Surah Al Baqarah, ayat ke-201, memuat salah satu doa yang paling agung, paling sering dipanjatkan, dan paling komprehensif dalam khazanah Islam. Doa ini dikenal luas sebagai "Doa Sapu Jagat" karena kemampuannya merangkum seluruh harapan dan kebutuhan manusia, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Ayat ini berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan aspirasi kehidupan fana dengan keselamatan abadi, sebuah keseimbangan yang menjadi inti ajaran Islam.
Rabbana Atina: Simbol Permohonan kepada Sang Pencipta
Terjemahan Makna:
Ayat ini merupakan kontras langsung dengan ayat sebelumnya (Al Baqarah 200) yang menggambarkan kelompok manusia yang hanya fokus meminta kenikmatan duniawi, tanpa sedikit pun perhatian terhadap akhirat. Kelompok yang disebutkan dalam ayat 201 ini adalah sekelompok mukmin yang memahami hakikat keseimbangan hidup, menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah ladang untuk menanam benih-benih kebaikan bagi kehidupan yang kekal.
Doa ini terbagi menjadi tiga komponen utama yang saling terkait dan tidak terpisahkan, mencerminkan kebutuhan fundamental eksistensi manusia: pengakuan (kepada Tuhan), permintaan (dunia dan akhirat), dan perlindungan (dari bencana terburuk).
Penggunaan kata Rabbana (Tuhan kami) adalah bentuk pengakuan tertinggi atas ketuhanan dan kekuasaan Allah SWT. Ini adalah bentuk tawassul (pendekatan) dengan nama Allah yang menunjukkan sifat pemeliharaan, pengasuhan, dan kepemilikan mutlak. Ketika seorang hamba memulai doanya dengan Rabbana, ia mengakui:
Pilar Rabbana adalah kunci untuk memastikan doa tersebut dilandasi oleh Tauhid yang murni, membedakannya dari sekadar permohonan kosong.
Permintaan pertama ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia secara total. Sebaliknya, Islam mendorong pencarian kebaikan di dunia, selama kebaikan tersebut digunakan untuk mencapai ridha Allah. Para ulama tafsir memberikan interpretasi yang sangat luas terhadap makna Hasana (kebaikan) di dunia. Keleluasaan makna ini menunjukkan komprehensivitas permohonan yang meliputi hampir semua aspek kehidupan.
Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, mencatat bahwa para salafush shalih memiliki pandangan beragam yang saling melengkapi mengenai apa yang dimaksud dengan ‘Hasana fid Dunya’. Variasi tafsir ini menunjukkan bahwa doa ini bersifat dinamis dan personal, mencakup apa pun yang terbaik bagi individu tersebut dalam bingkai syariat.
Keseimbangan yang Dicari: Dunia sebagai Jembatan Akhirat
A. Kesehatan dan Kesejahteraan Fisik (Al-'Afiyah)
Kesehatan adalah harta yang tak ternilai. Meminta Hasana di dunia mencakup permintaan akan kekuatan fisik dan mental yang memungkinkan seorang hamba melaksanakan ibadah dengan optimal, menafkahi keluarga, dan berjuang di jalan Allah. Tanpa kesehatan, semua kekayaan materi menjadi sia-sia. Kebaikan ini meliputi terhindarnya dari penyakit kronis, kecacatan yang menghalangi ibadah, dan usia yang diberkahi (diberi kesempatan berbuat baik hingga akhir hayat).
Penting untuk dipahami bahwa kesehatan yang diminta di sini bukan sekadar keberadaan fisik yang utuh, melainkan kesehatan yang mendukung ketaatan. Sebuah tubuh yang sehat tetapi digunakan untuk maksiat bukanlah 'Hasana' dalam arti syar'i. Kesehatan yang sejati adalah kesehatan yang mendukung tegaknya amanah sebagai khalifah di bumi.
B. Kekayaan yang Halal dan Bermanfaat (Mal Halal)
Sebagian ulama menafsirkan Hasana duniawi sebagai kekayaan yang berkah. Kekayaan yang berkah adalah kekayaan yang diperoleh melalui cara yang sah (halal) dan dibelanjakan di jalan yang diridhai (sedekah, menolong fakir miskin, membangun fasilitas umum, dan menunaikan kewajiban zakat). Kekayaan semacam ini menghilangkan kebutuhan bergantung pada orang lain dan membebaskan pikiran dari kekhawatiran finansial yang berlebihan, sehingga hati lebih fokus pada ibadah.
Permintaan akan harta yang halal dan berkah ini mencerminkan pemahaman bahwa harta adalah ujian. Jika lulus ujian harta, maka harta tersebut menjadi jembatan menuju Hasana Akhirat. Doa ini menolak konsep kemiskinan sebagai satu-satunya jalan menuju kesucian; ia menegaskan bahwa kekayaan, jika dipegang oleh tangan yang benar, adalah kebaikan.
