Bacaan Surat Yusuf Latin Lengkap dengan Terjemahan dan Tafsir Mendalam

Surat Yusuf adalah surat ke-12 dalam Al-Qur'an dan terdiri dari 111 ayat. Surat ini tergolong dalam surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekkah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW. Keunikan surat ini terletak pada fokusnya yang hampir seluruhnya menceritakan satu kisah tunggal, yaitu riwayat hidup Nabi Yusuf AS. Allah SWT menyebut kisah ini sebagai "Ahsanul Qasas" atau kisah yang terbaik, karena di dalamnya terkandung pelajaran yang tak ternilai harganya tentang kesabaran, keimanan, pengampunan, dan kebijaksanaan takdir Allah yang Maha Sempurna.

Kisah ini dimulai dari sebuah mimpi di masa kecil, melewati jurang pengkhianatan oleh saudara-saudaranya, fitnah keji di istana, tahun-tahun penantian di dalam penjara, hingga akhirnya mencapai puncak kekuasaan dan kemuliaan. Setiap episode dalam perjalanan hidup Nabi Yusuf AS adalah cerminan bagi setiap insan yang menghadapi ujian. Artikel ini akan menyajikan bacaan Surat Yusuf dalam tulisan Latin, disertai terjemahan Bahasa Indonesia dan ulasan tafsir yang mendalam untuk setiap ayatnya, agar kita dapat memetik hikmah dari kisah terbaik ini.

Ilustrasi Mimpi Nabi Yusuf Ilustrasi mimpi Nabi Yusuf: sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud.

Permulaan Kisah dan Mimpi yang Agung (Ayat 1-6)

Ayat 1

Alif-Lām-Rā, tilka āyātul-kitābil-mubīn(i).

Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas.

Tafsir dan Hikmah: Surat ini dibuka dengan huruf muqatta'at (huruf-huruf terpotong) Alif, Lam, Ra. Hanya Allah yang mengetahui makna sejatinya. Para ulama berpendapat bahwa huruf-huruf ini berfungsi untuk menarik perhatian pendengar dan menunjukkan kemukjizatan Al-Qur'an, yang tersusun dari huruf-huruf yang sama dengan yang digunakan oleh bangsa Arab, namun mereka tidak mampu membuat yang serupa dengannya. Frasa "kitābil-mubīn" menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang terang, jelas, dan tidak meninggalkan keraguan bagi mereka yang membacanya dengan hati yang terbuka. Ini adalah pengantar yang kuat, seolah-olah Allah berfirman, "Perhatikanlah, apa yang akan datang adalah wahyu yang nyata dan petunjuk yang gamblang."

Ayat 2

Innā anzalnāhu qur'ānan ‘arabiyyal la‘allakum ta‘qilūn(a).

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu mengerti.

Tafsir dan Hikmah: Ayat ini menjelaskan hikmah diturunkannya Al-Qur'an dalam bahasa Arab. Bukan karena superioritas ras, melainkan karena Nabi Muhammad SAW diutus kepada kaum yang berbahasa Arab. Agar pesan ilahi dapat dipahami, dicerna, dan dihayati secara langsung, ia harus disampaikan dalam bahasa ibu kaum tersebut. Ini adalah prinsip universal dalam dakwah dan komunikasi. Kata "ta'qilūn" (kamu mengerti) tidak hanya berarti pemahaman linguistik, tetapi juga pemahaman intelektual dan spiritual yang mendalam. Allah menghendaki agar kita menggunakan akal kita untuk merenungkan ayat-ayat-Nya, bukan hanya membacanya tanpa makna.

Ayat 3

Naḥnu naquṣṣu ‘alaika aḥsanal-qaṣaṣi bimā auḥainā ilaika hāżal-qur'āna, wa in kunta min qablihī laminl-gāfilīn(a).

Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui.

Tafsir dan Hikmah: Inilah penegasan dari Allah bahwa kisah Nabi Yusuf adalah "Ahsanul Qasas" (kisah yang paling baik). Mengapa paling baik? Karena ia memiliki alur cerita yang lengkap: mimpi, konspirasi, penderitaan, godaan, kesabaran, kebijaksanaan, kekuasaan, dan pengampunan. Kisah ini menyentuh setiap aspek emosi manusia: cinta, benci, iri hati, rindu, sedih, dan bahagia. Setiap karakter memiliki dimensi yang kompleks. Lebih dari itu, ia menunjukkan bagaimana takdir Allah bekerja di balik layar, mengubah setiap kesulitan menjadi jalan menuju kemuliaan. Ayat ini juga menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui detail kisah ini sebelumnya, membuktikan bahwa Al-Qur'an adalah murni wahyu dari Allah, bukan karangan manusia.

Ayat 4

Iż qāla yūsufu li'abīhi yā abati innī ra'aitu aḥada ‘asyara kaukabaw wasy-syamsa wal-qamara ra'aituhum lī sājidīn(a).

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

Tafsir dan Hikmah: Inilah titik awal dari seluruh narasi. Mimpi seorang anak kecil yang ternyata adalah sebuah wahyu kenabian. Sebelas bintang melambangkan saudara-saudaranya, matahari melambangkan ayahnya (Nabi Ya'qub AS), dan bulan melambangkan ibunya (atau bibinya yang merawatnya). "Sujud" di sini bukan berarti sujud penyembahan, melainkan sujud penghormatan, sebuah pengakuan atas kedudukan dan kemuliaan Yusuf di masa depan. Mimpi ini adalah benih takdir yang ditanamkan Allah, yang akan tumbuh melalui berbagai ujian dan cobaan. Kepercayaan Yusuf kepada ayahnya untuk menceritakan mimpi ini menunjukkan hubungan yang erat dan penuh kasih di antara mereka.

