Ilustrasi keindahan dan keseriusan dalam melaksanakan Shalat Ad Dhuha.
Shalat Ad Dhuha adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat ditekankan (sunnah muakkadah) dalam ajaran Islam. Ibadah ini dilaksanakan pada permulaan waktu siang, menjembatani ibadah fajar (subuh) dengan kesibukan duniawi yang akan dimulai. Keistimewaannya bukan hanya terletak pada waktu pelaksanaannya yang unik, tetapi juga pada janji pahala yang luar biasa, sering kali dikaitkan dengan pelunasan 'sedekah' atas seluruh persendian tubuh manusia.
Secara bahasa (linguistik), kata "Dhuha" (الضُّحَى) memiliki arti 'pagi hari yang agak meninggi' atau 'permulaan siang' ketika matahari sudah mulai memancarkan sinarnya dengan kuat setelah terbit. Ini berbeda dengan waktu *Isyrāq* (terbit) yang merupakan waktu ketika matahari baru saja muncul di ufuk.
Dalam terminologi Fiqh, Ad Dhuha merujuk pada shalat sunnah yang dilaksanakan setelah matahari naik setinggi tombak (sekitar 15 hingga 20 menit setelah syuruk) hingga menjelang waktu zuhur (waktu *zawāl*).
Ulama sepakat bahwa Shalat Ad Dhuha adalah sunnah. Namun, ia tergolong *Sunnah Muakkadah*, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan dan jarang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ. Kedudukannya ini membuatnya lebih utama dibandingkan sunnah-sunnah *ghairu muakkadah* (yang tidak terlalu ditekankan).
Imam An-Nawawi, seorang ulama mazhab Syafi'i, menjelaskan bahwa keutamaan shalat ini didasarkan pada banyaknya hadits sahih yang secara eksplisit menganjurkan pelaksanaannya, termasuk wasiat dari Rasulullah kepada beberapa sahabat seperti Abu Hurairah dan Abu Darda’.
“Kekuatan spiritual yang ditawarkan oleh Dhuha adalah pengakuan bahwa setiap hari yang kita mulai adalah karunia, dan syukur atas karunia tersebut harus diwujudkan dalam bentuk ibadah sebelum kita tenggelam dalam urusan dunia.”
Memahami batasan waktu adalah kunci utama dalam pelaksanaan Shalat Ad Dhuha. Waktu ini dibagi menjadi tiga segmen penting:
Awal waktu Dhuha dimulai setelah matahari terbit sepenuhnya dan naik setinggi kira-kira satu tombak. Dalam hitungan waktu modern, ini biasanya sekitar 15 hingga 20 menit setelah waktu *Syurūq* (matahari terbit). Shalat yang dilaksanakan persis setelah *Syurūq* dan diikuti dengan dzikir sering kali disebut sebagai Shalat *Isyrāq* (yang dianggap sebagian ulama sebagai awal dari Shalat Dhuha).
Mazhab Syafi'i menetapkan bahwa waktu yang paling awal adalah ketika keraguan akan adanya waktu yang diharamkan (waktu *karāhah*) telah hilang sepenuhnya, yaitu setelah matahari meninggi.
Akhir waktu Dhuha adalah sesaat sebelum matahari bergeser dari posisi tengah langit (titik kulminasi atau *zawāl*), yang merupakan permulaan waktu Shalat Zuhur. Dianjurkan untuk menyelesaikan Shalat Dhuha setidaknya 5 hingga 10 menit sebelum adzan Zuhur berkumandang.
Para ulama sepakat bahwa waktu yang paling utama untuk melaksanakan Dhuha adalah ketika hari sudah mulai panas dan terik, yaitu menjelang pertengahan waktu Dhuha, sekitar seperempat siang telah berlalu. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah ﷺ:
(صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ)
Artinya: "Shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (al-awwabin) adalah ketika anak unta merasakan panasnya bumi (karena terik matahari)." (HR. Muslim)
Waktu ini, dalam konteks Indonesia, biasanya jatuh antara pukul 9:00 pagi hingga 10:30 pagi, tergantung musim dan lokasi geografis.
