Di jantung Pulau Jawa, terbentang sebuah kota yang denyut nadinya diatur oleh ritme sejarah dan spiritualitas: Surakarta, atau yang lebih dikenal sebagai Solo. Kota ini bukan hanya pusat tradisi Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, tetapi juga episentrum akulturasi Islam dan budaya Jawa yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dalam harmoni yang rumit antara gamelan yang syahdu dan heningnya pendopo, ada satu suara yang secara konsisten menjadi penanda waktu, penyeru keagungan, dan penjaga spiritualitas komunal: Adzan. Adzan di Solo memiliki resonansi yang berbeda, sebuah gema yang tidak hanya berasal dari menara masjid, tetapi juga dari kedalaman sejarah dan cengkok vokal yang diwariskan turun-temurun, menjadikannya sebuah fenomena budaya sekaligus ritual keagamaan yang kaya makna.
Suara panggilan salat yang mengalun dari menara-menara kuno di Solo Raya adalah perpaduan unik antara ajaran murni Islam dan unsur-unsur lokal yang telah diserap dan disesuaikan selama era Walisongo hingga masa keemasan Kerajaan Mataram Islam. Ia bukan sekadar seruan standar; ia adalah "cengkok" atau intonasi khas yang dibalut kelembutan vokal Jawa, seringkali terdengar lebih mendayu, lebih meliuk, dan lebih panjang tarikannya dibandingkan Adzan dari kawasan Timur Tengah atau Sumatera. Ini adalah representasi audio dari filosofi 'memayu hayuning bawana'—menjaga keseimbangan dan keindahan dunia—di mana ritual tertinggi harus tetap selaras dengan estetika budaya setempat. Untuk memahami Adzan di Solo, kita harus menyelaminya sebagai narasi sejarah, sebagai pelajaran arsitektur akustik, dan sebagai manifestasi spiritualitas yang terus hidup di tengah pusaran modernitas.
II. Panggilan Sakral dari Jantung Mataram: Sejarah Akulturasi Adzan di Solo
Sejarah Adzan di Solo tidak dapat dipisahkan dari sejarah pergeseran kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Ketika pusat kerajaan dipindahkan dari Kartasura ke Desa Sala (Solo) pada abad ke-18, infrastruktur spiritual turut dipindahkan dan dibangun kembali, termasuk Masjid Agung Surakarta Hadiningrat. Masjid ini, yang dibangun berdampingan dengan Keraton, berfungsi sebagai ‘Masjid Jami’ atau masjid utama, pusat segala keputusan keagamaan Keraton, dan tempat ibadah para raja (Sunan) dan abdi dalem.
Peran Keraton dalam menentukan gaya Adzan sangatlah dominan. Di banyak daerah Islam, Adzan adalah murni seruan ibadah, tetapi di Solo, ia juga berfungsi sebagai penanda status sosial dan spiritual Keraton. Para Muadzin (biasa disebut Modin dalam dialek Jawa) adalah abdi dalem yang memiliki status khusus, di bawah pengawasan langsung Pangeran Penghulu Keraton. Mereka tidak dipilih sembarangan; mereka harus menguasai cengkok vokal Jawa, memiliki nafas panjang, dan memahami protokol Keraton. Hal ini memastikan bahwa Adzan yang berkumandang memiliki kualitas spiritual dan artistik yang tinggi, selaras dengan estetika budaya Keraton.
2.1. Warisan Cengkok Mataram: Melodi yang Mendayu
Cengkok, atau gaya melodi Adzan di Solo, adalah inti dari keunikan suara Adzan di kota ini. Cengkok Solo cenderung lebih lambat, lebih banyak menggunakan lekukan vokal (liukan nada), dan memiliki irama yang mengutamakan ketenangan (anteb) dan ketulusan (ikhlas). Berbeda dengan Adzan gaya Hijaz yang cepat dan bersemangat, cengkok Solo disinyalir merupakan hasil adaptasi dari tembang-tembang macapat atau langgam Jawa yang digunakan dalam dakwah Walisongo. Nada-nada rendah dan tinggi dipadukan dengan transisi yang lembut, menghasilkan gema yang terasa membumi dan merangkul.
