Kata kunci waqiah artinya merujuk pada Surah ke-56 dalam Al-Qur'an, yaitu Surah Al-Waqi'ah. Secara harfiah, ‘Al-Waqi'ah’ (الْوَاقِعَةُ) bermakna ‘Peristiwa yang Pasti Terjadi’, atau lebih spesifiknya, ‘Hari Kiamat’ yang tidak dapat diragukan lagi kepastiannya. Surah ini merupakan salah satu surah Makkiyah, diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ, yang menunjukkan fokus utama pada penegasan akidah, terutama terkait Hari Kebangkitan (Hari Pembalasan) dan kepastiannya yang mutlak.
Surah Al-Waqi'ah adalah sebuah narasi yang kuat dan puitis tentang apa yang akan terjadi ketika Kiamat benar-benar datang. Surah ini bertujuan untuk menanamkan keyakinan mendalam di hati para pendengarnya, memberikan gambaran visual yang jelas mengenai terpecahnya bumi, berubahnya gunung menjadi debu, dan pembagian manusia menjadi tiga golongan utama. Struktur surah ini sangat sistematis, mengalir dari deskripsi awal Kiamat, menuju pengelompokan manusia, kemudian deskripsi terperinci tentang balasan (surga dan neraka) bagi masing-masing kelompok, dan diakhiri dengan penegasan kekuasaan Allah yang tiada tanding.
Salah satu keunikan Surah Al-Waqi'ah adalah fungsinya sebagai pengingat konstan akan transisi mendadak dari kehidupan duniawi yang fana menuju realitas akhirat yang abadi. Surah ini mengajarkan bahwa status sosial, kekayaan, atau kekuatan di dunia tidak akan berarti apa-apa pada hari itu. Yang menjadi penentu hanyalah amal perbuatan dan posisi spiritual seseorang di hadapan Sang Pencipta.
Memahami waqiah artinya bukan hanya tentang mengetahui terjemahan ayat, tetapi meresapi pesan inti bahwa kehidupan ini memiliki batas waktu dan bahwa pertanggungjawaban adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Para ulama sering menekankan bahwa Surah Al-Waqi'ah memiliki keutamaan luar biasa, terutama dalam hal rezeki dan kekayaan spiritual, karena surah ini mendorong manusia untuk menjauhi kefakiran hati dan mengutamakan bekal akhirat.
Keseluruhan narasi dalam surah ini berputar pada tema dualitas dan kepastian: kepastian datangnya peristiwa besar, kepastian pembagian manusia, dan kepastian balasan yang adil. Keterangan detail mengenai buah-buahan surga, ranjang permata, dan air yang mengalir, berbanding terbalik dengan deskripsi api neraka, air mendidih, dan pohon Zaqqum, menciptakan kontras yang tajam yang seharusnya memotivasi setiap Muslim untuk beramal saleh.
(Apabila terjadi peristiwa yang pasti terjadi - Al-Waqi'ah: 1)
Surah Al-Waqi'ah dimulai dengan penegasan yang kuat mengenai kedatangan peristiwa tersebut, tanpa keraguan sedikit pun. Allah SWT berfirman:
Artinya: (1) Apabila terjadi Hari Kiamat, (2) terjadinya tidak dapat didustakan (disangkal). (3) (Kejadian itu) merendahkan (satu golongan) dan meninggikan (golongan yang lain).
Ayat 2, "laysa liwaq'atihaa kaadzibah", adalah inti dari Surah ini. Ia menghapus semua bentuk keraguan yang mungkin ada di benak orang-orang kafir Makkah yang menolak konsep kebangkitan kembali setelah kematian. Peristiwa ini adalah kebenaran universal yang tidak mengenal dusta atau penyangkalan. Ini adalah realitas absolut yang melampaui logika dan perhitungan manusiawi.
Ayat 3 memberikan fungsi Hari Kiamat secara spiritual dan sosial. Pada hari itu, Kiamat akan merendahkan (khāfiḍah) orang-orang yang sombong, para tiran, dan mereka yang di dunia memiliki kedudukan tinggi namun bergelimang dosa. Sebaliknya, ia akan meninggikan (rāfi'ah) orang-orang yang lemah, miskin, atau terpinggirkan di dunia namun teguh dalam iman dan amal saleh. Standar kehormatan diubah total; kehormatan duniawi gugur, dan kehormatan spiritual diangkat tinggi.