Ayat 5

Qāla yā bunayya lā taqṣuṣ ru'yāka ‘alā ikhwatika fa yakīdū laka kaidā(n), innasy-syaiṭāna lil-insāni ‘aduwwum mubīn(un).

Dia (ayahnya) berkata, "Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, nanti mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu adalah musuh yang jelas bagi manusia."

Tafsir dan Hikmah: Nabi Ya'qub AS, dengan kebijaksanaan seorang nabi dan pengalaman seorang ayah, langsung memahami makna besar di balik mimpi tersebut. Beliau juga memahami potensi bahaya dari sifat iri hati (hasad) yang mungkin ada di hati anak-anaknya yang lain. Nasihatnya mengandung pelajaran penting: tidak semua anugerah atau kabar baik harus dibagikan kepada semua orang, terutama jika berpotensi memicu kedengkian. Beliau mengidentifikasi sumber kedengkian itu, yaitu bisikan setan. Setan selalu memanfaatkan celah kelemahan manusia, seperti iri hati, untuk memecah belah keluarga dan menebar kerusakan. Ini adalah pelajaran pertama tentang kehati-hatian dan menjaga diri dari keburukan yang timbul dari sifat hasad.

Ayat 6

Wa każālika yajtabīka rabbuka wa yu‘allimuka min ta'wīlil-aḥādīṡi wa yutimmu ni‘matahū ‘alaika wa ‘alā āli ya‘qūba kamā atammahā ‘alā abawaika min qablu ibrāhīma wa isḥāq(a), inna rabbaka ‘alīmun ḥakīm(un).

Dan demikianlah, Tuhanmu memilih engkau (untuk menjadi nabi), dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Yakub, sebagaimana Dia telah menyempurnakannya kepada kedua kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

Tafsir dan Hikmah: Nabi Ya'qub tidak hanya memperingatkan, tetapi juga memberikan kabar gembira dan penguatan kepada Yusuf. Beliau menegaskan bahwa mimpi ini adalah tanda pilihan Allah (yajtabīka rabbuka). Yusuf akan diberikan anugerah istimewa, yaitu kemampuan menafsirkan mimpi (ta'wīlil-aḥādīṡ) dan kenikmatan kenabian. Nabi Ya'qub mengaitkan anugerah ini dengan garis keturunan para nabi, Ibrahim AS dan Ishaq AS, untuk menanamkan rasa percaya diri dan kesadaran akan misi agung yang menanti Yusuf. Ayat ini ditutup dengan dua sifat Allah: Maha Mengetahui ('Alīm) dan Maha Bijaksana (Ḥakīm). Pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, termasuk masa depan Yusuf, dan kebijaksanaan-Nya memastikan bahwa setiap peristiwa, betapapun pahitnya, adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna.

Konspirasi dan Pengkhianatan (Ayat 7-18)

Ayat 7

Laqad kāna fī yūsufa wa ikhwatihī āyātul lis-sā'ilīn(a).

Sungguh, dalam (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang bertanya.

Tafsir dan Hikmah: Ayat ini menjadi semacam judul untuk babak selanjutnya. Allah menegaskan bahwa dalam kisah ini, terutama interaksi antara Yusuf dan saudara-saudaranya, terkandung banyak sekali "ayat" atau tanda-tanda kekuasaan Allah. Ini adalah undangan bagi para pendengar dan pembaca untuk merenung, bertanya, dan mencari pelajaran. Tanda-tanda itu mencakup dampak destruktif dari iri hati, ironi dari sebuah rencana jahat yang justru menjadi jalan takdir, kesabaran seorang ayah yang kehilangan anaknya, dan perlindungan Allah kepada hamba-Nya yang saleh.

Ayat 8

Iż qālū layūsufu wa akhūhu aḥabbu ilā abīnā minnā wa naḥnu ‘uṣbah(tun), inna abānā lafī ḍalālim mubīn(in).

(Yaitu) ketika mereka berkata, "Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita, padahal kita adalah satu golongan (yang kuat). Sungguh, ayah kita berada dalam kekeliruan yang nyata."

Tafsir dan Hikmah: Inilah akar masalahnya: persepsi ketidakadilan dan rasa iri. Saudara-saudara Yusuf merasa bahwa ayah mereka lebih mencintai Yusuf dan Bunyamin. Mereka membandingkan diri mereka yang merasa "satu golongan yang kuat" ('uṣbah) dengan dua anak bungsu tersebut. Perasaan ini membutakan hati mereka hingga berani menuduh ayah mereka sendiri, seorang nabi, berada dalam "kekeliruan yang nyata." Ini adalah pelajaran psikologis yang mendalam. Iri hati sering kali lahir dari perbandingan yang tidak adil dan asumsi yang keliru. Mereka tidak mencoba memahami alasan kasih sayang ayah mereka, melainkan langsung menghakimi dan menyalahkan.

Ayat 9

Uqtulū yūsufa awiṭraḥūhu arḍay yakhlu lakum wajhu abīkum wa takūnū mim ba‘dihī qauman ṣāliḥīn(a).

Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat (yang jauh) agar perhatian ayahmu tercurah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang-orang yang baik."