Keutamaan Dhuha yang paling masyhur adalah hubungannya dengan kewajiban sedekah. Setiap manusia diciptakan dengan 360 persendian, dan setiap persendian ini wajib disyukuri dengan sedekah setiap harinya. Rasulullah ﷺ memberikan solusi yang mudah dan agung untuk memenuhi kewajiban syukur ini melalui Dhuha.
Hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari menjelaskan:
"Setiap pagi, setiap persendian salah seorang di antara kalian wajib (dibayarkan) sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (Laa ilaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah, dan cukuplah semua itu digantikan dengan dua rakaat Shalat Dhuha." (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa Shalat Dhuha 2 rakaat memiliki nilai setara dengan 360 jenis sedekah, sebuah kemudahan yang luar biasa dari Allah SWT bagi hamba-Nya yang sibuk.
Tata cara Shalat Dhuha sama persis dengan shalat sunnah dua rakaat lainnya, baik dari segi rukun, syarat, hingga pembatalnya. Perbedaan utamanya terletak pada niat dan waktu pelaksanaannya.
Niat harus diucapkan dalam hati saat takbiratul ihram. Lafal niat yang sering digunakan adalah:
أُصَلِّي سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: "Aku niat shalat sunnah Dhuha dua rakaat karena Allah Ta'ala."
Meskipun sah hukumnya membaca surat apa saja, Rasulullah ﷺ menganjurkan bacaan spesifik untuk dua rakaat Dhuha, atau rakaat-rakaat awal jika shalat lebih dari dua:
Penggunaan Surah Asy-Syams dan Surah Al-Kāfirūn adalah yang paling sering disebut dalam riwayat para ulama salaf, menunjukkan kesinambungan dan penekanan pada waktu pagi yang disumpahkan oleh Allah.
Terdapat perbedaan pendapat yang luas mengenai jumlah rakaat Shalat Dhuha, namun semua didasarkan pada praktik Rasulullah ﷺ yang fleksibel dalam ibadah sunnah.
Dua rakaat adalah jumlah minimal yang sah dan sudah cukup untuk mendapatkan pahala sedekah 360 persendian, berdasarkan hadits Abu Dzar yang telah disebutkan sebelumnya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jumlah maksimal yang paling kuat dasarnya adalah delapan rakaat. Ini didasarkan pada kisah penaklukan kota Mekah (*Fathu Makkah*), di mana Rasulullah ﷺ melaksanakan Shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat.
Namun, beberapa ulama lain, seperti dalam Mazhab Hanafi dan Syafi'i, membolehkan hingga dua belas rakaat, merujuk pada hadits yang dianggap *dhaif* (lemah) namun diamalkan secara tradisi, seperti hadits yang menyebutkan janji dibangunnya istana di surga bagi yang melaksanakan 12 rakaat. Dalam konteks fiqh yang ketat, 8 rakaat adalah yang paling aman dan kuat dalilnya.
Pelaksanaan rakaat tambahan harus dilakukan dengan format *mutsannā* (dua-dua), yakni setiap dua rakaat diakhiri dengan salam.
Setelah selesai shalat dan berdzikir sejenak, doa yang paling populer dan dianjurkan (meskipun tidak ada riwayat doa khusus dari Rasulullah ﷺ yang wajib dibaca, tetapi doa ini disusun oleh para ulama salaf) adalah:
اَللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ. اَللَّهُمَّ إِنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَائِكَ وَبَهَائِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِي مَا آتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ.
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya waktu Dhuha adalah waktu Dhuha-Mu, keagungan adalah keagungan-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, kekuasaan adalah kekuasaan-Mu, dan penjagaan adalah penjagaan-Mu. Ya Allah, jika rezekiku ada di langit maka turunkanlah, jika di bumi maka keluarkanlah, jika sukar mudahkanlah, jika haram sucikanlah, jika jauh dekatkanlah, dengan hak waktu Dhuha-Mu, keagungan-Mu, keindahan-Mu, kekuatan-Mu, dan kekuasaan-Mu, berikanlah kepadaku apa yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang saleh."
