Al-Baqarah 125: Keabadian Maqam Ibrahim, Baitullah, dan Janji Suci
Ilustrasi Maqam Ibrahim yang merupakan tempat pijakan Nabi Ibrahim AS saat membangun Ka'bah, berdekatan dengan struktur suci Ka'bah.
Surah Al-Baqarah ayat 125 merupakan salah satu fondasi teologis dan syar’i terpenting dalam Islam. Ayat ini tidak hanya menegaskan status Ka'bah sebagai pusat ibadah dan keamanan, tetapi juga mengukuhkan praktik-praktik sentral yang dilakukan dalam ibadah haji dan umrah. Intisari ayat ini mencakup tiga pilar utama: status Ka'bah sebagai tempat kembali dan keamanan, perintah menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, serta kewajiban pensucian Ka'bah yang diemban oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
I. Ka'bah: Mathabah dan Amnan (Tempat Kembali dan Keamanan)
Bagian awal ayat ini mendeskripsikan dua sifat hakiki Ka'bah yang ditetapkan oleh Allah SWT: Mathabah li-l-Nāsi (tempat berkumpul/kembali bagi manusia) dan Amnan (tempat yang aman). Konsep ini menuntut kajian mendalam mengenai dimensi spiritual, sosiologis, dan historis.
1. Makna Mathabah (Tempat Berkumpul dan Kembali)
Kata Mathabah berasal dari kata kerja tsāba yang berarti kembali atau berulang. Para mufasir, seperti Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir, menjelaskan makna ini dalam beberapa sudut pandang:
a. Rujuk Spiritual dan Fisik: Ka'bah adalah kiblat, titik sentral yang menarik hati manusia. Meskipun seorang Muslim telah mengunjungi Ka'bah berkali-kali, kerinduan untuk kembali tidak pernah padam. Ka'bah bukan sekadar bangunan; ia adalah simbol perjanjian dan titik tolak spiritual. Setiap tahun, jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia "kembali" ke sana untuk memenuhi panggilan haji atau umrah, mengulangi ritual yang sama, menunjukkan keabadian janji ini.
b. Pusat Kehidupan Sosial dan Ekonomi: Sejak zaman Nabi Ibrahim, Ka'bah telah menjadi pusat peradaban di lembah Makkah yang gersang. Allah menjadikan keberadaannya sebagai sumber rezeki dan pertemuan, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain. Ia berfungsi sebagai titik temu budaya dan perdagangan, meskipun fungsi utamanya tetaplah ibadah.
c. Pusat Hidayah: Dalam konteks Tauhid, Ka'bah adalah titik kembali dari kesesatan menuju petunjuk yang murni. Setelah penyebarannya oleh Nabi Ibrahim dan kemudian pembersihannya oleh Nabi Muhammad SAW dari berhala, Ka'bah kembali menjadi pusat tauhid murni yang merupakan tujuan akhir pencarian spiritual setiap Muslim.
2. Makna Amnan (Keamanan dan Kesucian)
Ka'bah dan seluruh wilayah Haram di sekitarnya diangkat statusnya sebagai Haram (suci dan aman) secara mutlak. Keamanan ini mencakup tiga aspek:
a. Keamanan Hukum (Fiqhiyyah): Di dalam wilayah Haram, dilarang menumpahkan darah, dilarang berburu, dilarang menebang pohon atau mencabut rumput kecuali yang diizinkan (seperti idhkhir). Keamanan ini adalah jaminan ilahi yang ditegaskan sejak zaman Nabi Ibrahim. Ini menciptakan zona bebas konflik di tengah dunia yang penuh peperangan.
b. Keamanan Sosial: Orang yang masuk ke wilayah Haram, bahkan sebelum Islam, dihormati. Ayat ini menjamin bahwa siapapun yang mencari perlindungan di dalamnya akan aman dari ancaman. Keamanan ini juga mencakup keamanan batin; Muslim merasa damai dan terlindungi saat berada di sisi Baitullah.
c. Keamanan Iman: Makkah, sebagai pusat Tauhid, aman dari kekufuran yang terang-terangan. Ayat ini menegaskan perlindungan Allah terhadap tempat suci ini dari dominasi kekejian atau kesyirikan, yang puncaknya terlihat saat penaklukan Makkah.
