Konsep merongrong memiliki resonansi yang dalam dan menakutkan dalam konteks tata kelola negara, stabilitas sosial, dan ketahanan ekonomi. Ia bukan sekadar kata kerja yang menggambarkan pelemahan, namun sebuah proses sistemik yang terjadi secara perlahan, tersembunyi, dan seringkali tidak terdeteksi hingga kerusakan mencapai tahap yang tidak dapat diperbaiki. Merongrong adalah tindakan atau kondisi yang secara subtil menggerogoti fondasi struktural, etika, dan kepercayaan yang menopang suatu entitas, baik itu institusi politik, norma masyarakat, maupun integritas pribadi. Kata ini membawa beban makna yang jauh lebih berat daripada sekadar 'melemahkan', karena ia menyiratkan adanya niat, baik secara sadar atau melalui kelalaian kolektif, untuk menghancurkan dari dalam, memanfaatkan kerentanan internal sebagai titik serangan utama.
Dalam sejarah peradaban manusia, kehancuran besar jarang datang dari serangan frontal yang spektakuler. Sebaliknya, kejatuhan seringkali dipicu oleh proses merongrong yang akumulatif: erosi kepercayaan, korupsi yang melumpuhkan moralitas publik, dan ketidakmampuan elit untuk menanggapi kebutuhan dasar rakyat. Proses ini ibarat rayap yang memakan kayu pondasi; struktur tampak kokoh dari luar, namun di dalamnya telah keropos, siap runtuh oleh guncangan kecil. Memahami spektrum penuh dari fenomena merongrong adalah langkah kritis pertama dalam membangun benteng pertahanan yang tangguh, bukan hanya terhadap ancaman eksternal, tetapi terutama terhadap bahaya yang tumbuh subur di dalam diri kita sendiri.
Artikel ini akan membedah secara komprehensif bagaimana proses merongrong ini bekerja di berbagai dimensi—politik, sosial, ekonomi, bahkan psikologis—dan bagaimana kita dapat mengenali serta menanggulangi gelombang erosi senyap ini. Kedalaman analisis diperlukan karena sifat merongrong yang tidak linier; ia tidak selalu mengikuti jalur logika kausal yang jelas, melainkan menyebar seperti infeksi yang memanfaatkan sistem sirkulasi inangnya untuk menyebarkan penyakit. Kita perlu melihat jauh melampaui manifestasi permukaan untuk memahami akar masalahnya, yaitu kegagalan etika dan sistematis yang memungkinkan proses desintegrasi ini berlanjut tanpa hambatan. Keberlanjutan suatu sistem, entah itu sebuah negara atau komunitas, sangat bergantung pada kapasitasnya untuk melawan proses merongrong yang tak terhindarkan ini, menjadikannya tantangan abadi bagi setiap generasi yang memikul tanggung jawab atas masa depan.
Ilustrasi 1: Pilar yang Retak. Merongrong adalah proses tersembunyi yang membuat struktur tampak kokoh namun rapuh di dalamnya.
Dalam lanskap politik, tindakan merongrong memiliki berbagai bentuk, namun yang paling berbahaya adalah yang menyasar pada integritas sistem pengambilan keputusan dan supremasi hukum. Ketika kita berbicara tentang merongrong negara dari dalam, kita tidak hanya membayangkan upaya kudeta militer secara terbuka, melainkan serangkaian manuver birokratis dan yudisial yang bertujuan mengamankan kekuasaan dan kekayaan pribadi dengan mengorbankan kepentingan publik. Proses ini dimulai ketika individu atau kelompok yang memiliki posisi strategis mulai menggunakan instrumen negara, yang seharusnya melayani rakyat, sebagai alat untuk kepentingan mereka sendiri. Pemanfaatan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi, manipulasi peraturan untuk mengeliminasi pesaing politik, dan pelemahan sengaja terhadap lembaga pengawas independen adalah contoh nyata dari bagaimana fondasi demokrasi dapat secara sistematis dimerongrong tanpa menimbulkan gejolak besar di permukaan.
Korupsi, dalam konteks ini, adalah senjata utama dalam proses merongrong. Ia bukan sekadar pencurian uang, melainkan penghancuran moralitas dan keadilan. Korupsi yang bersifat sistemik menciptakan lingkaran setan di mana pelaku kejahatan mampu melindungi diri mereka sendiri dengan cara menmerongrong lembaga penegak hukum dan peradilan. Ketika hakim, jaksa, atau aparat kepolisian dapat dibeli, maka supremasi hukum menjadi ilusi. Kepercayaan masyarakat terhadap keadilan akan terkikis habis, digantikan oleh sinisme yang mendalam, dan inilah yang sesungguhnya menjadi puncak dari keberhasilan proses merongrong. Negara kemudian tidak lagi dipandang sebagai entitas pelindung, melainkan sebagai mesin opresif yang melayani segelintir oligarki. Efek jangka panjang dari kondisi ini adalah terciptanya polarisasi akut, di mana sebagian besar rakyat merasa teralienasi dari struktur kekuasaan yang seharusnya mewakili mereka. Kerentanan yang dihasilkan oleh erosi ini menjadi lahan subur bagi ideologi ekstrem dan gerakan separatis, yang melihat kelemahan moral negara sebagai kesempatan emas untuk melakukan fragmentasi lebih lanjut. Mereka yang berupaya merongrong tahu betul bahwa kehancuran internal lebih efektif daripada invasi eksternal, karena ia menghancurkan keinginan kolektif untuk melawan.
Proses merongrong juga terlihat jelas dalam upaya penyesuaian regulasi secara diam-diam. Peraturan yang dibuat seolah-olah untuk efisiensi atau modernisasi, padahal sebenarnya ditujukan untuk memberikan monopoli atau keuntungan eksklusif kepada kelompok tertentu, adalah bentuk merongrong kedaulatan ekonomi rakyat. Kebijakan yang tidak transparan, yang dibuat di balik pintu tertutup tanpa konsultasi publik yang berarti, menunjukkan bahwa mekanisme check and balance telah lumpuh. Legislasi yang seharusnya menjadi benteng perlindungan, malah menjadi alat legalisasi perampasan aset publik. Ini adalah serangan terhadap tata kelola yang baik, di mana transparansi dan akuntabilitas digantikan oleh kekaburan dan impunitas. Ketika badan legislatif dan eksekutif berkolusi dalam skema ini, proses merongrong bergerak cepat, menghancurkan fondasi etika birokrasi yang dibutuhkan untuk menjalankan negara secara adil. Tanpa etika ini, setiap keputusan publik berpotensi menjadi transaksi yang merugikan rakyat banyak, dan masyarakat mulai terbiasa dengan norma bahwa 'siapa yang kuat dialah yang benar', mempercepat laju desintegrasi moral.
