dan sistem pemerintahan kembali menjadi presidensial dengan Soekarno sebagai pusat kekuasaan utama.
Langkah ini disambut dengan beragam reaksi. Sebagian menganggapnya sebagai tindakan penyelamat bangsa dari perpecahan dan ketidakpastian, sementara yang lain melihatnya sebagai awal dari otoritarianisme. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi momen krusial yang mengubah arah sejarah politik Indonesia.
Demokrasi Terpimpin: Corak Politik, Ekonomi, dan Sosial
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, sebuah sistem yang secara fundamental berbeda dari Demokrasi Parlementer sebelumnya. Era ini menjadi inti dari Orde Lama, di mana Soekarno sebagai Presiden memegang kendali penuh atas arah negara, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Konsep 'terpimpin' mengindikasikan bahwa demokrasi tidak lagi semata-mata diartikan sebagai kebebasan individu, melainkan sebagai proses musyawarah-mufakat yang dipimpin oleh seorang pemimpin besar revolusi.
Politik Demokrasi Terpimpin: Pemusatan Kekuasaan dan Ideologi Nasional
Ciri paling menonjol dari politik Demokrasi Terpimpin adalah pemusatan kekuasaan yang sangat besar di tangan Presiden Soekarno. Ia tidak lagi hanya menjadi kepala negara, tetapi juga kepala pemerintahan dan panglima tertinggi angkatan perang. Berbagai lembaga negara dibentuk atau direstrukturisasi untuk mendukung kepemimpinan tunggal ini.
- Pemusatan Kekuasaan: Presiden memiliki wewenang luas, termasuk membentuk kabinet (yang disebut Kabinet Kerja), mengeluarkan peraturan dan keputusan penting, serta mengendalikan arah kebijakan luar negeri dan dalam negeri. Lembaga-lembaga negara seperti MPRS dan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) diisi oleh anggota-anggota yang diangkat atau disetujui oleh Presiden, sehingga fungsi pengawasan legislatif menjadi sangat minim.
- Manipol/USDEK: Soekarno merumuskan ideologi negara yang disebut Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian dijabarkan menjadi USDEK, singkatan dari:
- UUD 1945: Sebagai dasar konstitusional yang kembali diberlakukan.
- Sosialisme Indonesia: Sebagai tujuan pembangunan masyarakat adil dan makmur.
- Demokrasi Terpimpin: Sebagai sistem politik yang dianut.
- Ekonomi Terpimpin: Sebagai sistem ekonomi yang diarahkan oleh negara.
- Kepribadian Indonesia: Sebagai identitas dan jatidiri bangsa.
- Nasakom: Soekarno juga mempopulerkan konsep Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Ini adalah upaya Soekarno untuk merangkul tiga kekuatan politik utama yang ada di Indonesia saat itu (partai nasionalis, kelompok agama, dan Partai Komunis Indonesia/PKI) agar bersatu di bawah payung revolusi. Konsep ini, meskipun bertujuan mempersatukan, justru menciptakan ketegangan dan persaingan yang tersembunyi antar ketiga kekuatan.
- Peran TNI/ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (saat itu Angkatan Perang Republik Indonesia/APRI, kemudian ABRI) memiliki peran yang semakin besar dalam politik dan pemerintahan, tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan tetapi juga sebagai kekuatan sosial-politik. Jenderal Abdul Haris Nasution, Panglima Angkatan Darat, menjadi salah satu tokoh penting dalam mendukung implementasi Demokrasi Terpimpin.
- Pembubaran Partai Politik: Beberapa partai politik yang dianggap menentang Demokrasi Terpimpin atau tidak sejalan dengan Manipol/USDEK, seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dibubarkan oleh Soekarno. Ini mempersempit ruang gerak oposisi dan menciptakan atmosfer politik yang kurang pluralis.
- Politik Luar Negeri Konfrontatif: Orde Lama juga dikenal dengan politik luar negerinya yang independen, aktif, dan cenderung konfrontatif terhadap Barat.
- Trikora (Tri Komando Rakyat): Perjuangan pembebasan Irian Barat dari Belanda melalui jalur diplomasi dan militer berhasil pada tahun 1962, yang menunjukkan kekuatan dan tekad Indonesia.
