Adzan, panggilan suci yang berkumandang lima kali sehari, merupakan manifestasi audible (yang terdengar) paling fundamental dari tauhid (keesaan Allah) dalam praktik ritual Islam. Namun, di balik suara merdu dan jangkauan spiritualnya yang luas, tersembunyi sebuah struktur linguistik dan teologis yang mendalam, tertuang dalam susunan kalimat bahasa Arab yang sangat presisi. Memahami tulisan arab adzan bukan sekadar menghafal lafadznya, melainkan menyelami setiap kata, partikel, dan makna gramatikal yang terkandung di dalamnya, yang secara kolektif merangkum inti ajaran Islam.
Artikel ini akan mengupas tuntas struktur tekstual adzan dari berbagai perspektif: lafadz utamanya, transliterasi standar, analisis gramatikal (Nahwu dan Sharaf), konteks fikih, serta implikasi spiritual dari setiap kalimat yang diserukan oleh muazin.
Ilustrasi visualisasi Kaligrafi Arab Adzan.
Adzan terdiri dari serangkaian lafadz yang diulang-ulang. Standar lafadz yang digunakan dalam mazhab Syafi'i dan mayoritas mazhab lainnya (kecuali Hanafi dan Maliki dalam beberapa aspek detail) adalah 15 kalimat, yang dikenal sebagai metode Tathwib (pengulangan ganda di awal) dan Tarji' (tanpa pengulangan Shahadat secara lirih).
Makna: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Pengulangan ini adalah deklarasi kemahabesaran (Al-Kibriya') Allah sebagai fondasi bagi setiap ritual ibadah yang akan dijalankan.
Makna: Aku bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah. Ini adalah inti sari dari ajaran tauhid, menegaskan penolakan (nafi) terhadap segala bentuk ilah palsu dan penetapan (itsbat) hanya kepada Allah.
Makna: Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat kedua ini menegaskan ketaatan kepada ajaran Rasulullah ﷺ sebagai perwujudan praktis dari tauhid.
Makna: Marilah menunaikan salat. Ini adalah kalimat transisional dari deklarasi iman menuju aksi nyata ibadah.
Makna: Marilah menuju kemenangan (kesuksesan/kebahagiaan). Dalam konteks ini, kemenangan diartikan sebagai keberhasilan dunia dan akhirat, yang dicapai melalui salat.
Makna: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Penutup ini mengulang dan mengukuhkan fondasi tauhid.
Setiap frasa dalam tulisan Arab adzan sarat dengan makna yang didukung oleh struktur tata bahasa Arab klasik. Memahami komposisi gramatikalnya membantu menguatkan penghayatan terhadap maknanya.
Frasa ini diulang enam kali dalam adzan (empat di awal, dua di akhir, atau dua di awal jika menggunakan metode tartib yang berbeda). Secara gramatikal, ia adalah kalimat nominal (jumlah ismiyyah).
Implikasi Nahwu: Penggunaan Isim Tafdhil tanpa membandingkannya dengan sesuatu yang lain mengindikasikan keagungan mutlak (Absolute Supremacy). Allah bukan hanya lebih besar dari *sesuatu*, tetapi Dia adalah Yang Maha Besar, melebihi segala pemahaman atau perbandingan.
Dalam ilmu Sharaf, akar kata (جذر) dari أَكْبَرُ adalah ك ب ر (K-B-R), yang mengandung makna kebesaran dan kemuliaan. Bentuk Af’alu (seperti Akbar) adalah bentuk superlatif yang paling kuat, menegaskan superioritas Ilahi yang tak tertandingi.
Frasa ini adalah pernyataan formal dan sumpah dari muazin, yang mencakup dua bagian utama: verba dan pernyataan kesaksian.
Implikasi Sharaf: Penggunaan Fi'il Muḍāri‘ (Asyhadu) menunjukkan kesaksian yang berkelanjutan, bukan hanya peristiwa masa lalu. Muazin tidak hanya bersaksi di masa lalu, tetapi terus bersaksi saat ini dan di masa depan, menegaskan keimanan yang hidup.