Salah satu taktik paling efektif untuk merongrong struktur negara adalah dengan melemahkan lembaga-lembaga pengawas independen. Lembaga seperti komisi antikorupsi, ombudsman, atau badan audit publik, dirancang sebagai katup pengaman sistem. Upaya untuk merongrong lembaga-lembaga ini dapat dilakukan melalui berbagai cara yang canggih: mulai dari pemotongan anggaran yang drastis, intervensi politik dalam proses seleksi kepemimpinan, hingga kriminalisasi terhadap personel yang terlalu vokal. Ketika lembaga-lembaga ini berhasil dikontrol atau dilumpuhkan, maka tidak ada lagi hambatan signifikan bagi kelompok yang ingin merongrong kekayaan negara. Impunitas kemudian menjadi norma, mengirimkan pesan yang jelas kepada masyarakat bahwa ada kelas warga negara yang kebal hukum, sementara yang lain tunduk pada aturan. Implikasi dari impunitas ini sangat besar: ia menghilangkan insentif bagi pejabat publik untuk bertindak etis dan malah mendorong mereka untuk bergabung dalam jaringan koruptif, sehingga proses merongrong menjadi semakin masif dan terstruktur.
Upaya untuk merongrong otoritas moral lembaga-lembaga ini seringkali didukung oleh kampanye disinformasi yang sistematis. Narasi publik dibangun untuk mendiskreditkan pengawas, menuduh mereka memiliki agenda politik tersembunyi atau bias ideologis. Teknik ini—sering disebut sebagai ‘perang narasi’—sangat efektif dalam masyarakat yang sudah terpolarisasi. Ketika kebenaran menjadi relatif dan fakta dipertanyakan, upaya penegakan hukum dan etika akan kehilangan legitimasinya di mata publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa merongrong tidak hanya terjadi di ruang rapat tertutup, tetapi juga di ruang publik digital, di mana persepsi dipintal sedemikian rupa sehingga kejahatan sistematis terlihat seperti kecelakaan atau bahkan dituduh sebagai fiksi. Masyarakat yang tidak lagi percaya pada institusi yang seharusnya menjaga mereka akan kehilangan semangat untuk membela kebenaran, dan pada titik inilah, fondasi negara telah dimerongrong hingga ambang batas kehancuran kolektif. Tanpa kepercayaan, bahkan konstitusi yang paling sempurna pun hanya akan menjadi lembaran kertas yang tak berarti.
Fenomena merongrong tidak terbatas pada urusan negara; ia memiliki manifestasi yang sama destruktifnya dalam ranah sosial. Inti dari ketahanan sosial adalah kepercayaan—kepercayaan antarwarga, kepercayaan pada lembaga komunitas, dan kepercayaan bahwa ada dasar moralitas bersama yang dipegang teguh. Sayangnya, di era digital, proses merongrong terhadap modal sosial ini terjadi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama melalui proliferasi informasi palsu dan kampanye polarisasi yang didorong oleh algoritma. Hoaks dan disinformasi tidak hanya salah; tujuannya adalah untuk menghancurkan konsensus dasar tentang realitas. Ketika dua kelompok masyarakat tidak lagi setuju tentang fakta dasar—misalnya, siapa yang berhak memimpin atau apa yang merupakan kejahatan—maka dialog rasional menjadi mustahil. Masyarakat yang terfragmentasi adalah masyarakat yang rentan terhadap upaya merongrong, karena energi kolektifnya habis terkuras dalam konflik internal, alih-alih digunakan untuk pembangunan atau pertahanan diri.
Proses polarisasi adalah mekanisme utama dalam upaya merongrong masyarakat sipil. Dengan membagi populasi menjadi ‘kita’ (yang benar) dan ‘mereka’ (musuh atau pihak yang salah), narasi-narasi kebencian dilegitimasi. Polarisasi yang tajam ini melemahkan kemampuan masyarakat untuk mencari titik temu dan kompromi, yang merupakan inti dari kehidupan demokratis yang sehat. Setiap isu, sekecil apa pun, diubah menjadi medan pertempuran ideologis. Media sosial, meskipun merupakan alat komunikasi, seringkali dimanfaatkan sebagai katalisator untuk merongrong kohesi sosial, karena ia mempromosikan konten yang memicu emosi kuat dan memecah belah, demi meningkatkan engagement. Jaringan-jaringan bot dan akun palsu bekerja secara sistematis untuk menyuntikkan narasi perpecahan ini ke dalam perbincangan publik, menciptakan ilusi konflik yang lebih besar daripada realitasnya. Ini adalah bentuk merongrong psikologis terhadap kesadaran kolektif, membuat setiap orang menjadi curiga terhadap tetangganya dan tetangganya menjadi curiga terhadap setiap orang.
Selain politik, nilai-nilai kolektif yang menjadi perekat masyarakat juga menjadi sasaran upaya merongrong. Solidaritas sosial, semangat gotong royong, dan kepedulian terhadap lingkungan digantikan oleh individualisme yang ekstrem dan konsumerisme yang tak terbatas. Ketika nilai-nilai yang mendasari rasa komunitas mulai luntur, masyarakat menjadi sekumpulan individu yang terisolasi, mudah dipecah belah, dan rentan terhadap manipulasi. Merongrong dalam konteks ini berarti memasukkan ideologi yang menihilkan pentingnya pengorbanan kolektif atau tanggung jawab bersama. Misalnya, menanamkan gagasan bahwa hanya kesuksesan pribadi yang penting, tanpa memedulikan bagaimana kesuksesan tersebut dicapai, adalah cara merongrong etika kerja dan keadilan sosial. Konsekuensi dari erosi nilai ini adalah munculnya apatisme politik. Masyarakat yang lelah dan sinis akan berhenti berpartisipasi dalam proses demokrasi, memberikan ruang kosong bagi para elit yang berupaya merongrong sistem untuk berkuasa tanpa hambatan.
Kegagalan institusi pendidikan dan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai dasar juga menjadi faktor yang sangat penting dalam proses merongrong. Jika generasi muda tidak diajarkan berpikir kritis, menghargai sejarah, atau memiliki pemahaman mendalam tentang konsekuensi etika dari tindakan mereka, mereka akan menjadi sasaran empuk bagi propaganda yang memecah belah. Pendidikan yang hanya berorientasi pada teknis dan ekonomi, tanpa diimbangi dengan pendidikan karakter dan kewarganegaraan, secara tidak sengaja membantu proses merongrong fondasi moral bangsa. Pendidikan yang seimbang adalah pertahanan pertama terhadap upaya desintegrasi yang dilakukan melalui narasi palsu dan ideologi yang merusak. Ketika kita mengabaikan pentingnya etika dan sejarah, kita secara sukarela menyerahkan masa depan pada kekuatan-kekuatan yang bertekad untuk merongrong kohesi kita. Oleh karena itu, revitalisasi pendidikan berbasis nilai adalah sebuah imperatif, bukan sekadar pilihan, untuk menghadapi ancaman sistemik ini.
Ilustrasi 2: Tangan yang Terpisah. Merongrong kepercayaan sosial melalui disinformasi dan perpecahan artifisial.
