Stabilitas Aqidah: Mengurai Pesan Al-Baqarah 120

Pilar Ketegasan Iman dan Bahaya Mengikuti Jejak Selain Hidayah Allah

I. Pendahuluan: Keutamaan dan Konteks Historis Ayat

Surah Al-Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, berfungsi sebagai panduan komprehensif yang meletakkan dasar-dasar syariat, aqidah, dan sejarah kenabian. Di antara banyak ajarannya yang monumental, terdapat satu ayat yang menjadi mercusuar peringatan abadi bagi umat Islam sepanjang masa, yaitu ayat ke-120. Ayat ini bukan sekadar narasi sejarah masa lalu; ia adalah diagnosa psikologis dan sosiologis terhadap hubungan interaksi antara pemeluk Islam dan komunitas agama lain, khususnya Ahlul Kitab (Kaum Yahudi dan Nasrani).

Ayat ini diturunkan pada periode penting di Madinah, ketika komunitas Muslim mulai mengukuhkan identitasnya di tengah masyarakat yang majemuk. Tekanan, rayuan, dan tuntutan untuk mengkompromikan prinsip-prinsip dasar Islam adalah realitas sehari-hari yang dihadapi Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Ayat 120 datang untuk memangkas keraguan, menegaskan batas-batas ideologis, dan memperjelas hakikat perselisihan yang terjadi.

Inti dari pesan yang dibawa oleh Al-Baqarah 120 adalah pengakuan ilahiah bahwa pihak-pihak yang tidak menganut ajaran tauhid murni tidak akan pernah puas atau rela sampai umat Islam meninggalkan ajarannya sendiri dan mengikuti jalan hidup mereka. Peringatan ini menuntut kesadaran penuh akan pentingnya kemurnian aqidah dan urgensi menolak segala bentuk kompromi yang menyentuh inti sari ajaran Islam.

Ilustrasi Hidayah dan Jalan Lurus Visualisasi abstrak jalan lurus (Shirath al-Mustaqim) yang diterangi cahaya ilahi di tengah bayang-bayang kegelapan, melambangkan bimbingan (Al-Huda) yang dipegang teguh. Al-Huda (Petunjuk)

Ilustrasi visualisasi Al-Huda (Petunjuk Ilahi) sebagai satu-satunya jalan yang terang.

II. Tafsir Mendalam dan Analisis Linguistik Ayat 120

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka (millah mereka). Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).' Dan sungguh, jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” (QS. Al-Baqarah: 120)

A. Analisis Kalimat Pertama: Hakikat Ketidakpuasan

Frasa pembuka, وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ (Wa lan tarḍā 'anka), menggunakan partikel penafian yang paling kuat dalam bahasa Arab, لَنْ (lan), yang mengindikasikan penolakan atau ketidakmungkinan mutlak di masa depan. Artinya, kepuasan mereka terhadap Nabi Muhammad ﷺ—dan secara implisit, terhadap umat Islam—adalah sesuatu yang mustahil, tidak peduli seberapa besar konsesi yang diberikan, kecuali jika prasyarat tunggal dipenuhi: penyerahan total terhadap ideologi mereka.

Syarat yang mereka ajukan adalah حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ (ḥattā tatta-biʿa millatahum) — hingga engkau mengikuti agama (atau jalan hidup) mereka. Kata kunci di sini adalah ‘Millah’. Millah bukan sekadar berarti ritual ibadah. Ia mencakup sistem keyakinan, hukum, moralitas, identitas budaya, dan pandangan dunia (*worldview*) yang menyeluruh. Tuntutan mereka adalah agar Muslim meninggalkan paradigma Islam dan mengadopsi paradigma hidup non-Muslim secara fundamental. Ayat ini mengungkap bahwa konflik yang terjadi bukanlah masalah politik, ekonomi, atau sosial, melainkan konflik ideologis dan eksistensial mengenai Millah.

B. Respon Ilahi: Penegasan Huda

Ayat ini kemudian memberikan jawaban yang tegas dan lugas sebagai penetralisir terhadap tekanan eksternal: قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ (Qul inna Huda Allahi huwal Huda). Katakanlah, sesungguhnya Petunjuk Allah itulah Petunjuk (yang sebenarnya).