Doa ini mencerminkan tujuan utama Dhuha: memohon keberkahan waktu, keindahan rezeki, dan perlindungan (kesucian) dari Allah SWT.
Meskipun semua mazhab besar sepakat bahwa Shalat Dhuha adalah sunnah, terdapat nuansa dan penekanan berbeda dalam hal pelaksanaan, waktu, dan jumlah rakaat, yang menambah kedalaman pemahaman kita tentang ibadah ini.
Mazhab Hanafi sangat menekankan keutamaan Shalat Dhuha dan sering menyebutnya sebagai "Shalat Al-Awābin" (shalat orang-orang yang kembali bertaubat). Mereka berpendapat bahwa jumlah rakaat yang ideal adalah empat rakaat, meskipun mereka juga membolehkan hingga dua belas rakaat. Mereka cenderung menekankan waktu pelaksanaannya yang harus benar-benar di saat matahari sudah meninggi dan terik, sesuai dengan makna linguistik Dhuha yang merujuk pada puncak pagi.
Dalam Mazhab Hanafi, Shalat Dhuha tidak dianjurkan bagi orang yang memiliki kebiasaan Tahajud yang kuat, karena khawatir ibadah Tahajudnya akan terganggu atau dianggap lebih rendah. Namun, bagi mayoritas umat yang tidak rutin Tahajud, Dhuha menjadi penambal spiritual yang sangat penting di siang hari.
Imam Malik memberikan penekanan khusus pada waktu pelaksanaan. Mereka membedakan antara shalat yang dilakukan di awal waktu Dhuha (yang mereka anggap kurang ditekankan) dan shalat yang dilakukan saat pertengahan pagi (yang sangat ditekankan). Mazhab Maliki melihat 6 atau 8 rakaat sebagai jumlah yang ideal dan paling afdhal.
Salah satu poin unik dalam mazhab ini adalah kehati-hatian terhadap praktik yang terlalu rutin dalam shalat sunnah non-rawatib, dikhawatirkan dianggap wajib oleh masyarakat awam. Namun, Dhuha dikecualikan dari kekhawatiran ini karena adanya dalil yang sangat kuat dan eksplisit.
Mazhab Syafi'i adalah mazhab yang paling tegas dalam menggolongkan Dhuha sebagai *Sunnah Muakkadah*. Mereka berpegang teguh pada hadits-hadits yang menyatakan jumlah rakaat minimal 2 dan maksimal 8, meskipun mereka juga mengakui riwayat 12 rakaat. Kehati-hatian dalam Syafi'iyah adalah memastikan shalat dilakukan setelah waktu *karāhah* (waktu haram shalat sunnah) berakhir, yaitu sekitar 15-20 menit setelah terbit.
Penting bagi Syafi'iyah adalah pengamalan Surah Asy-Syams dan Al-Kāfirūn untuk meniru kebiasaan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Mereka juga melihat Dhuha sebagai ibadah yang berdiri sendiri, tidak perlu dikaitkan secara kaku dengan Tahajud.
Mazhab Hanbali juga menganggap Dhuha sebagai sunnah muakkadah. Mereka cenderung mengambil garis tengah, mengakui fleksibilitas 2 hingga 8 rakaat. Imam Ahmad bin Hanbal menekankan aspek sedekah persendian sebagai motivasi utama dalam pelaksanaan Dhuha. Mereka juga sangat berhati-hati dalam menentukan waktu *afdhal*, memastikan bahwa shalat dilakukan pada saat hari sudah mulai panas, sesuai dengan nash hadits.
Kesimpulan Fiqh: Mayoritas ulama menyimpulkan bahwa Shalat Ad Dhuha paling baik dilaksanakan 4 rakaat (sebagai jumlah tengah yang moderat dan mencakup banyak dalil), pada waktu seperempat siang, dengan niat yang tulus sebagai bentuk syukur atas nikmat persendian.
Di luar hukum fiqh dan hitungan pahala, Shalat Ad Dhuha menawarkan manfaat spiritual dan psikologis yang mendalam, menjadikannya ibadah yang ideal untuk menyeimbangkan kehidupan modern yang serba cepat.