Pada tingkat ekonomi, proses merongrong beroperasi melalui erosi nilai mata uang, akumulasi utang yang tidak berkelanjutan, dan yang paling krusial, melalui praktik rent-seeking (pencarian rente) yang dilegalkan. Perekonomian yang sedang dimerongrong mungkin menunjukkan angka pertumbuhan yang tinggi di permukaan, namun pertumbuhan tersebut tidak didistribusikan secara merata. Sebaliknya, ia memusatkan kekayaan di tangan segelintir kecil orang yang memiliki akses politik, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam jebakan upah rendah dan utang. Ini bukan sekadar ketidakadilan, tetapi strategi sistematis untuk menmerongrong potensi ekonomi nasional secara keseluruhan. Ketika aset-aset strategis dialihkan kepada pihak swasta dengan cara yang tidak transparan, atau ketika insentif pajak diberikan secara eksklusif kepada korporasi besar tanpa manfaat yang jelas bagi publik, ini adalah manifestasi konkret dari proses merongrong yang menguras kekayaan kolektif.
Utang publik yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang tidak produktif, yang hanya menguntungkan kontraktor tertentu, juga merupakan bentuk merongrong masa depan ekonomi. Utang tersebut tidak hanya membebani generasi mendatang, tetapi juga membatasi ruang fiskal negara untuk berinvestasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial. Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan ketergantungan ekonomi yang mendalam pada modal asing, yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai alat tekanan politik. Kelompok yang berupaya merongrong sangat ahli dalam memanipulasi kebijakan moneter dan fiskal untuk kepentingan mereka sendiri, seringkali menggunakan terminologi ekonomi yang rumit untuk menyembunyikan transfer kekayaan dari publik ke kantong pribadi. Ketika para pembuat kebijakan lebih loyal kepada pasar modal global atau jaringan bisnis tertentu daripada kepada warga negara, maka proses merongrong telah berhasil menggantikan prioritas nasional dengan agenda transaksional.
Ketimpangan struktural adalah hasil akhir dari proses merongrong ekonomi yang berkepanjangan. Ketika kesempatan tidak lagi didasarkan pada meritokrasi tetapi pada koneksi dan warisan, mobilitas sosial akan terhenti. Sistem yang secara inheren tidak adil ini menciptakan kebencian dan rasa ketidakberdayaan di kalangan masyarakat luas. Meskipun terlihat seperti masalah sosial, ketimpangan ini adalah bom waktu ekonomi. Sebuah populasi yang miskin dan berpendidikan rendah adalah pasar yang lemah dan tidak mampu menjadi mesin inovasi atau konsumsi yang berkelanjutan. Upaya merongrong ini bersifat jangka panjang dan menghasilkan kerusakan yang sulit diperbaiki, karena ia merusak struktur sosial yang dibutuhkan untuk menciptakan perekonomian yang sehat. Kita harus menyadari bahwa keadilan ekonomi bukan sekadar cita-cita moral, tetapi prasyarat mutlak untuk ketahanan dan stabilitas nasional, dan setiap upaya untuk merongrong keadilan ini sama dengan mengundang kehancuran finansial dan sosial secara bersamaan. Keberhasilan suatu bangsa ditentukan oleh seberapa meratanya kesejahteraan, bukan hanya oleh seberapa kaya segelintir orang di puncaknya.
Di samping ancaman dari oligarki besar, proses merongrong juga terjadi melalui pertumbuhan ekosistem bisnis informal yang tidak diatur. Meskipun sektor informal sering dipandang sebagai solusi bagi pengangguran, jika dibiarkan tumbuh tanpa regulasi yang memadai, ia dapat merongrong basis pajak negara dan melumpuhkan sistem perlindungan sosial bagi pekerja. Kepatuhan terhadap hukum, standar keselamatan, dan pembayaran pajak menjadi opsional, menciptakan persaingan tidak sehat dengan sektor formal yang patuh. Kondisi ini melemahkan kemampuan negara untuk menyediakan layanan publik esensial, karena sumber pendanaan utama (pajak) terus menerus dimerongrong oleh sistem yang tidak terintegrasi. Meskipun solusinya memerlukan pendekatan yang inklusif, mengabaikan masalah ini hanya akan mempercepat desentralisasi kewenangan fiskal dan moral negara, membuat tata kelola ekonomi semakin kacau. Ketika aturan hukum hanya berlaku bagi yang lemah, sementara yang kuat beroperasi dalam bayangan, sistem secara keseluruhan telah berhasil dimerongrong.
Selain itu, manipulasi pasar dan spekulasi yang berlebihan adalah mekanisme merongrong yang modern. Penggunaan informasi orang dalam (insider trading) dan skema Ponzi yang canggih tidak hanya merugikan investor individual, tetapi juga menmerongrong integritas pasar keuangan. Ketika pasar dipandang sebagai kasino yang dimanipulasi oleh segelintir pemain, maka modal yang seharusnya diinvestasikan dalam produksi riil malah ditarik keluar, menyebabkan stagnasi dan ketidakpastian ekonomi. Penegakan hukum yang lemah terhadap kejahatan kerah putih ini memberikan sinyal bahwa kecurangan adalah bagian dari permainan, yang semakin mempercepat proses merongrong kepercayaan publik terhadap mekanisme kapitalisme yang adil dan transparan. Tanpa kepercayaan, pasar keuangan akan menjadi sarang spekulasi, bukan mesin pertumbuhan yang berkelanjutan, dan inilah tanda paling jelas bahwa sistem ekonomi telah mengalami erosi moral yang parah.
Ranah budaya adalah medan pertempuran senyap di mana proses merongrong dapat bekerja paling efektif, karena ia menyasar pada jiwa kolektif dan definisi diri suatu bangsa. Globalisasi, meskipun membawa manfaat konektivitas, juga membawa risiko homogenisasi budaya yang dapat menmerongrong identitas lokal dan nilai-nilai tradisional. Ketika narasi budaya asing mendominasi media, hiburan, dan pendidikan, terjadi pelemahan bertahap terhadap apresiasi dan pelestarian warisan budaya sendiri. Ini bukan penolakan terhadap pengaruh eksternal, melainkan hilangnya daya tahan untuk mempertahankan kekhasan, yang pada gilirannya menghasilkan krisis identitas. Generasi muda mungkin mulai merasa asing di tanah air mereka sendiri, atau menganggap budaya lokal sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan, yang secara efektif merongrong kesinambungan sejarah dan kearifan lokal yang telah terakumulasi selama berabad-abad.
Proses merongrong identitas juga melibatkan penggunaan teknologi untuk mempromosikan relativisme moral yang ekstrem, di mana semua nilai dianggap setara dan tidak ada standar etika yang mengikat. Meskipun pluralisme adalah ciri masyarakat yang sehat, relativisme yang kebablasan dapat menmerongrong kemampuan masyarakat untuk membuat penilaian moral yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan sipil. Ketika batas antara yang benar dan salah menjadi kabur, maka mudah bagi praktik koruptif atau ketidakadilan sistemik untuk dinormalisasi. Lebih lanjut, munculnya ‘budaya pembatalan’ (cancel culture) atau serangan naratif yang masif terhadap individu atau kelompok, meskipun kadang didasarkan pada kritik yang valid, juga dapat menjadi alat untuk merongrong kebebasan berekspresi dan menciptakan iklim ketakutan, di mana orang enggan menyuarakan pandangan yang berbeda. Lingkungan yang didominasi ketakutan dan sensor diri adalah lingkungan yang mudah diatur oleh kekuatan yang berupaya merongrong oposisi intelektual dan keberanian sipil.