C. Pasangan dan Keturunan yang Saleh (Zawjah Shalihah)
Banyak mufassir, termasuk Qatadah dan Hasan Al-Basri, menekankan bahwa salah satu bentuk Hasana terbaik di dunia adalah memiliki pasangan hidup yang sholeh/sholehah, yang menenangkan pandangan, dan menjadi penolong dalam urusan agama. Rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah representasi surga dunia yang paling nyata. Kebaikan ini meluas kepada keturunan yang taat, yang akan terus mendoakan orang tua mereka setelah kematian, menjadikan amalan ini tidak terputus.
Kehadiran pasangan yang saleh adalah benteng moral bagi seseorang, membantu menjaga diri dari fitnah dan mengarahkan fokus kepada tujuan hakiki kehidupan. Rumah tangga yang teguh atas dasar keimanan akan menghasilkan generasi yang unggul, yang merupakan investasi jangka panjang (Hasana) bagi dunia dan akhirat.
D. Ilmu yang Bermanfaat (Ilm Nafie)
Ilmu yang bermanfaat adalah kebaikan duniawi yang paling fundamental. Tanpa ilmu, manusia tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara Hasana dan keburukan. Ilmu yang dimaksud mencakup ilmu syariat yang membimbing ibadah dan muamalah, serta ilmu duniawi (teknologi, kedokteran, pertanian) yang digunakan untuk memakmurkan bumi sesuai perintah Allah. Ilmu memungkinkan seseorang untuk beramal dengan dasar yang kuat, sehingga semua tindakannya memiliki nilai ibadah.
Permintaan Hasana di sini adalah permintaan untuk mendapatkan kebijaksanaan (hikmah), yaitu meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, yang merupakan buah dari ilmu yang benar. Kebijaksanaan ini adalah puncak dari Hasana duniawi karena dengannya, segala karunia dunia (kekayaan, kesehatan, kedudukan) dapat dikelola secara Islami.
E. Kedudukan dan Kehormatan (Qubul Fil Ard)
Hasana dunia juga dapat diartikan sebagai kemudahan dalam urusan, penerimaan yang baik (maqbul) di tengah masyarakat, dan kedudukan yang terhormat. Namun, kehormatan ini harus digunakan untuk menegakkan keadilan dan menolong sesama, bukan untuk kesombongan atau penindasan. Kehormatan yang dicari adalah kehormatan di sisi Allah melalui pengakuan dari orang-orang saleh, bukan sekadar popularitas fana.
Kesimpulannya, ‘Hasana Fid Dunya’ adalah permintaan holistik agar segala yang diberikan Allah kepada kita di dunia—mulai dari materi hingga non-materi, dari pribadi hingga sosial—diberkahi dan menjadi alat yang memfasilitasi ketaatan kepada-Nya. Ini adalah penolakan terhadap pemisahan total antara spiritualitas dan materialitas.
Apabila kita merenungkan kedalaman kata ‘Hasana’ dalam konteks dunia, kita menemukan bahwa ia menuntut sebuah etos kerja dan hidup yang senantiasa mengaitkan setiap usaha duniawi dengan perhitungan akhirat. Ketika seorang pedagang meminta ‘Hasana’, ia tidak hanya meminta keuntungan besar, melainkan keuntungan yang bersih dari riba dan zalim, yang memberkahi kehidupannya dan keluarganya. Ketika seorang pemimpin meminta ‘Hasana’, ia meminta kekuasaan yang adil, yang menjamin hak rakyat dan membangun ketakwaan. Inilah mengapa doa ini sangat dicintai oleh Rasulullah SAW; ia menggabungkan cita-cita tertinggi spiritual dengan kebutuhan praktis kehidupan.
Pilar kedua dari permohonan ini, ‘Wafil Akhirati Hasana’, adalah inti dan tujuan utama dari kehidupan seorang mukmin. Meskipun meminta kebaikan dunia, seorang mukmin sejati menjadikan kebaikan akhirat sebagai prioritas tak tergantikan. Kebaikan dunia hanyalah sarana; kebaikan akhirat adalah tujuan akhir. Kebaikan di akhirat jauh lebih spesifik dan mutlak maknanya dibandingkan kebaikan dunia.
Para mufassir sepakat bahwa ‘Hasana fil Akhirah’ (kebaikan di akhirat) mencakup tiga tingkatan utama yang merupakan puncak pencapaian spiritual:
A. Kemudahan Hisab dan Penerimaan Amal
Kebaikan di akhirat dimulai dengan proses transisi pasca-kematian yang mudah. Ini mencakup kemudahan saat sakaratul maut, terhindar dari siksa kubur, dan dimudahkannya perhitungan amal (hisab) di Hari Kiamat. Seorang hamba memohon agar segala amal buruknya diampuni, dan segala amal baiknya diterima dan dilipatgandakan.
Permohonan ini mencerminkan kesadaran penuh akan kelemahan diri dan banyaknya dosa. Manusia, meskipun telah berusaha sebaik mungkin, tetaplah makhluk yang penuh kekurangan. Oleh karena itu, kebutuhan akan Rahmat dan Maghfirah (ampunan) Ilahi jauh melampaui kemampuan amal individu itu sendiri.
