Surah Ad-Dukhan (Kabut/Asap) adalah salah satu surah Makkiyah yang sangat sentral dalam pembahasan mengenai tanda-tanda hari akhir dan penegasan kekuasaan Ilahi. Inti dari surah ini adalah peringatan yang keras terhadap kaum musyrikin yang senantiasa menolak kebenaran, serta penekanan pada hakikat Hari Kebangkitan. Namun, di antara semua ayat yang sarat makna, terdapat satu ayat yang memicu perdebatan tafsir yang mendalam, melintasi batas-batas sejarah dan eskatologi Islam: Ad-Dukhan ayat 10.
Ayat ini berbicara tentang munculnya 'Dukhanul Mubin' (Kabut yang Nyata atau Asap yang Jelas) sebagai sebuah pertanda besar. Studi mendalam terhadap ayat ini tidak hanya membuka jendela menuju tanda-tanda Kiamat Kubra (Kiamat Besar), tetapi juga mengungkap kekayaan metode penafsiran (Tafsir) di kalangan ulama salaf dan khalaf. Untuk memahami kedalaman makna ini, kita harus menyelami konteks wahyu, analisis linguistik, dan pandangan-pandangan ulama terkemuka yang telah mencurahkan hidup mereka untuk menyingkap misteri di balik kabut peringatan ini.
Kata kunci dalam ayat ini adalah fa-rtaqib (maka tunggulah/nantikanlah), menunjukkan perintah untuk menanti suatu peristiwa besar yang pasti akan terjadi. Peristiwa tersebut dikaitkan dengan yauma ta'tīs-samā'u bidukhānim mubīn (hari ketika langit membawa kabut/asap yang nyata).
Gambar SVG: Representasi visual 'Dukhanul Mubin', kabut tebal yang menyelimuti sebagai tanda peringatan Ilahi.
Untuk menghindari penafsiran yang dangkal, kita harus memahami makna akar dari terminologi yang digunakan dalam ayat Ad-Dukhan ayat 10. Dua kata kunci yang menjadi pusat perdebatan eskatologis adalah Dukhan dan Mubin.
Secara harfiah, Dukhan berarti asap atau kabut. Dalam konteks bahasa Arab klasik, ia merujuk pada materi yang timbul dari pembakaran atau kondisi atmosfer yang padat yang mengaburkan pandangan. Dalam konteks Al-Qur'an, penggunaannya selalu terkait dengan azab, malapetaka, atau kondisi yang menakutkan, seperti asap Neraka (Jahannam).
Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi kenabian, Dukhan bukan sekadar asap biasa. Jika ia adalah tanda Kiamat, ia haruslah merupakan fenomena kosmik yang luar biasa, melampaui kebakaran hutan atau polusi industri. Ia digambarkan sebagai kabut yang menembus ke dalam tubuh, menimbulkan rasa sakit, dan menyebabkan penderitaan yang meluas.
Kata Mubin berasal dari akar kata B-Y-N, yang berarti jelas, nyata, terang, atau membedakan. Ironisnya, bagaimana mungkin kabut atau asap (yang secara alamiah mengaburkan) disebut 'jelas' atau 'nyata'? Para ulama menafsirkan Mubin dalam beberapa cara:
Sinergi antara 'dukhan' yang mengaburkan dan 'mubin' yang menjelaskan menciptakan sebuah paradoks linguistik yang menantang akal. Hal ini menegaskan bahwa peristiwa ini memiliki dimensi spiritual dan fisik yang tak terhindarkan, sebuah manifestasi kekuasaan Allah yang tidak dapat disalahartikan oleh siapapun, terlepas dari betapa gelapnya fenomena tersebut.
Interpretasi mengenai kapan dan bagaimana Dukhanul Mubin terjadi telah membelah ulama tafsir menjadi dua kubu utama yang memiliki dalil kuat dari Hadits dan konteks historis:
Pendapat ini, yang utamanya disandarkan pada riwayat dari sahabat terkemuka, Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, menafsirkan Dukhanul Mubin sebagai peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, spesifiknya pada periode penolakan kaum Quraisy di Makkah.
