Al-Qur'an, wahyu terakhir dari Allah SWT, terdiri dari 114 surah (bab) yang disusun dalam sebuah pola yang unik dan penuh makna. Memahami urutan surah dalam Al-Qur'an bukanlah sekadar menelusuri daftar nama, melainkan menggali struktur arsitektural yang menunjukkan kesatuan tematik, keindahan linguistik, dan tujuan syariat yang menyeluruh. Urutan ini—yang dikenal sebagai *Tartib Mus-hafi*—memiliki peran fundamental dalam studi Islam, membedakannya dari kronologi pewahyuan (Tartib Nuzuli).
Ilustrasi arsitektur Al-Qur'an sebagai buku yang terstruktur dengan sempurna.
Ketika mempelajari urutan surah dalam Al-Qur'an, kita harus membedakan antara dua jenis urutan: urutan turunnya (Tartib Nuzuli) dan urutan yang kita temukan dalam mushaf standar (Tartib Mus-hafi).
Ini merujuk pada urutan historis turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat dan surah-surah turun secara bertahap selama 23 tahun, merespons peristiwa, pertanyaan, atau kebutuhan syariat yang muncul. Tartib Nuzuli sangat penting untuk memahami konteks historis (*Asbabun Nuzul*) dan perkembangan hukum Islam (nasikh dan mansukh).
Ini adalah susunan 114 surah yang dimulai dari Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas. Urutan inilah yang kita gunakan dalam membaca, menghafal, dan shalat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Tartib Mus-hafi ini bersifat Tawqifi, artinya ditetapkan sepenuhnya oleh Allah SWT dan disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW sendiri yang mengarahkan para Sahabat untuk menempatkan ayat dan surah tertentu di lokasi spesifik, meskipun urutan penurunan wahyu berbeda.
Imam As-Suyuti dan Az-Zarkasyi termasuk ulama besar yang menegaskan bahwa susunan surah saat ini bukanlah hasil ijtihad Sahabat, melainkan ditetapkan secara eksplisit oleh Rasulullah SAW atas perintah Ilahi. Hal ini menjamin bahwa struktur Al-Qur'an saat ini, dari awal hingga akhir, merupakan bagian integral dari mukjizatnya.
Untuk memahami arsitektur urutan surah dalam Al-Qur'an, penting untuk mengenal pengelompokan yang dilakukan berdasarkan panjang dan lokasi pewahyuannya.
Menariknya, Tartib Mus-hafi tidak mengikuti pembagian Makkiyah/Madaniyah secara ketat. Surah-surah panjang Madaniyah (seperti Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Ma'idah) diletakkan di awal, berfungsi sebagai landasan hukum dan syariat, baru kemudian diikuti oleh Surah Makkiyah yang lebih fokus pada akidah dan dakwah, sebelum kembali ditutup dengan surah-surah pendek yang merangkum esensi tauhid dan perlindungan.
Para ulama membagi surah menjadi empat kategori utama berdasarkan panjangnya, yang mencerminkan pembagian alami dalam mushaf:
Kunci untuk memahami keindahan Tartib Mus-hafi terletak pada koherensi tematik (*munasabah*) antara surah-surah yang berdekatan. Setiap surah tidak berdiri sendiri; ia berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan surah sebelumnya dengan surah sesudahnya, menciptakan sebuah aliran naratif dan legislatif yang utuh.
Al-Fatihah adalah ringkasan sempurna dari seluruh Al-Qur'an. Ia mengajarkan pujian kepada Allah, pengakuan Tauhid, permintaan bimbingan, dan penolakan terhadap jalan yang sesat. Semua yang terkandung dalam 113 surah setelahnya adalah perincian dan penjelasan dari prinsip-prinsip yang diletakkan dalam Al-Fatihah.