II. Perintah Menjadikan Maqam Ibrahim Sebagai Tempat Shalat
Bagian kedua ayat 125 berbunyi: "Wa ttakhidhū min maqāmi ibrāhīma muṣallan" (Dan jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim tempat shalat). Perintah ini memiliki bobot hukum yang spesifik dan menjadi inti dari tata cara tawaf.
1. Definisi Maqam Ibrahim
Maqam Ibrahim (Stasiun Ibrahim) adalah batu tempat Nabi Ibrahim berdiri ketika meninggikan bangunan Ka'bah bersama putranya, Nabi Ismail. Batu tersebut secara ajaib melunak sehingga jejak kaki beliau tercetak di sana. Saat ini, Maqam Ibrahim diletakkan dalam kerangka kristal emas di dekat Ka'bah.
2. Tafsir Hukum (Mushallan)
Apakah perintah untuk menjadikan Maqam Ibrahim sebagai Mushallan (tempat shalat) bersifat wajib atau sunnah muakkadah? Para ulama memiliki pandangan yang sedikit berbeda, namun mayoritas sepakat tentang esensinya:
a. Shalat Sunnah Tawaf: Konsensus ulama (Jumhur) menyebutkan bahwa perintah ini merujuk kepada shalat dua rakaat setelah menyelesaikan tawaf tujuh putaran. Sunnahnya adalah shalat ini dilakukan tepat di belakang Maqam Ibrahim. Jika tidak memungkinkan karena keramaian, dapat dilakukan di tempat manapun di Masjidil Haram.
b. Posisi dan Kewajiban: Imam Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama Fiqh menegaskan bahwa melakukan shalat sunnah tawaf di belakang Maqam Ibrahim adalah sunnah yang sangat kuat (sunnah muakkadah). Beberapa riwayat menyatakan bahwa Rasulullah SAW sendiri melakukan shalat sunnah ini tepat di belakang Maqam, membaca Surah Al-Kafirun dan Al-Ikhlas dalam dua rakaat tersebut.
Hukum Fiqh Maqam Ibrahim
Mazhab Hanafi: Menegaskan bahwa shalat dua rakaat ini sangat ditekankan setelah tawaf. Mereka menganggap perintah ini sebagai bentuk pengagungan terhadap jejak Ibrahim.
Mazhab Maliki: Meskipun shalat sunnah tawaf disunnahkan, melakukan shalat wajib di area Ka'bah (seperti di bawah talang emas) lebih utama daripada shalat sunnah di Maqam Ibrahim, menunjukkan hierarki ibadah.
Implikasi Praktis: Frasa “min maqāmi ibrāhīma” (sebagian Maqam Ibrahim) menunjukkan bahwa yang diutamakan adalah mengambil arah Maqam Ibrahim sebagai kiblat shalat, bukan harus berdiri persis di atas batu tersebut. Hal ini memberikan kemudahan di tengah padatnya jamaah.
3. Dimensi Spiritual Maqam Ibrahim
Maqam Ibrahim adalah simbol penghubung. Ia menghubungkan umat Islam saat ini dengan Nabi Ibrahim, arsitek Ka'bah pertama. Ketika seorang Muslim shalat di sana, ia mengenang kembali keteguhan tauhid Ibrahim yang membangun rumah ibadah murni di tengah gurun. Ini adalah warisan (Millah Ibrahim) yang dihidupkan kembali melalui ibadah. Maqam Ibrahim menjadi saksi bisu keimanan dan pengorbanan.
III. Perintah Pensucian Ka'bah (Tahāra)
Bagian ketiga dan penutup ayat ini berisi perintah langsung Allah kepada kedua nabi besar: "Wa ‘ahidnā ilā ibrāhīma wa ismā'īla an ṭahhirā baytiya li-l-ṭā'ifīn... al-sujūd." (Dan Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf... yang sujud.")
1. Kewajiban Ganda Tahāra (Pensucian)
Kata tahhirā (bersihkanlah, dalam bentuk dual) menunjukkan tanggung jawab kolektif Nabi Ibrahim dan Ismail dalam menjaga kesucian Baitullah. Pensucian ini bersifat komprehensif:
a. Pensucian Fisik (Hissiyyah): Membersihkan Ka'bah dari kotoran, debu, dan najis. Ini mencerminkan pentingnya kebersihan lingkungan ibadah. Tugas ini diteruskan hingga kini oleh penjaga Ka'bah.
b. Pensucian Maknawi (Ma'nawiyyah): Yang jauh lebih penting adalah membersihkan Ka'bah dari kesyirikan, berhala, dan segala bentuk penyembahan selain Allah. Nabi Ibrahim dan Ismail membangun Ka'bah sebagai pusat tauhid murni. Pembersihan terbesar secara maknawi terjadi ketika Nabi Muhammad SAW menaklukkan Makkah dan menghancurkan 360 berhala di sekitar Ka'bah, mengembalikan fungsinya sesuai perintah ilahi.