Selain itu, merongrong budaya juga terjadi ketika narasi sejarah dimanipulasi atau dihilangkan sama sekali. Sejarah adalah memori kolektif yang memberikan pelajaran dan fondasi bagi identitas masa kini. Upaya sistematis untuk menmerongrong atau memalsukan catatan sejarah, seringkali demi tujuan politik jangka pendek, adalah serangan langsung terhadap kesadaran nasional. Tanpa pemahaman yang jujur tentang perjuangan dan kesalahan masa lalu, masyarakat cenderung mengulangi siklus yang sama. Pemalsuan sejarah ini dapat disisipkan ke dalam kurikulum pendidikan atau melalui propaganda media yang terus menerus, menciptakan generasi yang kehilangan akar dan mudah diombang-ambingkan oleh narasi apa pun yang disajikan oleh kekuasaan. Sebuah bangsa yang telah kehilangan ingatannya adalah bangsa yang telah berhasil dimerongrong dari dalam, karena ia kehilangan kompas moral dan historisnya untuk menavigasi masa depan yang kompleks. Kehilangan memori ini adalah kegagalan tragis dalam upaya kolektif untuk memahami siapa mereka dan mengapa mereka penting dalam skema besar dunia.
Bahasa adalah alat esensial untuk kohesi dan transmisi nilai. Upaya merongrong dapat menyasar kualitas bahasa melalui penyederhanaan berlebihan, penggunaan jargon yang eksklusif, atau pengabaian tata bahasa dan logika. Ketika bahasa publik didominasi oleh slogan-slogan kosong, hiperbola, dan penghinaan yang tidak substantif, kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam diskusi yang bernalar dan rasional akan terdegradasi. Ini adalah bentuk merongrong kemampuan berpikir kritis. Jargon teknokratis yang terlalu rumit, yang hanya dipahami oleh kelompok elit, juga secara efektif menmerongrong partisipasi publik dalam pengambilan keputusan penting, karena rakyat biasa tidak lagi memiliki bahasa untuk menanyakan atau mempertanyakan kebijakan yang dibuat atas nama mereka. Komunikasi yang tidak jelas dan manipulatif adalah ciri khas dari sistem yang sedang dimerongrong, karena ketidakjelasan memfasilitasi penyembunyian kebenaran dan memungkinkan pelaku korupsi untuk beroperasi di balik tirai terminologi yang membingungkan. Menjaga kejelasan, ketepatan, dan kejujuran dalam bahasa publik adalah pertahanan penting terhadap erosi ini.
Kesimpulannya, perlawanan terhadap merongrong harus dimulai dari penguatan kembali identitas, nilai, dan sejarah. Ini membutuhkan investasi serius dalam pendidikan berbasis humaniora, promosi budaya lokal, dan penegasan kembali standar moral yang kokoh. Tanpa fondasi budaya yang kuat, upaya apa pun untuk memperbaiki politik atau ekonomi akan bersifat dangkal dan rentan terhadap serangan balik dari kekuatan-kekuatan desintegratif. Kita harus memahami bahwa budaya adalah pondasi, dan ketika pondasi itu dimerongrong, seluruh bangunan peradaban akan runtuh tanpa memerlukan dorongan dari luar.
Dalam ranah keamanan, proses merongrong telah bertransformasi dari ancaman militer konvensional menjadi serangan hibrida dan non-konvensional yang jauh lebih sulit dideteksi. Proses merongrong ini tidak menggunakan tank atau rudal, melainkan memanfaatkan kerentanan siber, propaganda yang canggih, dan eksploitasi perpecahan internal. Ancaman siber, misalnya, adalah bentuk merongrong yang paling modern. Serangan terhadap infrastruktur kritis negara—jaringan listrik, sistem perbankan, atau data pemerintah—bertujuan untuk melumpuhkan fungsi dasar negara tanpa perlu melakukan invasi fisik. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan siber dapat menyebabkan kekacauan ekonomi dan sosial yang signifikan, yang pada gilirannya akan menmerongrong kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah untuk melindungi mereka.
Selain itu, operasi pengaruh asing (foreign influence operations) adalah taktik klasik untuk merongrong kedaulatan politik suatu negara. Ini melibatkan pendanaan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok politik tertentu, manipulasi media lokal, atau penyebaran narasi yang mendukung kepentingan negara asing. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan domestik negara tersebut diselaraskan dengan agenda pihak luar, bahkan jika itu merugikan kepentingan nasional. Proses merongrong ini seringkali tidak terdeteksi karena disamarkan sebagai diplomasi, investasi, atau pertukaran budaya. Namun, dampaknya adalah erosi bertahap terhadap kemampuan pengambilan keputusan yang independen, menjadikan negara tersebut rentan terhadap kendali eksternal. Perlawanan terhadap operasi pengaruh ini membutuhkan transparansi yang ekstrem dalam pendanaan politik dan kewaspadaan yang tinggi terhadap sumber informasi yang dikonsumsi publik.
Upaya merongrong keamanan juga sering berfokus pada eksploitasi kerentanan internal, seperti isu etnis, agama, atau regionalisme yang belum terselesaikan. Agen-agen yang berupaya menmerongrong dapat menyuntikkan dana dan senjata ke dalam konflik lokal yang sudah ada, mengubah perselisihan kecil menjadi perang proksi yang berlarut-larut. Tujuan dari taktik ini adalah untuk menjaga negara dalam keadaan ketidakstabilan permanen, menguras sumber daya militer dan ekonomi, dan mencegah fokus pemerintah pada pembangunan jangka panjang. Ketika negara harus terus menerus memadamkan api konflik internal yang dipicu secara eksternal, energinya akan habis. Ini adalah strategi merongrong yang sangat efektif karena ia menggunakan warga negara untuk melawan warga negara lainnya, menciptakan kehancuran internal tanpa meninggalkan sidik jari pihak luar yang jelas. Analisis mendalam menunjukkan bahwa banyak konflik domestik memiliki dimensi merongrong yang tersembunyi, di mana pihak luar berperan sebagai katalisator kekacauan.
Penting untuk dipahami bahwa merongrong pertahanan tidak hanya berarti melemahkan militer, tetapi juga melemahkan kesadaran bela negara dan semangat patriotisme di kalangan masyarakat. Jika rakyat menjadi apatis atau sinis terhadap negara mereka sendiri, mereka akan kehilangan kemauan untuk membela kedaulatan. Propaganda yang terus-menerus menyoroti kelemahan dan kegagalan negara, tanpa memberikan konteks atau solusi konstruktif, berkontribusi pada proses merongrong moral. Pertahanan nasional yang sejati tidak hanya terletak pada persenjataan canggih, tetapi pada persatuan dan kemauan kolektif untuk membela nilai-nilai bersama. Ketika kesatuan ini dimerongrong, seluruh sistem pertahanan menjadi rapuh. Oleh karena itu, membangun ketahanan informasi dan mempromosikan literasi media adalah garis depan pertahanan melawan serangan merongrong modern yang berbasis narasi dan psikologis.
