Tawasul dan Tahlil: Jembatan Spiritual dan Tradisi Luhur

Ilustrasi Tawasul dan Tahlil لَا إِلٰهَ إِلَّا الله Ilustrasi grafis Tawasul dan Tahlil sebagai rantai spiritual yang terhubung dengan kalimah tauhid.

Dalam lanskap keislaman di Nusantara, amaliah Tawasul dan Tahlil merupakan dua praktik spiritual yang mendarah daging dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Keduanya seringkali dirangkai dalam satu majelis, terutama dalam acara-acara seperti selamatan, peringatan haul, atau mendoakan orang yang telah wafat. Namun, di tengah semaraknya praktik ini, seringkali pemahaman mendalam mengenai hakikat, landasan dalil, dan hikmah di baliknya belum merata. Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara komprehensif konsep tawasul dan tahlil, menelusuri akarnya dalam khazanah Islam, serta memahami posisinya dalam pandangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah.

Memahami tawasul dan tahlil bukan sekadar mengetahui tata cara pelaksanaannya, melainkan menyelami lautan makna tentang bagaimana seorang hamba berupaya mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, Allah SWT. Ini adalah perjalanan untuk memahami adab berdoa, esensi zikir, dan bagaimana jalinan kasih sayang antara sesama Muslim tidak terputus oleh kematian. Keduanya adalah manifestasi dari keyakinan bahwa rahmat Allah amatlah luas dan pintu untuk meraihnya senantiasa terbuka bagi mereka yang mau berusaha dengan cara-cara yang diajarkan atau diisyaratkan oleh syariat.

Membedah Makna Tahlil: Inti Zikir dan Kalimat Tauhid

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami makna tahlil secara mendasar. Tahlil, seringkali dipahami sebagai sebuah rangkaian acara doa, sejatinya berakar dari satu kalimat agung yang menjadi fondasi keimanan setiap Muslim.

1. Pengertian Tahlil Secara Bahasa dan Istilah

Secara etimologi (bahasa), kata "Tahlil" (تهليل) merupakan mashdar (kata dasar) dari fi'il (kata kerja) hallala - yuhallilu - tahlilan (هَلَّلَ - يُهَلِّلُ - تَهْلِيْلًا), yang berarti mengucapkan kalimat "La ilaha illallah" (لَا إِلٰهَ إِلَّا الله). Jadi, pada esensinya, bertahlil adalah berzikir dengan kalimat tauhid tersebut, yang artinya "Tiada tuhan selain Allah". Kalimat ini adalah penegasan paling murni atas keesaan Allah SWT, menafikan segala bentuk sesembahan selain-Nya dan menetapkan penyembahan hanya kepada-Nya.

Adapun secara terminologi (istilah), khususnya dalam konteks tradisi di Indonesia, "Tahlilan" merujuk pada sebuah majelis atau upacara zikir bersama. Rangkaian bacaannya tidak hanya terbatas pada kalimat tahlil, tetapi juga mencakup bacaan ayat-ayat Al-Qur'an (seperti Surah Yasin, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan Ayat Kursi), tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), takbir (Allahu Akbar), istighfar, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, dan ditutup dengan doa bersama. Doa ini biasanya ditujukan untuk memohon ampunan dan rahmat bagi arwah orang-orang yang telah meninggal dunia, serta memohon keberkahan bagi yang masih hidup.

2. Keagungan Kalimat "La ilaha illallah"

Kalimat tahlil adalah zikir yang paling utama. Ia disebut sebagai afdhaludz dzikr (zikir terbaik). Rasulullah SAW bersabda:

"Zikir yang paling utama adalah 'La ilaha illallah', dan doa yang paling utama adalah 'Alhamdulillah'." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Keutamaan kalimat ini terletak pada kandungannya yang merupakan intisari dari ajaran Islam, yaitu tauhid. Ia terdiri dari dua pilar utama:

Oleh karena itu, majelis tahlilan pada hakikatnya adalah majelis untuk menggemakan dan meresapi makna tauhid, sebuah aktivitas spiritual yang sangat dianjurkan dalam Islam. Mengisi waktu dengan berzikir, membaca Al-Qur'an, dan bershalawat adalah amalan-amalan yang disepakati keutamaannya oleh seluruh ulama.

