Panduan Lengkap Tahiyat Akhir Sesuai Tuntunan NU
Ilustrasi posisi duduk tawarruk saat tahiyat akhir dalam shalat.
Shalat adalah tiang agama, sebuah pilar fundamental dalam kehidupan seorang Muslim. Di dalam shalat, setiap gerakan dan ucapan memiliki makna yang mendalam, menjadi sarana dialog antara hamba dengan Sang Khalik. Salah satu rukun terpenting dalam shalat adalah duduk dan membaca tahiyat akhir. Momen ini merupakan puncak dari rangkaian ibadah shalat, di mana seorang hamba menghaturkan penghormatan agung kepada Allah SWT, bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta memanjatkan doa-doa perlindungan sebelum mengakhiri shalatnya dengan salam.
Bagi kalangan Nahdliyin, atau warga Nahdlatul Ulama (NU), praktik ibadah senantiasa merujuk pada tuntunan para ulama salafus shalih, khususnya yang berpegang teguh pada madzhab Syafi'i. Bacaan dan tata cara tahiyat akhir yang diamalkan pun selaras dengan kaidah-kaidah yang telah digariskan dalam madzhab ini. Artikel ini akan mengupas secara tuntas, mendalam, dan komprehensif mengenai bacaan tahiyat akhir menurut tuntunan NU, lengkap dengan teks Arab, transliterasi Latin, terjemahan, serta penjelasan makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Memahami Kedudukan Tahiyat Akhir dalam Struktur Shalat
Sebelum melangkah ke bacaan, sangat penting untuk memahami posisi tahiyat akhir dalam kerangka shalat. Dalam fiqih madzhab Syafi'i, rukun shalat terbagi menjadi beberapa kategori, dan tahiyat akhir mencakup beberapa rukun sekaligus.
1. Rukun Qauli (Ucapan) dan Rukun Fi'li (Perbuatan)
Tahiyat akhir bukan hanya sekadar bacaan, melainkan sebuah kesatuan antara perbuatan dan ucapan yang wajib. Rukun-rukun yang tercakup di dalamnya adalah:
- Duduk untuk tahiyat akhir: Ini adalah rukun fi'li (perbuatan). Posisi duduk yang disunnahkan dalam madzhab Syafi'i pada tahiyat akhir adalah duduk tawarruk.
- Membaca tasyahud (tahiyat) akhir: Ini adalah rukun qauli (ucapan), dimulai dari "Attahiyyatu..." hingga syahadatain.
- Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW: Ini juga merupakan rukun qauli yang wajib dibaca setelah tasyahud. Minimal bacaannya adalah "Allahumma shalli 'ala Muhammad".
- Mengucapkan salam yang pertama: Salam ke kanan adalah rukun qauli yang menandai berakhirnya shalat.
Meninggalkan salah satu dari rukun-rukun ini dengan sengaja akan membatalkan shalat. Inilah yang membedakannya dengan tahiyat awal, yang hukumnya adalah sunnah ab'adh (sunnah yang sangat dianjurkan), di mana jika terlupa, dapat diganti dengan sujud sahwi.
2. Posisi Duduk Tawarruk: Simbolisme dan Tata Cara
Saat tahiyat akhir, posisi duduk yang dianjurkan adalah duduk tawarruk. Caranya adalah dengan memposisikan pantat kiri menempel di lantai, kaki kiri dimasukkan ke bawah kaki kanan. Sementara itu, telapak kaki kanan ditegakkan dengan jari-jemarinya menghadap kiblat. Posisi ini memiliki hikmah, di antaranya adalah sebagai pembeda dengan duduk iftirasy (pada tahiyat awal dan di antara dua sujud), serta memberikan sinyal bahwa shalat akan segera berakhir.
Secara fisik, posisi ini memberikan peregangan pada otot-otot panggul dan paha, yang dapat membantu melancarkan peredaran darah. Namun, yang lebih utama adalah meneladani (ittiba') cara shalat Rasulullah SAW, karena beliau adalah suri tauladan terbaik dalam segala aspek kehidupan, termasuk ibadah.