Pernyataan ini berfungsi sebagai benteng spiritual. Ketika Muslim dihadapkan pada tuntutan untuk menyimpang, mereka diperintahkan untuk kembali kepada kesadaran bahwa kebenaran sejati tidak ditentukan oleh persetujuan atau ketidakpuasan pihak lain, melainkan oleh ketetapan Allah semata.

C. Peringatan Tegas tentang Konsekuensi

Bagian akhir ayat memuat peringatan keras, yang ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, namun berlaku universal bagi seluruh umatnya: وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ.

Ayat ini menekankan dua hal krusial:

  1. Mengikuti Hawa Nafsu (أَهْوَاءَهُمْ - Ahwā'ahum): Ajaran atau jalan hidup non-Islam, ketika dilihat dari sudut pandang Islam, dikategorikan sebagai hawa nafsu. Ini bukan berarti mereka tidak memiliki sistem, tetapi karena fondasi sistem mereka tidak didasarkan pada wahyu ilahi yang murni, ia dianggap berasal dari keinginan manusiawi yang tidak terikat hukum langit.
  2. Datangnya Ilmu (الْعِلْمِ - Al-’Ilm): Peringatan ini menjadi semakin berat setelah 'ilmu' (kebenaran Islam yang pasti) telah sampai. Ini menyoroti tingginya tanggung jawab umat Islam yang telah menerima wahyu terakhir. Berkompromi setelah mengetahui kebenaran adalah bentuk pengkhianatan spiritual yang paling parah.
  3. Kehilangan Pelindung dan Penolong (وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ): Konsekuensi terberat adalah dicabutnya *walī* (pelindung, penolong, sekutu dekat) dan *naṣīr* (penolong yang kuat) dari sisi Allah. Jika Allah telah menarik perlindungan-Nya, tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat memberikan keamanan atau kemenangan bagi seorang hamba atau sebuah umat.

III. Strategi Konflik Millah: Perang Identitas dan Ideologi

Memahami Al-Baqarah 120 menuntut kita untuk menyadari bahwa pertarungan abadi dalam sejarah peradaban adalah pertarungan identitas, yang berpusat pada Millah. Millah mendefinisikan siapa kita, bagaimana kita hidup, apa yang kita nilai, dan apa yang kita sembah. Tuntutan untuk "mengikuti Millah mereka" adalah sebuah proyek asimilasi total.

A. Asimilasi Budaya dan Penetrasi Nilai

Ketika penaklukan militer gagal, musuh kebenaran beralih ke penaklukan yang lebih halus: budaya dan nilai. Di era modern, tuntutan untuk mengikuti Millah mereka tidak lagi selalu berbentuk konversi agama formal, melainkan dalam bentuk:

Ayat ini mengajarkan bahwa kepuasan mereka hanya tercapai ketika seorang Muslim, meskipun mungkin masih berlabel 'Muslim,' telah mengadopsi pandangan dunia yang fundamentalnya anti-Islam. Mereka tidak peduli dengan nama, tetapi peduli dengan esensi dan loyalitas ideologis.

B. Manipulasi Sejarah dan Teks

Salah satu taktik untuk mengikis keyakinan adalah melalui serangan intelektual. Sebagian upaya untuk menarik Muslim keluar dari Millah mereka adalah melalui:

  1. Orientalisme Kontemporer: Upaya sistematis untuk meneliti dan menyajikan Islam dari perspektif yang meragukan keaslian wahyu, menuduh Nabi ﷺ dipengaruhi oleh sumber-sumber pra-Islam, dan mengisolasi Muslim dari warisan ilmiah dan spiritual mereka sendiri.
  2. Pelemahan Bahasa Arab: Karena Al-Qur'an dan pemahaman Islam terkait erat dengan Bahasa Arab, upaya untuk mendiskreditkan atau meminggirkan studi Bahasa Arab klasik secara efektif menjauhkan Muslim dari sumber Huda yang murni, memaksa mereka bergantung pada interpretasi yang telah disaring pihak luar.

Maka, memegang teguh Al-Huda (Petunjuk Allah) bukan hanya tentang melaksanakan ritual, tetapi tentang mempertahankan kerangka berpikir (*manhaj*) yang utuh dan tidak terkontaminasi oleh hawa nafsu pihak lain.