Setelah melaksanakan Shalat Subuh dan berinteraksi sejenak dengan dunia, waktu Dhuha sering kali menjadi momen pertama kita benar-benar dihadapkan pada godaan dan hiruk pikuk pekerjaan. Shalat Dhuha berfungsi sebagai *reset* spiritual. Ketika kita mengangkat tangan untuk takbiratul ihram di tengah pagi, kita secara sadar menegaskan kembali bahwa tujuan utama kehidupan kita tetaplah Allah, bukan materi yang sedang kita cari.
Ini adalah pengakuan yang kuat bahwa rezeki yang kita kejar di siang hari adalah anugerah-Nya, dan memohon keberkahan melalui shalat adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa rezeki tersebut halal dan bermanfaat (*thayyiban mubarakan*).
Konsistensi dalam Dhuha mengajarkan disiplin waktu yang sangat bernilai. Menyelipkan ibadah di antara jam kerja atau jam belajar menuntut manajemen waktu dan prioritas. Orang yang istiqamah dalam Dhuha menunjukkan komitmen yang melebihi rutinitas wajib saja, menandakan kedekatan (qurbah) yang lebih tinggi dengan Sang Pencipta.
Imam Al-Ghazali dalam karyanya, *Ihyā’ Ulumiddin*, menempatkan shalat-shalat sunnah sebagai benteng pertahanan bagi shalat wajib. Dhuha, yang berada di tengah hari, berperan sebagai pengingat agar kita tidak lalai saat memasuki waktu Zuhur dan seterusnya.
Sebutan Shalat Dhuha sebagai Shalat Al-Awābin adalah indikasi mendalam akan sifat ibadah ini. *Awābin* adalah mereka yang sering kembali kepada Allah dalam keadaan bertaubat atau kembali dari kelalaian. Waktu Dhuha adalah saat energi duniawi memuncak, dan pada saat itulah seorang hamba memilih untuk berhenti sejenak, meninggalkan kegiatan yang menguntungkan secara materi, dan menghadap kepada Rabb-nya.
Ini adalah simbol penolakan lembut terhadap dominasi duniawi. Keputusan untuk shalat di waktu terik menunjukkan pengorbanan kecil yang membawa pahala besar, menegaskan bahwa ketaatan adalah prioritas tertinggi, bahkan di saat puncak kesibukan mencari nafkah.
Surah Ad-Dhuha (Surah ke-93) secara spiritual sangat terkait dengan waktu ini. Surah ini diturunkan untuk menenangkan Nabi Muhammad ﷺ ketika wahyu sempat terhenti, meyakinkan beliau bahwa Allah tidak meninggalkan atau membenci beliau.
Pesan utama surah ini adalah janji bahwa "akhirat itu lebih baik bagimu daripada permulaan" (*walal ākhiratu khairul laka minal ūlā*). Melaksanakan shalat di waktu Dhuha adalah tindakan simbolis meyakini janji tersebut, menanamkan keyakinan di tengah hari bahwa kesulitan atau kesibukan duniawi akan dibalas dengan kebaikan yang lebih besar di akhirat, asalkan kita senantiasa bersyukur dan beribadah.
Secara teknis fiqh, ada perbedaan. Shalat Isyrāq dilakukan segera setelah matahari terbit dan waktu *karāhah* berakhir (sekitar 15 menit setelah syuruk), sementara Shalat Dhuha memiliki rentang waktu yang lebih panjang dan waktu *afdhal*-nya adalah menjelang tengah hari. Namun, banyak ulama modern dan mayoritas umat menganggap Shalat Isyrāq sebagai bagian awal dari rentang waktu Shalat Dhuha.
Hadits yang menjanjikan pahala haji dan umrah sempurna adalah khusus bagi mereka yang melaksanakan Shalat Subuh berjamaah, duduk berdzikir hingga matahari terbit, dan kemudian melaksanakan dua rakaat (Isyrāq). Ini adalah praktik yang sangat dianjurkan dan melengkapi Dhuha secara keseluruhan.