Surah ini kemudian beralih ke deskripsi fisik tentang transformasi alam semesta:
Artinya: (4) Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, (5) dan gunung-gunung dihancurkan sehancur-hancurnya, (6) maka jadilah ia debu yang beterbangan.
Penggunaan kata "rujja" (diguncangkan dengan dahsyat) dan "bussa" (dihancurkan sehancur-hancurnya) menekankan intensitas kehancuran total. Gunung, yang di mata manusia merupakan simbol kekokohan dan keabadian, akan berubah menjadi haba'an munbatstsaa (debu yang berterbangan). Debu ini bahkan lebih halus daripada debu biasa, tidak memiliki bentuk atau substansi, menunjukkan betapa rapuhnya segala sesuatu di hadapan kehendak Ilahi. Kehancuran fisik ini paralel dengan kehancuran tatanan sosial duniawi yang telah dibahas sebelumnya.
Setelah menggambarkan kekacauan kosmis, fokus Surah Al-Waqi'ah beralih pada tatanan baru, yaitu pembagian manusia menjadi tiga kelompok abadi. Inilah inti utama yang menentukan balasan di akhirat. Pembagian ini sangat detail dan memerlukan pemahaman mendalam mengenai waqiah artinya dalam konteks janji dan ancaman:
Artinya: Dan kamu menjadi tiga golongan.
Ayat 8, "Fa Ashab Al-Maimanah, ma Ashab Al-Maimanah", menggunakan pengulangan retoris untuk menekankan kemuliaan dan keberuntungan kelompok ini. Al-Maimanah (الْمَيْمَنَةِ) berasal dari kata 'yamin' yang berarti kanan, melambangkan keberuntungan, berkah, dan kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang yang menerima catatan amal mereka dengan tangan kanan, sebuah simbol keselamatan.
Keberuntungan mereka adalah hasil dari konsistensi dalam melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Mereka bukanlah yang terdepan dalam kebaikan, tetapi mereka adalah mayoritas umat yang berhasil menjaga batas-batas syariat.
Sebaliknya, Al-Mash'amah (الْمَشْأَمَةِ) berasal dari kata 'syimal' yang berarti kiri, melambangkan kesengsaraan, nasib buruk, dan azab. Mereka adalah orang-orang yang menerima catatan amal dengan tangan kiri, simbol kegagalan dan penyesalan. Mereka adalah golongan yang mendustakan Hari Kiamat dan perintah Allah, yang di dunia hanya mengikuti hawa nafsu dan kesenangan sementara.
Artinya: (10) Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman dan beramal saleh), mereka itulah yang paling dahulu (masuk surga). (11) Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah).
Golongan As-Sabiqun adalah tingkatan tertinggi. Mereka adalah para pelopor dalam keimanan, yang segera menyambut seruan tauhid tanpa keraguan sedikit pun, dan yang selalu berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan sunnah sebelum menjadi wajib bagi umat. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kedekatan (Al-Muqarrabun) langsung dengan Allah SWT, suatu kehormatan tertinggi yang melampaui kenikmatan Surga itu sendiri.
Perbedaan antara As-Sabiqun dan Ashab Al-Maimanah terletak pada tingkat keikhlasan dan inisiatif. Ashab Al-Maimanah melakukan kewajiban, sedangkan As-Sabiqun menambahkan kesempurnaan (ihsan) dan tindakan sukarela (nawafil) dalam setiap aspek kehidupan mereka. Mereka adalah para Nabi, para Shiddiqin, dan para Syuhada.
Balasan bagi As-Sabiqun digambarkan dengan kemewahan dan ketenangan yang luar biasa, menekankan konsep ‘keabadian’ dan ‘ketenangan yang tidak terganggu’—sebuah kontras mutlak dengan kehidupan duniawi yang penuh gejolak.
Artinya: (12) Mereka berada di dalam surga kenikmatan. (13) Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, (14) dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.
Ayat 13 dan 14 sering menjadi titik diskusi. Ini menunjukkan bahwa mayoritas As-Sabiqun berasal dari umat-umat terdahulu (seperti para sahabat nabi-nabi terdahulu dan Sahabat Nabi Muhammad generasi awal). Sedangkan dari umat akhir zaman (umat Nabi Muhammad ﷺ yang datang belakangan), meskipun mereka adalah umat terbaik, jumlah As-Sabiqun-nya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah Ashab Al-Maimanah di umat ini.