Beberapa literatur Jawa kuno mengindikasikan bahwa Sunan Pakubuwana pernah memberikan arahan spesifik mengenai bagaimana Adzan harus dilantunkan di lingkungan Keraton, memastikan bahwa ia tidak menciptakan kekagetan, melainkan menumbuhkan kekhusyukan yang perlahan. Fokus ditekankan pada pemanjangan (mad) pada kalimat-kalimat tertentu, seperti "Allahu Akbar" dan "Asyhadu an laa ilaha illallah," yang diekspresikan dengan tarikan nafas yang luar biasa panjang dan stabil. Kedalaman emosional dan stabilitas ini memerlukan latihan vokal bertahun-tahun, seringkali dilakukan oleh para Modin di kompleks Masjid Agung dengan pendampingan langsung dari tetua Keraton yang menguasai ilmu qira'ah dan tembang Jawa.
Akulturasi ini juga terlihat jelas pada penggunaan instrumen sebelum Adzan, terutama pada waktu Subuh dan Maghrib. Di Masjid Agung, tradisi memukul Bedug (gendang besar) dan Kentongan (alat pukul dari bambu) masih dijaga sebagai penanda awal waktu salat. Meskipun fungsi utama Adzan adalah panggilan itu sendiri, Bedug dan Kentongan berfungsi sebagai "pembuka tirai," mempersiapkan masyarakat Solo yang sangat sensitif terhadap ritme dan bunyi, untuk segera menyambut panggilan suci yang akan segera menyusul. Kesenjangan waktu antara Bedug dan Adzan diatur secara presisi oleh Keraton, memastikan transisi yang mulus antara aktivitas duniawi dan panggilan menuju Tuhan.
2.2. Peran Modin Keraton dan Pendidikan Vokal
Jabatan Modin di lingkungan Surakarta bukan hanya sebatas petugas masjid; mereka adalah penjaga tradisi lisan Adzan. Tugas mereka meliputi memastikan bahwa setiap kalimat Adzan dilantunkan dengan makhraj yang benar (pengucapan huruf Arab) sekaligus dengan cengkok yang sesuai dengan pakem Surakarta. Proses regenerasi Modin sangat ketat. Calon Modin harus melalui serangkaian ujian yang tidak hanya mencakup hafalan dan pemahaman Islam, tetapi juga kemampuan olah vokal dan pernafasan yang prima.
Dahulu, pelatihan vokal ini sering dilakukan di tempat-tempat yang memiliki akustik alami yang baik, seperti sumur-sumur tua atau di bawah pohon besar yang dianggap keramat, untuk melatih resonansi dan kekuatan suara tanpa bantuan teknologi. Filosofinya adalah agar suara Adzan mampu menembus jauh ke dalam hati masyarakat, tidak hanya mencapai telinga. Keahlian ini memastikan bahwa, meskipun teknologi pengeras suara sudah digunakan, fondasi vokal dan spiritual Adzan tetap otentik dan tidak tergantung pada amplifikasi elektronik semata. Kualitas suara Modin Surakarta dianggap sebagai salah satu yang paling istimewa di Jawa, mewakili perpaduan harmoni antara seni suara pesantren dan kehalusan seni vokal Keraton.
III. Akustik Masjid Agung: Desain Arsitektur dan Gema Spiritual
Masjid Agung Surakarta Hadiningrat adalah poros yang menjadi acuan utama Adzan di Solo. Arsitekturnya yang bergaya tradisional Jawa (atap tumpang tiga) dirancang bukan hanya untuk keindahan estetika, tetapi juga dengan pertimbangan akustik yang luar biasa cermat. Dalam arsitektur masjid Jawa kuno, prinsip resonansi alami sangat diutamakan, memanfaatkan material kayu jati, susunan pilar (soko guru), dan desain atap yang meninggi untuk memantulkan dan menguatkan suara Adzan secara alami sebelum era pengeras suara.
Meskipun menara (pawon) sering digunakan untuk visual, Adzan seringkali dilantunkan dari dalam ruangan atau dari serambi (pendopo masjid) yang dirancang khusus, memastikan kehangatan vokal Modin tetap terjaga dan tidak hilang tertiup angin. Desain ini bertujuan agar suara Adzan, ketika didengar oleh Sunan di Keraton, terasa damai dan khidmat. Hal ini berbeda dengan beberapa tradisi Islam lain yang mengutamakan jangkauan suara yang sangat luas melalui menara tinggi.