Aspek yang paling halus dan sering terabaikan dari fenomena merongrong adalah dampaknya pada kondisi psikologis kolektif suatu bangsa. Ketika proses desintegrasi politik, sosial, dan ekonomi berlangsung dalam jangka waktu yang lama, ia menghasilkan dua reaksi psikologis utama yang sama-sama merusak: sinisme ekstrem dan apatisme yang meluas. Sinisme adalah keyakinan bahwa semua pejabat publik dan institusi pada dasarnya korup atau tidak mampu, dan bahwa tidak ada upaya perbaikan yang akan berhasil. Sinisme ini sangat efektif dalam proses merongrong karena ia melumpuhkan inisiatif reformasi. Mengapa seseorang harus berjuang melawan korupsi jika ia sudah yakin bahwa sistem itu sendiri tidak dapat diperbaiki? Sinisme menmerongrong semangat aktivisme dan partisipasi sipil, meninggalkan arena publik terbuka bagi mereka yang berniat jahat.
Apatisme, di sisi lain, adalah keadaan kelelahan mental yang timbul dari paparan terus-menerus terhadap ketidakadilan, disinformasi, dan kegagalan sistem. Masyarakat yang terus menerus dibombardir dengan berita buruk, janji palsu, dan konflik yang tak berkesudahan akan mencapai titik saturasi psikologis. Mereka menarik diri dari urusan publik, berfokus hanya pada kelangsungan hidup pribadi dan keluarga. Keadaan ‘kelelahan demokrasi’ ini adalah tanda bahwa proses merongrong telah mencapai level sukses yang tinggi. Kekuatan yang ingin merongrong tidak perlu mengalahkan rakyat; mereka hanya perlu membuat rakyat lelah hingga menyerah. Apatisme massal ini menjamin bahwa tidak akan ada oposisi yang terorganisir terhadap kebijakan-kebijakan yang merusak, memfasilitasi penguatan kekuasaan otoriter yang bertopengkan legalitas formal.
Kondisi yang dimerongrong secara psikologis juga terlihat dari peningkatan gangguan kecemasan dan depresi yang disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi dan ketidakstabilan sosial. Ketika masyarakat merasa masa depan mereka tidak terjamin dan mereka tidak dapat lagi mempercayai institusi yang seharusnya melindungi mereka, tingkat stres kolektif akan melonjak. Peningkatan penggunaan mekanisme pelarian, seperti penyalahgunaan zat atau kecanduan digital yang berlebihan, adalah indikasi bahwa masyarakat sedang mencari cara untuk mengatasi realitas yang terasa suram. Kesehatan mental yang buruk secara kolektif akan menmerongrong produktivitas, inovasi, dan kemampuan adaptasi suatu bangsa. Ini adalah lingkaran setan: sistem yang korup menyebabkan stres, yang kemudian melemahkan kapasitas masyarakat untuk melawan korupsi, mempercepat laju desintegrasi.
Untuk melawan merongrong di level psikologis, dibutuhkan pembangunan kembali ‘optimisme berbasis realitas’ dan penegasan kembali agensi personal dan kolektif. Ini berarti menciptakan ruang di mana masyarakat dapat melihat dan mengalami keberhasilan, sekecil apa pun, dalam melawan ketidakadilan. Ini juga memerlukan investasi dalam literasi emosional dan kesehatan mental sebagai bagian integral dari ketahanan nasional. Ketika individu merasa berdaya dan terhubung dalam komunitas yang suportif, mereka cenderung kurang rentan terhadap sinisme dan apatisme. Menolak untuk menyerah pada keputusasaan adalah tindakan perlawanan fundamental terhadap kekuatan yang ingin merongrong semangat kolektif kita. Kita harus menyadari bahwa harapan bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan strategis dalam menghadapi ancaman desintegrasi sistemik.
Menghadapi proses merongrong yang multipolar dan subtil, strategi mitigasi tidak boleh bersifat reaktif saja, tetapi harus proaktif dan komprehensif, menyasar pada penguatan fondasi etika dan struktural. Ini memerlukan pendekatan yang terintegrasi, melibatkan reformasi politik, pendidikan karakter, dan revitalisasi partisipasi sipil. Inti dari perlawanan terhadap merongrong adalah pembangunan kembali kepercayaan—kepercayaan pada institusi, pada sesama warga, dan pada proses demokrasi itu sendiri. Tanpa kepercayaan yang kuat, setiap upaya reformasi akan dianggap sebagai upaya kosmetik belaka, dan siklus sinisme akan terus berlanjut.
Langkah paling penting dalam melawan merongrong politik adalah menerapkan transparansi radikal dalam setiap aspek tata kelola. Transparansi tidak hanya berarti mempublikasikan data; ia berarti membuat data tersebut dapat diakses, dipahami, dan diverifikasi oleh publik. Setiap keputusan pengadaan, setiap alokasi anggaran, dan setiap proses legislasi harus dibuka sepenuhnya. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menciptakan platform yang memungkinkan warga negara memantau dan mengaudit kinerja pemerintah secara real-time. Transparansi radikal ini berfungsi sebagai disinfektan; merongrong tumbuh subur dalam kegelapan dan kerahasiaan, dan ia akan layu di bawah cahaya pengawasan publik yang intens. Selain itu, reformasi sistem peradilan untuk memastikan independensinya adalah prasyarat mutlak. Lembaga penegak hukum yang tidak takut dan tidak dapat diintervensi politik adalah benteng utama melawan upaya merongrong dari elit yang korup.
Selain transparansi, penting untuk membangun sistem pelaporan dan perlindungan bagi whistleblower (pelapor pelanggaran). Para whistleblower adalah garis pertahanan internal pertama melawan merongrong. Mereka seringkali memiliki informasi kunci tentang praktik korupsi, tetapi terintimidasi oleh risiko balasan. Negara harus menciptakan mekanisme hukum yang kuat dan budaya organisasi yang menghargai keberanian moral. Ketika pegawai negeri merasa aman untuk melaporkan kejahatan yang mereka lihat, proses merongrong akan menjadi jauh lebih sulit untuk disembunyikan. Pemberdayaan masyarakat sipil dan media independen juga merupakan bagian integral dari strategi ini. Masyarakat yang aktif, kritis, dan memiliki sumber daya yang memadai adalah mitra penting dalam pengawasan. Mereka dapat memberikan tekanan balik yang diperlukan ketika institusi formal gagal menjalankan tugas mereka, menciptakan ekosistem akuntabilitas yang berlapis-lapis dan sulit untuk ditembus oleh upaya merongrong yang terstruktur.
Untuk melawan merongrong di ranah sosial dan budaya, kita harus berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan karakter dan literasi kritis. Pendidikan harus bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga memiliki integritas moral dan kemampuan untuk membedakan fakta dari fiksi. Literasi media harus diajarkan sejak dini, membekali individu dengan alat untuk menganalisis narasi, mengidentifikasi bias, dan menolak propaganda yang memecah belah. Ini adalah pertahanan terhadap merongrong psikologis yang dilakukan melalui disinformasi. Selain itu, penting untuk mempromosikan sejarah dan budaya lokal secara kritis, memastikan bahwa identitas kolektif dibangun di atas pemahaman yang jujur tentang kekuatan dan kelemahan warisan bangsa.