Frasa ini adalah seruan yang unik karena menggunakan bentuk perintah yang tidak lazim dalam percakapan sehari-hari.
Implikasi Nahwu: Struktur kalimat perintah ini (Hayya) menunjukkan bahwa panggilan adzan adalah perintah ilahi untuk bergerak. Ini bukan sekadar undangan pasif, melainkan seruan yang menuntut respons fisik dan spiritual segera dari pendengar.
Meskipun teks inti adzan adalah universal, terdapat variasi penting dalam beberapa kondisi, terutama pada adzan Salat Subuh, dan perbedaan dalam mazhab fikih mengenai pengulangan (Tarji’) di tengah adzan.
Dalam adzan Subuh, Muazin menambahkan dua lafadz khusus setelah frasa Ḥayya ‘alal falāḥ. Penambahan ini dikenal sebagai At-Taṣwīb (pemberitahuan). Meskipun ada perdebatan fikih mengenai kewajibannya, ia adalah sunnah muakkadah (dianjurkan kuat) dalam banyak mazhab.
Makna: Salat itu lebih baik daripada tidur. Ini adalah penekanan spiritual yang sangat kuat, terutama ketika fajar menyingsing dan jiwa manusia cenderung ingin beristirahat. Kalimat ini berfungsi sebagai dorongan psikologis dan teologis.
Analisis Gramatikal Taṣwīb: Ini adalah kalimat perbandingan (Isim Tafdhil). الصَّلَاةُ (As-Salāh) adalah mubtada'. خَيْرٌ (Khayrun - lebih baik/kebaikan) adalah khabar. مِنَ النَّوْمِ (Minan-nawm - daripada tidur) adalah frasa perbandingan (jar wa majrur). Struktur ini sederhana namun lugas, secara definitif menyatakan superioritas ibadah di atas kenyamanan duniawi.
Tarji’ adalah praktik mengulangi dua kalimat syahadat (tauhid dan risalah) secara lirih sebelum diucapkan dengan suara lantang. Hal ini didasarkan pada riwayat Adzan Bilal dan Abu Mahdzurah.
Perbedaan ini tidak mengubah inti tulisan Arab adzan, tetapi mempengaruhi urutan dan jumlah pengulangan yang digunakan Muazin di berbagai wilayah dunia Islam.
Tulisan Arab adzan dirancang tidak hanya untuk makna, tetapi juga untuk resonansi. Cara pelafalan (Tajwid) sangat mempengaruhi daya jangkau dan dampak spiritualnya. Setiap huruf harus jelas dan setiap harakat harus tepat untuk mempertahankan makna sakralnya.
Dalam adzan, banyak terjadi hukum Madd yang harus dipenuhi untuk memberikan ritme dan keindahan pada lafadz:
Kekeliruan pengucapan dalam bahasa Arab dapat mengubah makna secara drastis. Muazin harus memperhatikan makharijul huruf (tempat keluarnya huruf):
Kepatuhan pada tajwid memastikan bahwa makna teologis dari tulisan Arab adzan disampaikan dengan integritas penuh.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah fungsi dan kedudukan teologis dari setiap pilar kalimat adzan. Urutan lafadz adzan bukanlah kebetulan, melainkan alur logis yang dirancang untuk membimbing pendengar dari deklarasi iman menuju respons fisik dan spiritual.
Pengulangan empat kali (Allahu Akbar) di awal adalah pondasi terkuat. Ini adalah penyingkiran ego dan kekuasaan duniawi. Sebelum meminta jamaah untuk datang beribadah, muazin terlebih dahulu menegaskan bahwa entitas yang akan disembah adalah Yang Maha Besar. Secara psikologis, ini menyiapkan hati pendengar untuk tunduk. Jika lafadz ini dituliskan dalam konteks kaligrafi, ia seringkali dibuat paling besar dan menonjol, merepresentasikan keutamaan maknanya.
Setelah pengagungan, barulah datang pengakuan. Adzan secara efektif mengajarkan rukun Islam yang pertama—syahadat—sebelum memerintahkan rukun Islam yang kedua—salat. Urutan ini menunjukkan bahwa ibadah tidak sah tanpa iman yang benar.