3.1. Evolusi Menara dan Penggunaan Pengeras Suara
Kedatangan teknologi pengeras suara (mikrofon dan speaker) pada pertengahan abad ke-20 membawa perubahan signifikan. Di Solo, adaptasi teknologi ini dilakukan dengan hati-hati. Ada kekhawatiran dari pihak Keraton dan ulama tradisional bahwa amplifikasi suara dapat merusak cengkok Adzan yang halus dan mengurangi kekhusyukan. Oleh karena itu, di banyak masjid tua, termasuk Masjid Agung, meskipun menggunakan pengeras suara, Modin tetap diminta untuk tidak berteriak, melainkan mempertahankan volume dan teknik vokal aslinya.
Pengeras suara hanya berfungsi sebagai alat bantu distribusi, bukan sebagai pengganti kekuatan suara. Volume Adzan di Solo seringkali diatur pada tingkat yang sedang, cukup untuk didengar di sekitar kompleks, namun tidak terlalu keras hingga mengganggu ketenangan kota, mencerminkan filosofi Jawa yang mengutamakan harmoni (selaras). Debat mengenai penggunaan mikrofon dan pelestarian cengkok tradisional adalah diskusi yang berkelanjutan, menuntut Modin modern untuk menyeimbangkan antara tuntutan jangkauan publik dan pelestarian warisan vokal yang rapuh.
Pada akhirnya, teknologi pengeras suara turut membentuk lanskap akustik Solo. Kini, pada lima waktu salat, Solo dipenuhi oleh lapisan-lapisan suara Adzan dari ratusan masjid, mulai dari yang paling kuno di kompleks Keraton hingga masjid-masjid modern di pinggiran kota. Yang menarik adalah bagaimana masing-masing masjid berusaha mempertahankan kekhasan cengkoknya, menciptakan simfoni spiritual yang menandai waktu dan lokasi secara bersamaan. Di wilayah Keraton Kasunanan, Adzan akan terdengar sangat formal dan tradisional, sementara di wilayah Mangkunegaran atau daerah santri seperti Laweyan, mungkin terdengar sedikit lebih berani, namun tetap dalam koridor kelembutan vokal khas Solo.
3.2. Penanda Waktu Kosmis: Ritme Kehidupan Solo
Adzan berfungsi sebagai jam kosmis bagi masyarakat Solo. Sebelum adanya jam modern, aktivitas pertanian, perdagangan, dan bahkan jadwal Keraton diatur berdasarkan lima panggilan salat. Adzan Subuh (sekitar pukul 04.00-04.30) menandai dimulainya hari kerja. Adzan Dhuhur menjadi penanda puncak hari dan waktu istirahat singkat. Adzan Ashar menandai sisa waktu kerja sebelum matahari terbenam. Adzan Maghrib (sekitar pukul 17.30) adalah penanda paling dramatis, menandai pergantian hari dalam kalender Jawa dan waktu untuk berkumpul di rumah. Adzan Isya menutup hari dan menandai waktu istirahat malam.
Keteraturan ini menanamkan disiplin waktu yang diwarnai spiritualitas. Masyarakat Solo tidak melihat Adzan hanya sebagai panggilan wajib, tetapi sebagai interval suci yang memecah monotonitas rutinitas duniawi. Di Keraton, Adzan menandai ritual 'seba' atau pertemuan formal. Bahkan bagi non-muslim di Solo, suara Adzan adalah latar belakang kehidupan yang menenangkan dan familier, bagian tak terpisahkan dari identitas kota yang damai.
IV. Filosofi di Balik Setiap Tarikan Nafas: Makna Spiritual Cengkok Solo
Cengkok Adzan Solo bukan sekadar hiasan melodi; ia membawa beban filosofis yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai Jawa: Andhap Asor (kerendahan hati), Rila (keikhlasan), dan Alon-Alon Waton Kelakon (pelan-pelan asal tercapai). Kecepatan Adzan yang lebih lambat dan panjang tarikannya adalah upaya untuk membiarkan setiap kata meresap ke dalam jiwa, memberikan jeda bagi pendengar untuk merenungkan makna sakral dari setiap seruan.