- Konfrontasi Malaysia: Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neo-kolonialisme Inggris. Ini memicu "Ganyang Malaysia" dan menyebabkan Indonesia keluar dari PBB pada tahun 1965.
- Poros Jakarta-Peking: Kedekatan dengan Tiongkok komunis dan negara-negara blok timur menjadi ciri khas politik luar negeri Indonesia, diimbangi dengan peran aktif dalam Gerakan Non-Blok.
Ekonomi Terpimpin: Antara Cita-cita dan Realitas
Di bidang ekonomi, Orde Lama menerapkan sistem Ekonomi Terpimpin, yang berarti negara memiliki peran sentral dalam mengatur dan mengarahkan perekonomian. Tujuannya adalah untuk mencapai sosialisme Indonesia yang adil dan makmur, melepaskan diri dari dominasi ekonomi asing, dan membangun kemandirian bangsa.
- Nasionalisasi Perusahaan Asing: Banyak perusahaan milik Belanda dan negara asing lainnya dinasionalisasi dan diambil alih oleh negara. Ini merupakan bagian dari upaya untuk menguasai aset-aset strategis dan memutus ketergantungan pada modal asing.
- Pembangunan Proyek Mercusuar: Soekarno memprakarsai sejumlah proyek pembangunan berskala besar yang bertujuan untuk menunjukkan kebesaran dan martabat bangsa. Contohnya adalah pembangunan Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno (GBK), Hotel Indonesia, dan Jembatan Ampera. Proyek-proyek ini memang ikonik, namun sering kali dikritik karena menyedot anggaran besar di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
- Inflasi dan Kemiskinan: Meskipun ada cita-cita besar, kondisi ekonomi riil pada masa ini sangat menantang. Inflasi merajalela, nilai mata uang jatuh, dan harga kebutuhan pokok melonjak tinggi. Penyebabnya antara lain adalah pencetakan uang yang berlebihan untuk membiayai proyek-proyek dan operasi militer (seperti Trikora dan Konfrontasi), serta manajemen ekonomi yang belum efisien. Kelangkaan barang dan kemiskinan menjadi masalah serius yang dihadapi rakyat.
- Ketergantungan Utang: Untuk membiayai berbagai proyek dan kebutuhan negara, Indonesia juga mulai bergantung pada utang luar negeri dari berbagai blok, termasuk Uni Soviet dan negara-negara Barat, meskipun dengan retorika anti-imperialisme.
Ekonomi Terpimpin menunjukkan ambisi besar Soekarno untuk membangun bangsa yang mandiri dan berdaulat secara ekonomi, namun pelaksanaannya di lapangan menghadapi banyak kendala. Ketidakstabilan politik, kurangnya kapasitas birokrasi, serta prioritas politik yang terkadang mengalahkan pertimbangan ekonomis, membuat tujuan-tujuan ideal tersebut sulit tercapai.
Sosial dan Budaya: Revolusi Mental dan Seni untuk Rakyat
Di bidang sosial dan budaya, Orde Lama juga meninggalkan jejak yang dalam. Soekarno adalah seorang orator ulung yang memahami kekuatan kebudayaan dan ideologi dalam membangun karakter bangsa. Ia mendorong sebuah "Revolusi Mental" untuk mengubah pola pikir masyarakat dari mentalitas terjajah menjadi mentalitas bangsa yang merdeka dan revolusioner.
- Pembangunan Karakter Bangsa: Melalui pidato-pidatonya, lagu-lagu perjuangan, dan seni yang digerakkan oleh negara, Soekarno berusaha menanamkan nilai-nilai nasionalisme, kepahlawanan, dan gotong royong. Ia menekankan pentingnya identitas Indonesia dan menolak pengaruh budaya asing yang dianggap merusak.
- Seni dan Sastra: Seni dan sastra pada masa Orde Lama seringkali menjadi alat perjuangan dan penyampai pesan-pesan revolusi. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI, misalnya, sangat aktif dalam mempromosikan seni yang berorientasi kerakyatan dan mendukung revolusi. Di sisi lain, muncul pula kelompok seniman yang menentang dominasi Lekra dan menuntut kebebasan berekspresi, yang puncaknya adalah Manifes Kebudayaan.