Lafadz أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ adalah deklarasi pembebasan. Ini bukan sekadar keyakinan pasif, tetapi penolakan aktif terhadap segala bentuk thaghut (sesembahan selain Allah). Analisis gramatikalnya, dengan partikel negasi Lā Nafi Jins, mengunci makna bahwa tidak ada satu pun tuhan dari jenis mana pun yang ada, kecuali Allah.
Mengikuti Syahadat Tauhid, أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ mengaitkan ibadah dengan sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Ini penting karena tanpa risalah, syahadat tauhid bisa disalahartikan atau dipraktikkan di luar kerangka syariat yang benar. Nabi Muhammad adalah jembatan yang menjelaskan bagaimana Allah yang Maha Besar harus disembah.
Ini adalah bagian fungsional adzan. Pengulangan dua kali 'Hayya ‘alaṣ ṣalāh' dan dua kali 'Ḥayya ‘alal falāḥ' menunjukkan bahwa ada dua dimensi dari panggilan ini: kewajiban (salat) dan hasil (kemenangan/falah).
Kenapa Falah Diikuti Salat? Meskipun logis untuk memanggil salat terlebih dahulu, peletakan 'kemenangan' (Falah) setelah 'salat' (Salah) adalah urutan kausalitas. Salat adalah jalan, dan Falah adalah tujuannya. Kemenangan sejati di dunia dan akhirat hanya bisa diakses melalui salat yang didirikan. Kalimat ini memberikan motivasi teologis yang kuat bagi pendengar untuk meninggalkan aktivitas duniawi mereka.
Adzan ditutup dengan pengulangan Takbir (Allahu Akbar) dan Tahlil (La ilaha illallah). Penutup ini bukan sekadar formalitas, tetapi berfungsi sebagai 'rangkuman' dan 'cap' spiritual. Setelah mendengarkan urutan iman, risalah, dan perintah untuk salat, pendengar diingatkan kembali kepada dua kalimat yang paling esensial. Ini memastikan bahwa muazin dan pendengar mengakhiri panggilan dengan konsentrasi penuh pada Keesaan dan Keagungan Ilahi.
Tulisan Arab adzan tidak hanya menjadi panduan lafadz bagi muazin, tetapi juga panduan respons (adab) bagi orang yang mendengarkannya. Hukum fikih menetapkan bahwa pendengar harus menanggapi setiap kalimat yang diucapkan, yang menunjukkan partisipasi spiritual dalam panggilan tersebut.
Menurut mayoritas ulama, dianjurkan (sunnah muakkadah) bagi setiap muslim yang mendengar adzan untuk mengulangi lafadz yang diucapkan muazin, kecuali pada dua frasa Ḥayya ‘alaṣ ṣalāh dan Ḥayya ‘alal falāḥ.
Makna Jawaban: Jawaban Lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah) adalah bentuk pengakuan ketidakmampuan manusia. Ketika muazin menyerukan ajakan besar (salat dan kemenangan), pendengar mengakui bahwa tanpa kekuatan dari Allah, ajakan tersebut mustahil dipenuhi. Ini mengubah respons pasif menjadi ibadah aktif dan penyerahan diri (tawakkal).
Jika muazin mengucapkan Taṣwīb (اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ), mayoritas ulama menganjurkan pendengar untuk menjawab dengan kalimat yang sama. Namun, sebagian ulama, seperti Mazhab Syafi'i, berpendapat sunnah untuk menjawab: صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ (Ṣadaqta wa bararta - Engkau benar dan engkau berbuat baik).
Respons ini merupakan bentuk validasi teologis terhadap pernyataan tersebut, mengukuhkan bahwa memang ibadah lebih utama daripada istirahat.
Setelah selesai seluruh lafadz adzan, disunnahkan untuk membaca doa yang terkenal, memohon wasilah (kedudukan istimewa) bagi Nabi Muhammad ﷺ.
اللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ. إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ.
Doa ini adalah pengakuan atas kesempurnaan panggilan adzan (الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ) dan permintaan agar Nabi diberikan kedudukan tertinggi di akhirat (الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ).