Ketika penolakan kaum Quraisy terhadap dakwah Nabi Muhammad ﷺ mencapai puncaknya, Nabi berdoa memohon agar Allah menimpakan mereka kekeringan dan kelaparan seperti yang terjadi pada masa Nabi Yusuf. Allah mengabulkan doa tersebut. Makkah dilanda paceklik hebat, menyebabkan kelaparan yang sangat parah. Orang-orang terpaksa memakan bangkai dan kulit. Karena intensitas kelaparan dan kesulitan, ketika mereka menengadah ke langit, mata mereka berhalusinasi dan melihat kabut atau asap.
Riwayat yang mendukung pandangan ini sering merujuk pada ayat berikutnya: رَبَّنَا اكْشِفْ عَنَّا الْعَذَابَ إِنَّا مُؤْمِنُونَ (Ya Tuhan kami, hapuskanlah azab itu dari kami. Sesungguhnya kami akan beriman). Mereka berpendapat bahwa azab ini telah dicabut setelah kaum Quraisy meminta pertolongan kepada Nabi. Azab dalam bentuk kelaparan dan kabut pandangan ini bersifat 'mubin' (jelas) bagi mereka yang mengalaminya, sebuah peringatan dini yang telah berlalu.
Meskipun Ibnu Mas'ud adalah sahabat yang terpercaya, mayoritas ulama kemudian (seperti Imam Ahmad, Al-Hasan Al-Bashri, dan lainnya) cenderung tidak sepakat bahwa peristiwa ini adalah interpretasi final. Kritik utama terhadap pandangan ini adalah bahwa ayat-ayat di Surah Ad-Dukhan tampak selaras dengan tanda-tanda Kiamat yang lebih besar dan futuristik. Jika azab itu telah dicabut, mengapa Allah menggunakan kata fa-rtaqib (maka tunggulah/nantikanlah), yang menyiratkan peristiwa yang belum terjadi?
Para pendukung pandangan futuristik berpendapat bahwa paceklik yang dialami kaum Quraisy hanyalah 'contoh' kecil dari azab duniawi yang mirip dengan Dukhan, namun Dukhan yang dimaksud ayat 10 adalah peristiwa kosmik yang jauh lebih dahsyat yang menjadi salah satu gerbang menuju Hari Kiamat.
Ini adalah pandangan mayoritas ulama (Jumhur Ulama) dan banyak mufasir klasik, termasuk Ibn Kathir, At-Tabari, dan Al-Qurtubi, yang menganggap Dukhanul Mubin sebagai salah satu dari sepuluh tanda besar menjelang Hari Kiamat (Asyrat As-Sa'ah Al-Kubra).
Pandangan ini didukung oleh Hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin Asid Al-Ghifari, di mana Nabi ﷺ menyebutkan sepuluh tanda besar yang akan mendahului Kiamat, salah satunya adalah Dukhan. Hadits ini meletakkan Dukhan dalam rangkaian peristiwa eskatologis bersamaan dengan munculnya Dajjal, turunnya Isa putra Maryam, munculnya Ya'juj dan Ma'juj, serta terbitnya matahari dari Barat.
Menurut pandangan ini, Dukhanul Mubin akan muncul sebagai kabut tebal yang melingkupi seluruh bumi selama empat puluh hari empat puluh malam. Dampak kabut ini berbeda bagi orang beriman dan orang kafir:
Dukhan, dalam interpretasi ini, berfungsi sebagai penutup peluang taubat. Setelah tanda-tanda besar Kiamat muncul, pintu taubat akan ditutup, sebagaimana ditegaskan dalam Hadits mengenai terbitnya matahari dari Barat. Kabut ini adalah manifestasi konkret dari janji Allah untuk memberikan peringatan terakhir sebelum perhitungan dimulai. Ia adalah hukuman di dunia yang berfungsi sebagai pratinjau azab akhirat bagi para pendurhaka.
Jika kita menerima pendapat mayoritas bahwa Dukhanul Mubin adalah tanda Kiamat yang akan datang, muncul pertanyaan yang lebih dalam mengenai sifat fisiknya. Apakah ini hanya simbolisme atau sebuah fenomena alam yang nyata?