Pendidikan yang berbasis etika akan menanamkan pemahaman bahwa tanggung jawab sipil melampaui kepentingan pribadi. Ketika setiap individu memahami peran mereka dalam menjaga integritas sistem, maka merongrong akan menemui hambatan di setiap level. Kita harus mengajarkan generasi mendatang bahwa harga kemerdekaan dan keadilan adalah kewaspadaan abadi, dan bahwa mempertahankan fondasi etika negara adalah tugas sehari-hari, bukan hanya tugas para politisi. Masyarakat yang terdidik secara etis dan kritis adalah benteng yang paling kokoh melawan segala bentuk desintegrasi. Tanpa investasi dalam kualitas manusia ini, semua perbaikan struktural hanya akan bersifat sementara, karena fondasi moral kolektif akan terus dimerongrong oleh keserakahan dan kebodohan.
Sejarah menyediakan cetak biru yang mengerikan tentang bagaimana proses merongrong telah menjadi penyebab utama kehancuran peradaban besar. Kekaisaran Romawi, misalnya, tidak jatuh dalam satu malam karena invasi barbar; kejatuhannya adalah proses yang berlangsung selama berabad-abad, didorong oleh merongrong internal yang kronis. Gejala-gejala merongrong di Roma sangat jelas: korupsi yang meluas di kalangan elit (yang melemahkan keuangan publik), militerisasi politik (di mana tentara menjadi penentu kekuasaan, bukan hukum), dan yang paling penting, hilangnya identitas sipil dan tanggung jawab kewarganegaraan di kalangan rakyat biasa. Warga negara Romawi secara bertahap menyerahkan tanggung jawab politik mereka kepada tentara bayaran dan birokrat yang tidak terikat oleh kesetiaan moral, sebuah bentuk merongrong yang menyebabkan keruntuhan nilai-nilai yang mendasarinya.
Dalam konteks yang lebih modern, studi tentang Uni Soviet menunjukkan proses merongrong yang berbeda namun sama-sama destruktif. Di sana, proses merongrong berakar pada ketidakjujuran ekonomi dan politik yang endemik. Meskipun kekuatan militer tampak tangguh dari luar, sistem ekonomi telah dimerongrong oleh ketidakefisienan, birokrasi yang lumpuh, dan korupsi yang tersembunyi. Lebih penting lagi, ada merongrong terhadap kebenaran itu sendiri. Ketika ideologi negara menuntut kepatuhan mutlak dan melarang kritik, masyarakat sipil kehilangan kemampuan untuk melakukan koreksi diri. Ketika tidak ada lagi yang berani mengatakan kebenaran kepada kekuasaan, kerusakan internal akan menumpuk hingga sistem mencapai titik kritis. Begitu tekanan ekonomi meningkat, ketidakpercayaan internal yang selama ini dimerongrong oleh propaganda akhirnya meledak, menyebabkan desintegrasi yang cepat dan tak terhindarkan. Kisah-kisah ini menegaskan bahwa merongrong adalah musuh sejati peradaban, lebih berbahaya daripada ancaman eksternal mana pun.
Kisah-kisah historis tentang kehancuran mengajarkan bahwa proses merongrong sering dipercepat oleh ketidakmampuan elit untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Ketika struktur kekuasaan menjadi terlalu kaku dan terikat pada praktik-praktik yang menguntungkan segelintir orang, mereka akan menolak inovasi atau reformasi yang diperlukan untuk menjaga sistem tetap sehat. Penolakan terhadap reformasi ini adalah bentuk merongrong yang disengaja, karena ia memilih kepentingan jangka pendek segelintir orang di atas keberlanjutan jangka panjang sistem secara keseluruhan. Dalam banyak kasus, reformasi datang terlambat, setelah fondasi sosial dan ekonomi telah terlanjur dimerongrong. Pelajaran utama di sini adalah bahwa sistem yang tangguh adalah sistem yang memiliki mekanisme internal untuk kritik diri, koreksi, dan adaptasi. Ketika mekanisme ini dimerongrong oleh kekuasaan yang absolut atau korupsi yang sistemik, kehancuran hanyalah masalah waktu, bukan kemungkinan.
Mengapa proses merongrong seringkali dibiarkan berlanjut tanpa perlawanan yang efektif? Jawabannya terletak pada sifat proses itu sendiri yang tersembunyi, bertahap, dan manipulatif. Merongrong tidak menampilkan dirinya sebagai kejahatan frontal; ia sering bersembunyi di balik legalitas formal, jargon teknis, atau janji-janji kemajuan. Ketika seorang politisi menmerongrong lembaga antirasuah, mereka melakukannya dengan dalih ‘efisiensi’ atau ‘reformasi struktural’, bukan dengan menyatakan niat jahat secara terbuka. Sifat penyamaran ini membuat masyarakat sulit untuk mobilisasi perlawanan, karena tidak ada musuh yang jelas yang bisa ditunjuk. Perlawanan yang efektif membutuhkan analisis mendalam dan upaya edukasi publik yang berkelanjutan, yang seringkali sulit dipertahankan dalam lingkungan yang bising dan cepat berubah.
Selain itu, proses merongrong memanfaatkan kelemahan manusia yang paling mendasar: ketakutan dan kepentingan pribadi. Para pelaku merongrong sering menawarkan insentif finansial atau perlindungan politik kepada mereka yang seharusnya menjadi pengawas. Korupsi menyebar karena ia membeli kesetiaan, dan karena ia menciptakan jaringan yang saling bergantung di mana setiap anggota memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo yang rusak. Bagi individu, menghadapi proses merongrong yang terstruktur dapat terasa menakutkan, karena risikonya bisa berupa kehilangan pekerjaan, reputasi, atau bahkan keselamatan. Lingkungan yang menumbuhkan ketakutan ini adalah alat paling ampuh yang dimiliki oleh kekuatan yang ingin merongrong integritas sistem tanpa dipertanyakan atau dilawan secara terbuka. Oleh karena itu, membangun keberanian kolektif dan solidaritas antar warga negara adalah kunci untuk memecahkan mekanisme pertahanan dari proses desintegrasi ini.
Tantangan lain dalam melawan merongrong adalah kecepatan dan kompleksitas era digital. Proses desintegrasi kini dapat terjadi jauh lebih cepat melalui saluran informasi global dan manipulasi data. Kebijakan yang merongrong dapat disahkan dan diterapkan sebelum publik sempat memahaminya, dan kerusakan institusional dapat terjadi dalam hitungan hari, bukan dekade. Kecepatan ini melebihi kemampuan birokrasi dan masyarakat sipil untuk merespons secara memadai. Selain itu, kompleksitas isu-isu modern (seperti finansialisasi, kecerdasan buatan, dan kebijakan iklim) seringkali menciptakan kekaburan yang dimanfaatkan oleh mereka yang ingin merongrong. Jargon yang terlalu teknis bertindak sebagai penghalang yang mencegah pengawasan publik, memungkinkan keputusan yang merusak untuk lolos tanpa perlawanan yang berarti dari pihak-pihak yang tidak memahami konteks secara utuh.
