Simbol Waktu dan Rahasia (Ilmu Gaib)
Surah Al A'raf (Tempat yang Tertinggi) adalah surah yang kaya akan kisah para Nabi, perdebatan antara kebenaran dan kebatilan, serta narasi historis tentang hukuman bagi kaum yang mendustakan. Di antara rangkaian panjang ajaran dan peringatan tersebut, terdapat sebuah ayat yang berdiri tegak sebagai penegas prinsip tauhid dan batas kognisi manusia, yakni ayat ke-187. Ayat ini secara spesifik menjawab pertanyaan fundamental yang telah menjadi obsesi manusia sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ, bahkan jauh sebelumnya: Kapan Hari Kiamat (As-Sa’ah) akan tiba?
Pertanyaan tentang akhir zaman bukanlah sekadar rasa ingin tahu biasa, melainkan sebuah ujian keimanan dan kepasrahan. Dengan turunnya ayat 187, Allah ﷻ memberikan jawaban definitif, yang membatasi ilmu tersebut hanya kepada Diri-Nya. Ayat ini berfungsi sebagai penutup yang menggetarkan hati bagi bagian-bagian surah yang membahas tentang takdir, kewenangan mutlak Allah, dan kelemahan pengetahuan makhluk.
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Hari Kiamat, “Kapan terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentangnya hanya ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seolah-olah engkau benar-benar mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya pengetahuan tentang (Hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 187)
Ayat 187 Al A'raf diwahyukan di tengah-tengah permintaan berulang dari kaum Quraisy, atau menurut beberapa riwayat, dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang ingin menguji kenabian Muhammad ﷺ. Pertanyaan tentang waktu pasti Kiamat adalah salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan untuk mendiskreditkan utusan Allah. Mereka berpikir jika seorang nabi sejati, ia pasti mengetahui hal-hal gaib, termasuk waktu Kiamat.
Dalam banyak riwayat tafsir, seperti yang dicatat oleh Ibnu Jarir At-Tabari dan Ibnu Katsir, kelompok yang paling sering menanyakan hal ini adalah kaum musyrikin Makkah yang bertujuan untuk mengolok-olok. Mereka mengatakan, "Jika kamu benar seorang Nabi, beritahukan kepada kami kapan Sa'ah (Kiamat) ini akan terjadi?" Mereka menganggap pengetahuan tentang waktu Kiamat adalah bukti otentik kenabian. Pertanyaan ini bukanlah pencarian ilmu, melainkan provokasi dan tantangan.
Dengan demikian, Asbabun Nuzul ayat ini menegaskan bahwa bahkan Rasulullah ﷺ, makhluk yang paling mulia dan paling dekat dengan wahyu, tidak diberikan pengetahuan tentang waktu spesifik Kiamat. Jawaban yang diberikan oleh Allah melalui ayat ini adalah penolakan terhadap pemikiran bahwa kenabian melibatkan pengetahuan atas segala hal gaib yang mutlak. Kenabian hanya melibatkan penyampaian risalah, bukan perebutan otoritas Ilahi atas waktu.
Memahami kedalaman ayat ini memerlukan analisis pada beberapa kata kunci krusial:
Para ulama tafsir sepakat bahwa inti dari ayat 187 adalah penegasan eksklusivitas pengetahuan Kiamat bagi Allah ﷻ. Ayat ini merupakan salah satu dalil terkuat dalam akidah Islam mengenai konsep Ilmul Ghaib (Pengetahuan Gaib).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa penolakan terhadap pengetahuan waktu Kiamat oleh Nabi ﷺ adalah suatu kehormatan dan penegasan status kenabiannya. Beliau hanya menyampaikan apa yang diwahyukan kepadanya. Ketika manusia bertanya tentang Sa'ah, perintah Allah jelas: "Qul innamā 'ilmuka 'inda Rabbī" (Katakanlah, sesungguhnya pengetahuannya hanya di sisi Tuhanku).
Ibnu Katsir menekankan bahwa ini adalah salah satu dari lima kunci gaib (مفاتح الغيب) yang hanya diketahui oleh Allah, sebagaimana disebutkan pula dalam Surah Luqman (31:34) dan Hadis Jibril. Pengetahuan tentang Kiamat adalah pengetahuan yang tidak mungkin dibagi kepada siapapun, baik malaikat yang terdekat maupun nabi yang diutus. Keengganan Rasulullah untuk menjawab secara detail menunjukkan ketundukan total beliau terhadap Batasan Ilahiah.