Tafsir dan Hikmah: Kedengkian itu kini berubah menjadi rencana jahat. Mereka sampai pada dua pilihan yang mengerikan: membunuh Yusuf atau membuangnya. Tujuannya satu: menyingkirkan Yusuf agar mereka bisa mendapatkan perhatian penuh dari ayah mereka. Bagian paling mengerikan adalah rasionalisasi dosa mereka: "...dan setelah itu kamu menjadi orang-orang yang baik." Ini adalah tipu daya setan yang klasik. Mereka menunda pertobatan dan membayangkan bahwa setelah melakukan kejahatan besar, mereka bisa dengan mudah kembali menjadi orang saleh. Ini menunjukkan betapa berbahayanya menyepelekan dosa dan menunda taubat.

Ayat 10

Qāla qā'ilum minhum lā taqtulū yūsufa wa alqūhu fī gayābatil-jubbi yaltaqiṭhu ba‘ḍus-sayyārati in kuntum fā‘ilīn(a).

Salah seorang di antara mereka berkata, "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat."

Tafsir dan Hikmah: Di tengah rencana yang keji, muncul satu suara yang sedikit lebih "moderat". Diyakini ini adalah suara Yahuda (Judah), saudara tertua. Usulannya untuk tidak membunuh secara langsung, melainkan membuangnya ke sumur, tampak lebih ringan. Namun, ini tetaplah sebuah kejahatan. Ironisnya, usulan yang dianggap "lebih baik" inilah yang menjadi instrumen takdir Allah. Jika Yusuf dibunuh, selesailah kisahnya. Tetapi dengan dibuang ke sumur, ia membuka jalan bagi Yusuf untuk ditemukan, dibawa ke Mesir, dan memulai perjalanannya menuju takdir agungnya. Ini adalah bukti nyata bahwa manusia merencanakan, tetapi rencana Allah-lah yang paling sempurna. Bahkan rencana jahat manusia pun bisa Allah gunakan untuk mewujudkan kehendak-Nya.

Ayat 11-12

Qālū yā abānā mā laka lā ta'mannā ‘alā yūsufa wa innā lahū lanāṣiḥūn(a). Arsilhu ma‘anā gaday yarta‘ wa yal‘ab wa innā lahū laḥāfiẓūn(a).

Mereka berkata, "Wahai ayah kami! Mengapa engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami menginginkan kebaikan baginya? Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia bersenang-senang dan bermain-main, dan kami pasti akan menjaganya."

Tafsir dan Hikmah: Rencana jahat kini dibalut dengan kata-kata manis dan kepura-puraan. Mereka menggunakan pendekatan emosional, mempertanyakan kepercayaan ayah mereka ("Mengapa engkau tidak mempercayai kami?"). Mereka meyakinkan bahwa niat mereka tulus ("kami menginginkan kebaikan baginya") dan memberikan jaminan keamanan ("kami pasti akan menjaganya"). Ini adalah gambaran tipu daya yang sempurna. Mereka menggunakan bahasa yang paling disukai oleh seorang ayah—kebahagiaan dan keamanan anaknya—untuk tujuan yang paling busuk. Ini adalah pelajaran tentang bahaya mempercayai penampilan luar dan kata-kata manis yang menutupi niat jahat.

Ayat 13-14

Qāla innī layaḥzununī an tażhabū bihī wa akhāfu ay ya'kulahuż-żi'bu wa antum ‘anhu gāfilūn(a). Qālū la'in akalahuż-żi'bu wa naḥnu ‘uṣbatun innā iżal lakhāsirūn(a).

Dia (Yakub) berkata, "Sesungguhnya kepergianmu bersamanya sangat menyedihkanku dan aku khawatir dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya." Mereka berkata, "Jika dia benar-benar dimakan serigala, padahal kami golongan yang kuat, tentulah kami orang-orang yang rugi."

Tafsir dan Hikmah: Hati seorang ayah dan seorang nabi merasakan firasat buruk. Nabi Ya'qub mengungkapkan dua kekhawatirannya: kesedihan karena berpisah dengan Yusuf dan ketakutan akan bahaya (serigala). Secara tidak sadar, beliau telah memberi mereka ide untuk alibi mereka nanti. Saudara-saudaranya dengan cepat menepis kekhawatiran itu dengan sumpah palsu, menyombongkan kekuatan mereka sebagai kelompok. Jawaban mereka yang penuh percaya diri palsu itu berhasil meyakinkan Nabi Ya'qub, meskipun dengan berat hati. Ini menunjukkan betapa seorang yang jujur dan tulus seperti Nabi Ya'qub bisa terkecoh oleh sumpah dan janji palsu yang diucapkan dengan meyakinkan.

Ayat 15

Falammā żahabū bihī wa ajma‘ū ay yaj‘alūhu fī gayābatil-jubbi, wa auḥainā ilaihi latunabbi'annahum bi'amrihim hāżā wa hum lā yasy‘urūn(a).

Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur, Kami wahyukan kepadanya (Yusuf), "Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan mereka ini kepada mereka, sedang mereka tidak menyadari."