Bacaan Lengkap Tahiyat Akhir Sesuai Tuntunan NU
Berikut adalah susunan bacaan tahiyat akhir yang lazim diamalkan oleh warga Nahdlatul Ulama, yang bersumber dari ajaran madzhab Syafi'i. Bacaan ini akan kita bedah satu per satu untuk memahami keagungan maknanya.Bagian Pertama: Penghormatan Agung (Attahiyat)
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ
Attahiyyâtul mubârakâtush shalawâtut thoyyibâtu lillâh.
Artinya: "Segala penghormatan, keberkahan, shalawat, dan kebaikan hanyalah milik Allah."
Penjelasan Mendalam:
Kalimat pembuka ini adalah sebuah deklarasi tauhid yang paling murni. Ia merupakan intisari dari pengagungan seorang hamba kepada Tuhannya. Mari kita urai setiap katanya:
- التَّحِيَّاتُ (Attahiyyat): Berasal dari kata tahiyyah, yang berarti penghormatan. Bentuk jamak ini mencakup segala bentuk penghormatan, pengagungan, dan sanjungan, baik yang diucapkan lisan maupun yang terbersit di dalam hati. Ini adalah pengakuan bahwa segala bentuk kemuliaan dan kekuasaan mutlak hanyalah milik Allah. Manusia mungkin dihormati karena jabatan atau ilmunya, tetapi penghormatan hakiki yang abadi hanya pantas disematkan kepada Allah SWT.
- الْمُبَارَكَاتُ (Al-Mubarakât): Berasal dari kata barakah, yang berarti keberkahan, kebaikan yang melimpah dan terus-menerus. Dengan mengucapkan ini, kita mengakui bahwa sumber segala keberkahan di alam semesta, dari turunnya hujan hingga rezeki yang kita nikmati, semuanya berasal dari Allah.
- الصَّلَوَاتُ (As-Shalawât): Kata ini memiliki makna yang luas. Ia bisa berarti 'doa', 'rahmat', dan juga 'ibadah'. Dalam konteks ini, ia mencakup segala bentuk ibadah dan doa yang kita panjatkan. Kita menegaskan bahwa esensi dari semua ibadah kita, dari shalat hingga sedekah, tujuannya hanya satu: untuk Allah SWT.
- الطَّيِّبَاتُ (At-Thoyyibât): Berarti segala sesuatu yang baik, suci, dan pantas. Ini mencakup perkataan yang baik, perbuatan yang baik, dan sifat-sifat yang baik. Kita menyatakan bahwa segala kebaikan yang ada di dunia ini pada hakikatnya adalah milik Allah dan dipersembahkan untuk-Nya.
- لِلَّهِ (Lillâh): Kata penutup yang menjadi kunci dari seluruh kalimat. "Hanyalah milik Allah". Frasa ini mengunci semua pengagungan sebelumnya dan menegaskan prinsip tauhid, bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kepemilikan segala penghormatan, keberkahan, ibadah, dan kebaikan.
Kalimat ini diriwayatkan sebagai percakapan agung saat peristiwa Isra' Mi'raj. Ketika Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT, beliau menghaturkan "Attahiyyâtul mubârakâtush...". Allah SWT kemudian menjawabnya, yang akan kita bahas pada bagian berikutnya.
Bagian Kedua: Salam untuk Sang Nabi
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Assalâmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Artinya: "Keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahan-Nya semoga tercurah kepadamu, wahai Nabi."
Penjelasan Mendalam:
Setelah mengagungkan Allah, kita diajarkan untuk memberikan salam kepada perantara hidayah, sosok yang paling mulia di antara makhluk, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kalimat ini adalah jawaban Allah SWT kepada Nabi saat Mi'raj.
- السَّلاَمُ عَلَيْكَ (Assalâmu ‘alaika): "Keselamatan atasmu". As-Salam adalah salah satu Asmaul Husna, Nama Agung Allah, yang berarti Maha Pemberi Keselamatan. Salam ini bukan sekadar sapaan biasa, melainkan doa agar Nabi Muhammad SAW senantiasa diliputi oleh keselamatan dari Allah, baik di dunia, di alam barzakh, maupun di akhirat. Bentuk sapaan langsung ("'alaika" - kepadamu) menunjukkan kedekatan emosional dan spiritual yang harus kita jalin dengan Rasulullah. Meskipun beliau telah wafat, ruh dan ajarannya senantiasa hidup.