Ayat ini juga menyatakan: "Tsaqulat fis samāwāti wal ardh" (Sangat berat huru-haranya bagi makhluk yang di langit dan di bumi). Ibnu Abbas r.a. menafsirkan bahwa 'berat' di sini bisa berarti dua hal:
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kepastian datangnya Kiamat adalah suatu hal yang tidak terhindarkan dan dahsyat, sehingga menyembunyikan waktunya berfungsi sebagai mekanisme untuk menjaga manusia tetap waspada dan tidak terjerumus dalam kelalaian berdasarkan perkiraan tanggal yang spesifik.
Frasa "لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ" (Tidak ada yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia) adalah penekanan akidah yang sangat kuat. Kata Yujalliiha berarti menampakkan atau membersihkan kabut. Ayat ini secara eksplisit menolak klaim astrolog, peramal, atau bahkan ahli agama yang berusaha menentukan tahun atau waktu Kiamat. Hanya Allah yang bisa 'menampakkan' waktu tersebut. Ini adalah kunci mutlak kedaulatan Tuhan atas dimensi waktu.
Jika Allah berkuasa untuk memberitahukan waktu Kiamat kepada manusia, mengapa Dia memilih untuk merahasiakannya? Para ulama telah merumuskan berbagai hikmah teologis dan psikologis di balik kerahasiaan As-Sa'ah.
Kerahasiaan adalah ujian (fitnah) bagi manusia. Jika waktu Kiamat diketahui, manusia kemungkinan besar akan menunda taubat dan amal saleh hingga mendekati tanggal tersebut. Dengan ketidakpastian, manusia dipaksa untuk hidup dalam kewaspadaan spiritual yang permanen. Kewaspadaan inilah esensi dari amal saleh yang konsisten.
Jika Kiamat masih sangat jauh (misalnya ribuan tahun), generasi awal mungkin merasa putus asa atau menganggap ancaman itu tidak relevan. Sebaliknya, jika Kiamat diketahui akan datang dalam waktu dekat, manusia bisa jatuh dalam kepanikan massal yang melumpuhkan kehidupan normal. Kerahasiaan menjaga keseimbangan antara harapan dan ketakutan (khauf wa rajā’).
Pengetahuan tentang Gaib (Ilmul Ghaib) adalah atribut mutlak Allah ﷻ. Dengan mereservasi pengetahuan Kiamat, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Penguasa Waktu, Pencipta Takdir, dan satu-satunya yang Maha Mengetahui. Ini membersihkan akidah dari segala bentuk syirik yang mungkin timbul dari klaim manusiawi atas pengetahuan Ilahi.
Seorang mukmin yang sejati beramal bukan karena ancaman spesifik pada tanggal tertentu, melainkan karena kesadaran bahwa hidupnya dapat berakhir kapan saja, dan Kiamat dapat terjadi secara tiba-tiba. Ketidakpastian mendorong manusia untuk menjadikan setiap hari sebagai hari terakhir untuk mempersiapkan diri.
Ayat 187 menegaskan bahwa waktu Kiamat itu rahasia, namun hal ini tidak bertentangan dengan adanya Tanda-Tanda Kiamat (Asyrāt as-Sā'ah) yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dalam berbagai hadis sahih. Tanda-tanda ini berfungsi sebagai peringatan bahwa Kiamat semakin dekat, bukan sebagai penentu tanggal pasti.
Ulama membedakan antara pengetahuan tentang tanda-tanda (yang telah diizinkan Allah untuk diketahui manusia) dan pengetahuan tentang waktu pasti (yang dirahasiakan). Allah menyingkap tanda-tanda agar manusia dapat melihat realisasi nubuat kenabian, yang semakin memperkuat keimanan, tetapi tetap menjaga kerahasiaan waktu untuk tujuan hikmah yang telah disebutkan.
Konteks yang paling jelas adalah Hadis Jibril yang terkenal. Ketika Jibril (dalam wujud manusia) bertanya kepada Nabi Muhammad ﷺ, "Kapan Hari Kiamat itu?" Nabi menjawab dengan tegas, "Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya." Jawaban ini persis merefleksikan ajaran inti dari Al A'raf 187, menunjukkan konsistensi antara Al-Qur'an dan Sunnah dalam masalah ini.
Nabi ﷺ kemudian melanjutkan dengan menyebutkan tanda-tanda minor (seperti budak wanita melahirkan majikannya, penggembala miskin berlomba-lomba membangun gedung pencakar langit), yang merupakan sinyal kedekatan, bukan penanggalan.
Kata Bagtatan dalam ayat ini menunjukkan betapa cepat dan tak terduganya peristiwa itu. Meskipun tanda-tanda besar (Dajjal, turunnya Isa a.s., munculnya Ya’juj dan Ma’juj) akan muncul, bahkan setelah tanda-tanda besar ini, kedatangan Sa'ah yang sebenarnya akan mengejutkan manusia, mungkin terjadi di tengah-tengah aktivitas duniawi biasa, seperti perdagangan atau makan.