Gambaran Surga bagi Al-Muqarrabun meliputi:
1. Singgasana Bertahtakan Permata (Ayat 15-16): Mereka ditempatkan di atas sururin mawḍūnah (dipan yang bertahtakan permata) yang tersusun rapi, menghadap satu sama lain, melambangkan keharmonisan dan kebahagiaan sosial yang sempurna. Mereka tidak duduk sendirian, tetapi dalam majelis kehormatan.
2. Minuman yang Tidak Memabukkan (Ayat 17-19): Mereka dilayani oleh pelayan-pelayan muda yang abadi (wildānun mukhalladūn) dengan minuman dari mata air murni. Kata kunci di sini adalah bahwa minuman tersebut tidak menyebabkan pusing atau mabuk, menjamin kenikmatan yang murni tanpa efek samping negatif, suatu hal yang mustahil di dunia.
Ayat 20-21 menyebutkan buah-buahan dan daging burung. Buah-buahan yang disajikan adalah ‘mimma yatakhayyarūn’ (apa pun yang mereka pilih). Ini menunjukkan ketersediaan instan dan kebebasan memilih yang mutlak, suatu manifestasi dari keinginan yang terpenuhi sebelum diucapkan. Demikian pula, daging burung yang mereka santap adalah ‘mimma yashtahūn’ (yang mereka inginkan), menunjukkan kualitas dan rasa yang tak terbayangkan.
Ayat-ayat ini secara terus-menerus mengulang jaminan bahwa kenikmatan ini adalah jaza’an bimaa kaanu ya’maluun (sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan). Balasan ini adalah manifestasi keadilan sempurna dari Allah SWT, yang menjamin bahwa tidak ada amal baik sekecil apa pun yang terlewatkan.
(Surga Kenikmatan bagi As-Sabiqun)
Ayat 22-24 menyebutkan bidadari-bidadari bermata jeli (Hūr Al-'Īn), yang seperti mutiara yang tersimpan baik. Deskripsi ini menekankan kesucian, kecantikan tak terbayangkan, dan keperawanan abadi mereka. Ini adalah balasan bagi amal perbuatan mereka, dan yang terpenting, di Surga tidak ada ucapan sia-sia atau kebohongan, hanya salam sejahtera dan kedamaian (salaaman salaama).
Golongan Kanan juga mendapatkan kenikmatan, namun deskripsi kenikmatan mereka, meskipun menakjubkan, berbeda dalam intensitas dan kedekatan dibandingkan dengan As-Sabiqun. Balasan mereka lebih berfokus pada kenikmatan fisik dan material di Surga.
Kenikmatan bagi Ashab Al-Maimanah dijelaskan sebagai berikut:
1. Pohon Bidara Tak Berduri (Ayat 28): Mereka berada di antara pohon bidara yang tidak berduri (sidr makhdūd). Pohon bidara di dunia memiliki duri yang tajam. Di Surga, duri itu telah dihilangkan, menyimbolkan kenikmatan tanpa rasa sakit, kesulitan, atau hambatan sedikit pun.
2. Pohon Pisang yang Bersusun Rapi (Ayat 29): Wa ṭalḥin manḍūd, pohon-pohon yang buahnya tersusun rapi. Beberapa tafsir mengartikan ṭalḥ sebagai pohon pisang yang buahnya tersusun dari bawah hingga atas, mudah dijangkau, dan selalu berlimpah.
3. Naungan yang Memanjang dan Air Tercurah (Ayat 30-31): Mereka berada dalam naungan yang memanjang (ẓillin mamdūd) dan air yang terus-menerus tercurah (maa’in maskūb). Naungan yang abadi ini menghilangkan rasa panas, dan air yang tidak pernah habis menghilangkan dahaga, menjamin kenyamanan sempurna tanpa harus berusaha keras.
4. Buah-buahan Melimpah (Ayat 32-33): Buah-buahan yang banyak, yang tidak pernah berhenti (tidak habis musimnya), dan mudah diambil. Kenikmatan Surga bersifat abadi (lā maqṭū’ah wa lā mamnū’ah) dan tidak memerlukan usaha, berbanding terbalik dengan panen duniawi yang musiman dan melelahkan.