B. Mendapatkan Jannah (Surga)
Ini adalah makna utama dari Hasana fil Akhirah. Surga adalah tempat yang dijanjikan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Permintaan akan Surga mencakup segala tingkatan dan kenikmatan di dalamnya, puncaknya adalah Firdaus Al-A’la. Kenikmatan Surga adalah kenikmatan yang abadi, berbeda dengan kenikmatan dunia yang fana dan terbatas. Segala penderitaan dan kesulitan dunia akan terlupakan saat seorang hamba memasuki gerbang Surga.
Fokus pada Jannah sebagai Hasana adalah penekanan bahwa tujuan hidup bukanlah sekadar menghindari siksa, melainkan meraih keridhaan tertinggi Allah. Ini bukan hanya tentang tempat tinggal yang nyaman, tetapi juga tentang kedudukan spiritual yang mulia.
C. Melihat Wajah Allah (Ru’yatullah)
Para ulama sufi dan ahli akidah sepakat bahwa puncak tertinggi dari segala kebaikan di akhirat, kenikmatan terbesar yang bahkan melampaui segala kenikmatan Surga lainnya, adalah kemampuan untuk memandang Wajah Allah SWT (Ru’yatullah). Kenikmatan ini hanya diberikan kepada penduduk Surga yang paling mulia. Permintaan Hasana fil Akhirah secara implisit mengandung permohonan agar seorang hamba diangkat ke derajat tertinggi sehingga layak mendapatkan kehormatan agung ini.
Kenikmatan ini adalah manifestasi dari cinta tertinggi antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Segala kenikmatan materi di Surga dianggap ringan jika dibandingkan dengan kenikmatan memandang Dzat Yang Maha Indah.
D. Pengulangan Hasana: Penegasan Kebutuhan
Perhatikan bahwa kata Hasana diulang dua kali dalam ayat ini. Pengulangan ini (Hasana fid dunya, wa fil akhirati Hasana) dalam bahasa Arab menunjukkan penegasan dan penekanan bahwa kebaikan yang dicari di akhirat haruslah kebaikan yang paripurna, jauh melampaui segala konsep kebaikan di dunia. Dunia dan Akhirat memiliki standar kebaikan yang berbeda, dan kita meminta yang terbaik dari kedua standar tersebut.
Pilar ketiga dari doa ini adalah permohonan perlindungan, yang merupakan pelengkap dari permohonan kebaikan. Perlindungan dari siksa neraka adalah aspek paling vital dari keselamatan di akhirat, karena tidak ada kebaikan yang tersisa jika seseorang dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala.
Siksa Neraka (Adzaban Nar) adalah keburukan (sayyi’ah) terbesar yang dapat menimpa manusia. Dengan meminta perlindungan dari Neraka, seorang hamba secara implisit memohon:
Para ulama menafsirkan urutan doa ini sangat penting. Pertama meminta kebaikan dunia, kemudian meminta kebaikan akhirat, dan ditutup dengan permohonan perlindungan dari Neraka. Urutan ini menunjukkan bahwa meskipun Surga telah dijanjikan (melalui permintaan Hasana Akhirat), rasa takut (khauf) akan Neraka harus tetap hadir dalam hati seorang mukmin. Rasa takut ini mendorong kehati-hatian (wara’) dan konsistensi dalam ibadah.
Permintaan perlindungan ini juga berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa segala kesenangan duniawi yang dinikmati haruslah dibingkai dalam kerangka keselamatan ukhrawi. Jika kenikmatan dunia membawa kepada Neraka, maka kenikmatan itu bukanlah ‘Hasana’ yang sebenarnya, melainkan istidraj (tipuan).
Doa Rabbana Atina dikenal memiliki keutamaan luar biasa, terutama karena ia merupakan doa favorit Nabi Muhammad SAW. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa Nabi SAW sering membaca doa ini, bahkan ketika beliau sakit parah.
Anas bin Malik RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW paling banyak mengucapkan doa ini. Ini menunjukkan bahwa Nabi, yang merupakan figur paling seimbang dalam menjalani dunia dan akhirat, menganggap doa ini sebagai permohonan yang paling sempurna. Beliau mengajarkan kepada umatnya bahwa tidak perlu merinci setiap kebutuhan kecil satu per satu, karena doa ini sudah mencakup semuanya.
Apabila seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang bagaimana cara berdoa, sering kali beliau akan menjawab dengan mengajarkan doa ini. Keutamaan ini bukan hanya pada redaksinya yang singkat, melainkan pada maknanya yang mencakup seluruh dimensi kehidupan spiritual, emosional, dan material.
Penghayatan Nabi terhadap doa ini adalah bukti bahwa Islam menolak ekstremisme. Ia menolak kelompok yang hanya fokus pada materi duniawi (seperti yang dicela dalam Al Baqarah 200) dan menolak kelompok yang meninggalkan dunia (asketisme ekstrem). Keseimbangan adalah sunnah Nabi, dan doa ini adalah manifestasi linguistik dari keseimbangan tersebut.
Ayat 201 Surah Al Baqarah ini muncul dalam konteks ayat-ayat yang membicarakan ibadah Haji. Setelah menyelesaikan manasik haji, Allah memerintahkan manusia untuk berzikir kepada-Nya. Pada masa jahiliyah, orang-orang Arab setelah haji hanya membanggakan nenek moyang mereka. Ayat 200 mencela mereka yang hanya meminta duniawi saat haji.