- Pendidikan: Sistem pendidikan diarahkan untuk mencetak generasi yang patriotik dan revolusioner, memahami Pancasila dan Manipol/USDEK. Kurikulum diisi dengan materi-materi yang menumbuhkan rasa cinta tanah air dan semangat perjuangan.
- Mobilisasi Massa: Pemerintah Soekarno sangat terampil dalam memobilisasi massa untuk mendukung kebijakan-kebijakannya, baik dalam parade politik, aksi konfrontasi, maupun upacara-upacara kenegaraan. Ini menunjukkan kuatnya legitimasi dan pengaruh Soekarno di kalangan rakyat.
Secara keseluruhan, Demokrasi Terpimpin adalah sebuah eksperimen politik dan sosial yang unik, mencerminkan kepribadian Soekarno yang karismatik dan visi revolusionernya. Ia berhasil menyatukan bangsa di bawah satu komando, namun di sisi lain, juga menciptakan ketegangan politik dan ekonomi yang berujung pada akhir yang dramatis.
Kekuatan Politik pada Masa Orde Lama: Segitiga Kekuasaan
Meskipun Demokrasi Terpimpin memusatkan kekuasaan pada Presiden Soekarno, bukan berarti ia bekerja sendiri. Ada beberapa kekuatan politik besar yang memiliki pengaruh signifikan dan saling berinteraksi, membentuk dinamika internal Orde Lama. Interaksi antara kekuatan-kekuatan ini seringkali menjadi penentu arah kebijakan dan sumber ketegangan yang berujung pada peristiwa-peristiwa krusial di akhir era ini.
1. Presiden Soekarno: Pemimpin Besar Revolusi
Soekarno adalah figur sentral yang tidak tergantikan. Dengan karisma dan kemampuan oratorisnya yang luar biasa, ia mampu menyihir dan memobilisasi massa. Ia adalah perumus ideologi bangsa (Pancasila, Manipol/USDEK, Nasakom), pengarah utama kebijakan, dan simbol persatuan Indonesia. Soekarno bukan hanya seorang presiden, melainkan juga 'pemimpin besar revolusi' yang memiliki otoritas moral dan politik yang tak tertandingi.
- Peran Ideologis: Soekarno adalah 'ideolog' utama yang merumuskan konsep-konsep seperti Manipol/USDEK dan Nasakom. Ia percaya bahwa Indonesia harus memiliki ideologi sendiri yang sesuai dengan kepribadian bangsa dan tidak meniru Barat.
- Karisma dan Mobilisasi Massa: Kemampuannya berpidato mampu membangkitkan semangat nasionalisme dan revolusi. Ia adalah jembatan yang menghubungkan berbagai golongan dan kekuatan politik, setidaknya di permukaan.
- Diplomat Ulung: Di kancah internasional, Soekarno adalah juru bicara utama Gerakan Non-Blok, anti-kolonialisme, dan anti-imperialisme. Ia berhasil menempatkan Indonesia di peta dunia sebagai negara yang berani bersuara.
Namun, kekuatan Soekarno juga bergantung pada kemampuannya menjaga keseimbangan di antara berbagai kekuatan politik yang ada di bawahnya, terutama Angkatan Darat dan PKI.
2. Angkatan Darat (TNI AD): Kekuatan Penjaga Keamanan dan Pembangunan
Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution, menjadi kekuatan yang semakin dominan pada masa Orde Lama. Sejak Revolusi Fisik, TNI AD telah memainkan peran penting dalam menjaga keamanan dan persatuan. Dengan diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, peran TNI AD diperluas tidak hanya dalam pertahanan tetapi juga dalam bidang sosial-politik.
- Dwifungsi ABRI (Embrio): Meskipun istilah 'Dwifungsi ABRI' baru populer di Orde Baru, embrio konsep ini sudah ada pada masa Orde Lama. Angkatan Darat terlibat dalam administrasi pemerintahan, pembangunan daerah, dan bahkan ekonomi melalui perusahaan-perusahaan yang dikelola tentara setelah nasionalisasi aset asing.