Ayat-ayat ini berbicara tentang penciptaan kembali istri-istri mereka di dunia dalam bentuk yang paling sempurna. Allah menciptakan mereka (istri-istri di dunia) kembali dalam keadaan perawan (abkārā), penuh cinta (‘uruban), dan sebaya (atrābā). Ini adalah jaminan bahwa kenikmatan Surga mencakup penyatuan kembali yang sempurna dengan pasangan duniawi, yang kini ditingkatkan kualitasnya menjadi penghuni abadi yang sempurna.
Kontras yang sangat tajam disajikan ketika Surah beralih pada nasib Golongan Kiri. Deskripsi azab ini bertujuan untuk menjadi peringatan yang keras bagi mereka yang mendustakan kebenaran Hari Kiamat dan mengabaikan panggilan tauhid.
Artinya: (41) Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. (42) Dalam udara panas yang menyengat dan air panas mendidih, (43) dan dalam naungan asap yang hitam pekat.
Azab mereka terdiri dari tiga elemen yang melambangkan kebalikan total dari kenikmatan Surga:
1. Samūm (Udara Panas Menyengat): Bukan hanya panas api, tetapi udara itu sendiri yang menyengat, menembus kulit hingga ke tulang.
2. Hamīm (Air Mendidih): Air yang mereka minum atau yang dituangkan ke atas kepala mereka adalah air yang sangat panas, mampu menghancurkan organ dalam.
3. Ẓillun min Yaḥmūm (Naungan Asap Hitam Pekat): Berbeda dengan naungan sejuk di Surga, naungan mereka adalah dari asap hitam yang mencekik, yang tidak sejuk maupun menyenangkan, justru menambah penderitaan. Ini adalah naungan neraka yang tidak memberikan perlindungan sedikit pun.
Ayat 45-47 menjelaskan mengapa mereka berada di posisi ini. Kesalahan utama mereka adalah:
Balasan mereka adalah penyajian hidangan dari pohon Zaqqum (pohon neraka yang rasanya pahit dan menusuk), dan mereka akan meminumnya seperti unta yang sangat kehausan (shurbul hīm). Ayat 55 menegaskan bahwa ini adalah hidangan mereka pada Hari Pembalasan. Siksaan ini adalah timbal balik yang setara dengan penolakan mereka terhadap kebenaran yang mutlak.
Setelah selesai dengan narasi balasan, Surah Al-Waqi'ah beralih ke serangkaian argumen logis (dalil aqli) yang membuktikan kepastian Hari Kebangkitan. Argumen-argumen ini menegaskan bahwa Dzat yang mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan, tentu lebih mudah untuk menghidupkannya kembali.
Allah bertanya:
Artinya: (58) Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. (59) Kamukah yang menciptakannya, atau Kami-kah yang mencipta?
Allah menggunakan proses penciptaan manusia dari setetes air mani yang hina sebagai bukti kekuasaan-Nya. Manusia tidak memiliki kendali atas pembentukan organ, penentuan jenis kelamin, atau kehidupan itu sendiri. Ini adalah bukti bahwa Pencipta awal memiliki kekuasaan penuh untuk memulai siklus penciptaan kembali (kebangkitan) setelah kematian.
Ayat 61 kemudian menegaskan bahwa Allah mampu mengganti bentuk fisik manusia dengan yang lebih sempurna (di akhirat), dan Ayat 62 mengingatkan mereka tentang penciptaan pertama sebagai tanda bagi mereka yang mau merenung.
Allah bertanya mengenai hasil pertanian:
Manusia hanya menanam benih, tetapi Allah-lah yang menumbuhkannya, menjadikannya makanan, dan menentukan nasibnya. Jika Allah berkehendak, Dia bisa membuat panen itu menjadi kering atau hancur, dan manusia hanya akan menyesal dan merasa rugi. Argumen ini menunjukkan betapa lemahnya manusia di hadapan kekuatan alam yang sepenuhnya diatur oleh Allah.