IV. Pilar Istiqamah: Fondasi Ketegasan di Tengah Tekanan

Ayat 120 Al-Baqarah secara fundamental adalah perintah untuk Istiqamah—keteguhan, kelurusan, dan konsistensi dalam memegang prinsip. Istiqamah adalah antitesis dari penyerahan diri terhadap Millah lain.

A. Istiqamah sebagai Penyelamat Identitas

Dalam konteks tekanan globalisasi yang mendominasi, identitas menjadi barang langka yang mudah rapuh. Istiqamah memastikan bahwa meskipun seorang Muslim berinteraksi dengan dunia, terlibat dalam perdagangan, sains, dan politik, intisari jiwanya tetap berpusat pada sumbu tauhid. Ayat ini menggarisbawahi bahwa stabilitas internal umat Islam lebih penting daripada pengakuan eksternal.

Ridhā (kepuasan) dari Ahlul Kitab dan pihak-pihak lain yang berseberangan dengan Millah Islam, bukanlah indikator kesuksesan. Indikator kesuksesan yang hakiki adalah Ridhā (kerelaan) Allah subhanahu wa ta'ala. Seorang Muslim yang berusaha keras mendapatkan kepuasan manusia dengan mengorbankan prinsip ilahiahnya akan berakhir tanpa Ridhā dari Allah, dan ironisnya, ia tetap tidak akan mendapatkan kepuasan yang sejati dari manusia yang ia cari-cari. Tuntutan manusia akan selalu berubah, namun ketetapan Allah adalah abadi.

B. Peran Ilmu dalam Istiqamah

Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan: “setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu.” Ini menunjukkan bahwa keteguhan sejati harus didasarkan pada fondasi ilmiah, bukan emosi buta. Seseorang hanya bisa istiqamah jika ia benar-benar mengetahui dan memahami kebenaran Islam (Al-Ilm).

Ilmu ini mencakup pemahaman yang mendalam mengenai:

  1. Kebenaran sumber Islam (kemurnian Al-Qur'an dan Sunnah).
  2. Sempurnanya ajaran Islam (keyakinan bahwa Islam adalah solusi bagi semua permasalahan, tidak perlu "diperbaiki" oleh ideologi luar).
  3. Bahaya dan kekurangan dari ideologi-ideologi alternatif (memahami mengapa Millah selain Islam tidak akan pernah membawa kebahagiaan sejati).

Tanpa ilmu yang kokoh, istiqamah menjadi rentan. Rayuan dan keraguan akan mudah merasuk, dan seorang Muslim akan dengan mudah mengikuti *ahwā’* (hawa nafsu atau pandangan) yang dihiasi dengan argumen yang menarik secara lahiriah.

V. Konsekuensi Spiritual dan Eksistensial dari Deviasi

Peringatan keras di akhir ayat (kehilangan *waliy* dan *naṣīr*) adalah inti dari ancaman spiritual. Ini adalah peringatan yang sangat penting, yang menyinggung keselamatan dunia dan akhirat. Apa artinya kehilangan pelindung dan penolong dari Allah?

A. Kehilangan Wilayah Ilahiah

Kata *walī* (pelindung) berasal dari kata *wilāyah*, yang berarti kedekatan, perlindungan, dan dukungan. Ketika seseorang memilih untuk mengikuti Millah lain, ia secara efektif memutuskan hubungan *wilāyah* dengan Allah. Ia beralih dari wilayah perlindungan Allah ke wilayah ideologis yang lain. Konsekuensi dari pemutusan hubungan ini adalah:

B. Tidak Ada Penolong Saat Krisis

Kata *naṣīr* (penolong) merujuk pada bantuan konkret saat menghadapi kesulitan atau krisis. Sejarah membuktikan bahwa umat yang menyimpang dari Millah-nya meskipun tampak kuat di permukaan, pada akhirnya akan hancur dari dalam atau dikalahkan dari luar, karena mereka tidak lagi memiliki dukungan Ilahi. Umat Islam seringkali mengalami kemunduran bukan karena kurangnya sumber daya atau teknologi, melainkan karena pergeseran ideologi yang menyebabkan hilangnya *barakah* dan *naṣr* (pertolongan) dari Allah.

Ancaman ini menegaskan bahwa kemuliaan dan kekuatan umat Islam tidak terletak pada kekayaan material atau pengakuan internasional, tetapi pada kepatuhan total terhadap Al-Huda. Keputusan untuk mengikuti atau menolak Millah lain bukanlah pilihan politik, melainkan pilihan eksistensial yang menentukan nasib spiritual sebuah peradaban.