Tafsir dan Hikmah: Inilah momen puncak pengkhianatan. Ketika Yusuf berada di titik terendah dalam hidupnya—dikhianati, dilempar ke dalam sumur yang gelap, sendirian, dan tak berdaya—pertolongan Allah datang dalam bentuk yang paling menenangkan: wahyu. Allah tidak mengirimkan tali untuk menariknya keluar, tetapi mengirimkan kepastian dan harapan. Allah memberitahukan masa depan: suatu hari nanti, Yusuf akan berhadapan dengan saudara-saudaranya dari posisi yang mulia dan mengingatkan mereka akan perbuatan ini, saat mereka tidak lagi mengenalinya. Wahyu ini adalah bekal spiritual yang luar biasa, mengubah sumur yang gelap menjadi tempat khalwat (menyendiri dengan Allah) dan menanamkan benih kesabaran dan keyakinan yang kokoh di hati Yusuf.

Ayat 16-18

Wa jā'ū abāhum ‘isyā'ay yabkūn(a). Qālū yā abānā innā żahabnā nastabiqu wa taraknā yūsufa ‘inda matā‘inā fa akalahuż-żi'b(u), wa mā anta bimu'minil lanā wa lau kunnā ṣādiqīn(a). Wa jā'ū ‘alā qamīṣihī bidamin każib(in), qāla bal sawwalat lakum anfusukum amrā(n), fa ṣabrun jamīl(un), wallāhul-musta‘ānu ‘alā mā taṣifūn(a).

Kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada waktu petang sambil menangis. Mereka berkata, "Wahai ayah kami! Sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau tentu tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami orang yang benar." Dan mereka datang membawa baju gamisnya (yang dilumuri) dengan darah palsu. Dia (Yakub) berkata, "Sebenarnya hanya dirimu sendirilah yang memandang baik urusan yang buruk itu. Maka kesabaranku adalah kesabaran yang baik. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan."

Tafsir dan Hikmah: Drama kebohongan pun dimulai. Mereka datang di waktu petang (agar kegelapan menutupi ekspresi kebohongan mereka) sambil menangis (tangisan buaya). Mereka menyajikan alibi yang telah diilhami oleh kekhawatiran ayah mereka sendiri. Mereka bahkan mencoba memanipulasi dengan berkata, "engkau tentu tidak akan percaya kepada kami," seolah-olah mereka adalah korban yang dizalimi. Bukti fisik mereka adalah baju Yusuf yang dilumuri darah palsu—darah seekor hewan, tanpa ada bekas cakaran atau robekan. Kebohongan ini terlalu sempurna, terlalu rapi. Nabi Ya'qub, dengan firasat kenabian dan kecerdasan seorang ayah, tidak tertipu. Beliau melihat melalui kebohongan mereka dan berkata, "Sebenarnya hawa nafsu kalian telah memandang baik perbuatan buruk itu." Namun, apa yang bisa beliau lakukan? Tanpa bukti, beliau hanya bisa berserah diri kepada Allah. Di sinilah muncul ungkapan legendaris: "Fa ṣabrun jamīl" (Maka kesabaranku adalah kesabaran yang baik). Ini bukan kesabaran pasif yang penuh keluh kesah, melainkan kesabaran aktif yang indah, tanpa mengadu kepada makhluk, dan sepenuhnya bersandar pada pertolongan Allah (wallāhul-musta‘ān).

Dari Sumur ke Istana: Ujian Baru (Ayat 19-34)

Ayat 19-20

Wa jā'at sayyāratun fa arsalū wāridahum fa adlā dalwah(ū), qāla yā busyrā hāżā gulām(un), wa asarrūhu biḍā‘ah(tan), wallāhu ‘alīmum bimā ya‘malūn(a). Wa syarauhu biṡamanim bakhsin darāhima ma‘dūdah(tin), wa kānū fīhi minaz-zāhidīn(a).

Dan datanglah sekelompok musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya. Dia berkata, "Oh, kabar gembira! Ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikannya sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya.

Tafsir dan Hikmah: Rencana Allah mulai berjalan. Sumur yang seharusnya menjadi tempat kebinasaan justru menjadi titik penyelamatan. Datangnya kafilah dagang adalah bagian dari skenario ilahi. Penemuan Yusuf dianggap sebagai "kabar gembira" karena ia bisa dijual sebagai budak. Mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah. Mengapa? Karena mereka menemukannya, bukan membelinya, sehingga keuntungan berapapun sudah cukup. Mereka juga mungkin takut pemilik aslinya akan datang mencari, sehingga ingin cepat-cepat melepasnya. Ironisnya, "barang dagangan" yang mereka anggap remeh ini adalah seorang calon nabi dan penguasa masa depan. Ini adalah pelajaran bahwa nilai sejati seseorang tidak ditentukan oleh penilaian manusia yang dangkal, tetapi oleh ketetapan Allah.

Ayat 21

Wa qālal-lażisytarāhu mim miṣra limra'atihī akrimī maṡwāhu ‘asā ay yanfa‘anā au nattakhiżahū waladā(w), wa każālika makkannā liyūsufa fil-arḍ(i), wa linu‘allimahū min ta'wīlil-aḥādīṡ(i), wallāhu gālibun ‘alā amrihī wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya‘lamūn(a).