4.1. Tahrim: Kesenian Vokal Subuh Solo
Salah satu praktik yang paling khas di Solo adalah Tahrim, yaitu lantunan pujian atau salawat Nabi yang dilakukan sekitar 30 hingga 60 menit sebelum Adzan Subuh. Tahrim ini sering dilantunkan dengan irama yang sangat mirip dengan tembang Jawa, menggunakan skala nada yang mendayu dan menenangkan. Di Solo, Tahrim bukan hanya sekadar membangunkan orang, melainkan sebuah ritual persiapan spiritual. Ia menciptakan suasana sunyi yang kontemplatif, mempersiapkan mental dan hati untuk menyambut fajar dan panggilan salat yang sesungguhnya.
Tahrim di Solo sering menampilkan variasi unik. Ada yang melantunkan syair-syair berbahasa Arab klasik yang panjang, namun banyak pula yang memasukkan 'pujian Jawa', yaitu syair-syair Islam yang liriknya berbahasa Jawa, berisi nasihat moral, kisah Nabi, atau ajakan untuk beribadah. Pujian-pujian ini sering dibawakan dengan iringan musik sederhana atau hanya vokal, menciptakan getaran yang syahdu dan khas Solo, menandakan transisi yang lembut dari kegelapan malam menuju cahaya pagi.
4.2. Penekanan Makna pada ‘Hayya Alas Shalah’
Secara vokal, Modin Solo sangat menekankan kalimat "Hayya 'alas-salāh" (Marilah menuju salat) dan "Hayya 'alal-falāh" (Marilah menuju kemenangan/kebahagiaan). Dalam cengkok Solo, kalimat ini sering diulang dengan variasi nada, yang tertinggi dan terpanjang, seolah-olah Modin benar-benar mendesak dan memanggil dengan segenap kekuatan emosionalnya. Pengekangan nada pada bagian awal Adzan (Allahu Akbar) dan pelepasan nada pada seruan inti ini menunjukkan sebuah dramatisasi spiritual: Modin membangun suasana khidmat, kemudian melepaskan seruan ajakan dengan kekuatan maksimal, mencerminkan pentingnya salat sebagai tiang agama.
Pola vokal ini juga dipengaruhi oleh konsep 'Wirama' dalam karawitan Jawa, yaitu keselarasan antara nada, ritme, dan rasa. Modin harus menemukan 'rasa' atau perasaan yang tepat saat melantunkan Adzan, memastikan bahwa nada yang keluar tidak hanya indah, tetapi juga mampu menembus kekangan hati pendengarnya. Ini adalah perpaduan seni yang hanya dapat ditemukan dalam tradisi vokal yang sudah lama berinteraksi dengan seni pedalangan dan karawitan Keraton.
V. Melawan Senyap Modernitas: Pelestarian Adzan Tradisional di Solo
Di era digital, di mana suara bising lalu lintas dan iklan bersaing dengan setiap gema spiritual, pelestarian Adzan tradisional di Solo menghadapi tantangan besar. Globalisasi telah membawa masuk berbagai gaya Adzan dari Timur Tengah (seperti gaya Makkah atau Madinah) melalui media sosial dan televisi. Banyak generasi muda masjid yang, demi kemudahan dan popularitas, cenderung meniru gaya-gaya tersebut, yang seringkali lebih cepat dan kurang mendayu dibandingkan cengkok asli Solo.
Konservasi cengkok tradisional kini menjadi tanggung jawab institusional, bukan hanya spiritual. Keraton dan Yayasan Masjid Agung bekerja keras untuk mendokumentasikan, merekam, dan mengajarkan cengkok asli kepada Modin muda. Kurikulum di beberapa pesantren tua di sekitar Solo juga secara eksplisit memasukkan pelajaran 'Cengkok Adzan Surakarta' sebagai bagian dari warisan budaya yang wajib dipertahankan. Upaya ini memastikan bahwa identitas akustik Solo tidak hilang dalam homogenisasi global.
5.1. Komparasi Regional: Kontras Adzan Solo dan Yogyakarta
Meskipun Solo dan Yogyakarta berbagi akar Mataram Islam yang sama, terdapat perbedaan halus namun signifikan dalam gaya Adzan mereka. Adzan di Solo cenderung lebih panjang tarikannya, lebih lembut, dan menggunakan vibrasi (gregel) yang lebih halus. Sementara itu, Adzan di Yogyakarta (terutama di Masjid Gedhe Kauman) mungkin memiliki sedikit unsur keseriusan yang lebih tegas, mencerminkan dinamika Keraton Yogyakarta yang berbeda.
