Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai peta jalan yang komprehensif bagi kehidupan umat manusia. Setelah tiga ayat awalnya menguraikan karakteristik orang-orang beriman, dua ayat berikutnya tentang orang kafir, dan tiga belas ayat setelahnya membahas ciri-ciri munafik, Al-Qur'an kemudian beralih dari pengelompokan spesifik menuju panggilan universal. Ayat ke-21 dari surah ini adalah titik balik, sebuah proklamasi agung yang ditujukan kepada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali, mengenai tujuan utama eksistensi: Ibadah.
Ayat ini tidak hanya memerintahkan ibadah, tetapi juga memberikan alasan logis dan ontologis mengapa ibadah harus ditujukan hanya kepada Allah SWT. Ia menyatukan konsep ketuhanan (uluhiyyah) dengan konsep penciptaan (rububiyyah), memberikan fondasi Tauhid yang tak tergoyahkan.
Berikut adalah teks suci dari Surah Al-Baqarah ayat 21:
Terjemahan Standar (Kementerian Agama RI):
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap frasa dan kata kunci dalam konteks bahasa Arab Al-Qur'an.
Frasa ini berarti "Wahai sekalian manusia." Ini adalah seruan yang bersifat inklusif dan universal. Dalam Al-Qur'an Madaniyah (seperti Al-Baqarah), penggunaan seruan ini memiliki makna yang sangat penting. Setelah berdiskusi tentang kelompok-kelompok internal di Madinah (Yahudi, Nasrani, Munafik, Mukmin), Allah mengalihkan fokus ke seluruh umat manusia, menegaskan bahwa pesan Islam adalah untuk semua orang, bukan hanya komunitas tertentu.
Ini adalah kata kerja perintah (fi'il amr) yang berarti "Sembahlah!" atau "Beribadahlah!" Akar kata ‘abada berarti ketaatan penuh, kerendahan hati yang ekstrem, dan kepatuhan. Ibadah dalam Islam jauh lebih luas daripada sekadar ritual (shalat, puasa).
Menurut para ulama, ibadah mencakup:
Perintah ini bersifat mutlak, menunjukkan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah ibadah total kepada Allah.
Tuhanmu. Kata Rabb memiliki makna yang sangat kaya, meliputi:
Penyebutan Rabb setelah perintah 'U'budu' (sembahlah) adalah kunci. Kita diperintahkan menyembah bukan hanya karena Dia adalah penguasa, tetapi karena Dia adalah Pencipta yang memelihara segala sesuatu. Ini menyatukan Tauhid Rububiyyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pemeliharaan) dengan Tauhid Uluhiyyah (ketuhanan dalam peribadatan).
"Yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu." Inilah argumen utama (hujjah) dalam ayat tersebut. Alasan logis untuk beribadah adalah karena Allah adalah Sang Pencipta. Argumen ini bersifat universal karena bahkan kaum musyrikin Mekkah pada masa Nabi mengakui Allah sebagai pencipta (Rububiyyah), meskipun mereka salah dalam aspek Uluhiyyah (peribadahan).
Penekanan pada 'orang-orang sebelum kamu' menyoroti kesinambungan sejarah manusia di bawah kekuasaan dan pemeliharaan Tuhan yang sama, menekankan bahwa ajaran Tauhid bukanlah hal baru.
"Agar kamu bertakwa." Ini adalah tujuan (ghayah) dari ibadah. Kata la’alla dalam konteks ini menunjukkan harapan yang kuat dan tujuan akhir. Taqwa adalah hasil tertinggi dari pengakuan dan pelaksanaan ibadah.
Taqwa berarti melindungi diri atau menjaga diri dari murka Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ini adalah kondisi kesadaran Ilahi yang konstan, yang merupakan puncak kematangan spiritual dan moral seorang hamba.