Dan orang dari Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya, "Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, mudah-mudahan dia bermanfaat bagi kita atau kita pungut dia sebagai anak." Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir) itu, dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Tafsir dan Hikmah: Dari tangan para musafir, Yusuf berpindah ke tangan seorang pejabat tinggi Mesir, yang diyakini bernama Qithfir (Potifar) Al-Aziz. Sekali lagi, rencana Allah bekerja dengan cara yang menakjubkan. Al-Aziz, alih-alih memperlakukan Yusuf sebagai budak biasa, justru terkesan dengan penampilan dan auranya. Ia meminta istrinya (yang kemudian dikenal sebagai Zulaikha) untuk memperlakukannya dengan baik, bahkan mempertimbangkan untuk mengadopsinya. Di ayat ini, Allah secara eksplisit menyatakan tujuan di balik semua peristiwa ini: untuk memberikan kedudukan kepada Yusuf di Mesir (makkannā liyūsufa fil-arḍ) dan untuk mengajarinya takwil mimpi. Kalimat penutupnya adalah salah satu ayat paling kuat dalam Al-Qur'an: "Wallāhu gālibun ‘alā amrihī wa lākinna akṡaran-nāsi lā ya‘lamūn" (Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Manusia hanya melihat permukaan—seorang anak dibuang, dijual, menjadi budak. Tetapi Allah sedang mengatur sebuah rencana besar yang tidak terlihat oleh mata manusia.

Ayat 22

Wa lammā balaga asyuddahū ātaināhu ḥukmaw wa ‘ilmā(w), wa każālika najzil-muḥsinīn(a).

Dan ketika dia telah cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Tafsir dan Hikmah: Waktu berlalu. Yusuf tumbuh dari seorang anak menjadi pemuda yang dewasa (balaga asyuddahū). Selama masa pertumbuhan di istana Al-Aziz, Yusuf menunjukkan akhlak yang mulia dan perilaku yang baik (muḥsinīn). Sebagai balasan atas kebaikannya, Allah menganugerahinya dua hal: ḥukm (hikmah, kebijaksanaan, kemampuan mengambil keputusan yang benar) dan 'ilm (ilmu pengetahuan). Anugerah ini bukan hanya karena garis keturunannya, tetapi juga sebagai hasil dari perilakunya yang senantiasa berbuat baik. Ini adalah prinsip ilahi: Allah akan menambah petunjuk, ilmu, dan hikmah kepada hamba-Nya yang senantiasa berusaha berbuat kebaikan.

Ayat 23-24

Wa rāwadat-hullatī huwa fī baitihā ‘an nafsihī wa gallaqatil-abwāba wa qālat haita lak(a), qāla ma‘āżallāhi innahū rabbī aḥsana maṡwāy(a), innahū lā yufliḥuẓ-ẓālimūn(a). Wa laqad hammat bihī wa hamma bihā, lau lā ar ra'ā burhāna rabbih(ī), każālika linaṣrifa ‘anhus-sū'a wal-faḥsyā'(a), innahū min ‘ibādinal-mukhlaṣīn(a).

Dan perempuan (istri Al-Aziz) yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, "Marilah mendekat kepadaku." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukanku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, agar Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.

Tafsir dan Hikmah: Inilah ujian terbesar bagi Yusuf: ujian syahwat dan kesetiaan. Zulaikha, yang terpesona oleh ketampanan dan akhlak Yusuf, merencanakan sebuah godaan. Ia menciptakan situasi yang sangat sulit untuk ditolak: hanya berdua, pintu-pintu terkunci, dan ia yang menawarkan diri. Namun, Yusuf menunjukkan benteng keimanan yang kokoh. Respon pertamanya adalah "Ma‘āżallāh" (Aku berlindung kepada Allah). Ia mengingat dua hal: Tuhannya (Allah) dan tuannya di dunia (Al-Aziz) yang telah memperlakukannya dengan baik. Mengkhianati keduanya adalah sebuah kezaliman, dan orang zalim tidak akan pernah beruntung. Ayat "wa hamma bihā" (dan Yusuf pun berkehendak kepadanya) sering disalahpahami. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini adalah gejolak manusiawi yang normal, sebuah kecenderungan sesaat, bukan niat untuk berbuat zina. Namun, gejolak itu segera padam ketika ia melihat "burhāna rabbih" (tanda dari Tuhannya). Tanda ini bisa berupa penglihatan wajah ayahnya, atau pengingat yang kuat dari Allah akan kedudukannya. Allah menegaskan bahwa Yusuf adalah hamba-Nya yang mukhlaṣīn (yang terpilih/dibersihkan dari dosa), bukan mukhliṣīn (yang ikhlas beribadah). Ini adalah tingkatan yang lebih tinggi, di mana Allah sendiri yang menjaganya dari perbuatan keji.

Ayat 25-29

Wastabaqal-bāba wa qaddat qamīṣahū min duburiw wa alfayā sayyidahā ladal-bāb(i), qālat mā jazā'u man arāda bi'ahlika sū'an illā ay yusjana au ‘ażābun alīm(un). Qāla hiya rāwadatnī ‘an nafsī wa syahida syāhidum min ahlihā, in kāna qamīṣuhū qudda min qubulin fa ṣadaqat wa huwa minal-kāżibīn(a). Wa in kāna qamīṣuhū qudda min duburin fa każabat wa huwa minaṣ-ṣādiqīn(a). Falammā ra'ā qamīṣahū qudda min duburin qāla innahū min kaidikunn(a), inna kaidakunna ‘aẓīm(un). Yūsufu a‘riḍ ‘an hāżā, wastagfirī liżambik(i), innaki kunti minal-khāṭi'īn(a).