- Penjaga Ideologi: Angkatan Darat memandang dirinya sebagai penjaga Pancasila dan UUD 1945, serta benteng terhadap ancaman komunisme. Hal ini membuat mereka sering berbenturan dengan PKI.
- Dukungan terhadap Dekrit Presiden: Angkatan Darat adalah kekuatan utama yang mendukung Soekarno dalam mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memberi mereka legitimasi dan pengaruh lebih besar dalam politik.
- Faksi Anti-PKI: Di dalam tubuh Angkatan Darat terdapat faksi-faksi yang sangat anti-komunis, yang melihat PKI sebagai ancaman serius terhadap negara dan ideologi Pancasila.
Hubungan antara Soekarno dan Angkatan Darat seringkali bersifat kompleks: saling membutuhkan namun juga tegang, terutama ketika kepentingan mereka mulai berbenturan dengan kepentingan PKI.
3. Partai Komunis Indonesia (PKI): Kebangkitan dan Pengaruh Politik
Partai Komunis Indonesia (PKI) mengalami kebangkitan yang luar biasa pada masa Orde Lama. Setelah hancur akibat Peristiwa Madiun, PKI berhasil merehabilitasi diri dan menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia, bahkan disebut sebagai partai komunis terbesar ketiga di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Di bawah kepemimpinan D.N. Aidit, PKI mampu menarik dukungan massa yang luas, terutama dari petani dan buruh.
- Dukungan Massa: PKI berhasil mengorganisir jutaan anggota melalui serikat buruh (SOBSI), organisasi petani (BTI), pemuda (Pemuda Rakyat), dan perempuan (Gerwani). Mereka juga aktif dalam kegiatan sosial dan budaya melalui Lekra.
- Kedekatan dengan Soekarno: PKI menunjukkan loyalitas yang kuat terhadap Soekarno dan ideologi Manipol/USDEK. Mereka bahkan menginterpretasikan Nasakom sebagai jalan bagi komunisme untuk diterima dalam kerangka revolusi Indonesia. Kedekatan ini memberikan PKI akses dan pengaruh yang signifikan dalam pemerintahan.
- Program Reforma Agraria: PKI sangat vokal dalam menyuarakan program reforma agraria (pembagian tanah kepada petani) yang membuat mereka mendapatkan dukungan besar dari kaum tani.
- Anti-Imperialisme: Retorika anti-imperialisme PKI sejalan dengan politik luar negeri Soekarno, yang semakin memperkuat posisi mereka.
Namun, kebangkitan PKI juga menimbulkan kecemasan di kalangan Angkatan Darat dan kelompok agama, yang melihat komunisme sebagai ancaman serius terhadap Pancasila dan nilai-nilai agama. Ketegangan antara PKI dan AD semakin memuncak menjelang akhir Orde Lama.
4. Kelompok Nasionalis dan Agama Lainnya
Di luar tiga kekuatan utama tersebut, masih ada partai-partai nasionalis seperti PNI (Partai Nasional Indonesia), dan organisasi-organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Meskipun pengaruh politiknya tidak sebesar PKI atau Angkatan Darat, mereka tetap menjadi bagian penting dari lanskap politik Orde Lama.
- PNI: Sebagai partai yang didirikan oleh Soekarno, PNI secara alami menjadi pendukung setia ideologi dan kebijakan Presiden. Namun, dalam praktiknya, PNI juga harus bersaing dengan kekuatan lain dan kadang terpecah di antara faksi-faksi.
- NU dan Muhammadiyah: Organisasi-organisasi Islam ini memiliki basis massa yang besar dan secara konsisten menyuarakan pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara. Mereka menentang ateisme yang diusung komunisme dan seringkali menjadi penyeimbang terhadap pengaruh PKI.
Keseimbangan antara kekuatan-kekuatan ini adalah salah satu ciri khas Orde Lama. Soekarno, dengan keahlian politiknya, berusaha keras untuk menjaga agar tidak ada satu kekuatan pun yang terlalu dominan, meskipun dinamika ini pada akhirnya menciptakan ketegangan yang kian memuncak.