VI. Manifestasi Kontemporer Al-Baqarah 120

Di masa kini, peperangan ideologi yang dijelaskan dalam ayat 120 berlangsung dalam spektrum yang jauh lebih luas dan halus dibandingkan masa kenabian. Globalisasi dan revolusi informasi telah menjadi medan pertempuran utama bagi Millah. Tuntutan untuk meninggalkan identitas Muslim diwujudkan melalui dominasi media, sistem pendidikan, dan hegemoni ekonomi.

A. Hegemoni Budaya dan Media

Media massa global, industri hiburan, dan platform digital seringkali mempromosikan Millah yang berlawanan dengan Islam. Mereka menyajikan gaya hidup yang:

  1. Mengagungkan hedonisme dan konsumsi berlebihan.
  2. Menormalkan hubungan dan perilaku yang secara tegas dilarang dalam syariat.
  3. Menggambarkan praktik-praktik keislaman (seperti jilbab, puasa, atau sistem ekonomi syariah) sebagai sesuatu yang terbelakang, opresif, atau bahkan berbahaya.

Kepuasan kaum tersebut terhadap Muslim dicapai ketika Muslim mulai menginternalisasi nilai-nilai ini, menganggap hukum Islam sebagai hambatan, dan merasa malu terhadap identitas keislaman mereka di hadapan publik global. Ini adalah bentuk penaklukan hati dan pikiran yang paling efektif, karena dilakukan secara sukarela oleh korban.

B. Pendidikan dan Kurikulum

Sistem pendidikan, bahkan di negara-negara mayoritas Muslim, seringkali dirancang berdasarkan paradigma filosofis yang berakar pada sekularisme, rasionalisme ekstrem, dan materialisme. Kurikulum yang disusun sedemikian rupa dapat secara implisit menanamkan keraguan terhadap konsep-konsep ilahiah, merayakan tokoh-tokoh yang bertentangan dengan ajaran Islam, atau mendistorsi sejarah Islam.

Ketika generasi muda Muslim dididik untuk memandang realitas melalui lensa yang dirumuskan oleh Millah lain, mereka telah memenuhi syarat ‘mengikuti Millah mereka,’ meskipun mereka masih belajar agama di sekolah. Pertarungan atas kurikulum dan literatur adalah pertarungan atas definisi Ilmu (*Al-Ilm*), yang mana Al-Baqarah 120 tegaskan sebagai pertahanan terakhir melawan *ahwā’*.

C. Ancaman Kompromi Politik dan Ekonomi

Di arena politik dan ekonomi, terdapat desakan yang masif agar negara-negara Muslim mengadopsi model governance dan sistem finansial yang sepenuhnya berlandaskan riba (bunga) dan hukum sekuler, meskipun itu bertentangan dengan syariat. Dalam nama "pembangunan" atau "integrasi global," Millah Islam di bidang muamalah didorong ke pinggiran.

Ayat 120 mengingatkan para pemimpin dan cendekiawan Muslim bahwa persetujuan dan investasi dari kekuatan asing tidak boleh ditukar dengan penyerahan prinsip-prinsip Islam. Kepuasan mereka dalam bidang ini hanya tercapai ketika ekonomi Muslim berfungsi sebagai sub-sistem dari Millah kapitalis global yang sekuler, yang menghapus aspek-aspek keadilan dan etika Islam yang khas.

VII. Membedakan Toleransi dan Kompromi Ideologis

Pesan Al-Baqarah 120 sering disalahpahami sebagai seruan untuk isolasi atau kebencian. Padahal, Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dan dialog. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara toleransi yang disyariatkan dan kompromi yang dilarang.

A. Toleransi (*Tasamuh*) dalam Muamalah

Islam memerintahkan keadilan dan perlakuan baik kepada semua manusia, termasuk mereka yang berbeda Millah. Al-Qur'an mengajarkan: “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.” (QS. Al-Mumtahanah: 8). Interaksi, bisnis, pertukaran pengetahuan, dan hidup berdampingan secara damai adalah bagian dari ajaran Islam.