Dan keduanya berlomba menuju pintu dan perempuan itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak, dan keduanya mendapati suami perempuan itu di muka pintu. Perempuan itu berkata, "Apakah balasan bagi orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?" Dia (Yusuf) berkata, "Dia yang menggodaku." Dan seorang saksi dari keluarga perempuan itu memberikan kesaksian, "Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka perempuan itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk para pendusta. Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang-orang yang benar." Maka ketika dia (suaminya) melihat baju gamisnya koyak di bagian belakang, dia berkata, "Sesungguhnya ini adalah bagian dari tipu dayamu (perempuan). Sungguh, tipu dayamu sangatlah hebat." (Kemudian dia berkata), "Yusuf, lupakanlah ini. Dan (kamu, istriku), mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang-orang yang bersalah."

Tafsir dan Hikmah: Gagal menggoda, Zulaikha beralih ke fitnah. Ketika Yusuf lari menuju pintu, ia menarik bajunya dari belakang. Tepat saat itu, Al-Aziz muncul. Zulaikha dengan cepat membalikkan keadaan, menuduh Yusuf yang berbuat tidak senonoh. Dalam posisi terjepit, Yusuf terpaksa membela diri. Di sinilah Allah menunjukkan pertolongan-Nya melalui cara yang logis. Seorang saksi bijak (diyakini masih bayi dalam buaian yang diberi kemampuan berbicara, atau seorang kerabat yang bijaksana) memberikan solusi berdasarkan bukti forensik sederhana: arah robekan pada baju. Jika robek di depan, berarti Yusuf yang menyerang. Jika robek di belakang, berarti Yusuf yang melarikan diri dan ditarik. Bukti fisik menunjukkan kebenaran Yusuf. Al-Aziz, meskipun mengetahui kebenaran, mengambil jalan tengah. Ia menyalahkan istrinya secara pribadi tetapi tidak menghukumnya secara publik, dan meminta Yusuf untuk melupakan kejadian itu. Keputusannya ini, yang didasari oleh keinginan menjaga kehormatan rumah tangganya, justru akan membawa masalah yang lebih besar di kemudian hari.

Ayat 30-34

Wa qāla niswatun fil-madīnati-mra'atul-‘azīzi turāwidu fatāhā ‘an nafsih(ī), qad syagafahā ḥubbā(n), innā lanarāhā fī ḍalālim mubīn(in). Falammā sami‘at bimakrihinna arsalat ilaihinna wa a‘tadat lahunna muttaka'aw wa ātat kulla wāḥidatim minhumma sikkīnaw wa qālatikhruj ‘alaihin(na), falammā ra'ainahū akbarnahū wa qaṭṭa‘na aidiyahunna wa qulna ḥāsya lillāhi mā hāżā basyarā(n), in hāżā illā malakun karīm(un). Qālat fa żālikunnallażī lumtunnanī fīh(i), wa laqad rāwattuhū ‘an nafsihī fasta‘ṣam(a), wa la'il lam yaf‘al mā āmuruhū layusjananna wa layakūnam minaṣ-ṣāgirīn(a). Qāla rabbis-sijnu aḥabbu ilayya mimmā yad‘ūnanī ilaih(i), wa illā taṣrif ‘annī kaidahunna aṣbu ilaihinna wa akum minal-jāhilīn(a). Fastajāba lahū rabbuhū fa ṣarafa ‘anhu kaidahun(na), innahū huwas-samī‘ul-‘alīm(u).

Dan perempuan-perempuan di kota itu berkata, "Istri Al-Aziz menggoda bujangnya. Sungguh, cintanya telah merasuk hingga ke kalbunya. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata." Maka ketika perempuan itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah perempuan-perempuan itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka, dan kepada masing-masing mereka diberikan sebilah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf), "Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka." Ketika perempuan-perempuan itu melihatnya, mereka terpesona kepadanya, dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri seraya berkata, "Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini tidak lain adalah malaikat yang mulia." Dia (istri Al-Aziz) berkata, "Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencelaku. Aku benar-benar telah menggodanya, tetapi dia menolak. Dan jika dia tidak mau melakukan apa yang aku perintahkan, niscaya dia akan dipenjarakan dan termasuk orang yang hina." Yusuf berkata, "Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika Engkau tidak hindarkan tipu daya mereka dariku, niscaya aku akan cenderung kepada mereka dan aku termasuk orang-orang yang bodoh." Maka Tuhannya memperkenankan doanya, dan Dia menghindarkan tipu daya mereka darinya. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Tafsir dan Hikmah: Berita skandal ini menyebar di kalangan para bangsawan wanita. Mereka mencela Zulaikha. Merasa harga dirinya terinjak, Zulaikha menyusun rencana untuk membenarkan tindakannya. Ia mengundang mereka, memberikan pisau dan buah, lalu menyuruh Yusuf muncul. Ketampanan Yusuf yang luar biasa membuat para wanita itu terkesima hingga tak sadar melukai tangan mereka sendiri. Mereka memuji Yusuf laksana malaikat. Momen ini dimanfaatkan Zulaikha untuk berkata, "Lihat? Kalian saja baru melihatnya sekilas sudah seperti ini, apalagi aku yang tinggal bersamanya setiap hari!" Ia kemudian secara terbuka mengakui perbuatannya dan mengancam Yusuf: turuti kemauanku atau kau akan dipenjara dan menjadi hina. Di hadapan tekanan yang luar biasa ini, Yusuf kembali berpaling kepada Allah. Ia membuat pilihan yang heroik: "Rabbis-sijnu aḥabbu ilayy" (Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai). Ia lebih memilih penderitaan fisik di penjara daripada kenikmatan sesaat yang akan menjerumuskannya ke dalam dosa dan kebodohan (jāhilīn). Doanya yang tulus dan penuh kerendahan hati ini langsung dijawab oleh Allah. Allah mengabulkan doanya dan menyelamatkannya dari tipu daya mereka. Ini adalah pelajaran agung tentang kekuatan doa dan pentingnya memilih penderitaan di jalan Allah daripada kenikmatan dalam kemaksiatan.