Pensucian ini mencakup pembersihan hati orang-orang yang beribadah di sana. Seorang hamba yang memasuki Haram dituntut untuk membersihkan niatnya (ikhlas) agar ibadahnya diterima.
2. Empat Kategori Jamaah yang Dilayani
Ayat ini secara spesifik menyebut empat kategori orang yang berhak menggunakan Baitullah, menggariskan fungsi utama Ka'bah:
a. Al-Ṭawwāfīn (Orang-orang yang Tawaf): Mereka yang mengelilingi Ka'bah. Tawaf adalah ibadah yang unik hanya ada di Ka'bah. Tawaf melambangkan pergerakan tanpa henti, persatuan, dan pengagungan terhadap sentralitas Allah.
b. Al-‘Ākifīn (Orang-orang yang I'tikaf): Mereka yang berdiam diri di masjid dengan niat ibadah. Ayat ini menegaskan bahwa seluruh Masjidil Haram adalah tempat yang sah untuk I'tikaf, menjadikan Ka'bah sebagai pusat ketenangan batin.
c. Al-Rukka’i (Orang-orang yang Rukuk): Bagian dari gerakan shalat.
d. Al-Sujūd (Orang-orang yang Sujud): Bagian dari gerakan shalat. Penyebutan rukuk dan sujud ini menegaskan bahwa Ka'bah berfungsi sebagai kiblat (arah shalat) bagi seluruh umat Islam di dunia.
Pengurutan ini sangat penting: Tawaf dan I'tikaf adalah ibadah yang dilakukan di Ka'bah itu sendiri, sementara Rukuk dan Sujud (shalat) adalah ibadah yang dilakukan menghadap Ka'bah, di manapun di dunia.
IV. Analisis Mendalam Fiqh Tawaf dan I'tikaf
Untuk memahami sepenuhnya dampak ayat 125, kita harus menyelami implikasi hukum yang muncul dari penyebutan empat kelompok di atas, khususnya Tawaf dan I'tikaf.
1. Fiqh Tawaf (Mengelilingi)
Perintah pensucian Ka'bah untuk al-Ṭawwāfīn menunjukkan bahwa Tawaf adalah ibadah yang dilegitimasi oleh wahyu, bukan sekadar tradisi Arab. Hukum-hukum yang terkait dengan Tawaf sangat detail:
a. Niat dan Syarat: Tawaf memerlukan niat ibadah, harus dimulai dari Hajar Aswad, dan dilakukan tujuh putaran penuh. Menurut jumhur ulama, kesucian (suci dari hadas kecil dan besar) adalah syarat sah Tawaf, seperti halnya shalat, meskipun Abu Hanifah memandang kesucian sebagai wajib, bukan syarat sah (jika ditinggalkan, wajib membayar denda, tetapi tawafnya sah).
b. Hubungan Tawaf dan Shalat: Ayat 125 menempatkan Tawaf sebagai ibadah terpisah, namun diikuti oleh shalat (di Maqam Ibrahim). Ini menunjukkan bahwa di Baitullah, ada dua bentuk ibadah inti: Tawaf (gerakan vertikal mengelilingi) dan Shalat (gerakan horizontal menuju kiblat).
2. Fiqh I'tikaf (Berdiam Diri)
Penyebutan al-'Ākifīn (orang-orang yang i'tikaf) menguatkan bahwa Masjidil Haram adalah tempat terbaik untuk I'tikaf. Ayat ini memunculkan perdebatan fiqh mengenai lokasi I'tikaf:
a. I'tikaf di Masjidil Haram: Secara konsensus, I'tikaf di Masjidil Haram sah. Keutamaan I'tikaf di sana tak tertandingi karena mencakup seluruh area masjid, memungkinkan jamaah berada sangat dekat dengan Ka'bah.
b. Perbedaan dengan Masjid Lain: Beberapa ulama, berdasarkan interpretasi luas dari ayat ini yang menekankan penggunaan rumah Allah, membolehkan i’tikaf di masjid manapun, tetapi Ka’bah dan Masjidil Haram memiliki status istimewa sebagai “Rumah-Ku” (baytiya) yang disucikan khusus. Ini memberikan nilai spiritual yang jauh lebih besar.