Surah Madaniyah terpanjang ini segera mengikuti Al-Fatihah sebagai respons terhadap doa "Tunjukilah kami jalan yang lurus." Al-Baqarah menetapkan landasan syariat, menjelaskan siapa orang yang bertakwa (Mukmin) dan siapa yang sesat (Kafir dan Munafik), dan banyak hukum (puasa, haji, perkawinan, riba). Surah ini sangat fokus pada sejarah Bani Israil sebagai pelajaran bagi umat Muhammad, menjelaskan mengapa mereka gagal mengikuti bimbingan yang lurus.
Secara tematik, Ali Imran adalah kelanjutan langsung dari Al-Baqarah. Jika Al-Baqarah banyak berbicara tentang Bani Israil (Yahudi), Ali Imran berfokus pada dialog dengan kaum Nasrani, menekankan Tauhid yang murni, dan menjelaskan pentingnya persatuan umat Islam setelah ujian perang Uhud. Kedua surah ini (Al-Baqarah dan Ali Imran) dikenal sebagai Az-Zahrawan (Dua Surah yang Bercahaya) dan sering dibaca bersamaan, menggarisbawahi koherensi hukum dan akidah mereka.
Setelah meletakkan dasar akidah dan komunitas, An-Nisa' memperinci tatanan masyarakat internal. Surah ini sangat detail mengenai hukum keluarga, hak waris, yatim piatu, pernikahan, dan etika internal. Ia melengkapi legislasi yang dimulai di Al-Baqarah.
Surah ini berfungsi sebagai finalisasi banyak hukum dan perjanjian (*aqad*). Jika An-Nisa' berfokus pada internal, Al-Ma'idah berfokus pada ketaatan terhadap semua perjanjian, baik kepada Allah maupun sesama manusia, dan menyempurnakan hukum makanan, wudhu, dan hukuman pidana. Ayat "Hari ini telah Kusempurnakan agama kalian..." berada di surah ini, menandai penyempurnaan syariat.
Setelah kelompok Surah Madaniyah yang panjang yang berfokus pada hukum, urutan Al-Qur'an beralih ke Surah-surah Makkiyah, yang berfokus pada argumentasi akidah, tauhid, dan kisah-kisah nabi sebagai penegasan kebenaran risalah.
Kedua surah ini adalah Makkiyah murni. Al-An'am fokus pada Tauhid Rububiyah, membantah penyembahan berhala dengan argumen dari alam semesta. Al-A'raf melanjutkan tema ini, menyajikan kisah Nabi Adam, Nuh, Hud, Saleh, Luth, Syuaib, dan Musa, menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebenaran selalu berujung pada kehancuran. Urutan ini memperlihatkan bahwa setelah hukum ditetapkan (Ma'idah), keyakinan harus diperkuat (An'am), dan sejarah harus dijadikan pelajaran (A'raf).
Dua surah Madaniyah yang kembali fokus pada jihad dan perjanjian. Al-Anfal turun setelah Perang Badar, membahas moralitas dan etika perang. At-Taubah, surah terakhir yang diturunkan, membatalkan perjanjian dengan musyrikin yang melanggar janji dan menyempurnakan hukum-hukum terkait kafir harbi dan munafik. Penempatan kedua surah ini di antara Surah Makkiyah yang panjang berfungsi sebagai pengingat akan perjuangan dan pengorbanan yang diperlukan untuk mempertahankan iman yang telah dibahas sebelumnya.
Kelompok ini, sering disebut sebagai Surah-surah Para Nabi, secara intensif mengulang kisah-kisah utama (Nuh, Hud, Saleh, Luth, Syuaib, Musa) untuk menenangkan hati Nabi Muhammad SAW dan memberi peringatan kepada kaum Quraisy. Surah Yusuf (12), dengan narasinya yang tunggal dan indah, ditempatkan sebagai kontras naratif di tengah surah-surah yang berfokus pada dialog dan ancaman azab.
Surah-surah pertengahan ini sering dibuka dengan huruf-huruf tunggal (Muqatta'ah), menantang pendengar untuk merenungkan keajaiban bahasa Al-Qur'an. Tema utama adalah kekuasaan Allah, ilmu pengetahuan, dan janji kebangkitan.