Tahun-Tahun di Penjara dan Takwil Mimpi (Ayat 35-57)

Ayat 35-42

Ayat-ayat ini menceritakan bagaimana Al-Aziz dan keluarganya, meskipun tahu Yusuf tidak bersalah, memutuskan untuk memenjarakannya demi meredam gosip. Di dalam penjara, Yusuf bertemu dengan dua pemuda yang juga dipenjara. Mereka terkesan dengan kepribadian Yusuf dan memintanya untuk menafsirkan mimpi mereka. Sebelum menafsirkan, Yusuf menggunakan kesempatan itu untuk berdakwah, mengajak mereka untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dan meninggalkan berhala. Ini menunjukkan karakter seorang dai sejati, yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyebarkan kebenaran.

Yusuf menafsirkan mimpi pertama (tentang memeras anggur) bahwa pemuda itu akan bebas dan kembali melayani raja. Ia menafsirkan mimpi kedua (tentang membawa roti di atas kepala yang dipatuk burung) bahwa pemuda itu akan dihukum salib. Tafsiran itu terbukti benar. Sebelum pemuda yang akan bebas itu pergi, Yusuf menitipkan pesan, "Sebutkan namaku di hadapan rajamu." Namun, setan membuatnya lupa, sehingga Yusuf harus tinggal di penjara selama beberapa tahun lagi. Ini adalah bagian dari ujian kesabaran Yusuf dan menunjukkan bahwa pertolongan kadang tertunda demi hikmah yang lebih besar.

Ayat 43-49

Babak baru dimulai ketika Raja Mesir sendiri bermimpi. Ia bermimpi melihat tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus, dan tujuh bulir gandum hijau di samping tujuh bulir lainnya yang kering. Para penasihat dan ahli sihirnya tidak mampu memberikan tafsiran yang memuaskan, menyebutnya sebagai "mimpi-mimpi kosong." Di saat itulah, pelayan yang pernah bersama Yusuf di penjara teringat akan kemampuan Yusuf. Ia segera meminta izin raja untuk menemui Yusuf.

Yusuf, tanpa menuntut untuk dibebaskan terlebih dahulu, dengan tulus memberikan tafsiran yang brilian dan solutif. Ia menjelaskan bahwa akan datang tujuh tahun masa subur, diikuti oleh tujuh tahun masa paceklik yang akan menghabiskan semua simpanan. Ia tidak hanya menafsirkan, tetapi juga memberikan solusi ekonomi yang jitu: selama masa subur, bercocok tanamlah dengan giat dan simpanlah hasilnya bersama tangkainya (agar lebih awet), kecuali sedikit yang dimakan. Dengan demikian, mereka akan siap menghadapi masa paceklik.

Ayat 50-53

Terkesan dengan kecerdasan dan kebijaksanaan Yusuf, Raja memerintahkan agar Yusuf dibebaskan dan dibawa ke hadapannya. Namun, Yusuf menolak untuk keluar begitu saja. Ia tidak ingin bebas dengan status sebagai mantan narapidana yang diampuni. Ia ingin kebebasan yang terhormat, dengan namanya dibersihkan dari segala tuduhan. Ia meminta Raja untuk menyelidiki kembali kasus para wanita yang melukai tangannya. Ini adalah langkah yang sangat cerdas dan berprinsip. Ia ingin kebenaran terungkap secara tuntas.

Raja pun memanggil para wanita itu, termasuk Zulaikha. Di hadapan Raja, mereka tidak bisa lagi berbohong. Zulaikha akhirnya mengakui segalanya, "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar." Pengakuan ini membersihkan nama Yusuf sepenuhnya. Yusuf kemudian menjelaskan bahwa ia melakukan ini bukan untuk balas dendam, tetapi untuk membuktikan kesetiaannya kepada Al-Aziz dan bahwa Allah tidak akan meridhai tipu daya para pengkhianat. Ia juga menunjukkan kerendahan hatinya dengan berkata, "Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku."

Ayat 54-57

Setelah namanya bersih dan integritasnya terbukti, Raja semakin yakin dengan kemampuan Yusuf. Raja berkata, "Bawalah dia kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku." Yusuf pun diangkat menjadi orang kepercayaan Raja. Melihat situasi ekonomi yang akan dihadapi Mesir, Yusuf mengajukan diri untuk posisi yang strategis, "Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan." Ia tidak meminta jabatan karena ambisi, tetapi karena ia memiliki kompetensi (pandai menjaga dan berpengetahuan) untuk menyelamatkan bangsa.

Allah pun mengukuhkan kedudukan Yusuf di Mesir. Ia kini memiliki kekuasaan dan wewenang penuh. Allah menegaskan bahwa rahmat-Nya diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (muḥsinīn). Ayat penutup bagian ini mengingatkan bahwa pahala di akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa. Kemenangan duniawi Yusuf hanyalah awal dari kemuliaan yang lebih besar di akhirat.