Krisis dan Gejolak Menjelang Akhir Orde Lama
Meskipun Orde Lama dipimpin oleh Soekarno yang karismatik dan berhasil mengukir beberapa prestasi monumental di kancah internasional, periode ini juga sarat dengan berbagai krisis dan gejolak internal yang kian memanas menjelang akhir masa kekuasaannya. Konflik ideologi, krisis ekonomi, dan ketegangan politik antara kekuatan-kekuatan utama menjadi benih-benih yang akhirnya mengantar pada transisi kekuasaan.
Krisis Ekonomi yang Memburuk
Kondisi ekonomi Indonesia pada akhir Orde Lama berada dalam titik terendah. Inflasi yang tidak terkendali menjadi masalah kronis. Pada pertengahan tahun 1960-an, inflasi mencapai ratusan persen per tahun, bahkan mendekati 600% pada puncaknya. Harga-harga kebutuhan pokok melonjak tajam, daya beli masyarakat anjlok, dan kemiskinan merajalela.
- Penyebab Inflasi:
- Pencetakan Uang Berlebihan: Pemerintah mencetak uang dalam jumlah besar untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, operasi militer (seperti Trikora dan Konfrontasi), serta defisit anggaran.
- Kekacauan Manajemen Ekonomi: Sistem ekonomi terpimpin yang terlalu sentralistik dan kurang efisien menyebabkan birokrasi yang gemuk, korupsi, dan salah alokasi sumber daya.
- Dampak Konfrontasi: Kebijakan konfrontasi terhadap Malaysia menyebabkan terputusnya hubungan dagang dan bantuan dari negara-negara Barat, yang semakin memperburuk krisis ekonomi.
- Kurangnya Investasi dan Produksi: Lingkungan politik yang tidak stabil dan kebijakan nasionalisasi membuat investor enggan masuk, sehingga produksi dalam negeri stagnan atau menurun.
- Dampak Sosial: Krisis ekonomi ini sangat memukul rakyat kecil. Antrean panjang untuk membeli kebutuhan pokok menjadi pemandangan sehari-hari. Gizi buruk dan tingkat kesehatan masyarakat menurun. Kondisi ini menciptakan ketidakpuasan yang meluas di berbagai lapisan masyarakat.
Ketegangan Politik Antar Kekuatan
Selain krisis ekonomi, ketegangan politik antara PKI, Angkatan Darat, dan kelompok-kelompok agama semakin meningkat. Soekarno, dengan konsep Nasakom-nya, berusaha menjadi penyeimbang, namun ia sendiri juga mulai tertekan oleh dinamika internal ini.
- PKI vs. Angkatan Darat: PKI terus memperjuangkan program reforma agraria yang sering berbenturan dengan kepentingan pemilik tanah (termasuk beberapa perwira AD). Mereka juga menuntut pembentukan 'Angkatan Kelima' (persenjataan bagi buruh dan petani) yang ditentang keras oleh Angkatan Darat. Tuntutan PKI ini dianggap sebagai upaya untuk mempersenjatai diri dan menyaingi kekuatan militer.
- PKI vs. Kelompok Agama: Kelompok-kelompok Islam, seperti NU dan Masyumi (meskipun Masyumi sudah dibubarkan, pengaruhnya masih ada), secara ideologis menentang komunisme yang ateis. Mereka sering terlibat dalam konflik terbuka dengan PKI, terutama di pedesaan, mengenai isu-isu agama dan tanah.
- Kesehatan Soekarno: Pada masa ini, kesehatan Soekarno mulai menurun, yang menimbulkan kekhawatiran tentang suksesi kepemimpinan. Hal ini memperparah spekulasi dan perebutan pengaruh di antara kekuatan-kekuatan politik yang berharap bisa mengambil alih kendali.
Ketegangan ini menciptakan iklim politik yang sangat panas dan penuh kecurigaan. Setiap gerakan salah satu kekuatan politik seringkali diinterpretasikan sebagai ancaman oleh pihak lain. Soekarno sendiri, meskipun masih dihormati, mulai kesulitan mengendalikan friksi-friksi ini secara efektif.
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
Puncak dari ketegangan politik dan ekonomi ini adalah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Peristiwa ini adalah sebuah percobaan kudeta yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira menengah Angkatan Darat, serta satu ajudan. Dalang dan motif di balik G30S masih menjadi perdebatan hingga kini, namun dampaknya sangat besar bagi sejarah Indonesia.