Melawan merongrong memerlukan kesabaran strategis. Karena proses erosi ini terjadi secara bertahap, perlawanan juga harus berupa upaya yang berkelanjutan dan berfokus pada pembangunan fondasi yang kuat, bukan hanya pada reaksi terhadap krisis sesaat. Ini menuntut komitmen jangka panjang, di mana setiap generasi harus mengambil alih tanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang diwariskan dan memperkuat benteng moral dan kelembagaan. Perlawanan terhadap merongrong adalah perjuangan abadi untuk mempertahankan kebenaran, keadilan, dan integritas kolektif.
Inti dari proses merongrong adalah hilangnya akuntabilitas moral di kalangan elit dan institusi. Ketika kekuasaan terpisah dari tanggung jawab etis, maka setiap tindakan, betapapun merusaknya, dapat dijustifikasi. Akuntabilitas moral adalah kerangka kerja internal yang mencegah para pemegang kekuasaan untuk menggunakan posisi mereka demi keuntungan pribadi. Begitu kerangka kerja ini dimerongrong, digantikan oleh relativisme atau nihilisme, negara mulai bergerak di bawah hukum rimba. Konsekuensi dari erosi moral ini jauh melampaui kerugian finansial; ia menciptakan masyarakat di mana kejujuran dihukum dan penipuan diberi imbalan, membalikkan insentif dasar yang diperlukan untuk tatanan sipil yang berfungsi.
Ketika akuntabilitas moral dimerongrong, impunitas menjadi kebiasaan. Para pelaku kejahatan sistemik tidak hanya lolos dari hukuman, tetapi seringkali dipromosikan atau diberi penghargaan. Fenomena ‘gangguan insentif’ ini adalah tanda paling pasti dari kerusakan sistemik. Masyarakat yang kehilangan akuntabilitas moral akan mengalami kesulitan yang ekstrem dalam menyelesaikan masalah kolektif, seperti perubahan iklim atau pandemi, karena kepentingan jangka pendek dan keserakahan pribadi selalu mengalahkan kebutuhan untuk bertindak demi kebaikan bersama. Perjuangan untuk melawan merongrong pada akhirnya adalah perjuangan untuk menegakkan kembali akuntabilitas moral sebagai fondasi utama tata kelola. Ini berarti menuntut integritas dari pemimpin, membangun sistem yang menghukum kecurangan tanpa pandang bulu, dan yang terpenting, menanamkan kembali keyakinan bahwa perilaku etis adalah satu-satunya jalan menuju kemakmuran dan keberlanjutan jangka panjang. Hanya dengan merevitalisasi fondasi etika kita dapat berharap untuk menghentikan proses desintegrasi yang mengancam untuk menmerongrong masa depan kolektif kita.
***
Analisis mendalam ini telah menunjukkan bahwa merongrong adalah ancaman eksistensial, bekerja secara diam-diam di berbagai sektor vital kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari korupsi yang melegalkan perampasan kekayaan hingga disinformasi yang memecah belah pikiran kolektif, proses ini adalah peperangan yang terjadi di bawah permukaan, menguji ketahanan moral dan institusional suatu sistem. Perlawanan terhadap merongrong bukanlah tugas yang mudah, melainkan komitmen berkelanjutan yang memerlukan pengawasan tak kenal lelah, reformasi struktural, dan yang paling utama, revitalisasi etika kewarganegaraan. Hanya dengan mengakui sifat ancaman ini dan bertindak secara proaktif dan komprehensif kita dapat berharap untuk memperkuat fondasi yang telah dimerongrong dan membangun masa depan yang kokoh dan adil bagi semua.
***
Salah satu taktik paling canggih dan merusak dalam proses merongrong adalah institusionalisasi kerahasiaan. Dalam pemerintahan yang sehat, kerahasiaan diizinkan dalam batas-batas yang sangat sempit, seperti keamanan nasional atau data pribadi tertentu. Namun, ketika proses merongrong mengambil alih, kerahasiaan diperluas dan dilembagakan untuk menutupi inefisiensi, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini diwujudkan melalui klasifikasi berlebihan terhadap dokumen publik, pembatasan akses media dan masyarakat sipil terhadap informasi dasar, dan pembentukan badan-badan yang beroperasi di luar pengawasan publik (shadow government). Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan yang bertujuan merongrong integritas negara tidak pernah terungkap atau dipertanyakan. Kerahasiaan yang berlebihan menmerongrong prinsip akuntabilitas, karena tanpa informasi, tidak mungkin ada pengawasan yang berarti.
Institusionalisasi kerahasiaan ini menciptakan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya 'state capture' atau penguasaan negara oleh kepentingan swasta. Kelompok-kelompok yang berupaya merongrong memanfaatkan kerahasiaan ini untuk menyusun kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan mereka—misalnya, kontrak publik yang terlalu mahal, monopoli yang tidak diumumkan, atau penjualan aset negara dengan harga di bawah pasar—semuanya disembunyikan di balik klaim 'sensitivitas komersial' atau 'keamanan strategis'. Ini adalah cara yang sangat efektif untuk menmerongrong kekayaan publik, karena keputusan-keputusan penting dibuat tanpa melalui uji kelayakan publik atau pengawasan kompetitif. Masyarakat hanya akan mengetahui dampaknya ketika kerusakan sudah terjadi, misalnya ketika layanan publik memburuk atau utang nasional membengkak secara misterius. Kerahasiaan yang dilembagakan adalah perisai pelindung bagi mereka yang ingin merongrong kedaulatan ekonomi dan politik bangsa.
Proses merongrong melalui kerahasiaan juga mempengaruhi budaya organisasi dalam birokrasi. Ketika kerahasiaan menjadi norma, pegawai negeri yang jujur akan merasa terisolasi dan takut untuk berbicara. Mereka yang berpartisipasi dalam kerahasiaan tersebut, bahkan secara pasif, akan terperangkap dalam jaringan yang memerlukan loyalitas terhadap rahasia, bukan terhadap konstitusi atau hukum. Budaya ini perlahan-lahan menmerongrong etika pelayanan publik, menggantikan komitmen terhadap kepentingan rakyat dengan komitmen terhadap perlindungan jaringan kekuasaan. Untuk melawan taktik ini, reformasi harus mencakup prinsip 'default open' (secara bawaan terbuka) untuk semua informasi publik, dengan pengecualian yang sangat terbatas dan justifikasi yang ketat. Keterbukaan adalah penawar paling kuat terhadap upaya yang terus menerus merongrong sistem dari dalam.
Salah satu bentuk merongrong yang paling licik adalah penerapan standar ganda dalam penegakan hukum dan norma etika. Standar ganda terjadi ketika hukum ditegakkan secara ketat terhadap lawan politik atau warga negara biasa, namun diabaikan atau ditoleransi terhadap kelompok elit yang memiliki kekuasaan atau koneksi. Ini bukan hanya ketidakadilan; ini adalah proses sistematis yang secara aktif menmerongrong prinsip fundamental kesetaraan di hadapan hukum. Ketika keadilan menjadi selektif, hukum kehilangan otoritas moralnya. Rakyat kemudian melihat bahwa kekuasaan, bukan kebenaran, yang menentukan hasil hukum. Dampaknya sangat merusak, karena ia memicu kemarahan, sinisme, dan yang paling berbahaya, hilangnya insentif untuk mematuhi hukum. Jika hukum dianggap sebagai alat penindasan yang digunakan untuk keuntungan segelintir orang, mengapa orang harus tunduk padanya?