Reuni Keluarga dan Puncak Pengampunan (Ayat 58-101)

Ayat 58-87

Masa paceklik tiba, dan dampaknya terasa hingga ke Kanaan, tempat tinggal keluarga Nabi Ya'qub. Mendengar bahwa Mesir memiliki persediaan makanan yang dikelola dengan adil, Nabi Ya'qub mengutus anak-anaknya (kecuali Bunyamin) untuk membeli gandum. Di sinilah takdir mempertemukan mereka kembali. Saudara-saudara Yusuf datang menghadapnya. Yusuf segera mengenali mereka, tetapi mereka tidak mengenalinya.

Yusuf melayani mereka dengan baik tetapi membuat sebuah syarat: jika mereka ingin membeli gandum lagi, mereka harus membawa saudara seayah mereka (Bunyamin). Untuk memastikan mereka kembali, Yusuf secara diam-diam memasukkan kembali uang mereka ke dalam karung mereka. Setelah melalui perdebatan alot dan janji yang kuat kepada ayah mereka, mereka pun kembali ke Mesir bersama Bunyamin.

Di Mesir, Yusuf menyambut Bunyamin secara khusus. Kemudian, ia menjalankan sebuah siasat yang diilhamkan Allah. Ia memasukkan piala minum milik raja ke dalam karung Bunyamin. Ketika mereka hendak pulang, piala itu diumumkan hilang, dan setelah digeledah, ditemukan di karung Bunyamin. Menurut hukum kerajaan saat itu, pencuri akan dijadikan budak bagi pemilik barang. Inilah cara Yusuf menahan Bunyamin di sisinya tanpa menyakiti siapa pun. Saudara-saudaranya yang lain panik dan putus asa. Mereka kembali kepada ayah mereka dengan berita duka kedua, yang membuat kesedihan Nabi Ya'qub semakin mendalam hingga matanya menjadi buta. Namun, imannya tidak pernah goyah. Beliau tetap sabar dan menyuruh anak-anaknya untuk kembali mencari Yusuf dan Bunyamin, "dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah."

Ayat 88-101

Untuk ketiga kalinya, saudara-saudara Yusuf kembali ke Mesir dalam keadaan yang lebih memprihatinkan. Mereka memohon belas kasihan. Melihat keadaan mereka yang terhina dan penuh penyesalan, hati Yusuf luluh. Inilah saatnya untuk mengungkap kebenaran. Ia bertanya, "Tahukah kamu (apa yang telah kamu perbuat) terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu masih bodoh?" Pertanyaan itu membuat mereka terkejut. Mereka menatapnya lekat-lekat dan bertanya, "Apakah engkau benar-benar Yusuf?" Yusuf menjawab, "Akulah Yusuf, dan ini saudaraku."

Di puncak kekuasaannya, saat ia bisa membalas semua perlakuan buruk mereka, Yusuf justru menunjukkan keagungan akhlaknya. Ia berkata, "Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang." Inilah puncak dari kisah ini: pengampunan tanpa syarat.

Yusuf kemudian memberikan bajunya untuk diusapkan ke wajah ayahnya. Keajaiban pun terjadi. Begitu kafilah mereka tiba di perbatasan dan Nabi Ya'qub mencium aroma baju Yusuf dari kejauhan, beliau merasakan harapan. Ketika baju itu diusapkan ke wajahnya, penglihatannya pun pulih kembali. Seluruh keluarga kemudian berangkat ke Mesir.

Pertemuan antara Yusuf dan kedua orang tuanya adalah momen yang sangat mengharukan. Yusuf menaikkan keduanya ke atas singgasana, dan mereka semua (ayah, ibu, dan sebelas saudaranya) menunduk sujud sebagai penghormatan. Mimpi masa kecil itu kini telah menjadi kenyataan. Yusuf pun menutup kisahnya dengan doa yang penuh rasa syukur, mengakui semua anugerah Allah—kekuasaan, ilmu takwil mimpi—dan memohon untuk diwafatkan dalam keadaan Islam dan dikumpulkan bersama orang-orang saleh.

Penutup dan Pelajaran Universal (Ayat 102-111)

Ayat 102-111

Allah menutup surat ini dengan menegaskan kembali bahwa kisah ini adalah bagian dari berita gaib yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah bukti kenabiannya. Allah juga mengingatkan bahwa meskipun bukti-bukti telah jelas, kebanyakan manusia tetap tidak akan beriman.

Ayat terakhir, ayat 111, merangkum esensi dari surat ini: "Laqad kāna fī qaṣaṣihim ‘ibratul li'ulil-albāb(i), mā kāna ḥadīṡay yuftarā wa lākin taṣdīqal-lażī baina yadaihi wa tafṣīla kulli syai'iw wa hudaw wa raḥmatal liqaumiy yu'minūn(a)." (Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.)

Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kita bahwa di balik setiap musibah, ada hikmah. Di balik setiap ujian, ada kenaikan derajat. Rencana jahat manusia tidak akan pernah bisa mengalahkan takdir baik yang telah Allah siapkan bagi hamba-Nya yang sabar dan bertakwa. Ia mengajarkan kita untuk waspada terhadap penyakit hati seperti iri dengki, untuk menjaga kehormatan diri di hadapan godaan, untuk memilih penjara daripada kemaksiatan, untuk berdakwah di setiap kesempatan, untuk memaafkan saat kita mampu membalas, dan untuk senantiasa bersyukur serta bersandar hanya kepada Allah SWT. Sungguh benar firman Allah, inilah "Ahsanul Qasas", kisah yang terbaik.

🏠 Kembali ke Homepage