Banyak ulama kontemporer mencoba menafsirkan Dukhan dalam kerangka ilmu pengetahuan modern, meskipun mereka tetap menekankan bahwa hakikatnya adalah gaib. Beberapa interpretasi yang diajukan antara lain:
Sebagian akademisi mengemukakan bahwa Dukhan bisa jadi merupakan debu kosmik yang terlempar ke atmosfer akibat tabrakan benda langit besar (asteroid atau komet) dengan Bumi. Debu yang meluas ini dapat menghalangi cahaya matahari selama berbulan-bulan, menyebabkan kegelapan, pendinginan global mendadak, dan kelaparan massal (efek "musim dingin nuklir"). Kabut debu ini akan terasa menyesakkan dan nyata (mubin).
Letusan gunung api super (seperti Toba di masa lampau) melepaskan sejumlah besar sulfur dioksida dan abu ke stratosfer, yang dapat menyelimuti planet, memicu kegelapan, hujan asam, dan kolapsnya rantai makanan. Kabut asap vulkanik ini sangat mematikan dan sesuai dengan deskripsi Dukhan yang menyebabkan penderitaan fisik yang parah.
Pentingnya interpretasi ini adalah upaya untuk menjembatani antara janji kenabian dengan realitas fisik yang mungkin. Namun, ulama menekankan bahwa apakah Dukhan itu disebabkan oleh abu vulkanik atau debu kosmik, ia terjadi atas izin dan kehendak mutlak Allah, dan dampaknya yang mematikan dan selektif terhadap orang beriman dan kafir adalah bagian dari mukjizat tanda-tanda akhir zaman.
Terlepas dari interpretasi historis atau futuristik, tema sentral dari Ad-Dukhan ayat 10 adalah peringatan. Allah menggunakan fenomena yang paling mengancam indra manusia—pernapasan dan penglihatan—untuk menyampaikan azab. Dukhanul Mubin mengajarkan bahwa azab bisa datang dalam bentuk yang tak terduga, tidak berupa badai api atau gempa bumi, melainkan sesuatu yang menyelimuti dan mencekik.
Perintah fa-rtaqib (maka tunggulah) bukan hanya perintah untuk menanti secara pasif, tetapi perintah untuk bersiap siaga secara spiritual. Menunggu tanda Kiamat berarti hidup dalam kesadaran akan kefanaan dan pentingnya taubat yang mendesak, sebelum kabut gelap itu datang dan pintu taubat tertutup selamanya.
Untuk memahami mengapa Dukhanul Mubin begitu menakutkan, kita harus melihat konteks surah secara keseluruhan. Surah Ad-Dukhan dimulai dengan penegasan Al-Qur'an sebagai Kitab yang Jelas (Al-Kitabul Mubin) yang diturunkan pada malam yang diberkahi (Lailatul Mubarakah). Ayat-ayat awal ini berfungsi sebagai pengantar yang agung sebelum beralih ke ancaman bagi mereka yang menolak:
"Sesungguhnya Kami akan menimpakan siksaan yang keras kepada mereka, dan Kami akan menguji mereka." (Ad-Dukhan: 16)
Dukhanul Mubin adalah manifestasi dari 'siksaan yang keras' yang dijanjikan. Siksaan ini adalah hukuman duniawi yang dirancang untuk membangunkan hati yang keras. Ayat 10 adalah titik balik, di mana diskusi beralih dari narasi historis (seperti kisah Firaun dan Bani Israil dalam ayat-ayat selanjutnya) ke prospek hukuman yang akan datang secara universal.
Ayat 10-12 menunjukkan siklus penolakan dan permohonan. Ketika Dukhan datang, orang-orang kafir akan berkata, "Ya Tuhan kami, hapuskanlah azab itu dari kami, sesungguhnya kami akan beriman." Ini menunjukkan kepanikan dan taubat yang terlambat. Al-Qur'an kemudian menjawab, "Bagaimana mereka dapat mengambil pelajaran, padahal telah datang kepada mereka seorang Rasul yang menjelaskan?" (Ad-Dukhan: 13).
Pelajaran yang sangat kuat di sini adalah bahwa ketika peringatan Allah yang nyata (Dukhanul Mubin) telah datang, taubat yang didasarkan pada ketakutan semata, bukan keyakinan tulus, sudah tidak lagi bernilai. Peringatan yang jelas (Rasulullah ﷺ, Al-Qur'an, dan tanda-tanda alam) sudah diberikan berulang kali. Dukhan menjadi batas waktu, titik di mana argumentasi berakhir dan hukuman dimulai.