Mengupas Konsep Tawasul: Sarana Menuju Allah

Jika tahlil adalah substansi zikirnya, maka tawasul adalah salah satu metode atau adab dalam berdoa yang sering menyertainya. Tawasul sering menjadi topik perdebatan karena kesalahpahaman dalam memaknainya. Penting untuk memahami konsep ini secara jernih dan proporsional.

1. Definisi Tawasul dan Hakikatnya

Secara bahasa, "Tawasul" berasal dari kata wasilah (الوسيلة), yang berarti perantara, sarana, atau sesuatu yang dapat mendekatkan kepada tujuan. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Ma'idah: 35)

Secara istilah, tawasul adalah menjadikan sesuatu sebagai perantara (wasilah) dalam berdoa kepada Allah SWT dengan tujuan agar doa tersebut lebih didengar dan dikabulkan. Poin krusial yang harus digarisbawahi adalah: permintaan dan tujuan akhir dari doa tetaplah hanya kepada Allah SWT. Wasilah bukanlah tujuan, melainkan hanya sarana. Analogi sederhananya, seseorang yang sakit meminum obat. Ia tidak meminta kesembuhan kepada obat, tetapi ia menggunakan obat sebagai wasilah (sarana) untuk meraih kesembuhan, sementara keyakinan penuhnya adalah bahwa yang menyembuhkan hanyalah Allah SWT.

Kesalahpahaman terjadi ketika tawasul dianggap sebagai tindakan meminta kepada selain Allah. Ini adalah pandangan yang keliru. Praktik tawasul yang benar dalam kacamata ulama Aswaja tidak pernah mengalihkan permintaan kepada wasilah itu sendiri. Objek permohonan tetap satu, yaitu Allah.

2. Jenis-jenis Tawasul yang Disepakati (Muttafaq 'Alaih)

Ada beberapa bentuk tawasul yang kebolehannya disepakati oleh hampir seluruh ulama tanpa perdebatan yang berarti. Ini karena landasan dalilnya sangat jelas dan kuat.

a. Tawasul dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah (Asma'ul Husna)

Ini adalah bentuk tawasul yang paling tinggi dan paling dianjurkan. Seseorang berdoa dengan menyebut nama-nama Allah yang mulia yang sesuai dengan hajatnya. Misalnya, berdoa, "Ya Allah, Ya Razzaq (Wahai Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki), limpahkanlah rezeki yang halal kepada hamba." Dalilnya sangat jelas dalam Al-Qur'an:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا

"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu." (QS. Al-A'raf: 180)

b. Tawasul dengan Amal Saleh Diri Sendiri

Seseorang menjadikan amal saleh yang pernah ia lakukan dengan ikhlas sebagai wasilah dalam doanya. Misalnya, "Ya Allah, jika Engkau meridai amalku yang telah membantu anak yatim itu, maka kabulkanlah permohonanku ini." Landasan utamanya adalah hadis masyhur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Mereka bertawasul dengan amal saleh terbaik mereka masing-masing: yang satu dengan baktinya kepada orang tua, yang kedua dengan upayanya menjaga kehormatan diri dari zina, dan yang ketiga dengan amanahnya dalam menjaga harta pekerjanya. Atas wasilah amal saleh tersebut, Allah membukakan pintu gua dan menyelamatkan mereka. (HR. Bukhari dan Muslim).

c. Tawasul dengan Doa Orang Saleh yang Masih Hidup

Ini berarti meminta seseorang yang kita anggap saleh dan doanya mustajab untuk mendoakan kita kepada Allah. Praktik ini sangat lazim dilakukan oleh para sahabat. Contoh paling terkenal adalah ketika terjadi kemarau panjang di masa kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu. Beliau tidak langsung berdoa sendiri, melainkan meminta paman Nabi, Al-Abbas bin Abdul Muththalib, untuk berdoa kepada Allah memohon hujan. Umar berkata:

"Ya Allah, dahulu kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Kini kami bertawasul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami." (HR. Bukhari).

Ini menunjukkan bahwa meminta doa dari orang saleh yang masih hidup adalah praktik yang dibenarkan dan dicontohkan.

3. Tawasul yang Menjadi Ranah Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)

Bentuk tawasul yang sering menjadi perdebatan adalah tawasul dengan pribadi atau kedudukan (jah) para nabi dan orang-orang saleh yang telah wafat. Sebagian kalangan menganggap ini tidak boleh, sementara mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jamaah (termasuk mazhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali) membolehkannya. Penting untuk memahami argumen dari pihak yang membolehkan.