Koherensi Khusus:
Seluruh Surah dalam kelompok ini, termasuk Al-Anbiya (21) yang merangkum kisah banyak nabi, Al-Hajj (22) yang menggabungkan Makkiyah dan Madaniyah, dan Al-Mu’minun (23) yang menjelaskan ciri-ciri Mukmin yang sukses, secara berurutan membawa pembaca dari dasar-dasar penciptaan hingga janji kemenangan bagi orang beriman.
Setelah menenangkan hati Nabi dengan kisah-kisah, Al-Qur'an kembali ke aspek hukum, terutama yang berkaitan dengan kesucian masyarakat.
Urutan yang sangat ketat ini menunjukkan bahwa pemurnian jiwa (melalui kisah nabi) harus diikuti dengan pemurnian sosial (melalui hukum An-Nur), dan kemudian diperkuat dengan penetapan standar moral (Al-Furqan).
Surah-surah inti ini sering dibaca umat Islam karena mengandung janji dan ancaman yang kuat, khususnya Surah Yasin (Jantung Al-Qur'an).
Tujuh surah berturut-turut (40-46) ini dimulai dengan huruf muqatta'ah Ha Mim. Kelompok ini dikenal karena gaya bahasa yang sangat kuat, fokus pada kekuasaan Allah, dan pertentangan antara wahyu dan pengingkaran.
Koherensi: Mereka seringkali membahas topik yang sama dari sudut pandang yang berbeda—misalnya, Surah Ghafir (40) menekankan pengampunan Allah, sementara Surah Fussilat (41) menekankan detail bukti kekuasaan Allah di alam.
Setelah penguatan akidah melalui kelompok Ha-Mim, Al-Qur'an beralih kembali ke Surah Madaniyah yang penting untuk mengatur komunitas Islam pasca-hijrah. Ini termasuk hukum perang, perjanjian, dan etika internal.
Struktur umum pembagian urutan surah dalam Al-Qur'an, dari Surah panjang (Thiwāl) menuju Surah pendek (Mufassal).
Bagian akhir Al-Qur'an, yang dimulai dari Surah Al-Mujadilah (58) atau Al-Hujurat (49) dan berakhir di An-Nas (114), dicirikan oleh surah-surah yang lebih pendek, padat, dan sangat fokus pada penegasan akidah, peringatan Hari Kiamat, dan nama-nama Allah.
Kelompok ini masih mencakup surah-surah Madaniyah yang membahas hukum spesifik yang terjadi di Madinah (misalnya Al-Mujadilah tentang zihar, Al-Mumtahanah tentang berinteraksi dengan musuh, dan Al-Jumu'ah tentang shalat Jumat). Surah-surah ini mengaitkan ritual (ibadah) dengan etika sosial dan politik, menunjukkan bahwa tidak ada pemisahan antara ibadah dan kehidupan sehari-hari.
Di sini, Surah-surah Makkiyah dominan kembali. Tujuannya adalah menggetarkan jiwa dengan gambaran Hari Kiamat yang mengerikan. Setiap surah memiliki nama yang seringkali menggambarkan peristiwa Kiamat atau benda langit (An-Naba', An-Nazi'at, At-Takwir, Al-Infitar, Al-Inshiqaq, Al-Ghashiyah). Gaya bahasanya cepat dan mendesak, memperingatkan manusia tentang pertanggungjawaban.
Kelompok terakhir adalah Surah-surah yang paling pendek, seringkali berfungsi sebagai penutup tematik yang kuat dan merangkum prinsip-prinsip dasar yang telah dibahas dalam 110 surah sebelumnya. Koherensi di sini sangat padat:
Al-Qur'an ditutup dengan tiga surah yang dimulai dengan kata "Qul" (Katakanlah), yang berfungsi sebagai perlindungan dan pemurnian akidah akhir:
Urutan ini memastikan bahwa pembaca memulai dengan Tauhid (Al-Fatihah) dan mengakhirinya dengan perlindungan (Al-Falaq dan An-Nas) yang didasarkan pada Tauhid murni (Al-Ikhlas), menciptakan lingkaran kesempurnaan dan ketergantungan total kepada Allah SWT.