Terlepas dari perbedaan penafsiran mengenai waktu kemunculannya (sudah terjadi atau belum), implikasi moral dan spiritual dari Ad-Dukhan ayat 10 bersifat universal dan abadi bagi setiap Muslim:
Ayat ini menuntut keyakinan penuh terhadap hal-hal gaib. Keyakinan terhadap Dukhan sebagai salah satu tanda Kiamat Kubra adalah bagian integral dari keimanan pada Hari Akhir. Ini mengingatkan mukmin bahwa kehidupan duniawi ini hanyalah penundaan, dan bahwa hukuman Ilahi adalah hal yang nyata dan fisik.
Ayat 10 mendorong kesadaran temporal. Setiap tanda besar Kiamat—termasuk Dukhan—adalah penanda bahwa waktu yang tersisa sangat singkat. Seorang Muslim tidak boleh menunda taubat atau amal shalihnya. Perintah 'maka tunggulah' mengandung makna kesiapan permanen, di mana hati senantiasa terhubung dengan kesadaran akan pertemuan dengan Allah.
Surah Ad-Dukhan menempatkan kisah kenabian Musa dan penghancuran Firaun di samping ancaman Dukhan. Ini menunjukkan pola Ilahi: Allah memberikan nikmat dan peringatan yang berulang kali, namun ketika penolakan menjadi mutlak, azab datang dalam bentuk yang tak terhindarkan. Dukhan adalah manifestasi terakhir dari kesabaran Allah yang telah habis.
Mufasir klasik menyediakan detail tambahan yang memperkaya pemahaman kita tentang Dukhanul Mubin, terutama dalam konteks Hadits-hadits yang menjelaskan sepuluh tanda besar:
Imam Ibn Kathir, dalam tafsirnya, secara tegas mendukung pandangan bahwa Dukhan adalah salah satu tanda besar yang akan terjadi. Beliau mengumpulkan riwayat-riwayat yang menentang pandangan Ibnu Mas'ud (bahwa itu hanya paceklik Makkah) dan menguatkan bahwa Dukhan akan menjadi kabut fisik yang meliputi seluruh bumi. Beliau menekankan bahwa Dukhan akan datang sebelum tanda-tanda terbitnya matahari dari Barat, menandakan ia berada di awal rangkaian Kiamat Kubra.
Imam Al-Qurtubi fokus pada sifat fisik Dukhan. Ia menjelaskan penderitaan orang kafir yang akan mengalami kesulitan bernapas dan rasa terbakar. Deskripsi ini menggarisbawahi sifat Dukhan sebagai azab yang melibatkan paru-paru dan sistem pernapasan, menjadikannya azab yang sangat pribadi dan menyesakkan. Kabut tersebut bukan hanya mengaburkan pandangan luar, tetapi juga mematikan dari dalam.
Para ulama sangat berhati-hati dalam membedakan Dukhanul Mubin dengan kabut atau polusi yang kita kenal saat ini. Dukhanul Mubin adalah peristiwa yang diturunkan oleh Allah sebagai azab dan tanda. Ia memiliki efek supernatural—memberikan kenyamanan (seperti flu ringan) kepada orang beriman dan siksaan mematikan bagi orang kafir—yang menunjukkan bahwa ia bukan hanya fenomena alam biasa, tetapi intervensi langsung Ilahi.
Maka, menanti Dukhanul Mubin (sebagaimana perintah dalam ayat Ad-Dukhan ayat 10) adalah menanti pemisah antara dunia kesempatan dan dunia pembalasan. Ayat ini adalah panggilan untuk introspeksi, sebuah pengingat bahwa meskipun Allah Maha Pengasih, keadilan-Nya menuntut konsekuensi bagi penolakan yang terus-menerus. Kedatangan kabut yang nyata itu akan menjadi penutup tirai panggung kehidupan duniawi, mengantar manusia menuju perhitungan yang tak terhindarkan. Kehidupan adalah masa persiapan sebelum kabut itu menyelimuti segalanya. Pemahaman yang mendalam tentang ayat ini meneguhkan urgensi keimanan dan amal shalih dalam setiap detik kehidupan seorang Muslim.