3. Hak Prioritas di Masjidil Haram
Meskipun semua kelompok ini disebutkan, para ulama membahas hak siapa yang harus diprioritaskan jika terjadi kepadatan. Secara umum, karena tawaf adalah ibadah yang unik bagi Ka'bah (tidak bisa dilakukan di tempat lain), hak tawaf seringkali didahulukan, terutama selama musim haji, meskipun hak shalat dan i'tikaf juga mulia.
V. Sejarah dan Kedudukan Nabi Ibrahim dalam Ayat 125
Ayat ini secara eksplisit mengaitkan Ibrahim dan Ismail dengan pembangunan dan pensucian Ka'bah, menegaskan peran mereka sebagai pendiri monoteisme sejati dan arsitek Rumah Ibadah pertama di bumi.
1. Latar Belakang Pembangunan Ka'bah
Para sejarawan Islam berbeda pendapat mengenai apakah Ka'bah adalah bangunan pertama di tempat itu, atau apakah Ibrahim hanya meninggikan fondasi yang sudah ada. Pendapat yang dominan adalah bahwa Ibrahim dan Ismail membangun kembali fondasi (qawa'id) yang ditinggalkan sejak zaman Nabi Adam AS. Mereka bekerja sama, Ismail membantu mengangkut batu dan Ibrahim membangun.
Peran Maqam Ibrahim: Maqam Ibrahim menjadi bukti fisik dan historis dari upaya pembangunan tersebut. Jejak kaki di batu itu bukan sekadar keajaiban, tetapi penanda historis yang mengikat generasi Muslim masa kini dengan perjuangan Nabi Ibrahim.
2. Doa Ibrahim yang Terkabul
Ayat 125 harus dilihat bersamaan dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu doa-doa Nabi Ibrahim ketika menempatkan Ismail dan Hajar di lembah Makkah. Doa beliau memohon agar tempat tersebut dijadikan negeri yang aman, dikaruniai buah-buahan, dan agar keturunannya mendirikan shalat. Ayat 125 adalah jawaban Allah atas doa-doa tersebut: Ka'bah menjadi tempat aman (Amnan), pusat berkumpul (Mathabah), dan tempat shalat (Mushallan).
3. Millah Ibrahim (Agama Ibrahim)
Islam sering disebut sebagai Millah Ibrahim Hanifan (agama Ibrahim yang lurus). Ayat 125 menunjukkan bagaimana Islam mempertahankan dan menghidupkan kembali tradisi ibadah Nabi Ibrahim. Ritual tawaf, shalat di Maqam Ibrahim, dan pemeliharaan kesucian Ka'bah adalah manifestasi nyata dari keberlanjutan ajaran tauhid murni yang dimulai oleh Ibrahim.
VI. Analisis Linguistik dan Gaya Bahasa Qur'ani
Keindahan dan ketelitian ayat 125 juga terletak pada pemilihan katanya yang sangat spesifik dan sarat makna.
1. Penggunaan Kata "Al-Bayt" (Rumah Itu)
Allah menggunakan kata Al-Bayt dengan artikel definitif (Al-), menunjukkan bahwa Ka'bah adalah rumah yang sudah dikenal, rumah yang istimewa, dan unik. Dalam konteks ayat sebelumnya, Allah juga menyebutnya "Baytiya" (Rumah-Ku), menegaskan kepemilikan Ilahi dan statusnya yang sangat mulia.
2. Urutan Kata Kerja Tahāra
Perintah "ṭahhirā baytiya" menggunakan kata kerja dalam bentuk dual, secara tegas membagi tugas pensucian antara Ibrahim dan Ismail. Ini bukan hanya detail tata bahasa, melainkan pengakuan terhadap kontribusi Ismail, putra yang membantu dengan kesabaran dan ketaatan luar biasa.
3. Perbedaan antara Ṭawwāfīn dan ‘Ākifīn
Penggunaan pola jamak *mubalaghah* (intensif) seperti Ṭawwāfīn menunjukkan orang-orang yang sering dan berulang kali melakukan tawaf. Ini menekankan sifat ibadah yang terus-menerus dan berkelanjutan. Sementara itu, ‘Ākifīn merujuk pada mereka yang menetap dan berdiam diri, menekankan aspek ketenangan dan kontemplasi.