Al-Baqarah ayat 21 muncul setelah Allah SWT selesai membagi manusia menjadi tiga kategori: Mukmin (ayat 1-5), Kafir (ayat 6-7), dan Munafik (ayat 8-20). Penggambaran detail tentang kemunafikan yang disajikan melalui dua perumpamaan yang kuat (api dan hujan) menunjukkan kompleksitas jiwa manusia dan bahaya keraguan.
Dengan berakhirnya deskripsi kelompok-kelompok tersebut, ayat 21 mengalihkan lensa dari internalitas komunitas Muslim ke eksternalitas, yaitu seluruh dunia. Ini seperti mengatakan: "Setelah kalian tahu siapa yang beriman, siapa yang ingkar, dan siapa yang munafik, sekarang dengarkanlah, wahai seluruh manusia, inilah inti dari semua ajaran: Sembahlah Tuhanmu!"
Ayat 21 bukan berdiri sendiri. Ia segera diikuti oleh ayat 22, yang memberikan bukti-bukti kosmik yang lebih spesifik mengenai kekuasaan Allah sebagai Pencipta (langit sebagai atap, bumi sebagai hamparan, air hujan, buah-buahan). Ayat 21 mengajukan perintah (U’budū), dan ayat 22 menyajikan bukti (Hujjah) yang tak terbantahkan. Keduanya bekerja bersama untuk mendirikan fondasi keimanan yang kuat berdasarkan akal dan pengamatan.
Surah Al-Baqarah 21 adalah pelajaran Tauhid yang padat. Ayat ini menjelaskan mengapa pengakuan akan Tauhid Rububiyyah (Allah sebagai Pencipta) harus mutlak diikuti oleh Tauhid Uluhiyyah (Allah sebagai satu-satunya yang disembah).
Argumen Al-Qur'an sangat logis: Jika Anda mengakui bahwa Allah (Rabbakum) adalah satu-satunya yang menciptakan, memelihara, dan memberi rezeki (Rububiyyah), maka secara akal sehat, Dia harus menjadi satu-satunya yang berhak disembah (Uluhiyyah).
Mustahil untuk mengakui kehebatan-Nya sebagai Pencipta dan kemudian mengalihkan ibadah (rasa takut, harap, doa, pengorbanan) kepada ciptaan-Nya (berhala, manusia suci, benda-benda alam). Ini adalah kontradiksi kognitif yang ingin dihilangkan oleh ayat ini.
Hak untuk menciptakan adalah hak eksklusif Allah. Karena ibadah adalah manifestasi tertinggi dari rasa syukur dan pengakuan akan kekuasaan, ia hanya boleh diberikan kepada pemilik hak tersebut. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk mengesakan Allah dalam ibadah, karena Dia adalah Pencipta mereka.
Ayat ini secara implisit menolak segala bentuk syirik. Syirik adalah dosa terbesar karena ia melanggar hak eksklusif Allah (Uluhiyyah) meskipun Rububiyyah-Nya diakui. Ketika seorang manusia menyembah sesuatu selain Allah—bahkan jika itu adalah hasratnya sendiri—ia telah keluar dari makna hakiki ayat 21.
Ibadah yang diperintahkan di sini adalah ibadah yang murni dari segala bentuk perantara atau penyekutuan, yang dikenal sebagai Ikhlas.
Memahami perintah "U’budū" sebagai hanya shalat lima waktu atau puasa adalah pemahaman yang sempit, yang tidak akan pernah mencapai kedalaman 5000 kata. Ibadah yang dimaksud Al-Baqarah 21 mencakup seluruh spektrum kehidupan seorang Muslim.
Ini adalah ibadah yang ditentukan secara rinci oleh syariat (shalat, zakat, puasa, haji). Ibadah jenis ini berfungsi sebagai 'pusat pelatihan' spiritual. Shalat, misalnya, adalah manifestasi penyerahan diri secara fisik, mental, dan lisan, yang mengingatkan hamba akan Rabb-nya secara berkala.