Dalil-dalil Pihak yang Membolehkan:

1. Hadis Lelaki Buta: Diriwayatkan bahwa seorang lelaki buta datang kepada Nabi Muhammad SAW dan memohon agar didoakan sembuh. Nabi mengajarkannya sebuah doa: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan (wasilah) Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar dipenuhi. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya, hadis ini dinilai sahih oleh banyak ahli hadis).

Yang menarik, riwayat dari Imam At-Thabrani menyebutkan bahwa para sahabat terus menggunakan doa ini bahkan setelah Nabi SAW wafat. Utsman bin Hunaif, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, mengajarkan doa tersebut kepada seseorang yang memiliki hajat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, dan hajat orang itu pun terkabul. Ini menunjukkan bahwa tawasul dengan pribadi Nabi tidak terbatas pada masa hidup beliau.

2. Pemahaman terhadap "Wasilah": Para ulama yang membolehkan berpendapat bahwa "wasilah" dalam QS. Al-Ma'idah: 35 mencakup segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, termasuk kedudukan mulia para kekasih-Nya. Mereka bukanlah tuhan, tetapi mereka adalah hamba-hamba yang dicintai Allah. Berdoa dengan menyebut nama mereka adalah bentuk penghormatan dan pengakuan atas kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka, seraya berharap keberkahan dari cinta Allah kepada mereka itu turut dirasakan oleh yang berdoa.

3. Analogi (Qiyas): Jika bertawasul dengan doa orang saleh yang masih hidup dibolehkan, maka bertawasul dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW—yang merupakan makhluk paling mulia di sisi Allah—tentu lebih utama. Para nabi dan orang saleh diyakini hidup di alam barzakh dan kedudukan mereka di sisi Allah tidak akan pernah berkurang setelah wafat, bahkan bertambah mulia.

Penting untuk sekali lagi ditekankan, bagi kalangan yang mempraktikkannya, ini bukan berarti meminta kepada kuburan atau kepada arwah orang saleh. Permintaan tetap 100% ditujukan kepada Allah SWT. Kalimat doanya berbunyi, "Ya Allah, dengan perantara kemuliaan Nabi-Mu Muhammad, kabulkanlah hajatku." Sama sekali bukan, "Wahai Nabi Muhammad, kabulkanlah hajatku." Perbedaan ini sangat fundamental dan menjadi kunci pemahaman yang benar.

Keterkaitan Erat Antara Tawasul dan Tahlil dalam Tradisi

Dalam praktik tahlilan di masyarakat, tawasul dan tahlil menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tawasul menjadi semacam "pembuka gerbang" sebelum zikir inti (tahlil) dilantunkan. Bagaimana keduanya menyatu?

Sebuah majelis tahlilan biasanya diawali dengan "hadiah Fatihah" atau pengiriman bacaan Al-Fatihah. Rangkaiannya adalah sebagai berikut:

  1. Ilaa hadhratin Nabiyyil Musthafa... Al-Fatihah. (Kepada hadirat Nabi terpilih Muhammad... bacaan Al-Fatihah dipersembahkan). Ini adalah bentuk tawasul dan tabarruk (mencari berkah) dengan Rasulullah SAW.
  2. Tsumma ilaa arwahi... (Kemudian kepada arwah...). Dilanjutkan dengan menyebut keluarga Nabi, para sahabat, para tabi'in, para ulama, para wali, guru-guru, orang tua, dan kaum muslimin secara umum, diakhiri dengan almarhum/almarhumah yang secara spesifik didoakan.

Proses ini sendiri sudah mengandung unsur tawasul. Kita memulai doa dengan menyebut nama-nama orang yang kita yakini memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, seolah-olah berkata, "Ya Allah, kami memulai majelis zikir ini dengan menghormati kekasih-kekasih-Mu, maka limpahkanlah keberkahan pada majelis kami ini."

Setelah rangkaian zikir (tahlil, tasbih, tahmid, dll.) dan bacaan Al-Qur'an selesai, majelis ditutup dengan doa. Dalam doa penutup inilah, seringkali tawasul secara eksplisit diucapkan kembali, memohon kepada Allah agar menerima semua amal bacaan tersebut dan menyampaikan pahalanya kepada si mayit, seringkali dengan menyertakan kalimat seperti "bi jaahi sayyidina Muhammadin SAW" (dengan kedudukan junjungan kami Muhammad SAW).