Ayat 187 Al A'raf bukan hanya sekadar jawaban atas pertanyaan, tetapi merupakan deklarasi teologis tentang sifat Tuhan dan hubungannya dengan ciptaan-Nya. Untuk mencapai pemahaman komprehensif, kita harus menelusuri bagaimana konsep Sa'ah ini terjalin dalam kerangka pengetahuan Ilahi yang tak terbatas.
Dalam pandangan Islam, waktu bukanlah entitas independen yang mengikat Allah; justru, waktu adalah ciptaan-Nya. Dengan mereservasi pengetahuan waktu Kiamat, Allah menegaskan kedaulatan-Nya atas segala dimensi, termasuk waktu itu sendiri. Manusia, yang terikat oleh waktu (masa lalu, kini, dan masa depan), tidak mungkin memahami Kiamat karena ia melampaui konsep linearitas waktu yang kita kenal. Kiamat adalah titik di mana waktu linear seperti yang kita pahami akan berakhir.
Jika kita tinjau dari sudut pandang filosofis Islam, para teolog (Mutakallimin) sering membahas sifat-sifat Allah (Sifat Ma'ani). Pengetahuan (Al-Ilm) adalah salah satu sifat utama Allah, yang meliputi segala sesuatu, baik yang tampak (syahadah) maupun yang gaib (ghaib). Al A'raf 187 menegaskan bahwa di antara semua bentuk gaib, waktu Sa'ah berada di level gaib yang paling murni, yang tidak dapat didekati oleh makhluk. Hal ini menuntut agar manusia menyadari keterbatasan kognitif mereka. Ketika dihadapkan pada misteri ini, respons yang benar bukanlah mencoba menebak, tetapi tunduk dan mengakui bahwa 'Ilmunya hanya di sisi Tuhanku'.
Ayat ini berfungsi sebagai batasan yang tegas terhadap praktik-praktik yang mengklaim pengetahuan gaib, seperti peramalan, astrologi, atau bahkan klaim mistik yang berlebihan. Sepanjang sejarah, banyak individu dan sekte yang berani menetapkan tanggal Kiamat, hanya untuk dibuktikan salah oleh berlalunya waktu. Kegagalan berulang ini adalah bukti hidup dari kebenaran ayat 187. Setiap kali seseorang mengklaim mengetahui waktu Kiamat, mereka secara langsung menantang dan mendustakan ayat yang mulia ini.
Praktik mencari tahu waktu Sa'ah, yang disebut sebagai 'pertanyaan yang memberatkan' dalam ayat ini ("Tsaqulat fis samāwāti wal ardh"), menunjukkan bahwa upaya tersebut adalah usaha yang sia-sia dan mengganggu. Energi yang seharusnya digunakan untuk mempersiapkan diri malah terbuang untuk mencari tahu rahasia yang memang ditakdirkan untuk tetap tersembunyi. Fokus harus dialihkan dari "kapan" menjadi "apa yang harus aku lakukan sekarang."
Ayat ini juga memberikan wawasan mendalam tentang peran Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Jibril bertanya kepada Nabi, jawabannya yang jujur bahwa beliau tidak tahu menunjukkan keotentikan risalah. Jika Nabi mengklaim mengetahui waktu Kiamat, beliau mungkin akan terlihat seperti seorang peramal, bukan seorang utusan. Keistimewaan Nabi adalah menerima wahyu yang membersihkan hati dan memberikan petunjuk hukum, bukan mendapatkan akses penuh ke kunci-kunci gaib yang mutlak milik Tuhan.
Ini membedakan kenabian dari sihir atau ramalan. Nabi Muhammad ﷺ hanya berbicara berdasarkan wahyu; ketika wahyu tidak turun mengenai suatu hal (seperti waktu Kiamat), beliau menjawab dengan jujur sesuai perintah Allah: pengetahuan itu ada pada Allah. Kesetiaan beliau pada batas-batas wahyu adalah bukti integritasnya sebagai Rasulullah.
Frasa "Mereka bertanya kepadamu seolah-olah engkau benar-benar mengetahuinya (Khafiyyun 'anha)" sangat mendalam. Kata Khafiyyun sering kali diartikan sebagai 'sangat teliti dalam mencari tahu' atau 'sangat akrab'. Ayat ini menyiratkan bahwa para penanya berusaha menekan Nabi, berharap beliau, karena posisinya yang mulia, pasti telah mengorek atau mendapatkan bocoran rahasia tersebut dari Allah. Namun, Allah menegaskan bahwa meskipun status Nabi sangat tinggi, rahasia ini tetap tertutup baginya. Ini adalah penekanan ganda: pengetahuan itu tersembunyi dari seluruh alam semesta, bahkan dari Rasul-Nya yang paling dicintai.