B. Batasan Kompromi Ideologis

Namun, toleransi ini memiliki batas yang jelas, yaitu Millah. Toleransi berhenti di mana penyerahan keyakinan dimulai. Inilah yang dihindari oleh Nabi ﷺ ketika Beliau menolak tawaran kafir Quraisy untuk beribadah secara bergantian (setahun menyembah Tuhan mereka, setahun menyembah Tuhan Beliau), yang dijawab dengan Surah Al-Kafirun: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).

Al-Baqarah 120 berfungsi sebagai pembatas: Berinteraksi dan berbuat baik boleh, tetapi mengubah aqidah atau sistem hidup fundamental agar mendapat 'ridhā' (kepuasan) dari pihak yang tidak beriman adalah dilarang, karena ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Al-Huda.

Umat Islam harus mampu berdialog tanpa harus kehilangan identitas. Dialog harus dimulai dari posisi kekuatan aqidah, bukan dari posisi kerentanan yang mencari validasi. Ketika umat Islam kokoh pada Millah mereka, mereka dapat memberikan sumbangsih positif kepada peradaban, justru karena mereka membawa perspektif ilahiah, bukan sekadar mengulang paradigma yang sudah ada.

VIII. Mengapa Hanya Millah Allah yang Merupakan Al-Huda (Petunjuk Sejati)

Penegasan “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)” bukanlah arogansi, melainkan pernyataan faktual yang berakar pada sifat Allah sebagai al-Hakim (Yang Maha Bijaksana) dan al-Alim (Yang Maha Mengetahui).

A. Kesempurnaan Sumber Wahyu

Ajaran Islam, sebagai Millah yang dibawa oleh wahyu terakhir, memiliki keunggulan karena kesempurnaan dan kemurnian sumbernya. Al-Qur'an adalah satu-satunya kitab suci yang dijamin keasliannya dari distorsi manusia. Sebaliknya, ayat 120 ditujukan kepada Kaum Kitab yang, meskipun awalnya memiliki wahyu, ajaran mereka telah mengalami perubahan dan penafsiran yang menyimpang dari tauhid murni, sebagaimana disinggung dalam banyak ayat Al-Qur'an lainnya.

Oleh karena itu, ketika umat Islam dihadapkan pada tuntutan untuk mengikuti jalan hidup yang lain, mereka harus mengingat bahwa petunjuk Allah adalah sumber yang paling bersih dan paling sempurna, sementara petunjuk lain adalah campuran antara kebenaran dan kesalahan, yang telah dipengaruhi oleh hawa nafsu dan keterbatasan manusia.

B. Cakupan Universal Syariat

Millah Islam adalah satu-satunya sistem yang dirancang untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Ia mencakup aspek spiritual (ibadah), personal (akhlak), sosial (muamalah), dan politik (hukum). Inilah yang menjadikan Millah Islam sebagai Al-Huda yang sempurna, karena ia tidak meninggalkan satu pun aspek kehidupan tanpa panduan.

Sistem-sistem buatan manusia, atau Millah lain yang telah disimpangkan, cenderung fokus pada aspek tertentu saja (misalnya, hanya spiritualitas tanpa hukum, atau hanya materialisme tanpa spiritualitas). Ketidaklengkapan inilah yang menjadikannya *ahwā’* (hawa nafsu) yang pada akhirnya akan gagal memenuhi kebutuhan fitrah manusia secara menyeluruh.

C. Menjamin Keselamatan Akhirat

Yang terpenting, hanya Millah yang diridhai Allah yang menjamin keselamatan abadi. Mengejar ridhā manusia dengan mengorbankan ridhā Allah adalah kerugian terbesar, karena kepuasan manusia bersifat sementara, tetapi ancaman kehilangan *waliy* dan *naṣīr* dari Allah memiliki dampak abadi di Hari Kiamat. Ini adalah fokus utama dari kewajiban untuk istiqamah pada Al-Huda.

IX. Tanggung Jawab Intelektual dalam Menghadapi Tekanan Ideologi

Untuk menjalankan pesan Al-Baqarah 120, umat Islam harus memiliki ketahanan intelektual yang tinggi. Istiqamah hari ini memerlukan penguasaan pengetahuan yang tidak hanya mencakup ilmu-ilmu agama, tetapi juga pemahaman kritis terhadap tantangan modern.