Semua tindakan yang dilakukan dalam kerangka niat yang baik, sesuai dengan syariat, dan bertujuan mencari ridha Allah, adalah ibadah. Lingkupnya sangat luas:
Mencari nafkah secara halal, menunaikan hak pekerja, menghindari riba, berbisnis dengan jujur—semua ini adalah ibadah. Seorang pedagang yang jujur, seorang petani yang tekun, dan seorang ilmuwan yang bekerja untuk kemaslahatan umat, jika dilandasi niat karena Allah, mereka sedang melaksanakan perintah 'U’budū'. Ayat 21 mengajarkan bahwa tempat kerja adalah mihrab (tempat ibadah) yang diperluas.
Berbuat baik kepada orang tua, mendidik anak, melayani pasangan dengan kasih sayang, menziarahi tetangga, atau bahkan sekadar menyingkirkan duri dari jalan—semua adalah cabang dari ibadah. Ibadah sosial adalah bukti nyata dari Taqwa. Bagaimana seseorang memperlakukan ciptaan Allah (manusia lain, alam) mencerminkan seberapa besar ia menghormati Sang Pencipta.
Merenungkan penciptaan langit dan bumi (seperti yang ditekankan dalam ayat 22 yang terkait), membaca dan memahami Al-Qur'an, dan mencari pengetahuan yang bermanfaat adalah ibadah intelektual yang sangat ditekankan. Ayat 21 menggunakan penciptaan sebagai argumen, mendorong manusia untuk menggunakan akalnya dalam mengagumi Rabbakum.
Ibadah yang diinginkan oleh Al-Baqarah 21 adalah keadaan berkelanjutan. Ini adalah kehidupan yang diwarnai oleh kesadaran Ilahi (dzikir) sepanjang waktu, sehingga tidak ada pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi. Tujuan ibadah adalah integrasi total, di mana setiap napas, setiap keputusan, dan setiap interaksi diarahkan untuk meraih Taqwa.
Taqwa adalah inti dan tujuan utama dari perintah beribadah. Ibadah bukan sekadar kewajiban ritual, tetapi proses pelatihan menuju kualitas Taqwa.
Secara bahasa, Taqwa berasal dari kata waqa-yaqī-wiqāyah, yang berarti menjaga atau melindungi diri. Secara terminologi syariat, Taqwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, didasari rasa takut dan harapan. Salah satu definisi klasik Taqwa dari Ali bin Abi Thalib RA adalah:
Ayat 21 menetapkan hubungan sebab-akibat: Ibadah adalah sarana, dan Taqwa adalah hasilnya. Mengapa ibadah menghasilkan Taqwa?
Seseorang yang mencapai Taqwa (Muttaqin) akan memiliki ciri-ciri yang dijelaskan pada awal Surah Al-Baqarah (ayat 3-5), yaitu percaya pada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan rezeki, dan yakin pada hari akhir. Jadi, ayat 21 adalah instruksi bagaimana menjadi 'Muttaqin' yang dijanjikan kejayaan dan petunjuk (hidayah) di awal surah.
Ayat Al-Baqarah 21 telah menjadi subjek pembahasan yang luas di kalangan mufassir (ahli tafsir) selama berabad-abad, yang menyoroti betapa krusialnya ayat ini sebagai fondasi akidah Islam.
At-Tabari, dalam Jami' al-Bayan, menekankan bahwa 'U’budū' berarti taatlah kepada-Nya dan laksanakanlah perintah-Nya secara konsisten. Ia menggarisbawahi bahwa perintah ibadah ini datang sebagai penegasan Tauhid setelah Allah menguraikan orang-orang kafir yang memilih ingkar dan munafik yang memilih keraguan. Dengan demikian, ayat ini adalah penarikan garis yang jelas antara kebenaran dan kesesatan.
At-Tabari juga fokus pada frasa "Rabbakum Alladzī Khalaqakum," menjelaskan bahwa penggunaan kata 'Rabb' (Pemelihara) adalah untuk membangkitkan rasa terima kasih, karena Dialah yang mengatur rezeki dan kehidupan manusia.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah SWT, sebagai satu-satunya Pencipta yang memberikan rezeki, berhak menjadi satu-satunya yang disembah. Ia menggunakan ayat ini sebagai dalil utama untuk Tauhid Uluhiyyah, menegaskan bahwa ibadah harus dilakukan secara murni (ikhlas) tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun.