Dengan kata lain, Allah mengajarkan kepada umat Islam bahwa tidak ada saluran khusus, bahkan bagi Nabi, yang dapat membuka kunci waktu Kiamat. Pintu pengetahuan itu disegel oleh otoritas Ilahi yang mutlak. Kesadaran akan keterbatasan ini adalah puncak dari akal budi seorang mukmin.
Jika pengetahuan tentang Kiamat dirahasiakan, maka tujuan praktis dari ayat ini adalah mendorong umat manusia pada gaya hidup spiritual yang disebut Zuhd dan Isti’dad (persiapan). Ayat ini mengubah fokus dari spekulasi tentang masa depan menjadi aksi nyata di masa kini.
Ketidaktahuan akan waktu Kiamat berarti setiap momen adalah berharga. Seorang mukmin harus hidup seolah-olah Kiamat atau ajalnya sendiri akan datang besok. Ini melahirkan kehati-hatian dalam bermuamalah, ketekunan dalam ibadah, dan kesungguhan dalam mencari rezeki yang halal. Jika seseorang tahu bahwa akhir hidupnya rahasia, ia tidak akan menunda taubat atau menyia-nyiakan waktu. Inilah yang disebut oleh ulama sebagai taqwa (ketakutan yang disertai ketaatan) yang didorong oleh ayat ini.
Dalam konteks modern, kita sering dihadapkan pada prediksi-prediksi kiamat oleh berbagai pihak non-Muslim maupun kelompok ekstrem. Ayat 187 mengajarkan kita untuk mengabaikan semua klaim tersebut. Kepanikan yang timbul dari prediksi tanggal Kiamat adalah bertentangan dengan semangat ayat ini, yang seharusnya menghasilkan ketenangan karena kita tahu bahwa pengetahuan itu aman di sisi Tuhan, bukan di tangan manusia yang keliru.
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Kiamat dirahasiakan agar manusia tidak tenggelam dalam kelalaian total. Mereka yang yakin akan datangnya Kiamat, tetapi tidak tahu kapan, akan termotivasi untuk senantiasa siap sedia.
Kerahasiaan Kiamat adalah faktor penentu dalam kualitas ibadah. Ketika seseorang beribadah, ia melakukannya dengan kesadaran penuh bahwa ini mungkin adalah ibadah terakhirnya. Shalat yang dilaksanakan dengan kekhusyukan penuh, sedekah yang diberikan tanpa perhitungan sisa waktu, dan puasa yang dilakukan dengan ketulusan adalah buah dari kesadaran bahwa waktu adalah misteri Ilahi.
Meskipun kita diperintahkan untuk waspada, Islam tidak mengajarkan kita untuk meninggalkan dunia secara total. Ayat ini harus dipahami bersama hadis-hadis yang menganjurkan keseimbangan. Nabi ﷺ bersabda, "Jika Kiamat akan datang, sedangkan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon kurma, jika ia mampu menanamnya sebelum Kiamat terjadi, maka tanamlah." Ini menunjukkan bahwa bahkan pada detik-detik terakhir sekalipun, pekerjaan yang bermanfaat dan produktif tetap dihargai. Ketidaktahuan waktu Kiamat mendorong kita untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab dan produktif di dunia, sambil hati kita terikat pada akhirat.
Untuk memahami sepenuhnya kedudukan Al A'raf 187, perlu diperhatikan ayat-ayat lain yang menegaskan konsep yang sama, terutama mengenai lima kunci Gaib (Mafatihul Ghaib). Ayat 187 adalah bagian integral dari doktrin Islam mengenai apa yang Allah rahasiakan dari makhluk-Nya.
Surah Luqman (31:34) sering disebut sebagai ayat yang merangkum lima hal gaib yang mutlak:
Sesungguhnya hanya di sisi Allah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.
Ayat Luqman ini secara jelas menempatkan pengetahuan tentang As-Sa'ah di urutan pertama dari rahasia mutlak Allah. Hal ini memperkuat Al A'raf 187, menunjukkan bahwa rahasia waktu Kiamat adalah pengetahuan tertinggi yang Allah simpan untuk Diri-Nya sendiri, setara dengan misteri turunnya hujan (waktu, lokasi, dan intensitas yang sempurna), nasib janin, takdir esok hari, dan tempat kematian.
Dalam Surah An-Naziat, pertanyaan serupa diajukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan jawabannya kembali menegaskan penolakan pengetahuan:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Hari Kiamat, “Kapankah terjadinya?” Untuk apakah engkau perlu menyebutkannya (waktunya)? Kepada Tuhanmulah (dikembalikan) kesudahannya (ketentuan waktunya).