Eskatologi Islam, ilmu tentang hari akhir, memberikan kerangka yang sangat terperinci untuk menempatkan Dukhanul Mubin. Dalam literatur Hadits, sepuluh tanda besar (Asyrat As-Sa’ah Al-Kubra) disusun dalam sebuah urutan kronologis, meskipun urutan persisnya masih menjadi subjek diskusi. Namun, para ulama sepakat bahwa Dukhan akan muncul setelah kemunculan beberapa tanda yang lebih kecil dan mungkin sebelum atau bersamaan dengan peristiwa kosmik lainnya.
Jika kita meninjau kembali riwayat yang mengaitkan Dukhan dengan sepuluh tanda besar, kita menemukan bahwa ia sering disebutkan segera setelah kedatangan Imam Mahdi dan sebelum tanda-tanda kehancuran total. Dukhan adalah salah satu dari tiga tanda besar yang melibatkan fenomena alam di langit (selain terbitnya matahari dari Barat dan keluarnya binatang dari bumi), yang mengindikasikan pergeseran dramatis dalam tatanan kosmik.
Penting untuk membedakan antara 'tanda-tanda biasa' yang merupakan peringatan berulang (seperti bencana alam, penyakit, atau kekacauan sosial) dengan 'tanda-tanda besar' yang secara definitif menutup periode taubat. Dukhanul Mubin berfungsi sebagai jembatan dari dunia yang penuh pilihan menuju dunia yang penuh konsekuensi. Keberadaannya menjustifikasi perintah Ilahi untuk menunggu dan berwaspada, karena setelah ia datang, tidak ada lagi ruang untuk keraguan.
Mengapa Allah memilih kabut, bukan api, sebagai tanda pemungkas? Kabut adalah sesuatu yang menyelimuti, bersifat halus tetapi mematikan. Ia melambangkan ketidakmampuan manusia untuk melarikan diri dari takdirnya. Berbeda dengan gempa bumi yang bersifat lokal atau badai yang bersifat sementara, kabut yang nyata (mubin) ini bersifat global dan terus-menerus selama periode tertentu.
Bagi orang kafir, kabut ini adalah simbol dari kegelapan spiritual mereka yang kini termanifestasi secara fisik. Mereka yang di dunia menutup mata dari kebenaran, kini dipaksa menghadapi realitas gelap yang mencekik mereka. Sebaliknya, bagi orang beriman, yang selalu hidup dalam kesadaran akan cahaya Ilahi, mereka dilindungi dari dampak terburuknya, menegaskan janji Allah akan perlindungan bagi hamba-hamba-Nya yang tulus.
Di abad ke-20 dan ke-21, muncul upaya untuk menafsirkan kembali Dukhanul Mubin agar relevan dengan isu-isu kontemporer, seperti perubahan iklim atau polusi global. Meskipun niatnya adalah untuk mengaitkan ayat Al-Qur'an dengan tantangan masa kini, banyak ulama konservatif memperingatkan agar tidak memaksakan interpretasi modern yang bertentangan dengan deskripsi Hadits.
Jika Dukhan hanya diartikan sebagai polusi industri atau kabut asap (smog) parah, maka sifat supernaturalnya akan hilang. Dukhanul Mubin, menurut Hadits yang shahih, memiliki sifat mematikan yang spesifik dan terjadi pada waktu yang spesifik pula sebagai tanda Kiamat. Polusi, meskipun merupakan bencana lingkungan, adalah hasil akumulasi perbuatan manusia selama berabad-abad, bukan intervensi tunggal yang mengakhiri zaman.
Oleh karena itu, meskipun Dukhan mungkin memiliki komponen fisik yang mirip dengan bencana alam (abu tebal, kegelapan), hakikatnya tetaplah sebuah mukjizat azab, yang datang dengan pengaturan waktu dan efek yang presisi dari Allah SWT. Ia adalah alat untuk menghukum secara massal dan global, jauh melampaui kemampuan bencana alam biasa yang terjadi secara rutin.
Meskipun Dukhanul Mubin adalah isu eskatologis, ia memiliki implikasi Fiqih terkait dengan konsep taubat. Dalam Islam, taubat diterima hingga pintu taubat ditutup. Hadits menyebutkan bahwa pintu taubat ditutup ketika matahari terbit dari Barat.