Doa Rabbana Atina kemudian diajarkan sebagai model doa yang benar di tengah-tengah ibadah haji, khususnya saat wukuf di Arafah atau saat berada di antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad (Multazam), momen-momen yang dikenal sebagai waktu dikabulkannya doa. Ketika seseorang berada di tempat paling suci, ia harus meminta hal yang paling komprehensif: keselamatan total di dunia dan di akhirat. Konteks ini meningkatkan derajat doa ini sebagai ‘doa primer’ bagi setiap Muslim yang beribadah.
Makna kontekstual dalam Haji sangatlah mendalam. Haji adalah miniatur perjalanan hidup menuju akhirat. Dalam perjalanan ini, seorang hamba meninggalkan kenikmatan duniawi, bersabar dalam kesulitan, dan memohon ampunan. Ketika mencapai puncak ibadah (Arafah), doa yang paling tepat adalah permintaan akan bekal yang cukup (Hasana Dunya) untuk menyelesaikan sisa perjalanan, serta jaminan kesuksesan di tujuan akhir (Hasana Akhirat).
Mencapai Hasana fid Dunya di era modern memiliki tantangan dan interpretasi yang unik. Konsep Hasana tidak boleh direduksi menjadi sekadar kekayaan finansial; ia harus dilihat sebagai ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan peran kekhalifahan di bumi secara efektif.
Di dunia yang kompleks secara ekonomi, Hasana finansial berarti terbebas dari riba, skema investasi yang meragukan (gharar), dan praktik bisnis yang menindas. Permintaan Hasana adalah permintaan untuk memiliki rezeki yang tayyib (baik dan halal), yang tidak hanya menguntungkan secara pribadi tetapi juga berkontribusi pada keadilan sosial dan ekonomi umat.
Ini mencakup keberanian untuk menolak tawaran bisnis yang haram, meskipun menggiurkan. Hasana adalah ketenangan hati yang datang dari kesadaran bahwa seluruh aset yang dimiliki telah dibersihkan dari hak orang lain (melalui zakat dan sedekah). Kekayaan tanpa integritas bukanlah Hasana; ia adalah beban yang memberatkan di akhirat.
Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi, Hasana dunia mencakup kemampuan untuk menjadi agen positif dalam komunitas. Ini adalah kebaikan berupa lingkungan yang kondusif untuk membesarkan anak dalam nilai-nilai Islam, memiliki tetangga yang mendukung ketaatan, dan hidup di tengah masyarakat yang menghargai nilai-nilai luhur. Doa ini memohon agar Allah menciptakan kedamaian dan harmoni di sekitar kita, sehingga kita dapat beribadah tanpa gangguan fitnah sosial atau politik yang destruktif.
Lingkungan yang Hasana adalah lingkungan yang memungkinkan umat Muslim untuk menjalankan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) tanpa rasa takut yang berlebihan. Ini adalah permohonan untuk hidup di bawah naungan kepemimpinan yang adil dan berpegang teguh pada syariat.
Di era digital, ilmu yang bermanfaat (Hasana) mencakup kemampuan untuk mengelola informasi dan teknologi secara Islami. Kita memohon Hasana agar teknologi yang kita gunakan—mulai dari media sosial hingga kecerdasan buatan—menjadi alat yang mendukung ketaatan, bukan alat yang menjerumuskan ke dalam kemaksiatan (pornografi, gosip, atau pemborosan waktu yang sia-sia). Hasana adalah ketika kita dapat menyaring banjir informasi duniawi dan menggunakan platform modern untuk menyebarkan dakwah dan kebenaran.
Ini juga mencakup permintaan agar kita diberi taufik untuk menggunakan kemampuan ilmiah dan teknis kita untuk memecahkan masalah kemanusiaan, bukan untuk menciptakan senjata perusak atau sistem eksploitatif. Kebaikan sejati dari teknologi adalah teknologi yang melayani umat manusia dan memuliakan Penciptanya.
Permintaan perlindungan dari Neraka, meskipun terlihat singkat, memiliki implikasi teologis dan psikologis yang sangat mendalam. Ini adalah pengakuan akan keadilan Allah (Neraka adalah manifestasi keadilan-Nya atas dosa) dan sekaligus permohonan akan rahmat-Nya (untuk terhindar dari konsekuensi keadilan tersebut).
Dalam Al-Qur’an, deskripsi Neraka sangat rinci dan menakutkan, tujuannya adalah menanamkan rasa takut (khauf) yang sehat pada hati mukmin. Rasa takut ini bukan rasa takut yang melumpuhkan, melainkan rasa takut yang memotivasi untuk beramal. Dengan meminta perlindungan dari siksa api, seorang hamba menyatakan bahwa ia memahami betapa dahsyatnya hukuman tersebut dan bahwa ia tidak akan mampu menanggungnya.