Ayat ini, khususnya frasa "إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَاهَا" (Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya), adalah penutup yang definitif. Ia mengikat erat waktu akhir zaman pada otoritas Ilahi. Gabungan dari Al A'raf 187, Luqman 34, dan An-Naziat 42-44 membentuk landasan akidah bahwa pengetahuan tentang waktu Kiamat adalah ghaib mutlaq (gaib yang absolut).
Meskipun Al-Qur'an menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya yang mengetahui Gaib, ada pengecualian yang diizinkan untuk Rasul-Nya yang terpilih ("...kecuali kepada rasul yang diridai-Nya," QS. Al-Jin: 26-27). Namun, pengecualian ini hanya berlaku untuk bagian-bagian tertentu dari ilmu gaib yang diperlukan untuk menjalankan risalah, seperti informasi tentang surga, neraka, kisah masa lalu, atau tanda-tanda Kiamat.
Pengetahuan tentang waktu Kiamat, bagaimanapun, tidak termasuk dalam bagian yang 'diizinkan' ini. Ini adalah level gaib yang bahkan para malaikat besar (seperti Jibril dan Mikail) pun tidak mengetahuinya. Mereka hanya tahu bahwa Kiamat akan datang, mereka hanya menunggu perintah, tetapi mereka tidak mengetahui waktu spesifiknya. Hal ini menambah dimensi keagungan misteri Kiamat.
Ayat Al A'raf 187 memiliki dampak yang luar biasa pada psikologi dan spiritualitas seorang mukmin. Pengakuan atas kerahasiaan ini membentuk karakter tawadhu (kerendahan hati) dan fokus hidup yang benar.
Salah satu penyakit terbesar manusia adalah kesombongan ilmiah, keinginan untuk mengetahui dan menguasai segala sesuatu. Ayat 187 secara tegas mematahkan kesombongan ini dengan menetapkan batas yang tak terlampaui. Ia mengajarkan bahwa betapapun canggihnya ilmu pengetahuan, ada area yang selamanya akan berada di luar jangkauan manusia. Pengetahuan ini memaksa seorang ilmuwan muslim untuk bersikap rendah hati dan mengakui bahwa pengetahuan puncak hanya milik Sang Pencipta.
Ironisnya, kerahasiaan waktu Kiamat dapat membawa ketenangan batin. Jika manusia tahu bahwa mereka tidak perlu khawatir tentang prediksi yang tak berdasar, mereka dapat fokus pada hal-hal yang dapat mereka kendalikan: amal, etika, dan hubungan antar sesama. Rasa takut akan Kiamat diubah menjadi rasa takut akan perjumpaan dengan Allah dalam keadaan yang tidak siap. Ketakutan ini bersifat produktif, bukan melumpuhkan.
Ketika masyarakat secara kolektif menerima bahwa Kiamat bisa datang "tiba-tiba" (bagtatan), hal ini akan mendorong perubahan sosial yang positif. Masyarakat akan cenderung mengurangi kezaliman, karena ganjaran bisa datang tanpa peringatan. Keadilan, kejujuran dalam berdagang, dan etika sosial akan ditingkatkan, bukan karena takut pada hukum manusia, melainkan karena takut akan penghakiman yang akan datang secara mendadak dan tak terduga.
Ayat 187 melatih jiwa mukmin untuk menghargai konsep gaib. Dalam dunia yang semakin materialistis, ayat ini menegaskan bahwa realitas tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diukur dan dilihat. Ada dimensi-dimensi yang hanya dapat diakses melalui iman murni (iman bil ghaib). Kiamat adalah perwujudan terbesar dari realitas gaib yang harus diimani tanpa perlu bukti materialistik mengenai waktunya.
Sepanjang sejarah Islam, muncul berbagai gerakan yang mengklaim pengetahuan eksklusif atau meramalkan waktu Kiamat. Ayat 187 menjadi benteng teologis (hujjah) untuk melawan penyimpangan-penyimpangan tersebut. Ayat ini menstabilkan akidah umat agar tidak terombang-ambing oleh klaim-klaim eskatologis yang berlebihan.
Dalam sejarah umat, beberapa kelompok telah menggunakan perhitungan numerologi Al-Qur'an (ilmu hisab) atau interpretasi kalender yang kompleks untuk menetapkan tanggal Kiamat. Setiap upaya semacam itu, menurut ijma' (konsensus) ulama, adalah sia-sia dan berbahaya karena bertentangan langsung dengan pesan eksplisit dari Al A'raf 187.