Para ulama tafsir, seperti Al-Biqa’i dalam karyanya *Nazm ad-Durar*, telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyingkap hubungan logis dan artistik antara setiap surah. Hikmah di balik urutan surah dalam Al-Qur'an (Tartib Mus-hafi) sangat luas, tetapi dapat diringkas dalam beberapa poin utama:
Munasabah adalah alasan utama mengapa urutan tersebut bersifat Tawqifi. Setiap surah diposisikan di tempat yang paling tepat untuk memperkuat makna surah sebelumnya dan menjadi pendahuluan yang logis bagi surah berikutnya. Contoh Munasabah yang paling jelas adalah:
Koherensi ini membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah satu kesatuan organik, bukan sekadar kompilasi fragmen wahyu yang terpisah-pisah.
Penempatan Surah Madaniyah yang panjang di awal (Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa', Al-Ma'idah) menunjukkan prioritas Allah dalam membangun landasan hukum dan masyarakat Islam sebelum kembali menekankan akidah dan tauhid yang dominan di Surah Makkiyah. Dalam kerangka Tartib Mus-hafi, syariat harus dipahami sebagai fondasi yang mengatur umat.
Urutan surah memastikan bahwa topik-topik fundamental, seperti Tauhid dan Kiamat, diulang dan diperkuat melalui berbagai cara—kisah, hukum, dan peringatan—memastikan bahwa pembaca tidak pernah melupakan tujuan utama risalah. Juz Amma (Kelompok Mufassal) yang ditempatkan di akhir berfungsi sebagai pukulan penutup yang kuat, selalu mengingatkan pada pertanggungjawaban akhir.
Perpindahan dari surah panjang dengan gaya bahasa yang terperinci (hukum) ke surah pendek dengan ritme cepat dan rima yang kuat (peringatan Kiamat di Juz Amma) menunjukkan kesempurnaan irama bahasa Al-Qur'an. Ritme ini sangat membantu dalam menghafal dan khusyuk saat shalat.
Meskipun urutan surah dalam Al-Qur'an bersifat Tawqifi (ditetapkan oleh Allah), proses kodifikasinya melalui beberapa tahapan historis yang menegaskan keaslian urutan tersebut.
Nabi SAW menerima wahyu secara bertahap. Beliau memiliki juru tulis wahyu yang mencatat ayat-ayat di pelepah kurma, tulang, dan batu tipis. Yang paling penting, Nabi SAW secara spesifik memberi petunjuk kepada para sahabatnya untuk meletakkan ayat dan surah tertentu di tempat yang telah ditentukan. Misalnya, beliau bersabda, “Letakkanlah ayat ini di surah yang menyebutkan ini dan ini,” meskipun surah tersebut telah selesai diwahyukan lama sebelumnya. Ini membuktikan bahwa Tartib Mus-hafi telah ditetapkan dan dipraktikkan oleh Nabi SAW sendiri.
Setelah banyak penghafal Al-Qur'an (huffazh) gugur dalam Perang Yamamah, Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua lembaran Al-Qur'an yang tersebar menjadi satu mushaf. Pengumpulan ini memastikan tidak ada ayat yang hilang, dan yang terpenting, mengikuti urutan yang telah ditetapkan oleh Nabi SAW.
Ketika perbedaan dialek dan bacaan mulai muncul di wilayah Islam yang meluas, Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit dan beberapa sahabat senior lainnya untuk menyalin mushaf standar yang dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Mushaf ini dikirimkan ke berbagai pusat kekhalifahan. Urutan 114 surah dalam Mushaf Utsmani ini adalah persis urutan surah dalam Al-Qur'an yang kita gunakan hari ini, menegaskan konsensus historis umat Islam mengenai keilahan dan ketepatan penataan ini.