- Aktor yang Terlibat: Meskipun secara resmi pemerintah Orde Baru menunjuk PKI sebagai dalang utama, keterlibatan Soekarno, faksi-faksi dalam Angkatan Darat, dan bahkan agen asing masih menjadi bahan diskusi di kalangan sejarawan.
- Reaksi Angkatan Darat: Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dengan cepat mengambil alih komando Angkatan Darat dan berhasil menumpas gerakan tersebut. Ini menjadi titik awal kenaikan karir politik Soeharto.
- Tuduhan terhadap PKI: PKI segera dituduh sebagai dalang utama G30S, yang memicu gelombang aksi anti-komunis besar-besaran di seluruh Indonesia. Jutaan anggota dan simpatisan PKI ditangkap, dipenjara, bahkan dibunuh dalam skala yang masif. Ini secara efektif mengakhiri keberadaan PKI sebagai kekuatan politik di Indonesia.
Peristiwa G30S menjadi titik balik yang krusial. Ini mengakhiri peran PKI dalam panggung politik, memberikan momentum bagi Angkatan Darat untuk mengambil alih kendali, dan secara tidak langsung mengikis legitimasi Soekarno sebagai pemimpin. Dari sini, jalan menuju transisi kekuasaan ke Orde Baru mulai terbuka.
Transisi dan Akhir Orde Lama
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi goncangan hebat yang meruntuhkan fondasi Orde Lama. Setelah peristiwa itu, situasi politik di Indonesia menjadi sangat kacau. Soekarno, meskipun secara resmi masih menjabat sebagai presiden, legitimasinya mulai dipertanyakan dan kekuasaannya berangsur-angsur melemah. Angkatan Darat, di bawah kepemimpinan Mayjen Soeharto, muncul sebagai kekuatan penyelamat dan penggerak utama perubahan.
Supersemar: Surat Perintah Sebelas Maret
Ketidakpastian politik dan ekonomi yang berkepanjangan pasca-G30S menimbulkan gelombang demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang menuntut pembubaran PKI dan perbaikan ekonomi. Pada 11 Maret 1966, dalam situasi yang penuh tekanan, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah surat perintah kepada Mayjen Soeharto, yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.
Isi Supersemar secara garis besar memberikan wewenang kepada Soeharto untuk:
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas jalannya pemerintahan dan revolusi.
- Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS.
- Mengusahakan pemulihan keadaan dan kewibawaan pemerintah.
Interpretasi Supersemar ini menjadi kunci transisi kekuasaan. Bagi Soeharto, Supersemar adalah mandat penuh untuk mengambil alih kendali negara dan memulihkan keamanan. Salah satu tindakan pertama Soeharto setelah menerima Supersemar adalah membubarkan PKI dan organisasi-organisasi massanya pada 12 Maret 1966. Tindakan ini secara de facto mengakhiri peran Soekarno sebagai penyeimbang kekuatan politik dan secara efektif mengakhiri era Nasakom.
Pelemahan Kekuasaan Soekarno
Setelah Supersemar, kekuasaan Soekarno terus melemah. Soeharto secara bertahap mengambil alih berbagai fungsi pemerintahan dan militer. Meskipun Soekarno berusaha mempertahankan posisinya dengan berbagai manuver politik, seperti pidato "Nawaksara" di Sidang MPRS, ia gagal meyakinkan MPRS yang kini didominasi oleh unsur-unsur anti-PKI dan Angkatan Darat.
- Penolakan Nawaksara: Pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak oleh MPRS karena dianggap tidak memberikan kejelasan mengenai G30S dan langkah-langkah penanganannya.
- Pencabutan Mandat: MPRS kemudian mencabut mandat Soekarno sebagai presiden dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Ini terjadi pada Sidang Umum MPRS pada awal tahun 1967.
- Pembatasan Gerak: Soekarno kemudian dikenakan tahanan rumah dan tidak lagi memiliki peran politik. Ia wafat beberapa tahun kemudian.
Pencabutan mandat Soekarno oleh MPRS menandai berakhirnya secara resmi Orde Lama dan dimulainya era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Transisi ini bukan hanya pergantian kepemimpinan, tetapi juga perubahan fundamental dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial Indonesia.