Permintaan ini mengandung makna lebih dari sekadar menghindari api. Ia mencakup perlindungan dari segala sesuatu yang mengarah kepada api: sifat buruk, syirik tersembunyi (riya'), kesombongan, dan kezaliman terhadap sesama. Siksa Neraka adalah hasil akhir dari kehidupan yang tidak seimbang dan penuh dengan penyimpangan.
Meskipun amal saleh adalah bekal utama, seorang Muslim tahu bahwa masuk Surga dan terhindar dari Neraka pada akhirnya bergantung pada Rahmat Allah SWT. Doa Waqina Adzaban Nar adalah permohonan agar Allah melingkupi hamba-Nya dengan rahmat yang luas, sehingga kekurangan dalam amal dapat ditutupi oleh kemurahan-Nya. Ini adalah puncak tawadhu’ (kerendahan hati), di mana manusia mengakui bahwa usahanya tidak akan pernah cukup tanpa izin dari Rabbul Alamin.
Selain Rahmat, permohonan ini juga terkait dengan syafaat (pertolongan). Seorang Muslim memohon agar ia termasuk golongan yang layak mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW, para syuhada, atau anak-anak yang meninggal di usia dini, yang semuanya adalah bentuk intervensi Rahmat Ilahi untuk menyelamatkan hamba dari siksa yang abadi.
Doa Rabbana Atina mencerminkan maqam (tingkatan) tertinggi dalam ibadah, yaitu maqam Al-Khauf wa Ar-Rajaa' (Takut dan Harap).
Ar-Rajaa’ (Harap): Terkandung dalam permintaan Hasana Fid Dunya dan Hasana Fil Akhirah. Hamba berharap akan kebaikan dan karunia Allah yang tak terbatas di kedua alam. Harapan ini membuat hamba optimis dan bersemangat dalam beribadah dan berusaha.
Al-Khauf (Takut): Terkandung dalam permintaan Waqina Adzaban Nar. Hamba takut akan keadilan Allah dan hukuman-Nya. Ketakutan ini menjaga hamba dari kemaksiatan dan mendorongnya untuk selalu introspeksi diri (muhasabah).
Seorang mukmin sejati harus menjalani hidupnya dengan menjaga keseimbangan antara kedua maqam ini, seperti dua sayap burung. Terlalu banyak harapan tanpa takut akan menjerumuskan pada rasa aman yang palsu (ghurur), sementara terlalu banyak takut tanpa harapan akan menjerumuskan pada keputusasaan (ya's). Doa ini secara sempurna menyeimbangkan keduanya, menjadikannya doa yang ideal bagi setiap Muslim.
Mengamalkan doa Rabbana Atina bukan hanya sekedar melafalkan lisan, tetapi merupakan sebuah filosofi hidup yang menuntut konsistensi dan kesadaran dalam setiap tindakan.
Ketika melafalkan doa ini, seorang Muslim harus memastikan bahwa niatnya tulus. Permintaan kebaikan dunia (Hasana Fid Dunya) harus diniatkan sebagai bekal untuk beribadah dan mencapai kebaikan akhirat. Kekayaan, kesehatan, dan keluarga harus dilihat sebagai sarana, bukan tujuan akhir. Niat inilah yang membedakan permohonan mukmin dari permohonan orang yang hanya mencari kesenangan fana.
Setiap keputusan harus disaring melalui filter Rabbana Atina. Sebelum mengambil pekerjaan, seorang Muslim harus bertanya: Apakah pekerjaan ini akan menghasilkan Hasana Fid Dunya (rezeki halal, waktu ibadah) dan mendukung Hasana Fil Akhirah (menjauhkanku dari maksiat)? Sebelum menikah, ia harus mencari pasangan yang merupakan Hasana di dunia dan penolong menuju Surga.
Doa ini memaksa perencanaan hidup yang bersifat ganda: perencanaan untuk sukses di dunia (sekolah, karir, keluarga) dan perencanaan untuk sukses di akhirat (ibadah, sedekah, dakwah). Kedua perencanaan ini harus berjalan selaras dan tidak boleh saling meniadakan.
Jika seseorang dihadapkan pada pilihan antara keuntungan duniawi yang besar tetapi berpotensi haram, dan keuntungan duniawi yang lebih kecil tetapi halal dan membawa ketenangan, pilihan kedua adalah manifestasi dari pengamalan doa ini. Hasana adalah yang membawa ketenangan dan keberkahan, bukan sekadar jumlah angka yang besar.
Amal saleh sehari-hari, seperti membaca Al-Qur'an, membantu tetangga, dan menjaga lisan, adalah investasi langsung menuju Hasana Fil Akhirah. Semua ini merupakan tindakan preventif (Waqina Adzaban Nar) yang diiringi dengan harapan (Hasana Fil Akhirah).
Karena sifatnya yang komprehensif, para ulama menyarankan agar doa ini dibaca dalam setiap situasi, baik saat senang maupun susah. Ketika mendapat karunia, kita membaca Rabbana Atina sebagai bentuk syukur dan permohonan agar karunia tersebut menjadi Hasana. Ketika diuji, kita membaca doa ini sebagai permohonan agar Allah mengubah ujian tersebut menjadi kebaikan (Hasana) yang membersihkan dosa dan meninggikan derajat, serta melindungi kita dari keputusasaan (siksa psikologis yang mengarah pada Neraka).