- أَيُّهَا النَّبِيُّ (Ayyuhan Nabiyyu): "Wahai Nabi". Panggilan ini menunjukkan penghormatan yang luar biasa. Kita tidak memanggil namanya secara langsung, tetapi dengan gelar kenabiannya yang agung.
- وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ (Wa rahmatullâhi wa barakâtuh): "Dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya". Kita tidak hanya mendoakan keselamatan, tetapi juga memohonkan curahan rahmat (kasih sayang) dan barakah (kebaikan yang berlimpah) dari Allah untuk beliau. Doa ini adalah bentuk terima kasih kita yang tak terhingga atas jasa dan pengorbanan beliau dalam menyampaikan risalah Islam.
Bagian Ketiga: Salam untuk Diri Sendiri dan Hamba Saleh
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ
Assalâmu ‘alainâ wa ‘alâ ‘ibâdillâhish shâlihîn.
Artinya: "Semoga keselamatan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh."
Penjelasan Mendalam:
Setelah Nabi Muhammad SAW menerima salam dari Allah, beliau tidak menyimpannya untuk diri sendiri. Dengan sifat altruistiknya yang luar biasa, beliau langsung membagikan salam tersebut. Inilah kalimat yang beliau ucapkan sebagai respons.
- السَّلاَمُ عَلَيْنَا (Assalâmu ‘alainâ): "Keselamatan atas kami". Kata "kami" di sini mencakup orang yang sedang shalat itu sendiri, serta para malaikat yang menyertainya. Ini mengajarkan kita untuk tidak egois dalam berdoa.
- وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ (Wa ‘alâ ‘ibâdillâhish shâlihîn): "Dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh". Ini adalah doa yang universal dan inklusif. Doa ini mencakup seluruh hamba Allah yang saleh, dari zaman Nabi Adam hingga hari kiamat, baik dari kalangan manusia maupun jin, yang masih hidup maupun yang telah wafat. Dengan mengucapkan kalimat ini, kita merasa terhubung dalam sebuah ikatan persaudaraan iman yang melintasi ruang dan waktu. Setiap kali kita shalat, kita mendoakan jutaan saudara seiman kita di seluruh dunia.
Bagian Keempat: Ikrar Dua Kalimat Syahadat
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Asyhadu an lâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna Muhammadar rasûlullâh.
Artinya: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Penjelasan Mendalam:
Setelah rangkaian dialog penghormatan, shalat ditutup dengan penegasan kembali pondasi utama keimanan, yaitu syahadatain. Ini adalah momen untuk memperbarui ikrar dan kesaksian kita di hadapan Allah SWT.
- أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (Asyhadu an lâ ilâha illallâh): Kesaksian tauhid. "Aku bersaksi" (Asyhadu) bukanlah pengakuan biasa, melainkan sebuah persaksian yang lahir dari keyakinan hati, diucapkan oleh lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Kalimat "La ilaha illallah" mengandung dua pilar: penafian (nafi) dan penetapan (itsbat). "La ilaha" menafikan segala bentuk tuhan, sesembahan, dan kekuatan lain selain Allah. "Illallah" menetapkan bahwa satu-satunya yang berhak disembah adalah Allah.
- وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ (Wa asyhadu anna Muhammadar rasûlullâh): Kesaksian kerasulan. Setelah mengakui keesaan Allah, kita mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya. Kesaksian ini mengandung konsekuensi untuk membenarkan segala berita yang beliau sampaikan, menaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan beribadah kepada Allah sesuai dengan syariat yang beliau ajarkan.
Dalam praktik madzhab Syafi'i, saat mengucapkan "إِلاَّ اللهُ", disunnahkan untuk mengangkat jari telunjuk kanan dengan sedikit membungkuk, sebagai simbol penegasan keesaan Allah. Jari ini tetap terangkat hingga salam.