Perbedaan ini adalah bukti bahwa Islam Jawa bukanlah entitas monolitik, melainkan terfragmentasi dan kaya akan dialek spiritual. Ketika mendengarkan Adzan saat melakukan perjalanan antara kedua kota ini, pendengar yang peka akan menyadari nuansa vokal yang membedakan Kasunanan Surakarta dari Kasultanan Yogyakarta. Solo memilih kelembutan dan keluwesan, yang dianggap sebagai puncak estetika Jawa, sebuah refleksi dari filosofi "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" (Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan).
5.2. Adzan Jumat: Puncak Estetika Vokal Solo
Adzan Jumat memiliki status khusus dalam tradisi Solo. Karena ini adalah Adzan yang disaksikan oleh massa terbesar, Modin yang bertugas seringkali adalah Modin paling senior dan paling mahir dalam menguasai cengkok. Adzan pertama (sebelum khatib naik mimbar) dan Adzan kedua (sebelum salat) dilantunkan dengan kehati-hatian maksimal. Durasi Adzan Jumat di Solo seringkali terasa lebih lama, dihiasi dengan ornamentasi vokal yang rumit, menampilkan puncak dari tradisi vokal Surakarta. Ini bukan hanya panggilan; ini adalah pertunjukan kesalehan yang diwariskan dari generasi ke generasi, sebuah penyerahan total seni rupa dan spiritualitas kepada Yang Maha Kuasa.
Pada Adzan Jumat, kebersihan vokal dan stabilitas nafas menjadi ukuran utama. Dalam tradisi lisan, sering diceritakan bahwa Muadzin-muadzin kuno mampu melantunkan seluruh kalimat Adzan pertama hanya dalam dua atau tiga tarikan nafas utama, sebuah prestasi yang hanya dapat dicapai melalui latihan fisik dan spiritual yang mendalam, mencerminkan disiplin diri setinggi-tingginya.
VI. Bedah Leksikal dan Filosofi Kalimat Adzan dalam Konteks Solo
Untuk benar-benar mengapresiasi Adzan di Solo, perlu dilakukan bedah mendalam terhadap bagaimana setiap leksikal dalam Adzan diartikulasikan dan diberi penekanan, yang berbeda dari interpretasi global. Adzan terdiri dari enam kalimat utama yang diulang, namun cara Solo melantunkannya memberikan penekanan emosional yang khas:
6.1. Allahu Akbar (Empat Kali di Awal)
Kalimat pembuka ini adalah fondasi Adzan. Dalam cengkok Solo, empat kali pengucapan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar) sering dibagi menjadi dua pasang. Pasangan pertama dilantunkan dengan nada yang tenang dan agak datar, membangun keheningan dan pengakuan. Pasangan kedua, terutama pada pengucapan keempat, dimulai dengan nada yang sedikit naik, menciptakan antisipasi. Tarikannya sangat panjang, menahan nada tertinggi, yang secara filosofis diartikan sebagai upaya Modin untuk "menarik" perhatian jiwa yang masih terikat pada keduniawian, secara perlahan mengingatkannya pada kebesaran Ilahi yang absolut.
Pengulangan yang lambat ini memberikan kesempatan bagi pendengar untuk melepaskan segala urusan duniawi sebelum seruan ajakan (Hayya Alas Shalah) datang. Filosofi Jawa mengajarkan bahwa transisi harus terjadi secara bertahap, menghindari keterkejutan batin. Maka, ‘Allahu Akbar’ dalam gaya Solo berfungsi sebagai jembatan spiritual yang lembut.
6.2. Asyhadu an laa ilaha illallah (Dua Kali)
Seruan kesaksian ini dilantunkan dengan kejelasan makhraj yang luar biasa. Di Solo, penekanan sering jatuh pada ‘laa ilaha’ (tidak ada tuhan), yang sering ditarik panjang dan mendalam, diikuti oleh ‘illallah’ (kecuali Allah) dengan nada yang lebih tinggi namun cepat, seolah-olah penolakan terhadap segala yang salah harus diikuti dengan penegasan iman yang cepat dan kuat. Ini adalah momen penguatan tauhid. Dalam konteks budaya Jawa yang kaya sinkretisme, penegasan tauhid yang kuat ini merupakan pengingat vital akan ajaran murni Islam di tengah warisan budaya yang kompleks.