Jika Allah berfirman bahwa pengetahuan itu hanya ada di sisi-Nya, maka klaim bahwa manusia, melalui metode apa pun, dapat mencapainya adalah bentuk kesombongan spiritual. Hal ini sering kali berujung pada kekecewaan massal dan pelemahan iman ketika tanggal yang diprediksi berlalu tanpa insiden.
Sebagai ganti dari fokus pada waktu yang tersembunyi, seorang mukmin diajak untuk memperhatikan Tanda-Tanda Kecil (Asyrat Sughra). Tanda-tanda ini seperti kerikil yang jatuh sebelum tanah longsor besar; mereka adalah indikator bahwa perubahan besar sedang terjadi di dunia.
Memperhatikan tanda-tanda ini adalah bentuk persiapan yang diperbolehkan. Ia membantu manusia untuk mengenali kondisi spiritual zaman mereka dan membandingkannya dengan peringatan Nabi ﷺ, tetapi tanpa pernah mengetahui kapan persisnya lonceng akhir akan berbunyi.
Kerahasiaan Kiamat mengalihkan tanggung jawab sepenuhnya kepada individu. Jika kita tahu waktu Kiamat, kita mungkin menyalahkan sistem atau takdir jika kita tidak siap. Namun, karena waktu itu rahasia, kegagalan untuk bersiap hanya bisa ditimpakan pada kelalaian diri sendiri. Setiap jiwa bertanggung jawab penuh atas amalnya, dan ia harus siap mempertanggungjawabkannya kapan pun Kiamat datang, baik itu Kiamat Besar (akhir dunia) maupun Kiamat Kecil (kematian individu).
Ayat 187 adalah panggilan untuk introspeksi diri secara konstan. Pertanyaan yang relevan bagi mukmin bukanlah: "Kapan Kiamat?" tetapi "Apa yang telah aku siapkan untuk Kiamatku?" Fokus ini adalah inti dari pemurnian jiwa (tazkiyatun nafs).
Ayat ini menyebutkan secara spesifik bahwa huru-hara Kiamat adalah "sangat berat bagi makhluk di langit dan di bumi" (Tsaqulat fis samāwāti wal ardh). Pernyataan ini membawa implikasi kosmologis yang mendalam.
Makhluk langit, terutama malaikat, adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah dan paling patuh. Bahkan mereka yang selalu dalam ketaatan pun akan merasakan beratnya peristiwa Kiamat. Ini menegaskan bahwa Kiamat bukanlah sekadar peristiwa geologis di Bumi; ia adalah perubahan total pada tatanan kosmik. Malaikat, yang ditugaskan untuk menjalankan alam semesta, akan merasakan goncangan dan ketakutan ketika perintah akhir datang.
Beberapa ulama menafsirkan bahwa "berat" di langit juga merujuk pada ketakutan para malaikat akan perintah yang akan datang, seperti malaikat peniup sangkakala (Israfil) yang senantiasa menanti perintah tiupan pertamanya, dan malaikat maut (Izrail) yang akan mencabut nyawa seluruh makhluk, termasuk dirinya sendiri pada akhirnya. Semua tatanan yang stabil akan runtuh.
Bagi makhluk di bumi, ‘berat’nya Kiamat sudah jelas terkait dengan goncangan, gempa, dan letusan yang akan mengubah topografi bumi secara radikal. Namun, penekanan ini juga merujuk pada perubahan tatanan hukum alam. Saat Kiamat tiba, hukum fisika dan alam yang kita kenal akan dihentikan atau diubah oleh kehendak Ilahi. Gunung-gunung akan bergerak, lautan akan meluap, dan matahari akan terbit dari barat.
Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa Kiamat adalah intervensi total Tuhan yang menghentikan mekanisme alam semesta. Ini bukan hanya bencana, tetapi pembubaran ciptaan awal untuk kemudian dibangkitkan kembali dalam bentuk yang baru (akhirat).
Ada korelasi logis antara beratnya peristiwa dan kedatangannya yang tiba-tiba. Karena Kiamat begitu dahsyat dan mematikan, ia harus datang secara mendadak. Jika makhluk memiliki waktu untuk mengantisipasinya, kepanikan dan kekacauan akan jauh lebih besar dan tidak terkendali. Kedatangan yang mendadak (bagtatan) memastikan bahwa semua terkejut, dan kekuasaan Allah dalam menghentikan segala sesuatu menjadi sangat nyata.
Surah Al A'raf ayat 187 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam akidah Islam. Ia adalah tiang penyangga yang menjelaskan batasan pengetahuan manusia di hadapan pengetahuan mutlak Tuhan. Ayat ini mengajarkan kerendahan hati, kejujuran dalam berilmu, dan kewaspadaan abadi.