Shalawat Ibrahimiyyah: Puncak Sanjungan dan Doa
Setelah tasyahud, rukun selanjutnya adalah membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW. Bentuk shalawat yang paling utama (afdhal) dan yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW ketika para sahabat bertanya tentang cara bershalawat adalah Shalawat Ibrahimiyyah. Inilah bacaan yang dianjurkan dalam madzhab Syafi'i dan diamalkan oleh warga NU.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
Allâhumma sholli ‘alâ sayyidinâ Muhammad, wa ‘alâ âli sayyidinâ Muhammad, kamâ shollaita ‘alâ sayyidinâ Ibrâhîm, wa ‘alâ âli sayyidinâ Ibrâhîm. Wa bârik ‘alâ sayyidinâ Muhammad, wa ‘alâ âli sayyidinâ Muhammad, kamâ bârakta ‘alâ sayyidinâ Ibrâhîm, wa ‘alâ âli sayyidinâ Ibrâhîm. Fil ‘âlamîna innaka hamîdun majîd.
Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah rahmat (shalawat) kepada junjungan kami Nabi Muhammad, dan kepada keluarga junjungan kami Nabi Muhammad. Sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dan limpahkanlah berkah kepada junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan berkah kepada junjungan kami Nabi Ibrahim dan keluarganya. Di seluruh alam semesta, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia."
Analisis Mendalam Shalawat Ibrahimiyyah
Penggunaan Lafaz "Sayyidina"
Salah satu ciri khas dalam amaliah NU adalah penggunaan lafaz "Sayyidina" (junjungan kami/tuan kami) sebelum menyebut nama Nabi Muhammad atau nabi-nabi lainnya. Ini bukanlah penambahan yang bid'ah, melainkan bentuk adab (tata krama) dan penghormatan tertinggi kepada Rasulullah. Para ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa mengamalkan adab lebih utama daripada sekadar berpegang pada teks harfiah dalam konteks di luar bacaan Al-Qur'an. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda, "Aku adalah sayyid (pemimpin) anak Adam pada hari kiamat." Maka, memanggil beliau dengan gelar "Sayyidina" adalah bentuk pengakuan atas kedudukan agung tersebut.
Permohonan Shalawat dan Barakah
Shalawat ini mengandung dua permohonan utama: Shalawat (صَلِّ) dan Barakah (بَارِكْ). Shalawat dari Allah kepada Nabi berarti limpahan rahmat, pujian di hadapan para malaikat, dan pengangkatan derajat. Sedangkan barakah berarti kebaikan ilahi yang langgeng, tumbuh, dan bermanfaat. Kita memohon agar kebaikan dan kemuliaan yang tercurah kepada Nabi Muhammad dan keluarganya senantiasa abadi dan bertambah.
Penyebutan Nabi Ibrahim AS
Mengapa Nabi Ibrahim AS disebut secara khusus dan dijadikan perumpamaan dalam shalawat ini? Ada beberapa hikmah besar:
- Bapak Para Nabi (Abul Anbiya'): Nabi Ibrahim adalah leluhur dari banyak nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Menyandingkan keduanya menunjukkan kesinambungan risalah tauhid.
- Gelar Khalilullah (Kekasih Allah): Nabi Ibrahim mencapai derajat kecintaan yang sangat tinggi di sisi Allah. Kita berdoa agar Nabi Muhammad juga mendapatkan kemuliaan serupa atau bahkan lebih tinggi.
- Kesempurnaan Iman: Nabi Ibrahim adalah teladan dalam keteguhan iman dan kepasrahan total kepada Allah. Dengan menyebut namanya, kita diingatkan akan fondasi iman yang kokoh.
Doa untuk Keluarga Nabi (آلِ)
Doa ini tidak hanya untuk Nabi secara pribadi, tetapi juga untuk "Aal" beliau, yaitu keluarganya. Para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai siapa yang termasuk "Aal Muhammad". Pendapat yang kuat mencakup istri-istri beliau, keturunannya (ahlul bait), dan bahkan ada yang memperluasnya hingga mencakup seluruh pengikutnya yang bertakwa. Ini menunjukkan betapa mulianya ikatan dengan Rasulullah SAW.