6.3. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (Dua Kali)
Kesaksian kenabian Muhammad SAW sering dilantunkan dengan nada yang paling menghormati dan penuh kasih. Cengkoknya cenderung lebih stabil dan lembut, berbeda dengan bagian tauhid yang lebih dinamis. Nada pada bagian ini sering dianggap sebagai jembatan antara kebesaran Tuhan dan realitas manusia. Ini menunjukkan bahwa meskipun Tuhan Maha Besar, Dia tetap memberikan petunjuk melalui utusan-Nya. Di Solo, bagian ini diyakini sebagai penenang batin setelah pengakuan kebesaran Ilahi yang mungkin terasa menakutkan.
6.4. Tarji' dan Tatswib
Meskipun ‘Tarji’ (mengulang dua kalimat syahadat dengan volume yang lebih rendah sebelum melantunkannya kembali dengan keras) kurang dominan di masjid-masjid Solo dibandingkan tradisi Madinah, praktiknya tetap ada pada beberapa masjid tua. Yang lebih khas adalah Tatswib, penambahan kalimat "As-salātu khayrun min an-nawm" (Salat lebih baik daripada tidur) hanya pada Adzan Subuh. Di Solo, Tatswib dilantunkan dengan nada yang sangat rendah dan lirih, hampir seperti bisikan spiritual, mengingatkan Modin agar tidak membangunkan masyarakat dengan teriakan, tetapi dengan ajakan yang halus, sesuai dengan prinsip Tepa Selira (toleransi dan empati) Jawa.
VII. Geografi Akustik Solo: Dari Keraton hingga Laweyan
Surakarta memiliki lanskap geografis spiritual yang dibagi-bagi oleh masjid-masjid utama. Masing-masing komunitas memiliki sedikit variasi dalam cengkok Adzan mereka, meskipun tetap berada di bawah payung besar tradisi Surakarta. Tiga pusat utama Adzan di Solo adalah Masjid Agung Keraton, Masjid Al-Wustho Mangkunegaran, dan masjid-masjid tua di kawasan Laweyan.
7.1. Masjid Agung: Pusat Konservasi Gaya Klasik
Masjid Agung Surakarta Hadiningrat (di sisi barat Alun-Alun Utara) adalah barometer konservasi. Adzan di sini diatur paling ketat oleh pakem Keraton. Gayanya sangat klasik, lambat, formal, dan dipenuhi kehati-hatian vokal. Suaranya adalah cerminan dari kekhidmatan Keraton, sebuah ritus yang harus sempurna untuk didengar oleh Sunan dan seluruh abdi dalem. Masjid Agung memastikan bahwa Adzan di sini adalah representasi paling murni dari Warisan Mataram.
7.2. Masjid Al-Wustho Mangkunegaran: Perbedaan Dinasti
Kadipaten Mangkunegaran, meskipun berdekatan dengan Keraton Kasunanan, memiliki otonomi budaya. Masjid Al-Wustho, masjid utama Mangkunegaran, melantunkan Adzan yang mungkin sedikit lebih dinamis dan memiliki elemen improvisasi yang lebih kentara, mencerminkan karakter Mangkunegaran yang dikenal lebih terbuka terhadap inovasi budaya. Namun, intonasinya tetaplah lembut dan mendayu, memastikan ia tetap dalam identitas Solo, namun dengan sentuhan keberanian yang halus.
7.3. Laweyan dan Sentra Santri: Kedalaman Vokal Tradisional
Kawasan Laweyan, yang dikenal sebagai sentra perdagangan dan pesantren kuno, memiliki masjid-masjid yang sangat tua, seperti Masjid Laweyan (Masjid Ki Ageng Henis). Adzan di kawasan ini sering kali dilantunkan oleh Modin yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang kuat. Cengkoknya mungkin terasa lebih berat (anteb) dan sangat menekankan pada makhraj Arab yang akurat, tetapi tetap menjaga kelenturan vokal Jawa. Suara Adzan dari Laweyan sering membawa resonansi sejarah perdagangan Islam di Solo, menghubungkan ritual Keraton dengan spiritualitas komersial rakyat.