Jawaban atas pertanyaan, “Kapan Kiamat?” bukanlah sebuah tanggal, melainkan sebuah prinsip teologis: "Katakanlah, sesungguhnya pengetahuan tentangnya hanya ada pada Tuhanku." Prinsip ini membebaskan umat dari spekulasi yang melelahkan dan mengarahkan energi mereka kepada persiapan rohani. Kejelasan ajaran Islam di sini terletak pada ketidakjelasan waktu Kiamat itu sendiri.
Sikap yang benar terhadap ayat ini adalah penerimaan mutlak bahwa waktu Kiamat adalah rahasia, sebuah janji yang pasti akan ditepati, tetapi yang waktunya hanya ditentukan oleh Sang Pencipta. Kewajiban kita adalah untuk menjadi orang-orang yang, ketika Kiamat tiba, ditemukan dalam keadaan yang diridai-Nya. Keimanan sejati tercermin dalam kesiapan untuk menghadapi kedatangan yang tiba-tiba (bagtatan), tidak peduli seberapa jauh atau dekat ia berada.
Sebagai penutup, kita kembali menegaskan bahwa ayat ini adalah pengingat paling kuat bahwa kehidupan ini adalah ujian yang waktunya tidak diketahui akhirnya. Dengan demikian, setiap napas harus dihitung sebagai persiapan untuk perjumpaan dengan Allah ﷻ. Inilah hikmah terbesar dari kerahasiaan Al A'raf 187.
Penyebaran luas dari pertanyaan mengenai waktu Kiamat di kalangan generasi awal umat Islam menunjukkan betapa mendalamnya kekhawatiran dan rasa ingin tahu ini tertanam dalam jiwa manusia. Namun, respons Al-Qur'an secara konsisten menanggapi rasa ingin tahu ini dengan batasan yang tegas. Ayat 187 ini membuktikan bahwa pengetahuan adalah hak eksklusif Allah, dan tidak ada satupun entitas di alam semesta yang diizinkan untuk berbagi rahasia ini. Ketegasan dalam penolakan ini sekaligus melindungi umat dari bahaya tanjim (astrologi) dan kahānah (peramalan) yang merupakan praktik syirik tersembunyi.
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang etika bertanya. Ketika mereka bertanya seolah-olah Nabi mengetahui secara detail, Allah menegur mereka melalui jawaban Nabi yang tulus. Ini menunjukkan bahwa meskipun mencari ilmu itu wajib, ada batasan dalam mencari tahu rahasia Ilahi, dan melampaui batasan itu adalah sebuah kebodohan, bukan kebijaksanaan. Pertanyaan yang berulang dan menekan tentang Sa'ah adalah manifestasi dari kurangnya kepasrahan dan keimanan yang sempurna kepada otoritas Tuhan.
Secara eksoteris (lahiriah), ayat ini adalah hukum yang melarang klaim pengetahuan waktu Kiamat. Secara esoteris (batiniah), ia adalah panggilan untuk hidup dalam keadaan ihsan—beribadah seolah-olah kita melihat Allah, dan jika tidak, yakinlah bahwa Allah melihat kita—sebab waktu kita akan habis tanpa peringatan. Kiamat yang tiba-tiba menuntut persiapan yang berkelanjutan, bukan persiapan yang terencana berdasarkan kalender.
Para sufi sering merenungkan ayat ini sebagai pengingat akan kefanaan dan pentingnya 'mati sebelum mati'. Bagi mereka, kiamat pribadi (kematian) sama pentingnya dengan Kiamat Besar. Karena kita tidak tahu kapan kiamat pribadi akan datang, kita harus selalu menjaga hati kita bersih dan siap untuk kembali kepada Sang Pencipta. Jika waktu kematian individu dirahasiakan, maka sudah pasti waktu kematian alam semesta akan dirahasiakan dengan lebih kuat lagi.
Jika kita telaah kembali frasa "Tsaqulat fis samāwāti wal ardh," kita melihat adanya gambaran puitis tentang keagungan Allah. Hanya Dia yang dapat mengurus urusan yang begitu berat sehingga memberatkan seluruh ciptaan. Makhluk, dengan segala keterbatasannya, tidak perlu memikul beban pikiran tentang waktu Kiamat, tetapi cukup memikul beban amal dan tanggung jawab mereka di dunia ini. Pelepasan beban mengetahui waktu ini adalah rahmat terselubung.
Ayat 187 Al A'raf adalah salah satu pilar akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam membedakan antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk. Pengetahuan tentang Sa'ah diletakkan sebagai ciri khas keilahian (uluhiyyah). Semua klaim kenabian palsu yang pernah muncul dalam sejarah sering kali mencoba meniru mukjizat dengan meramalkan masa depan atau Kiamat. Ayat ini menjadi saringan utama; jika ada yang mengklaim tahu waktu Kiamat, ia otomatis tertolak oleh otoritas Al-Qur'an.