Penutup yang Agung
Shalawat ini diakhiri dengan kalimat pujian kepada Allah: فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ (Fil ‘âlamîna innaka hamîdun majîd). "Di seluruh alam semesta, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia." Kalimat ini menegaskan bahwa segala doa dan pujian kita pada akhirnya kembali kepada Allah. Hamid berarti Dia-lah yang berhak atas segala puji, baik Dia memberi maupun tidak, karena segala perbuatan-Nya adalah baik. Majid berarti Dia-lah yang memiliki kemuliaan dan keagungan yang sempurna.
Doa Perlindungan Sebelum Salam
Setelah menyempurnakan tasyahud dan shalawat, sangat dianjurkan (sunnah mu'akkadah) untuk membaca doa memohon perlindungan dari empat perkara besar. Doa ini diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW dan merupakan benteng bagi seorang mukmin.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
Allâhumma innî a‘ûdzu bika min ‘adzâbil qabri, wa min ‘adzâbin nâr, wa min fitnatil mahyâ wal mamât, wa min syarri fitnatil masîhid dajjâl.
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari siksa api neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal."
Empat Perlindungan Fundamental:
- Dari Siksa Kubur (مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ): Alam kubur (barzakh) adalah fase pertama kehidupan akhirat. Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya berlindung dari siksanya. Doa ini adalah pengakuan atas kelemahan kita dan permohonan agar Allah menjadikan kubur kita sebagai taman surga, bukan jurang neraka.
- Dari Siksa Api Neraka (وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ): Ini adalah tujuan akhir dari setiap mukmin: selamat dari api neraka. Dengan memohon perlindungan ini di setiap akhir shalat, kita menunjukkan keseriusan dan ketakutan kita akan azab Allah yang paling pedih.
- Dari Fitnah Kehidupan dan Kematian (وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ):
- Fitnah Kehidupan (Fitnatil Mahya): Ini mencakup segala ujian, cobaan, dan godaan yang dapat menyesatkan manusia selama hidup di dunia. Mulai dari fitnah harta, tahta, wanita, syubhat (kerancuan pemikiran), hingga syahwat (hawa nafsu).
- Fitnah Kematian (Fitnatil Mamât): Ini mencakup ujian berat saat sakaratul maut, seperti godaan setan yang datang untuk merusak iman di detik-detik terakhir kehidupan, serta pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.
- Dari Kejahatan Fitnah Al-Masih Ad-Dajjal (وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ): Dajjal adalah fitnah (ujian) terbesar yang akan dihadapi umat manusia di akhir zaman. Kemampuannya yang luar biasa dalam menipu manusia akan menggoyahkan iman banyak orang. Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk senantiasa berlindung dari fitnah Dajjal di setiap akhir shalat, menunjukkan betapa dahsyatnya ujian tersebut.
Setelah doa ini, seorang Muslim dapat menambahkan doa-doa lain yang diinginkan, terutama yang ma'tsur (bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah), sebelum akhirnya menutup shalat dengan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.
Penutup: Meresapi Makna Tahiyat dalam Setiap Shalat
Tahiyat akhir bukanlah sekadar rangkaian kata-kata yang dihafal dan diucapkan secara mekanis. Ia adalah sebuah perjalanan spiritual singkat yang merangkum seluruh esensi keislaman. Dimulai dengan pengagungan total kepada Allah (tauhid), dilanjutkan dengan penghormatan dan cinta kepada Rasulullah SAW (risalah), disebarkan menjadi doa universal bagi seluruh umat yang saleh (ukhuwah), diperbarui dengan ikrar syahadat (iman), disempurnakan dengan shalawat termulia (mahabbah), dan ditutup dengan permohonan perlindungan total kepada Allah (tawakkal).
Dengan memahami setiap kata dan meresapi setiap maknanya, momen tahiyat akhir dapat menjadi saat yang paling khusyuk dalam shalat. Ia menjadi kesempatan untuk mengisi ulang baterai keimanan, memperkuat hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya, serta membentengi diri dari segala keburukan. Semoga panduan ini dapat membantu kita semua, khususnya warga Nahdliyin, untuk melaksanakan shalat dengan lebih baik, lebih khusyuk, dan lebih bermakna, sesuai dengan tuntunan para ulama yang sanad keilmuannya bersambung hingga Rasulullah SAW.