Warisan Orde Lama: Sebuah Tinjauan Komprehensif
Orde Lama, dengan segala dinamika, konflik, dan pencapaiannya, meninggalkan warisan yang kompleks dan mendalam bagi Indonesia. Dampaknya terasa hingga kini, membentuk cara kita memahami sejarah, identitas nasional, dan arah pembangunan bangsa. Warisan ini tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi, melainkan sebagai sebuah tapestry yang kaya akan warna, baik yang terang maupun gelap.
1. Pengukuhan Identitas Nasional dan Nasionalisme yang Kuat
Salah satu warisan paling signifikan dari Orde Lama adalah pengukuhan identitas nasional dan penanaman semangat nasionalisme yang membara di kalangan rakyat Indonesia. Soekarno, sebagai 'penyambung lidah rakyat', berhasil menyatukan keberagaman etnis, agama, dan budaya di bawah satu payung keindonesiaan. Ideologi Pancasila dan UUD 1945, yang diberlakukan kembali pada masa ini, menjadi tiang utama bagi persatuan bangsa.
- "Nation-building": Konsep ini menjadi prioritas utama. Soekarno terus-menerus menggembleng rakyat dengan semangat anti-kolonialisme, anti-imperialisme, dan percaya diri sebagai bangsa yang besar. Pidato-pidatonya, lagu-lagu perjuangan, dan pembangunan proyek mercusuar semuanya berkontribusi pada penciptaan rasa bangga dan persatuan nasional.
- Pembebasan Irian Barat: Keberhasilan membebaskan Irian Barat melalui operasi Trikora menjadi simbol nyata kemampuan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan dan menyelesaikan agenda revolusi. Ini memperkuat rasa percaya diri dan nasionalisme.
- Bahasa Indonesia: Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan semakin kokoh, menjadi alat komunikasi utama yang menjembatani berbagai suku bangsa.
2. Peran Indonesia di Kancah Internasional
Di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia tampil sebagai aktor penting di panggung dunia. Orde Lama berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara yang berani bersuara dan memiliki peran signifikan dalam perjuangan bangsa-bangsa terjajah.
- Gerakan Non-Blok: Indonesia adalah salah satu pelopor Gerakan Non-Blok, bersama dengan India, Yugoslavia, Mesir, dan Ghana. Gerakan ini menyuarakan netralitas aktif dalam Perang Dingin dan menjadi forum bagi negara-negara berkembang untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan blok Barat atau Timur. Ini menunjukkan independensi politik luar negeri Indonesia.
- Konferensi Asia-Afrika (KAA): Meskipun KAA diselenggarakan di awal Orde Lama (1955), semangatnya terus dipertahankan. KAA menjadi fondasi bagi solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika dan perlawanan terhadap imperialisme.
- Visi Dunia Baru: Soekarno mengusung gagasan "New Emerging Forces" (NEFOS) untuk menentang "Old Established Forces" (OLDEFOS), mencerminkan visinya tentang tatanan dunia yang lebih adil dan setara.
3. Pembangunan Infrastruktur Awal
Meskipun kondisi ekonomi cenderung sulit, Orde Lama juga memulai pembangunan beberapa infrastruktur penting yang menjadi cikal bakal pembangunan selanjutnya. Proyek-proyek seperti Gelora Bung Karno, Monas, Hotel Indonesia, dan Jembatan Ampera di Palembang, meskipun sering disebut "proyek mercusuar" karena biaya besar dan tujuan politisnya, tetap menjadi simbol kebanggaan dan penanda awal kemajuan infrastruktur.
4. Polaritas Politik dan Warisan Konflik Ideologi
Di sisi lain, Orde Lama juga mewariskan polaritas politik dan konflik ideologi yang dalam. Konsep Nasakom, yang bertujuan mempersatukan, pada akhirnya justru mempertajam perbedaan antara nasionalis, agama, dan komunis. Ketegangan ini memuncak pada Peristiwa G30S, yang meninggalkan luka sejarah dan trauma mendalam bagi bangsa.
- Anti-Komunisme: Peristiwa G30S dan pembubaran PKI mengukuhkan sentimen anti-komunis yang sangat kuat di Indonesia, yang bahkan terus dipertahankan di era Orde Baru.