Relativisme hukum—pandangan bahwa interpretasi hukum dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan politik sesaat—adalah senjata lain yang digunakan untuk merongrong kepastian hukum. Ketika undang-undang dan konstitusi ditafsirkan ulang secara terus-menerus untuk membenarkan tindakan-tindakan yang menguntungkan kelompok berkuasa, maka fondasi tatanan hukum akan goyah. Ketidakpastian ini menghambat investasi, merusak hak-hak sipil, dan memungkinkan pemerintah untuk beroperasi di zona abu-abu legalitas. Tujuan dari relativisme hukum adalah untuk membuat batas-batas etika dan hukum menjadi kabur, sehingga sulit bagi publik untuk menunjuk di mana pelanggaran itu terjadi. Ini adalah taktik yang sangat berhasil dalam proses merongrong, karena ia membuat perlawanan terhadap ketidakadilan tampak seperti perlawanan terhadap 'aturan' yang sah, meskipun aturan tersebut telah dimanipulasi.
Untuk menanggulangi merongrong yang didorong oleh standar ganda dan relativisme hukum, diperlukan penegasan kembali terhadap peran institusi peradilan yang independen dan berani. Hakim harus mampu menolak tekanan politik dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum, bukan pada kepentingan yang berkuasa. Selain itu, masyarakat sipil harus menjadi penjaga yang tak kenal lelah terhadap prinsip kesetaraan di mata hukum. Setiap kasus ketidakadilan harus disorot dan dilawan, tidak peduli seberapa kecil atau seberapa kuat pihak yang diuntungkan. Menghadapi proses merongrong hukum ini adalah mempertahankan prinsip bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, sebuah prinsip yang mendasari setiap masyarakat yang bebas dan adil. Kegagalan dalam hal ini akan memastikan bahwa seluruh kerangka hukum akan secara bertahap dimerongrong hingga hanya menjadi fasad kekuasaan belaka.
Di abad ke-21, teknologi, terutama media sosial dan kecerdasan buatan, telah menjadi instrumen baru yang sangat ampuh dalam proses merongrong. Algoritma dirancang untuk memaksimalkan engagement, dan sayangnya, konten yang paling memecah belah, sensasional, dan terpolarisasi adalah yang paling efektif dalam mencapai tujuan tersebut. Platform-platform ini secara tidak sengaja (atau terkadang secara sadar) berfungsi sebagai mesin pendorong polarisasi, yang pada gilirannya menmerongrong dialog rasional dan menciptakan 'echo chambers' (ruang gema) yang mengisolasi kelompok-kelompok masyarakat satu sama lain. Ketika individu hanya mengonsumsi informasi yang mengonfirmasi bias mereka, kemampuan untuk melihat sudut pandang lain akan hilang, dan fondasi empati sosial menjadi rapuh.
Lebih lanjut, penggunaan teknologi pengawasan (surveillance technology) oleh negara atau pihak swasta adalah bentuk merongrong terhadap privasi dan kebebasan sipil. Pengawasan massal menciptakan 'efek pendinginan' (chilling effect), di mana warga negara menjadi enggan untuk berorganisasi, berdemonstrasi, atau bahkan menyatakan kritik secara pribadi, karena takut akan konsekuensi yang tidak terlihat. Kebebasan sipil adalah fondasi dari demokrasi yang sehat, dan ketika kebebasan ini dimerongrong melalui ketakutan yang ditanamkan oleh teknologi pengawasan, maka potensi perlawanan terhadap korupsi dan otoritarianisme akan lumpuh. Ini adalah merongrong terhadap agensi individu dan hak untuk menentang kekuasaan tanpa rasa takut.
Untuk melawan merongrong berbasis teknologi, diperlukan regulasi yang etis terhadap platform digital, menuntut transparansi algoritma, dan perlindungan data yang ketat. Masyarakat juga perlu mengembangkan literasi digital yang lebih canggih, tidak hanya dalam penggunaan alat, tetapi dalam memahami bagaimana alat tersebut memanipulasi perhatian dan emosi mereka. Kita harus menuntut bahwa teknologi melayani kepentingan publik, bukan kepentingan kekuatan yang ingin merongrong stabilitas sosial demi keuntungan politik atau ekonomi. Menyelamatkan ruang publik dari manipulasi algoritma adalah salah satu tugas paling mendesak dalam mempertahankan ketahanan kolektif di era informasi ini.
***
Meskipun tantangan merongrong bersifat sistemik, solusi utamanya terletak pada tindakan individual dan komunitas. Perubahan struktural besar hanya dapat terjadi jika didukung oleh perubahan etika dan perilaku di tingkat akar rumput. Setiap individu memiliki peran dalam menolak proses desintegrasi ini. Perlawanan dimulai dengan komitmen untuk kejujuran intelektual: menolak sinisme, mencari kebenaran, dan berpegang pada fakta, bahkan ketika fakta itu tidak nyaman secara politik. Ketika jutaan orang secara konsisten menolak disinformasi dan menuntut transparansi, upaya merongrong akan kehilangan landasan operasinya.
Di tingkat komunitas, revitalisasi ruang sipil adalah krusial. Ini berarti membangun kembali lembaga-lembaga lokal, kelompok sukarelawan, dan organisasi nirlaba yang independen dari kekuasaan negara. Komunitas yang kuat dan aktif dapat berfungsi sebagai 'buffer' atau penyangga terhadap kegagalan institusi formal. Mereka dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh layanan publik yang telah dimerongrong, dan yang lebih penting, mereka dapat menjadi pusat penyebaran informasi yang terpercaya dan platform untuk dialog yang rasional, melawan polarisasi yang didorong oleh kepentingan luar. Solidaritas komunitas adalah benteng alami melawan upaya merongrong.
Pada akhirnya, perlawanan terhadap merongrong adalah sebuah janji untuk menjunjung tinggi etika. Ini adalah pengakuan bahwa kualitas suatu bangsa diukur bukan dari kekayaan materinya, tetapi dari kualitas moral warganya dan integritas institusi yang mereka pertahankan. Upaya untuk menmerongrong akan selalu ada, tetapi dengan kesadaran, kewaspadaan, dan komitmen etis yang teguh, setiap generasi dapat memastikan bahwa fondasi peradaban mereka tetap kokoh, tidak peduli seberapa kuat badai desintegrasi yang mencoba menghantamnya.
***
Perjuangan melawan merongrong adalah perjuangan yang tak pernah usai, sebuah siklus abadi antara pembusukan dan regenerasi. Dalam setiap sektor kehidupan—politik, sosial, ekonomi, dan budaya—kita harus terus menerus memindai tanda-tanda kelemahan dan bertindak cepat untuk memperbaikinya sebelum kerusakan menjadi fatal. Hanya dengan kewaspadaan kolektif dan penguatan etika pribadi, kita dapat melindungi warisan dan masa depan dari kehancuran senyap yang datang dari dalam.