Namun, karena Dukhanul Mubin berada di awal rangkaian tanda-tanda besar, kemunculannya menimbulkan pertanyaan: Apakah taubat masih diterima ketika Dukhan menimpa? Jika kita mengacu pada ayat 12 Surah Ad-Dukhan, di mana orang-orang kafir memohon, "Ya Tuhan kami, hapuskanlah azab itu dari kami. Sesungguhnya kami akan beriman," dan jawaban Al-Qur'an yang skeptis ("Bagaimana mereka dapat mengambil pelajaran?"), ini menunjukkan bahwa pada saat azab itu menimpa, taubat yang bersifat 'darurat' mungkin tidak lagi sah secara spiritual, meskipun secara teknis pintu taubat belum sepenuhnya tertutup (yang terjadi saat matahari terbit dari Barat).
Intinya adalah: Dukhan memaksa manusia untuk menghadapi kematian dan kiamat. Taubat harus dilakukan sebelum keadaan darurat ini memaksa seseorang untuk beriman. Keimanan yang didasarkan pada melihat azab secara langsung, sering kali dianggap sebagai keimanan yang tidak murni.
Meskipun ada dua pandangan utama (historis vs. futuristik) tentang Ad-Dukhan ayat 10, beberapa ulama mencoba melakukan sintesis. Mereka berpendapat bahwa peristiwa paceklik dan kabut pandangan di Makkah (pandangan Ibnu Mas'ud) adalah tamsil (contoh) atau inzar (peringatan awal) dari Dukhan yang sebenarnya (futuristik).
Artinya, Allah telah memberikan peringatan kecil, menunjukkan betapa mudahnya Ia dapat menyelimuti bumi dalam kelaparan dan ilusi kabut. Namun, Dukhanul Mubin yang akan datang adalah versi yang diperbesar dan universal, menimpa seluruh umat manusia tanpa pandang bulu, sebagai prelude kepada jam perhitungan akhir.
Sintesis ini memungkinkan kita untuk menghargai riwayat dari Ibnu Mas'ud (yang menjelaskan konteks turunnya beberapa ayat awal surah) sambil tetap mempertahankan keselarasan dengan Hadits-Hadits eskatologis yang menempatkan Dukhan di antara tanda-tanda Kiamat Kubra.
Analisis ini membawa kita kembali kepada perintah utama dalam Ad-Dukhan ayat 10: fa-rtaqib (maka tunggulah). Ini adalah perintah untuk merenung, mempersiapkan diri, dan menyadari bahwa kehidupan ini adalah sebuah masa tunggu menuju hari di mana tidak ada lagi penundaan. Kabut yang nyata itu, entah sebagai peringatan kecil di masa lalu atau sebagai bencana kosmik di masa depan, adalah manifestasi kebenaran mutlak Al-Qur'an. Ini adalah panggilan untuk melihat masa kini melalui lensa keabadian, agar kita tidak menjadi bagian dari mereka yang baru menyadari kebenaran setelah Dukhanul Mubin datang menyelimuti segalanya.
Penantian ini adalah sebuah ibadah. Menunggu hari di mana langit membawa kabut yang nyata adalah penantian yang penuh harapan bagi orang beriman, dan penantian yang penuh ketakutan bagi mereka yang berpaling. Kekuatan abadi dari Surah Ad-Dukhan, khususnya ayat 10, terletak pada kemampuannya untuk memaksa refleksi mendalam tentang prioritas hidup dan kesiapan spiritual menjelang akhir dari segala akhir.
Kesimpulan Akhir: Ad-Dukhan ayat 10 tetap menjadi salah satu ayat paling provokatif dalam Al-Qur'an terkait Hari Akhir. Konsensus ulama modern dan klasik yang kuat cenderung menempatkannya sebagai Tanda Kiamat Kubra yang akan datang. Ayat ini bukan sekadar deskripsi bencana, tetapi adalah perintah langsung Ilahi untuk senantiasa waspada. Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat ini mengarahkan setiap Muslim kepada urgensi Taubat Nasuha dan kehidupan yang diabdikan untuk ketaatan, sebelum kabut itu datang dan membungkus seluruh alam semesta dalam kegelapan peringatan yang nyata.