- Pembatasan Demokrasi: Pengalaman Demokrasi Terpimpin, dengan pemusatan kekuasaan pada presiden dan pembatasan partisipasi politik, menjadi preseden bagi sistem politik otoriter yang berkembang di era berikutnya. Kebebasan pers dan berserikat juga dibatasi.
- Krisis Ekonomi: Kegagalan dalam mengelola ekonomi makro, terutama inflasi yang tinggi, menjadi pelajaran penting tentang pentingnya stabilitas ekonomi dan kebijakan yang berkelanjutan.
5. Pelajaran tentang Kekuasaan dan Dinamika Politik
Orde Lama memberikan banyak pelajaran tentang kompleksitas kekuasaan, karisma pemimpin, dan dinamika politik di negara berkembang. Karisma Soekarno memang luar biasa, tetapi ia juga berjuang dengan tantangan mengelola pluralisme ideologi dan kepentingan di tengah kemiskinan dan ketidakstabilan.
Pengalaman Orde Lama menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan politik ketika ada kekuatan-kekuatan ideologis yang saling bertentangan dan berebut pengaruh. Ini juga menunjukkan bahwa pembangunan bangsa tidak hanya tentang pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan identitas, ideologi, dan sistem politik yang kokoh.
Kesimpulan: Memahami Sebuah Episentrum Sejarah
Orde Lama adalah sebuah periode yang tak terhapuskan dari lembaran sejarah Indonesia, sebuah masa yang sarat dengan cita-cita luhur, perjuangan heroik, sekaligus tantangan yang hampir tak teratasi. Di bawah kepemimpinan karismatik Presiden Soekarno, Indonesia berupaya keras untuk menemukan identitasnya di tengah percaturan politik global pasca-kolonialisme. Dari awal kemerdekaan yang penuh gejolak hingga transisi menuju Demokrasi Terpimpin, setiap langkah yang diambil pada era ini membentuk fondasi penting bagi negara-bangsa yang kita kenal sekarang.
Periode ini mengajarkan kita tentang kekuatan sebuah visi revolusioner, kemampuan untuk menginspirasi jutaan rakyat, serta peran sentral seorang pemimpin dalam membentuk narasi kebangsaan. Nasionalisme yang membara, pengukuhan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara, serta peran aktif Indonesia dalam memelopori Gerakan Non-Blok adalah beberapa pencapaian gemilang yang tak terbantahkan dari Orde Lama. Indonesia pada masa itu adalah suara bagi bangsa-bangsa terjajah, sebuah mercusuar harapan di tengah kegelapan imperialisme dan kolonialisme.
Namun, kompleksitas Orde Lama juga mengingatkan kita pada bahaya pemusatan kekuasaan, ketidakstabilan ekonomi yang berujung pada penderitaan rakyat, serta polarisasi ideologi yang dapat mengoyak persatuan. Eksperimen Demokrasi Terpimpin, meskipun berlandaskan niat baik untuk menciptakan stabilitas, pada akhirnya justru menciptakan ketegangan laten antara kekuatan-kekuatan politik, khususnya antara PKI dan Angkatan Darat, yang memuncak dalam tragedi Gerakan 30 September. Peristiwa ini bukan hanya mengakhiri Orde Lama, tetapi juga meninggalkan luka mendalam dan trauma yang panjang dalam sejarah bangsa.
Memahami Orde Lama bukan berarti mengkultuskan atau menghakimi secara absolut, melainkan mencoba melihatnya dari berbagai perspektif, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia adalah cerminan dari sebuah bangsa muda yang sedang meraba-raba bentuk terbaik untuk dirinya, mencari jalan di tengah pusaran zaman yang penuh ketidakpastian. Warisan Orde Lama, baik yang positif maupun negatif, terus relevan dalam diskusi kita tentang demokrasi, keadilan, pembangunan, dan identitas kebangsaan Indonesia. Dengan menelaah ulang episode penting ini, kita dapat menarik pelajaran berharga untuk masa kini dan masa depan, agar sejarah menjadi guru yang bijaksana dalam membangun Indonesia yang lebih baik.