Adzan dan Iqamah (panggilan pendirian salat) memiliki kemiripan lafadz, namun terdapat perbedaan struktural dan fungsional yang signifikan, tercermin dalam tulisan Arabnya.
Iqamah biasanya menggunakan metode Takbir dua kali di awal dan Tahlil satu kali di akhir. Dalam fikih standar, Iqamah adalah 11 kalimat (metode ifrad/tunggal), berbeda dengan adzan yang 15 kalimat (metode tatsniyah/ganda).
Perbedaan utama adalah pengulangan lafadz: dalam adzan, semua kalimat tengah (syahadat dan hayya’āt) diulang dua kali, sementara dalam iqamah, kalimat-kalimat ini hanya diucapkan satu kali.
Iqamah memiliki satu frasa eksklusif yang tidak ditemukan dalam adzan, yaitu pengumuman dimulainya salat.
Frasa ini diucapkan dua kali setelah Ḥayya ‘alal falāḥ.
Analisis Gramatikal Qad Qāmat:
Pernyataan ini mengubah sifat panggilan dari ‘ajakan’ (seperti pada adzan) menjadi ‘deklarasi pelaksanaan’ (seperti pada iqamah). Adzan adalah undangan ke masjid; iqamah adalah aba-aba untuk memulai.
Struktur tulisan Arab adzan adalah sebuah kurikulum spiritual yang ringkas. Ia memproklamasikan hakikat ketuhanan dan kenabian dalam langkah-langkah yang jelas, membawa pendengar dari dimensi makro ke dimensi mikro ibadah.
Adzan menegaskan bahwa sumber kebaikan dan tujuan utama hidup adalah Allah semata. Lafadz أَكْبَرُ (Akbar) dan لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ (La ilaha illallah) memastikan tidak ada ruang bagi kesyirikan atau relativisme teologis. Kebutuhan manusia untuk mencari kebahagiaan (Falah) secara eksplisit dihubungkan kembali kepada sumber ketuhanan (Allah) melalui mekanisme yang ditetapkan (Salat).
Dalam bahasa Arab, setiap huruf dan harakat adalah penting. Perubahan dari Ṣalāh (salat) menjadi Falāḥ (kemenangan) melalui kesamaan bunyi 'lah' di akhir adalah resonansi yang disengaja. Kedua kata ini, meskipun berbeda arti, menciptakan ritme fonetik yang harmonis. Keduanya adalah kata benda yang mewakili konsep spiritual tertinggi dalam Islam. Keindahan tulisan Arab adzan terletak pada kemampuan lafadz ini untuk memobilisasi jiwa dan raga.
Selain itu, penggunaan Idhāfah (konstruksi genitif) dan Munādā (panggilan) tidak diperlukan dalam adzan karena panggilan ini bersifat universal. Muazin tidak memanggil individu, melainkan memanggil seluruh umat manusia untuk melaksanakan ibadah, menegaskan bahwa panggilan ini adalah seruan yang berlaku untuk semua tanpa terkecuali.
Secara keseluruhan, tulisan Arab adzan adalah karya sastra teologis yang ringkas namun mendalam. Ia adalah deklarasi iman yang diperkuat oleh keagungan linguistik, memastikan bahwa pesan tauhid disampaikan dengan jelas, indah, dan berwibawa. Pemahaman menyeluruh terhadap lafadz dan strukturnya adalah kunci untuk menghayati makna sesungguhnya dari panggilan yang merangkul setiap penjuru bumi ini.
Kajian mendalam terhadap teks adzan mengungkapkan bahwa ia adalah lebih dari sekadar pengumuman waktu salat. Ia adalah pembaruan ikrar tauhid, penegasan risalah kenabian, dan seruan tegas menuju jalan keberhasilan, semuanya terangkum dalam rangkaian kata-kata yang telah dijaga otentisitasnya selama berabad-abad sejak masa Bilal bin Rabah r.a. dan Abdullah bin Zaid r.a. Konsistensi lafadz ini di seluruh dunia Islam menjadi bukti kesatuan umat dalam menjalankan perintah-perintah Ilahi, dimulai dari fondasi teks tertulisnya yang sakral.