Ini adalah pelajaran tentang bagaimana Al-Qur'an membangun sistem pertahanan iman. Ia tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memberikan mekanisme untuk mengidentifikasi kepalsuan dan klaim yang menyesatkan. Kunci utamanya adalah mengakui bahwa pengetahuan gaib terbagi: ada gaib yang Allah tunjukkan kepada Rasul-Nya, dan ada gaib mutlak (seperti Sa'ah) yang Dia simpan sepenuhnya. Batasan ini adalah perlindungan teologis.
Dengan demikian, Surah Al A'raf 187 bukan sekadar nasihat; ia adalah doktrin wajib. Setiap mukmin harus mengimaninya tanpa keraguan, meyakini bahwa waktu Kiamat adalah misteri yang diselimuti oleh keagungan Allah, dan menunggu kedatangannya dengan amal shaleh, bukan dengan spekulasi yang tak berujung.
Ketidaktahuan waktu Sa'ah mendorong kita untuk berinvestasi pada amal yang berkelanjutan, yang manfaatnya akan tetap mengalir meskipun kita telah tiada, seperti ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan anak saleh yang mendoakan. Ini adalah strategi cerdas seorang mukmin untuk memanfaatkan kerahasiaan waktu demi kebaikan abadi mereka. Setiap tarikan napas adalah kesempatan emas, dan kerahasiaan itu adalah lonceng alarm yang terus berbunyi di sepanjang waktu.
Ayat ini juga secara implisit menolak fatalisme pasif. Meskipun kita tidak tahu waktu akhirnya, kita didorong untuk beraksi. Pengetahuan bahwa Sa'ah akan datang secara tiba-tiba seharusnya tidak membuat kita berhenti berusaha, tetapi justru memicu kita untuk memaksimalkan potensi spiritual dan material kita dalam rangka mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan Sang Pencipta.
Jika kita kembali pada pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin, kita sadar bahwa motif mereka adalah menantang. Jawaban Allah adalah menantang balik: tantangan yang sebenarnya adalah bukan mengetahui kapan Sa'ah, tetapi bagaimana menghadapi Sa'ah. Allah memberikan petunjuk, bukan tanggal. Petunjuk itu adalah takwa, dan persiapan yang tak kunjung padam.
Penjelasan mengenai ayat ini dapat terus diperluas dengan merujuk kepada interpretasi zaman modern, di mana ilmu pengetahuan berusaha keras memprediksi bencana kosmik atau kehancuran bumi. Meskipun sains dapat memprediksi akhir alam semesta dalam miliaran tahun, prediksi tersebut tetap terikat pada hukum alam yang diciptakan Allah. Kiamat yang dijelaskan Al-Qur'an adalah peristiwa metafisik dan Ilahi, yang melampaui semua hukum fisika. Ayat 187 mempertahankan aspek transenden ini. Manusia dapat mencapai bulan atau membelah atom, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memprediksi momen ketika hukum-hukum Allah memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan memulai kembali. Pengetahuan itu kekal, tersembunyi, dan mutlak milik-Nya.
Sikap terbaik, sebagaimana diajarkan oleh para salafus shaleh, adalah selalu menganggap diri sendiri sebagai yang paling mungkin menemui Kiamat dalam waktu dekat, sementara tetap bekerja keras seolah-olah hidup akan abadi. Dualitas perspektif ini—fokus pada akhirat dan produktif di dunia—adalah keseimbangan yang dihasilkan dari memahami hikmah kerahasiaan waktu Kiamat.
Dalam setiap kalimat dari ayat yang agung ini, kita menemukan kedalaman hikmah yang tak terbatas. Mulai dari penolakan terhadap pengetahuan, penegasan kedaulatan Tuhan, peringatan tentang huru-hara alam semesta, hingga seruan untuk bersiap menghadapi kejutan yang tiba-tiba. Al A'raf 187 adalah mercusuar keimanan yang menegaskan bahwa di balik misteri waktu, terdapat kepastian janji dan keadilan Tuhan yang Maha Mengetahui.
Pengulangan frasa "قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّهِ" (Katakanlah, sesungguhnya pengetahuan tentangnya ada pada Allah) pada bagian akhir ayat, setelah segala penjelasan dan penegasan, berfungsi sebagai penutup yang mengunci. Pengulangan ini (walaupun sedikit variasi kata ganti) adalah penekanan retorik yang kuat, seolah-olah Allah berfirman: Tidak peduli seberapa banyak kamu bertanya, atau seberapa gigih kamu mencari, jawabannya tetap sama dan tidak akan berubah. Ini adalah pelajaran akidah yang paling fundamental dan paling tahan uji waktu.