Allah bertanya mengenai air yang mereka minum:
Air yang dibutuhkan untuk kehidupan, turun dari awan. Manusia tidak bisa menurunkannya, apalagi membuatnya menjadi tawar. Jika Allah berkehendak, Dia bisa membuat air itu asin atau menghilangkannya sama sekali. Ini adalah anugerah yang seharusnya disyukuri dan menjadi bukti kekuasaan-Nya.
Argumen terakhir adalah tentang api yang digunakan untuk memasak dan menghangatkan:
Manusia hanya menyalakan api dari kayu bakar (atau bahan bakar), tetapi Allah-lah yang menciptakan kayu tersebut dan potensi panas di dalamnya. Jika Allah berkehendak, Dia bisa menjadikan api itu dingin. Api adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang bisa menjadi rahmat (di dunia) dan siksa (di neraka). Allah menjadikan api sebagai peringatan (tadhkirah) akan api neraka.
Dengan empat bukti kosmis ini—penciptaan manusia, pertanian, air, dan api—Surah Al-Waqi'ah menutup fase argumentatifnya, menegaskan bahwa Kiamat adalah keniscayaan bagi Dzat yang mengendalikan seluruh sistem kosmos.
Surah ini diakhiri dengan sumpah agung dan kesimpulan yang tegas.
Artinya: (75) Maka Aku bersumpah demi tempat beredarnya bintang-bintang. (76) Dan sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar, kalau kamu mengetahui.
Sumpah ini sangat kuat. Allah tidak bersumpah dengan bintang itu sendiri, melainkan dengan ‘tempat beredarnya’ (mawāqi’in nujūm). Dalam tafsir modern dan ilmu pengetahuan, ini diinterpretasikan sebagai orbit, galaksi, atau bahkan lubang hitam (bekas tempat bintang). Sumpah ini menekankan betapa luas dan kompleksnya ciptaan Allah, menegaskan bahwa Dzat yang mengatur tata surya yang sedemikian rumit pasti mampu mengatur Hari Kiamat.
Setelah sumpah ini, Allah menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah Kitab yang mulia (al-Qur'ānul Karīm) yang berada dalam Kitab yang terpelihara (fī kitābim maknūn), menegaskan keotentikannya dan bahwa ia diturunkan oleh Dzat yang Maha Bijaksana.
Surah kembali ke momen terpenting dalam hidup manusia: sakaratul maut.
Allah menantang manusia untuk mengembalikan ruh yang telah sampai di tenggorokan (saat sekarat) jika mereka benar-benar memiliki kekuatan dan mengklaim independensi dari Allah. Tentu saja, mereka tidak mampu. Pada saat itulah, kebenaran tentang kematian dan akhirat menjadi jelas bagi yang sekarat, meskipun orang-orang di sekitarnya hanya bisa menyaksikan tanpa daya.
Momen ini berfungsi sebagai miniatur Kiamat pribadi, pengingat bahwa semua kekuasaan duniawi akan gugur pada saat itu, dan nasib akhir akan segera ditentukan.
Ayat 88-94 merangkum nasib tiga golongan pada saat ruh dicabut:
Penutup Surah ini, Ayat 96, adalah perintah untuk memuji dan mensucikan nama Allah yang Mahaagung: Fasabbiḥ bismi rabbikal ‘Aẓīm. Ini adalah respons yang logis terhadap semua kepastian dan kekuasaan yang telah dipaparkan dalam Surah.
Selain kedalaman tafsirnya, Surah Al-Waqi'ah dikenal luas karena keutamaannya (fadhilah) dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Para ulama sering menasihati umat untuk membacanya, terutama pada malam hari.
Hadits yang masyhur menyebutkan keutamaan Surah Al-Waqi'ah, khususnya terkait rezeki. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa membaca Surah Al-Waqi'ah setiap malam, ia tidak akan ditimpa kefakiran selama-lamanya." (HR. Al-Baihaqi).
Penting untuk dipahami bahwa makna ‘tidak ditimpa kefakiran’ (faqr) tidak hanya berarti kekayaan materi yang berlimpah, tetapi juga kekayaan hati dan ketenangan batin. Orang yang meresapi waqiah artinya dan membacanya secara rutin cenderung memiliki pandangan hidup yang berbeda. Mereka menyadari bahwa rezeki datang dari Allah, dan mereka berhati-hati dalam mencari nafkah agar tidak melanggar batas syariat, yang secara spiritual menjauhkan mereka dari kefakiran abadi di akhirat.