Ya, Shalat Dhuha adalah shalat sunnah, dan memperlama berdiri (Qiyam) dengan membaca ayat-ayat Al-Qur'an adalah salah satu bentuk *tahsin* (memperindah) ibadah. Rasulullah ﷺ sangat menyukai shalat yang dilaksanakan dengan berlama-lama, asalkan tidak menimbulkan kesulitan yang tidak perlu. Membaca surah yang lebih panjang atau mengulang-ulang ayat tertentu diperbolehkan, bahkan dianjurkan, selama pelaksanaannya tidak melewati batas waktu Zuhur.
Karena Shalat Dhuha adalah sunnah, meninggalkannya tidak menimbulkan dosa. Namun, bagi seseorang yang sudah terbiasa istiqamah, meninggalkannya tanpa uzur syar'i (seperti sakit atau perjalanan sulit) dapat menghilangkan pahala besar dan kecukupan yang dijanjikan. Rasulullah ﷺ pernah meninggalkan beberapa sunnah untuk menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib, namun beliau melakukannya untuk tujuan syar'i, bukan karena kemalasan.
Dalam konteks modern, Shalat Dhuha berfungsi sebagai teknik *mindfulness* dan jeda produktif. Mengambil waktu 5-10 menit di pertengahan pagi untuk fokus total pada ibadah dapat mengurangi stres, meningkatkan fokus, dan mengembalikan energi spiritual. Ini adalah bentuk investasi waktu yang menghasilkan ketenangan (sakinah) yang sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan hari tersebut.
Keyakinan bahwa Allah telah menjamin kecukupan rezeki melalui shalat ini juga mengurangi kecemasan finansial (stressor utama dalam kehidupan), memungkinkan seorang Muslim bekerja dengan lebih tenang dan efektif.
Jika seseorang lupa atau tertidur sehingga melewatkan waktu Dhuha (yakni waktu Zuhur sudah masuk), shalat tersebut tidak perlu diqadha (diganti). Shalat sunnah yang memiliki waktu spesifik, seperti Dhuha, umumnya tidak diqadha jika waktunya telah habis, berbeda dengan shalat wajib. Namun, jika ia sudah berniat kuat melaksanakannya tetapi terlewat, Allah SWT tetap mencatat niat baik tersebut.
Shalat Dhuha, dengan segala keindahan dan kekuatannya, adalah panggilan untuk menjadikan pagi sebagai waktu emas untuk membangun hubungan yang kokoh dengan Allah SWT, memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil di siang hari dipenuhi dengan berkah dan ridha-Nya. Mempraktikkan *Ad Dhuha dan artinya* secara konsisten adalah investasi spiritual paling berharga bagi seorang Muslim.
Shalat Ad Dhuha tidak sekadar rutinitas penambah pahala, melainkan sebuah filosofi hidup yang mengajarkan pentingnya syukur, konsistensi, dan pengakuan atas kekuasaan Ilahi di tengah-tengah kesibukan dunia. Dari tinjauan fiqh yang mendalam hingga keutamaan spiritualnya, ibadah ini menawarkan perlindungan, pengampunan, dan jaminan kecukupan rezeki.
Setiap rakaat yang dilaksanakan adalah perwujudan ketaatan yang membebaskan 360 persendian dari kewajiban sedekah, sebuah pertukaran agung dari Allah SWT. Ini adalah bukti kasih sayang-Nya, yang tidak membiarkan hamba-Nya terbebani kewajiban fisik yang mungkin sulit dipenuhi, melainkan menawarkan kemudahan melalui ibadah ringan namun bermakna.
Kesinambungan pelaksanaan Shalat Ad Dhuha adalah tanda dari hati yang senantiasa kembali (*al-awwabin*), yang meskipun sibuk dengan urusan dunia, tetap menjadikan Allah sebagai poros utama kehidupan. Dengan memahami *Ad Dhuha dan artinya*, kita bukan hanya melaksanakan gerakan fisik, tetapi merajut kesadaran bahwa seluruh kekuatan, keindahan, dan rezeki hanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Ta'ala.
Memelihara Dhuha adalah memelihara berkah sepanjang hari, menjamin fondasi spiritual yang kuat sebelum badai aktivitas menerpa.