Pesan utama dari Al Baqarah 201 adalah ajaran tentang kesempurnaan dan keseimbangan (wasatiyyah) dalam Islam. Allah SWT tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya, melainkan menginginkan kemudahan dan kebaikan di segala aspek. Namun, kebaikan ini haruslah didefinisikan secara Ilahiah, bukan sekadar hawa nafsu manusia.
Ayat ini berfungsi sebagai kritik tajam terhadap pandangan hidup materialistik yang hanya mengukur kesuksesan dari kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan fisik semata. Kelompok yang hanya meminta duniawi (ayat 200) dicela karena mereka tidak mendapat bagian apa pun di akhirat. Ini menunjukkan bahwa fokus tunggal pada dunia adalah kerugian total yang tidak dapat diperbaiki.
Doa Rabbana Atina menarik garis pemisah yang jelas: Hasana Dunia hanya bernilai jika ia terhubung dengan Hasana Akhirat. Kekayaan adalah alat, bukan tujuan. Jabatan adalah amanah, bukan kemuliaan hakiki. Kesehatan adalah kesempatan beribadah, bukan lisensi untuk berpesta. Tanpa koneksi ke akhirat, semua Hasana duniawi akan terlepas dan menjadi fana.
Perbedaan mendasar antara Hasana dunia dan Hasana akhirat adalah sifatnya. Hasana dunia (sehat, kaya, sukses) pasti akan berakhir—baik oleh kematian, sakit, atau kehilangan. Sementara Hasana akhirat (ampunan, Surga, Ru’yatullah) bersifat abadi dan terus meningkat kenikmatannya. Dengan meminta keduanya secara bersamaan, seorang mukmin menunjukkan pemahaman filosofis yang mendalam tentang hakikat eksistensi: hidup adalah kombinasi dari waktu yang fana dan kehidupan yang abadi, dan yang abadi harus diprioritaskan.
Seorang mukmin memandang dunia sebagai persinggahan sementara. Walaupun ia harus berusaha keras dan profesional dalam urusan duniawinya, hatinya terikat pada tujuan akhir. Doa ini menjadi pengingat harian akan prioritas ini, menjaga hati agar tidak terlena oleh gemerlap dunia.
Kecerdasan doa Rabbana Atina terletak pada universalitasnya. Ia dapat dibaca oleh setiap Muslim, di setiap zaman, dari kondisi sosial ekonomi apa pun. Seorang raja dapat membacanya memohon kepemimpinan yang adil (Hasana), dan seorang fakir dapat membacanya memohon ketenangan hati dan rezeki yang cukup (Hasana). Doa ini tidak membatasi permohonan pada spesifik tertentu, memberikan ruang bagi setiap hamba untuk mengisi ‘Hasana’ sesuai dengan kebutuhan syar’i dan kondisi pribadinya, selama tujuannya adalah ridha Allah SWT.
Universalitas ini menegaskan bahwa kebutuhan fundamental manusia, baik materiil maupun spiritual, telah dirangkum dalam tiga frasa yang padat namun penuh makna ini. Doa ini adalah ‘Master Key’ yang membuka pintu kebaikan di setiap dimensi kehidupan.
Allah SWT menutup ayat ini dengan janji yang agung bagi mereka yang berdoa dengan keseimbangan ini:
Ayat berikutnya, Al Baqarah 202, mengkonfirmasi bahwa golongan yang mendoakan Rabbana Atina adalah golongan yang berhasil. Mereka akan menerima ‘bagian’ (nasib) penuh dari usaha mereka, baik di dunia (keberkahan, ketenangan) maupun di akhirat (Surga). Perbedaan mendasar dengan orang yang hanya meminta dunia (ayat 200) adalah bahwa mereka yang meminta keduanya akan mendapatkan ganjaran penuh di kedua alam, sementara yang hanya fokus pada dunia tidak mendapat bagian di akhirat.
Penutupan dengan frase Wallahu Sarī’ul-Ḥisāb (Allah sangat cepat perhitungan-Nya) berfungsi sebagai peringatan sekaligus penegasan janji. Peringatan agar hamba tidak menunda tobat dan amal, karena perhitungan akan datang dengan cepat. Penegasan janji, bahwa balasan kebaikan yang diminta (Hasana) akan segera diberikan tanpa penundaan di Hari Akhir. Ini adalah insentif tertinggi bagi mukmin untuk terus melafalkan, menghayati, dan mengamalkan makna dari Doa Sapu Jagat yang mulia ini.
Doa Rabbana Atina Fid Dunya Hasana, Wafil Akhirati Hasana, Waqina Adzaban Nar, adalah cetak biru kehidupan yang sukses. Ia adalah manifestasi dari kesempurnaan Islam sebagai agama yang komprehensif, yang menjamin kebahagiaan sejati bagi pemeluknya di setiap tahap perjalanan mereka menuju kekekalan.