Membaca Surah ini secara teratur mendorong seseorang untuk merenungkan akhir hidup, yang pada gilirannya mendorong keikhlasan dalam bekerja dan mencari rezeki yang halal, sehingga membawa berkah yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
Keseluruhan Surah Al-Waqi'ah adalah sebuah cetak biru kehidupan yang sukses. Jika seseorang memahami dan mengamalkan pesan-pesannya, ia akan memposisikan dirinya di salah satu dari dua golongan beruntung, menjauhi kesengsaraan abadi yang menimpa Ashab Al-Mash'amah.
Pemahaman mendalam tentang waqiah artinya mengajarkan bahwa setiap detik yang kita jalani adalah investasi untuk akhirat. Kehidupan di dunia ini hanyalah sejenak, dan pada saat ruh mencapai tenggorokan, tidak ada kesempatan lagi untuk bertobat atau beramal. Dengan rutin merenungkan ayat-ayat Surah ini, hati akan menjadi lembut, jiwa akan termotivasi, dan fokus akan tertuju pada tujuan sejati: Ridha Allah SWT dan surga kenikmatan.
Surah ini, dengan segala deskripsi yang jelas dan tegas, menegaskan bahwa hasil akhir seseorang ditentukan oleh keputusan yang diambil di dunia. Kepastian adanya Hari Kiamat adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim untuk selalu berada di jalan kebenaran. Ketakutan akan asap hitam pekat Neraka dan kerinduan akan bidara tak berduri Surga adalah dua kutub yang mendorong manusia menuju amal yang diridhai.
Dalam konteks teologis yang lebih luas, Surah Al-Waqi'ah memperkuat konsep ‘Tauhid Rububiyyah’ (keesaan Allah dalam mengatur alam semesta) dan ‘Tauhid Uluhiyyah’ (keesaan Allah dalam ibadah). Semua bukti kosmis yang disajikan—air, api, benih—menunjukkan bahwa tidak ada satu pun ciptaan yang bisa berdiri sendiri tanpa izin dan kendali mutlak dari Sang Pencipta. Oleh karena itu, hanya Dia yang layak disembah dan ditaati.
Merenungkan ayat 83, ketika ruh mulai dicabut, adalah puncak dari pelajaran spiritual dalam Surah ini. Mengapa kita tidak bisa mengembalikan ruh itu? Karena pada momen krusial tersebut, semua ilusi kekuasaan manusia lenyap. Yang tersisa hanyalah kepasrahan total kepada kehendak Allah. Inilah sebabnya mengapa Surah Al-Waqi'ah harus menjadi bagian integral dari refleksi harian seorang Muslim, sebagai pengingat yang konstan akan transisi mendadak yang pasti terjadi.
Pembacaan dan penghayatan Surah ini secara berkelanjutan berfungsi sebagai benteng spiritual. Kefakiran yang dijauhkan bukan hanya kekurangan harta, melainkan kekurangan bekal di akhirat. Seseorang yang membaca Surah ini dengan iman yang kuat akan merasa kaya dengan harapan dan janji-janji Allah, sehingga kefakiran materi menjadi tidak relevan, karena kekayaan sejati terletak pada kedekatan dengan Sang Khaliq, yang merupakan derajat tertinggi dari As-Sabiqun, para Al-Muqarrabun.
Keagungan sumpah demi tempat beredarnya bintang-bintang (mawāqi’in nujūm) memberikan perspektif kosmik pada ajaran Islam. Sumpah ini melampaui pemahaman kita tentang ruang dan waktu, menunjukkan bahwa wahyu ini, Al-Qur’an, adalah kebenaran universal yang terikat pada hukum-hukum alam semesta yang diatur oleh Allah, Dzat yang sama yang mengatur kapan peristiwa besar, Al-Waqi’ah, akan terjadi.
Dengan demikian, Surah Al-Waqi'ah tidak hanya sebuah surah tentang Kiamat; ia adalah sebuah pelajaran mendalam tentang urgensi amal, keadilan Ilahi, dan kekuasaan mutlak yang mendasari eksistensi seluruh alam semesta. Memahami waqiah artinya adalah memahami peta jalan menuju kehidupan abadi yang penuh berkah.