Jadi, tawasul berfungsi sebagai bingkai spiritual yang mengawali dan mengakhiri majelis tahlil. Ia adalah adab, sebuah tata krama dalam "mengetuk pintu langit", dengan didahului penghormatan kepada mereka yang telah lebih dulu sampai dan dicintai oleh Sang Pemilik Pintu.

Landasan Amaliah Tahlilan: Apakah Pahala Sampai?

Praktik tahlilan berdiri di atas beberapa pilar keyakinan yang didasarkan pada dalil-dalil syar'i, terutama mengenai sampainya pahala ibadah kepada orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah isu sentral yang menjadi dasar legalitas tahlilan.

1. Sampainya Pahala Bacaan Al-Qur'an dan Zikir

Mayoritas ulama (Jumhur Ulama), terutama dari kalangan mazhab Hanafi, Hanbali, dan ulama muta'akhkhirin (generasi belakangan) dari mazhab Syafi'i dan Maliki, berpendapat bahwa pahala bacaan Al-Qur'an, zikir, dan ibadah badan lainnya (yang tidak bersifat personal murni seperti shalat fardhu) dapat sampai kepada mayit jika diniatkan dan didoakan untuknya.

Pendapat ini didasarkan pada beberapa hal:

Imam Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi'i, dalam kitabnya Al-Adzkar, menyimpulkan bahwa pendapat yang terpilih (al-mukhtar) adalah bahwa pahala bacaan Al-Qur'an sampai kepada mayit, sejalan dengan pendapat jumhur ulama.

2. Berkumpul untuk Berzikir dan Berdoa

Tahlilan adalah bentuk zikir berjamaah. Islam sangat menganjurkan perkumpulan yang di dalamnya disebut nama Allah. Rasulullah SAW bersabda:

"Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majelis untuk berzikir kepada Allah, melainkan mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, diliputi oleh rahmat, diturunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan (para malaikat) yang ada di sisi-Nya." (HR. Muslim).

Hadis ini menjadi landasan kuat bagi keutamaan majelis zikir, termasuk majelis tahlilan. Majelis ini menjadi wadah turunnya rahmat dan sakinah, yang diharapkan keberkahannya tidak hanya dirasakan oleh yang hadir, tetapi juga sampai kepada arwah yang didoakan.

Hikmah dan Nilai Luhur di Balik Tradisi Tahlilan

Di luar perdebatan fikih, tradisi tahlilan yang menyatukan tawasul dan tahlil memiliki dimensi hikmah dan nilai sosial-budaya yang sangat kaya, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia.

Kesimpulan: Memahami dengan Hati dan Ilmu

Tahlil adalah esensi zikir, pengakuan tertinggi atas keesaan Allah yang merupakan amalan paling utama. Tawasul adalah adab atau cara berdoa dengan menggunakan perantara yang diyakini memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, dengan tujuan agar doa lebih mustajab, sementara permohonan tetap murni ditujukan hanya kepada Allah SWT. Keduanya bertemu dalam tradisi luhur tahlilan, sebuah praktik keagamaan yang kaya akan nilai spiritual dan sosial.

Amaliah ini memiliki landasan kuat dalam dalil-dalil syar'i, baik secara langsung maupun melalui interpretasi dan ijtihad para ulama Ahlussunnah wal Jamaah selama berabad-abad. Perbedaan pendapat dalam masalah ini, terutama terkait jenis tawasul tertentu, berada dalam ranah furu'iyyah (cabang), bukan ushuliyyah (pokok akidah). Oleh karena itu, menyikapinya harus dengan kelapangan dada, saling menghormati, dan menjauhi sikap saling menyalahkan atau mengkafirkan.

Memahami tawasul tahlil berarti memahami bagaimana umat Islam di Nusantara mengekspresikan cinta mereka kepada Allah, penghormatan kepada para kekasih-Nya, dan kasih sayang kepada sesama yang tidak terputus oleh kematian. Ini adalah warisan intelektual dan spiritual para ulama yang perlu terus dijaga, dipelajari, dan diamalkan dengan landasan ilmu yang benar dan niat yang tulus, semata-mata untuk mengharap ridha Allah SWT.

🏠 Kembali ke Homepage