--
***
Doa ini, dengan segala keagungan maknanya, menuntut perenungan yang terus menerus. Ia adalah pengakuan akan kerentanan manusia dan kebesaran Dzat Yang Maha Mengabulkan. Setiap muslim dianjurkan untuk menjadikan doa ini sebagai wirid harian, memohon kebaikan yang tidak terbatas, memohon perlindungan dari azab yang tak tertahankan, dan senantiasa berpegangan pada tali Rahmat-Nya.
Hasana dunia adalah fana, namun Hasana akhirat adalah abadi. Keseimbangan permintaan ini memastikan bahwa setiap langkah yang diambil di atas bumi adalah investasi yang akan menghasilkan buah di hadapan Ar-Rahman kelak.
--
Dalam ilmu Balaghah (retorika Al-Qur'an), susunan kata dalam ayat 201 memiliki keindahan dan kekuatan yang luar biasa. Pemilihan kata kerja, subjek, dan objek dilakukan dengan ketelitian Ilahiah yang menunjukkan kedalaman makna.
Kata Atina adalah bentuk perintah (fi'il amr) yang diarahkan kepada Allah, namun dalam konteks doa, ia berubah makna menjadi permohonan yang penuh kerendahan hati. Kata kerja ini menunjukkan kebutuhan mendesak dan pengakuan bahwa pemberian datang secara eksklusif dari Allah SWT. Ia menyiratkan bahwa manusia tidak dapat meraih kebaikan dunia dan akhirat hanya dengan usaha kerasnya sendiri; ia memerlukan intervensi Rahmat Ilahi.
Permintaan ‘berilah kami’ ini juga mencakup aspek pemberian yang bersifat permanen, bukan sementara. Ketika kita meminta Hasana, kita meminta kebaikan yang tetap, yang membawa keberlanjutan. Misalnya, meminta kesehatan yang bukan hanya kesembuhan instan, tetapi juga daya tahan tubuh yang berkelanjutan untuk beribadah dalam jangka waktu yang panjang.
Huruf sambung ‘Wau’ (wa) digunakan tiga kali dalam ayat ini: wa fil akhirati hasana, dan wa qina adzaban nar. Penggunaan ‘wau’ ini berfungsi sebagai penghubung dan penegas bahwa tiga elemen ini harus diminta bersama-sama dan memiliki urgensi yang hampir setara dalam kerangka permohonan yang utuh.
Khususnya, ‘wau’ yang menghubungkan permintaan dunia dan akhirat menegaskan ajaran Islam tentang wasatiyyah (moderasi). Tidak ada pemisahan kaku; dunia dan akhirat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Upaya di dunia harus seiring dengan persiapan untuk akhirat. Jika ‘wau’ ini ditiadakan, seolah-olah permintaan akhirat menjadi opsional setelah permintaan dunia, padahal keduanya harus menjadi satu paket permohonan yang terintegrasi.
Kata kerja Qina berasal dari akar kata waqaa (memelihara, melindungi, menjaga). Ini bukan sekadar permintaan untuk ‘dijauhkan’ dari Neraka, tetapi permintaan untuk ‘dijaga’ secara aktif dari segala sebab yang dapat menyeret kita ke sana. Ini mencakup perlindungan dari godaan syaitan, bisikan hawa nafsu, dan lingkungan yang buruk.
Doa Qina Adzaban Nar adalah permohonan perlindungan yang berlangsung sepanjang hayat. Seorang hamba memohon agar Allah menjadi penjaga (Waqi) yang melindungi dari penyimpangan spiritual dan moral di setiap persimpangan hidup. Perlindungan ini adalah manifestasi dari pemeliharaan Allah atas hamba-hamba-Nya yang taat, sebuah pemeliharaan yang tidak dapat dilakukan oleh kekuatan manapun selain Dzat Yang Maha Kuasa.
Meskipun Surga adalah kata yang sering digunakan untuk Hasana Akhirat, deskripsi Al-Qur’an tentang kenikmatan akhirat menunjukkan bahwa Hasana Akhirat adalah sebuah kondisi totalitas kesempurnaan dan kepuasan.
Di Surga, Hasana mencakup kesempurnaan jasmani (kesehatan abadi, tidak ada penuaan, tidak ada kelelahan) dan kesempurnaan ruhani (hilangnya rasa dengki, iri, benci, dan segala penyakit hati). Manusia yang masuk Surga akan mencapai kondisi jiwa yang paling murni. Permintaan Hasana Akhirat adalah permintaan untuk mencapai status Nafs Muthma’innah (jiwa yang tenang) secara permanen.
Penyucian jiwa ini adalah Hasana terbesar kedua setelah melihat Wajah Allah. Tanpa penghilangan penyakit hati, kenikmatan Surga tidak akan terasa sempurna. Oleh karena itu, persiapan di dunia (melalui Tazkiyatun Nafs – penyucian jiwa) adalah kunci untuk memastikan Hasana Akhirat tercapai.
Hasana Akhirat juga mencakup interaksi sosial yang sempurna. Seorang hamba memohon agar ia dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintai, terutama Rasulullah SAW, para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Kebaikan ini adalah ikatan persaudaraan yang abadi dan murni, tanpa ada pertengkaran atau perselisihan yang pernah terjadi di dunia.