Dari perspektif kontemporer, Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai deklarasi pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan di bumi. Ketika manusia menyembah hanya Rabb yang menciptakannya, ia membebaskan dirinya dari perbudakan kepada penguasa, sistem, atau hasrat hawa nafsu.
Qutb menekankan bahwa ibadah (U’budū) adalah perubahan total dalam cara hidup (manhaj al-hayah). Manusia harus melihat seluruh kehidupan mereka, termasuk politik, ekonomi, dan sosial, sebagai bagian dari ketaatan kepada Sang Pencipta.
Mengapa Al-Qur'an secara konsisten menggunakan fakta penciptaan sebagai bukti paling kuat untuk perintah ibadah? Karena ini adalah titik kesepakatan fitrah dan akal manusia.
Manusia, secara naluriah, mengetahui bahwa sesuatu yang kompleks dan teratur tidak mungkin muncul dari ketiadaan tanpa perancang. Allah menekankan bahwa Dia menciptakan 'kalian dan orang-orang sebelum kalian'. Ini mengacu pada proses penciptaan manusia dari tanah (Nabi Adam) dan proses reproduksi yang berkelanjutan (min qablikum).
Penciptaan adalah keajaiban yang tak dapat ditiru oleh manusia. Hanya Dia yang menciptakan yang berhak mengatur. Kegagalan mengakui hak ini adalah keangkuhan intelektual yang fatal.
Ayat 21 fokus pada penciptaan diri sendiri ('Khalaqakum'). Kita tidak menciptakan diri kita sendiri. Kita bergantung sepenuhnya pada entitas yang menciptakan kita. Ketergantungan total ini mewajibkan penyerahan diri total (ibadah). Jika kita tidak mampu menciptakan sehelai rambut pun di kepala kita, bagaimana mungkin kita menolak otoritas Yang menciptakan seluruh diri kita?
Di zaman modern, manusia sering mencari penjelasan acak atau spontan untuk keberadaan. Ayat ini menolak ide tersebut secara tegas. Kehidupan manusia, dari generasi ke generasi ('walladzina min qablikum'), adalah hasil desain dan tindakan tunggal dari Rabb. Ini merupakan penegasan bahwa hukum kausalitas (sebab-akibat) yang mutlak diakhiri oleh sebab pertama yang mutlak, yaitu Allah.
Di tengah tantangan modern, Surah Al-Baqarah 21 memiliki relevansi yang sangat tajam, menawarkan solusi terhadap krisis makna dan tujuan hidup.
Banyak manusia modern hidup dalam kekosongan karena mereka telah mengabaikan pertanyaan mendasar: Siapa Pencipta saya dan apa tujuan saya? Ayat 21 memberikan jawaban yang jelas dan langsung: Tujuanmu adalah ibadah (U’budū), dan kamu melakukannya karena Dialah yang menciptakanmu (Rabbakum).
Pengakuan ini mengembalikan tujuan hidup yang hilang dan memberikan makna pada penderitaan, kesuksesan, dan kematian.
Materialisme mengajarkan bahwa nilai tertinggi adalah materi dan pencapaian duniawi. Ayat 21 membalikkan piramida nilai ini. Ia menetapkan bahwa ibadah kepada Sang Pencipta adalah nilai tertinggi. Semua aktivitas material (bisnis, teknologi, seni) harus menjadi alat untuk mencapai tujuan spiritual (Taqwa). Jika tidak, aktivitas tersebut akan menjadi berhala baru.