Koherensi di Surah-surah tengah (Al-Mi'ūn dan Al-Matsānī) sering kali luput dari perhatian, namun merupakan kunci untuk memahami transisi tematik dari hukum ke spiritualitas, dan kembali lagi.
Surah Ibrahim berfokus pada Tauhid dan ancaman azab bagi yang menolak. Surah Al-Hijr berlanjut dengan tantangan kaum kafir Quraisy yang mengejek Nabi dan meminta mukjizat. Al-Hijr kemudian mengisahkan Azab yang menimpa kaum Luth dan Ashab Al-Aikah, berfungsi sebagai eksekusi dari ancaman yang disinggung dalam Surah Ibrahim. Kedua surah ini menunjukkan bagaimana peringatan (Ibrahim) akan selalu diikuti oleh pelaksanaan ketetapan Ilahi (Al-Hijr) jika penolakan berlanjut.
Al-Kahf mengajarkan empat ujian besar (iman, harta, ilmu, dan kekuasaan). Maryam, yang berbicara tentang kelahiran ajaib Yahya dan Isa, menunjukkan kekuasaan Allah mengatasi hukum alam. Thaha berfokus pada Musa, nabi yang menghadapi kekuasaan mutlak (Firaun). Urutan ini membawa pembaca dari konsep umum ujian hidup (Kahf) menuju contoh spesifik kekuasaan Ilahi (Maryam) dan kemudian ke pertarungan antara kebenaran dan tirani (Thaha). Secara kolektif, mereka membangun fondasi spiritual dan kepercayaan mutlak terhadap pertolongan Allah, terlepas dari tantangan yang dihadapi.
Al-Anbiya' secara ringkas menyajikan kisah banyak nabi—dari Ibrahim hingga Yunus—untuk membuktikan bahwa semua nabi membawa risalah yang sama, yaitu Tauhid. Segera setelahnya, Al-Hajj membahas ibadah haji, sebuah ritual yang secara fisik dan spiritual menyatukan umat Islam dan berpusat di Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim yang kisahnya baru saja diceritakan. Ini adalah tautan sempurna antara sejarah kenabian (Anbiya') dan praktik ibadah (Hajj).
An-Nur memberikan hukum detail untuk menjaga kesucian masyarakat (hukum zina, fitnah, etika rumah). Al-Furqan melanjutkan dengan memperingatkan tentang bahaya meninggalkan Al-Qur'an. Hubungan di sini sangat mendalam: Keindahan masyarakat (Nur/Cahaya) hanya dapat dicapai melalui penerapan Pembeda (Furqan) antara yang benar dan yang salah, yang diwahyukan melalui Al-Qur'an. Jika hukum An-Nur diabaikan, masyarakat akan gelap.
Kelompok Surah di Juz Amma adalah inti pemurnian akidah. Koherensi tematik Surah-surah ini menunjukkan bagaimana Al-Qur'an mengarahkan perhatian dari hal-hal duniawi ke fokus yang kekal.
Banyak Surah dalam Juz Amma bekerja secara berpasangan untuk menciptakan kontras:
Urutan penutup ini adalah pernyataan akhir tentang ketaatan dan perlindungan. Al-Ikhlas memurnikan akidah dari segala bentuk syirik. Setelah akidah murni, seorang Mukmin memerlukan perlindungan eksternal (Falaq) dan internal (Nas).
Keseluruhan urutan surah dalam Al-Qur'an ini, dari hukum yang terperinci di awal hingga keintiman spiritual dan perlindungan di akhir, menegaskan bahwa jalan hidup yang lurus (*Siratul Mustaqim*) adalah kombinasi sempurna dari syariat yang terstruktur dan tauhid yang murni.
Dengan demikian, studi tentang Tartib Mus-hafi memberikan apresiasi yang lebih dalam terhadap kesempurnaan Al-Qur'an. Ini bukan hanya sebuah buku petunjuk, tetapi sebuah karya seni arsitektural yang disusun secara Ilahi, di mana setiap surah adalah balok penyusun yang ditempatkan dengan tujuan dan hikmah yang tidak tertandingi.