Ini mencakup kedekatan dengan keluarga yang beriman. Doa ini adalah harapan agar pasangan, anak-anak, dan kerabat yang saleh dapat berkumpul kembali di Surga. Kebahagiaan di akhirat adalah kebahagiaan yang terbagi dan saling menguatkan, sebuah komunitas utopia yang diidam-idamkan.
Doa Rabbana Atina Fid Dunya Hasana, Wafil Akhirati Hasana, Waqina Adzaban Nar, adalah doa yang paling cerdas dan paling strategis yang diajarkan dalam Islam. Ia memenuhi kebutuhan dasar manusia untuk memiliki keseimbangan: kebutuhan jasmani (dunia), kebutuhan spiritual (akhirat), dan kebutuhan protektif (perlindungan dari Neraka).
Jika kita meninjau seluruh spektrum kebutuhan manusia, mulai dari yang paling rendah (makan, minum) hingga yang paling tinggi (melihat Wajah Allah), semuanya terangkum dalam definisi luas ‘Hasana’. Doa ini mengajarkan umat Muslim untuk menjadi ambisius dalam meminta, tetapi ambisi tersebut haruslah terarah dan terbingkai dalam kerangka ketundukan kepada Allah. Ia adalah blueprint menuju kesuksesan yang utuh, sejati, dan abadi.
Semua muslim di seluruh dunia, terlepas dari mazhab atau latar belakang mereka, bersatu di bawah lafadz doa ini. Kekuatan kolektif dari jutaan lidah yang setiap hari memohon kebaikan yang sama menciptakan resonansi spiritual yang luar biasa, menegaskan kesatuan umat Islam dalam tujuan akhir mereka: mencapai keridhaan Ilahi melalui keseimbangan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, menghafal dan mengamalkan doa ini adalah kewajiban, tetapi yang lebih penting adalah menghayati bahwa setiap langkah di dunia haruslah dijembatani oleh niat yang suci, sehingga segala yang kita peroleh benar-benar menjadi 'Hasana' yang membawa kita menuju keselamatan dari api Neraka dan kenikmatan Surga tertinggi.
***
Pengamalan doa ini tercermin dalam etika dan sikap seorang Muslim sehari-hari. Hasana bukan hanya sesuatu yang diminta dalam doa, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dalam tindakan.
Seorang Muslim yang mengamalkan Rabbana Atina akan menjadi pekerja yang paling jujur dan profesional. Profesionalisme adalah bagian dari Hasana Fid Dunya. Ia bekerja keras, memastikan output kerjanya berkualitas tinggi, karena ia tahu bahwa rezeki yang dihasilkan harus halal dan berkah (Hasana). Ia tidak akan mencurangi timbangannya atau menggelapkan pajak, karena perbuatan tersebut akan mengurangi porsi Hasana Akhiratnya dan justru mendatangkan Adzaban Nar.
Dalam interaksi sosial, Hasana terwujud melalui kemampuan menjaga lisan (Ghibah/fitnah adalah api Neraka), bersikap adil, dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Muslim yang memohon Hasana akan menjadi relawan yang aktif, pemimpin yang melayani, dan tetangga yang ramah. Tindakan nyata ini adalah bukti bahwa doa tersebut telah meresap ke dalam hati dan terealisasi sebagai karakter.
Bagi mereka yang memegang amanah kepemimpinan, Hasana di dunia berarti memerintah dengan keadilan, memastikan kesejahteraan rakyat, dan menegakkan hukum Allah. Kegagalan dalam amanah kepemimpinan akan menjadi beban yang sangat besar dan secara langsung mengancam permintaan Waqina Adzaban Nar. Hasana bagi pemimpin adalah kemampuan untuk membawa negaranya menuju ketenangan dan keberkahan, bukan kekacauan dan kezaliman.
Permintaan akan Hasana di dunia menuntut Muslim untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, yang memakmurkan negerinya dan menjaga ketertiban. Tidak ada Hasana di dunia jika lingkungan sekitar dilanda kemiskinan, ketidakadilan, atau kerusakan moral. Oleh karena itu, doa ini memiliki dimensi kolektif yang kuat, menuntut partisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang saleh.
***
Kesinambungan makna Surah Al Baqarah 201 terletak pada kemampuannya untuk menjadi panduan etis dan spiritual yang relevan lintas waktu. Ia adalah mercusuar yang menerangi jalan menuju kesuksesan sejati. Menjaga doa ini di lisan dan hati adalah janji untuk senantiasa mencari yang terbaik dari segala pemberian Allah, sambil tidak pernah melupakan tujuan utama kita: pertemuan mulia di Akhirat dan perlindungan dari Neraka.
Setiap muslim harus berpegang teguh pada intisari doa ini, menjadikannya kerangka dasar setiap permohonan. Ketika kita meminta sesuatu yang spesifik, pastikan permintaan itu mendukung Hasana; jika tidak, maka itu adalah permintaan yang sia-sia.
Inilah inti dari tafsir agung Rabbana Atina: sebuah permohonan yang meliputi segala sesuatu, sebuah janji Allah bagi mereka yang berimbang, dan sebuah pengingat abadi akan kefanaan dunia dan kekalnya Akhirat.