Jangkauan suara dari masjid-masjid di Laweyan, sebelum modernisasi, diatur berdasarkan jaringan gang dan lorong di perkampungan padat itu. Mereka menggunakan strategi akustik yang mengandalkan dinding-dinding bangunan sebagai reflektor suara, memastikan setiap rumah tangga, meskipun padat, menerima panggilan suci dengan jelas. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran suara Adzan di Solo juga merupakan strategi komunitas, bukan hanya strategi Keraton.
VIII. Gema Abadi dan Warisan Spiritual Solo
Adzan di Solo adalah sebuah teks yang hidup, sebuah narasi yang terus diucapkan ulang lima kali sehari, setiap hari. Ia adalah manifestasi dari harmoni yang telah dibentuk oleh sejarah panjang, pertemuan antara agama yang datang dari Timur Tengah dengan kebudayaan lokal yang sangat kaya dan mengutamakan estetika. Adzan berfungsi sebagai jangkar spiritual, penanda identitas Solo sebagai Kota Budaya, di mana setiap ritual, sekecil apa pun, dihiasi dengan makna dan keindahan.
Perjuangan untuk melestarikan cengkok tradisional Solo adalah perjuangan untuk mempertahankan jiwa kota itu sendiri. Ketika Adzan dilantunkan dengan cengkok yang benar, ia bukan hanya menyentuh telinga, tetapi juga menggerakkan memori kolektif akan para leluhur, raja-raja yang memimpin, dan Walisongo yang pertama kali menyebarkan cahaya Islam dengan kebijaksanaan dan kelembutan. Suara Adzan yang mendayu di pagi buta, yang tenang di tengah hari, dan yang mendesak saat senja, adalah simfoni yang mendefinisikan waktu, tempat, dan spiritualitas Surakarta Hadiningrat.
Dalam riwayatnya yang panjang, Adzan di Solo telah menjadi lebih dari sekadar panggilan; ia adalah warisan seni vokal, sebuah monumen akustik yang berdiri tegak melawan arus perubahan. Dengan setiap tarikan nafas panjang para Modin, Solo menegaskan kembali komitmennya pada tradisi, menunjukkan bahwa modernitas dapat hidup berdampingan dengan warisan, asalkan akar spiritual dan budaya dipertahankan dengan ketulusan dan kehati-hatian yang luar biasa. Gema dari menara-menara kuno Solo akan terus mengalun, membawa pesan keagungan dan ketenteraman, merangkul setiap jiwa di bawah langit Mataram yang damai.
Kehadiran Adzan yang konsisten ini memberikan Solo sebuah irama yang stabil di tengah ketidakpastian dunia modern. Ia mengingatkan setiap warga bahwa meskipun dunia berubah, janji untuk kembali kepada Tuhan tetaplah konstan, dan panggilan untuk menuju kebahagiaan sejati tetap lantang. Oleh karena itu, Adzan di Solo akan terus diwariskan, bukan hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi sebagai harta karun budaya dan filosofis yang tak ternilai harganya. Setiap orang yang pernah tinggal di Solo, terlepas dari latar belakangnya, membawa dalam ingatannya melodi khas ini, sebuah penanda abadi dari kota yang senantiasa menjaga kehalusan dan kesucian tradisi leluhur.
Pengaruh Adzan bahkan merambah ke dalam seni dan sastra Jawa, seringkali disebut dalam tembang-tembang modern sebagai simbol waktu yang tak terhindarkan atau sebagai penanda nostalgia masa lalu. Para seniman sering menggambarkan Adzan Subuh sebagai suara yang paling murni, seolah-olah seluruh kota masih tertidur kecuali para Modin yang sedang menjalankan tugas suci mereka, mengundang fajar ke dalam kehidupan spiritual komunal. Fenomena ini menunjukkan betapa mendalamnya Adzan telah terintegrasi, menjadikannya penanda budaya yang sama pentingnya dengan Batik, Keraton, atau Gamelan itu sendiri. Solo, melalui Adzannya, memberikan pelajaran tentang bagaimana iman dan budaya dapat saling memperkaya, menciptakan identitas spiritual yang unik di kancah global. Adzan di Solo adalah musik spiritual yang tak pernah berhenti, melodi yang membawa doa dan kedamaian bagi seluruh kota.