Totalitarianisme modern sering menuntut ketaatan dan penyerahan total dari warganya, menempatkan negara, ideologi, atau pemimpin sebagai 'tuhan'. Perintah untuk menyembah hanya Allah (U’budū Rabbakum) adalah deklarasi kebebasan politik pertama. Seorang Muslim yang taat sepenuhnya kepada Allah tidak mungkin menjadi budak mutlak bagi kekuatan manusia mana pun.
Kesyirikan di era kontemporer jarang berbentuk patung batu, melainkan berbentuk:
Ayat 21 mendesak agar seluruh perhatian dan fokus dikembalikan kepada Allah, memastikan bahwa semua motivasi tertinggi berakar pada perintah Rabbul ‘Alamin.
Karena Taqwa adalah tujuan akhir (Lā'allakum Tattaqūn), penting untuk mengulas secara mendalam bagaimana ibadah yang tulus membuahkan kualitas tersebut, yang mana kualitas ini kemudian menjadi fondasi seluruh ayat Al-Qur'an berikutnya.
Taqwa adalah kriteria pembeda (al-Furqan). Allah menjanjikan bagi orang yang bertakwa kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, petunjuk dalam kegelapan, dan jalan keluar dari kesulitan (QS. At-Talaq: 2-3). Ini adalah hadiah langsung bagi mereka yang menyambut panggilan universal ‘U’budū’.
Ibadah yang kontinu, seperti shalat, melatih mentalitas pembeda ini. Setiap kali seorang hamba berdiri menghadap Allah, ia diingatkan bahwa di luar ibadah itu ada standar moral dan etika yang harus dijaga.
Dalam Islam, ilmu tidak terpisah dari Taqwa. Semakin tinggi tingkat Taqwa seseorang, semakin terbuka pula pemahamannya terhadap hikmah Ilahi. Kepatuhan ibadah (U’budū) membersihkan hati sehingga ia mampu menerima cahaya ilmu. Tanpa pembersihan hati melalui ibadah, ilmu pengetahuan duniawi dapat menjadi alat kesombongan dan kerusakan.
Ibadah yang diamanatkan dalam ayat 21 menuntut kesabaran (sabar) dalam menjalankannya, terutama dalam menjauhi larangan, dan menuntut rasa syukur (syukur) atas nikmat penciptaan ('Rabbakum Alladzī Khalaqakum').
Kedua pilar ini adalah manifestasi sejati dari Taqwa yang merupakan buah dari kepatuhan total terhadap perintah ibadah universal.
Dalam pandangan Islam, bumi pada akhirnya diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang shaleh dan bertakwa. Oleh karena itu, ibadah yang diperintahkan di ayat 21 adalah prasyarat untuk memegang amanah kekhalifahan di bumi. Jika manusia gagal dalam ibadah (tujuan utama), mereka akan gagal dalam pengelolaan bumi (tugas sekunder).
Ini menjelaskan mengapa Al-Qur'an menyandingkan perintah ibadah dengan bukti penciptaan alam semesta (ayat 22). Ibadah yang benar melahirkan Taqwa, dan Taqwa melahirkan kesadaran ekologis dan sosial yang diperlukan untuk mengelola ciptaan Allah dengan adil dan bijaksana.
Surah Al-Baqarah ayat 21, meskipun singkat, adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an. Ia adalah poros yang menghubungkan kesadaran diri ('Ya Ayyuhan Naas') dengan kesadaran Ilahi ('Rabbakum') melalui tindakan penyerahan diri ('U’budū'), semua didasarkan pada argumen yang tidak dapat disanggah: fakta penciptaan ('Khalaqakum'). Tujuan akhirnya adalah pemurnian tertinggi jiwa ('La’allakum Tattaqūn').
Panggilan ini bersifat abadi dan relevan di setiap zaman. Ia mengingatkan kita bahwa terlepas dari segala kemajuan teknologi atau kerumitan sosial, inti dari keberadaan kita tetap sederhana dan mutlak: mengakui Allah sebagai satu-satunya Rabb yang menciptakan dan menyembah-Nya dengan totalitas hidup kita. Inilah jalan menuju kesuksesan sejati di dunia dan di akhirat.