A. Membangun Nalar Kritis Islami

Umat Islam tidak boleh pasif dan hanya menjadi penerima pasif dari Millah lain. Kita harus aktif menganalisis, mengkritik, dan menyajikan solusi Islam terhadap masalah kontemporer. Ini memerlukan:

Tanpa penguasaan ini, kaum Muslim akan mudah terombang-ambing, gagal membedakan mana yang merupakan tuntutan universal dari Allah dan mana yang sekadar tuntutan budaya atau politik pihak lain untuk mengikuti *ahwā’* mereka.

B. Penguatan Institusi Pendidikan Islam

Institusi pendidikan harus menjadi benteng Al-Huda. Mereka bertanggung jawab menghasilkan ulama, cendekiawan, dan profesional yang tidak hanya kompeten di bidangnya (teknologi, ekonomi, kedokteran) tetapi juga secara ideologis teguh. Pendidikan harus mampu mengintegrasikan Ilmu Wahyu dengan Ilmu Rasional, sehingga lulusannya tidak merasa harus memilih antara menjadi ‘modern’ (mengikuti Millah lain) dan menjadi ‘Islami’ (mengikuti Al-Huda).

C. Dakwah yang Berlandaskan Ilmu dan Hikmah

Dakwah modern harus responsif terhadap tantangan yang diungkapkan oleh Ayat 120. Dakwah tidak boleh hanya fokus pada ritual, tetapi harus fokus pada pembentukan pandangan dunia (Millah) yang utuh. Hal ini menuntut penggunaan hikmah, argumen logis, dan presentasi Islam sebagai peradaban yang mampu menawarkan alternatif moral, sosial, dan politik yang unggul dibandingkan sistem yang ditawarkan oleh *ahwā’*.

X. Penegasan Akhir: Konsistensi dan Loyalitas Tunggal

Surah Al-Baqarah ayat 120 adalah salah satu ayat yang paling fundamental dalam menetapkan batas-batas loyalitas umat Islam. Ia merumuskan sebuah realitas abadi: konflik ideologis tidak dapat dihindari, dan upaya untuk mencapai kepuasan dari pihak-pihak yang menentang Millah Islam akan selalu berakhir sia-sia, kecuali dengan penyerahan total. Ini adalah harga yang tidak mungkin dibayar oleh seorang Mukmin yang berpegang teguh pada tauhid.

Kekuatan ayat ini terletak pada penekanan yang berulang mengenai Petunjuk Allah (Inna Huda Allahi Huwal Huda). Petunjuk ini adalah jangkar di tengah badai ideologi. Ketika dunia menuntut Muslim untuk tunduk pada narasi, nilai, dan moralitas yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, respon Muslim harus selalu sama: Kembali kepada ilmu yang pasti, kembali kepada *Millah Ibrahim* yang murni, dan teguh pada Al-Huda.

Jika seorang individu atau sebuah umat berani menempuh jalan Istiqamah, menolak kompromi dalam masalah aqidah, dan bersandar sepenuhnya pada Syariat, janji Allah adalah kebalikan dari ancaman ayat ini: mereka akan mendapatkan *wilāyah* dan *naṣr* (perlindungan dan pertolongan) dari Allah. Inilah satu-satunya sumber kemenangan sejati, baik di dunia ini maupun di akhirat yang kekal.

Maka, pesan penutup dari Al-Baqarah 120 adalah seruan yang menggema melintasi zaman: Pilihlah satu loyalitas. Pilihlah Allah, dan teguhkanlah dirimu di atas jalan-Nya, karena di luar jalan itu hanyalah hawa nafsu yang tidak akan pernah membawa kepada ketenangan, apalagi keselamatan abadi. Umat Islam harus terus berjuang untuk meraih ridhā Allah semata, tanpa pernah gentar terhadap ketidakpuasan pihak manapun yang berlawanan dengan cahaya Ilahi.

Pemahaman mendalam terhadap ayat ini berfungsi sebagai peta jalan dan pedoman moral bagi umat Islam di tengah pluralitas ideologi modern. Ia menuntut kejernihan dalam prinsip dan keberanian dalam sikap. Hanya dengan demikian, seorang Muslim dapat memastikan bahwa ia tidak termasuk golongan yang meninggalkan kebenaran setelah Al-Ilm (ilmu yang hakiki) datang kepadanya.

🏠 Kembali ke Homepage