VII. Perspektif Tafsir Kontemporer Mengenai Amnan
Di era modern, konsep Amnan (keamanan) dalam Al-Baqarah 125 mendapatkan interpretasi yang lebih luas, melampaui keamanan fisik semata.
1. Keamanan Pangan dan Ekonomi
Beberapa mufasir kontemporer mengaitkan Amnan dengan jaminan ekonomi. Kota Makkah, yang secara geografis tandus, menjadi makmur karena statusnya yang aman dan sakral, menarik perdagangan dan jamaah haji. Ini mengajarkan bahwa keberkahan Ilahi (yang membawa keamanan dan kemakmuran) sering kali terkait erat dengan ketaatan terhadap perintah agama dan menjaga kesucian tempat ibadah.
2. Keamanan Ideologi
Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan ideologi yang bertentangan, Ka'bah berfungsi sebagai pusat keamanan ideologis. Ia adalah jangkar yang memastikan umat Islam di seluruh dunia tetap berpegang teguh pada tauhid. Siapapun yang datang ke sana, disarankan untuk meninggalkan pertikaian dan perbedaan, kembali kepada ajaran Islam yang murni, sehingga menciptakan keamanan dari kekacauan doktrinal.
VIII. Kedudukan Maqam Ibrahim dalam Ibadah Haji dan Umrah
Maqam Ibrahim bukan sekadar monumen, tetapi bagian integral dari ritual haji dan umrah. Kedudukannya sebagai Mushallan memperkuat setiap langkah yang diambil oleh jamaah.
1. Ritual Setelah Tawaf Ifadhah
Setelah melakukan Tawaf Ifadhah (tawaf rukun haji), jamaah wajib shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Ini adalah penutup dari Tawaf yang melambangkan pengakuan total terhadap kepemimpinan Ibrahim dan ketaatan kepada Allah. Keterkaitan antara Ka’bah (sebagai Rumah), Tawaf (sebagai ritual fisik), dan Maqam Ibrahim (sebagai tempat shalat) membentuk trilogi ibadah yang sempurna.
2. Penghormatan tanpa Penyembahan
Penting untuk ditekankan bahwa Maqam Ibrahim dihormati karena fungsinya sebagai penanda sejarah ibadah dan tempat shalat, bukan sebagai objek penyembahan. Islam sangat tegas membedakan antara pengagungan terhadap peninggalan Nabi dengan tindakan syirik. Ayat 125 memastikan bahwa pengagungan tersebut tetap berorientasi pada Allah SWT (sebagai kiblat shalat), dan bukan kepada batu atau jejak kaki itu sendiri.
IX. Sintesis: Ka'bah sebagai Sumbu Kosmis dan Etika
Ayat 125, dengan tiga perintah dan penegasannya, menyajikan Ka'bah bukan hanya sebagai pusat fisik, tetapi sebagai sumbu etika dan kosmis bagi umat Islam.
1. Sumbu Etika: Kesucian dan Niat
Perintah pensucian (ṭahhirā baytiya) mengajarkan etika tertinggi. Jika rumah fisik harus bersih untuk ibadah, maka hati, niat, dan harta yang digunakan untuk perjalanan haji atau umrah harus jauh lebih bersih. Etika ini menuntut jamaah untuk memastikan sumber rezeki mereka halal dan niat mereka murni karena Allah semata.
2. Sumbu Kosmis: Qibla Global
Meskipun Maqam Ibrahim secara fisik adalah tempat shalat spesifik setelah tawaf, Ka'bah itu sendiri adalah Qibla global yang menghubungkan seluruh Muslim di lima benua. Di mana pun seorang Muslim melakukan rukuk dan sujud (rukka’i l-sujūd), ia secara spiritual terhubung dengan Baitullah yang disucikan oleh Ibrahim dan Ismail.
Al-Baqarah 125 adalah manifestasi abadi dari perjanjian antara Allah dan manusia yang dilakukan melalui para nabi-Nya. Ia menjelaskan bahwa ibadah adalah sebuah sistem terpadu: Ka’bah menyediakan tempat yang aman dan sentral, Tawaf dan I'tikaf menyediakan cara untuk mendekat secara fisik dan spiritual, dan shalat di Maqam Ibrahim mengaitkan praktik kontemporer dengan akar sejarah tauhid. Keabadian ayat ini menjamin bahwa selama ada Muslim di muka bumi, Baitullah akan tetap menjadi tempat kembali, keamanan, dan pensucian.