Mengupas Makna dan Hukum Sholawat Sebelum Adzan
Di keheningan fajar, sebelum suara muadzin menggema membelah langit dengan seruan "Allahu Akbar", sering kali terdengar lantunan merdu yang menyejukkan kalbu. Suara itu adalah puji-pujian kepada Baginda Nabi Muhammad ﷺ, sebuah tradisi yang dikenal luas sebagai sholawat sebelum adzan atau sholawat tarhim. Praktik ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap audio spiritual di banyak komunitas Muslim, terutama di Indonesia, Mesir, dan beberapa negara lainnya. Ia berfungsi sebagai penanda lembut bahwa waktu sholat akan segera tiba, membangunkan jiwa-jiwa yang terlelap untuk bersiap menghadap Sang Pencipta.
Meskipun sangat akrab di telinga, praktik melantunkan sholawat atau bentuk dzikir lainnya dengan pengeras suara sebelum adzan bukanlah sesuatu yang disepakati secara universal. Ia menjadi titik perbincangan, bahkan perdebatan, di kalangan ulama dan umat Islam. Sebagian memandangnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik) yang penuh dengan manfaat spiritual dan sosial. Sementara itu, sebagian yang lain memandangnya sebagai amalan baru yang tidak memiliki dasar langsung dari zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat, sehingga perlu diwaspadai. Artikel ini akan mengupas secara mendalam berbagai aspek dari sholawat sebelum adzan, mulai dari sejarah kemunculannya, teks-teks yang biasa dilantunkan, analisis hukum fikih dari berbagai sudut pandang, hingga hikmah dan manfaat yang terkandung di dalamnya.
Jejak Sejarah: Dari Mana Tradisi Ini Bermula?
Untuk memahami sebuah praktik keagamaan, melacak akar sejarahnya adalah langkah yang krusial. Ketika kita menelisik catatan sejarah dari masa kehidupan Nabi Muhammad ﷺ dan generasi Salafus Shalih (tiga generasi pertama umat Islam), kita tidak menemukan riwayat yang secara eksplisit menyebutkan adanya praktik rutin melantunkan sholawat dengan suara keras dari menara masjid sebelum dikumandangkannya adzan. Adzan itu sendiri, dengan lafaz-lafaznya yang telah ditentukan, merupakan satu-satunya penanda masuknya waktu sholat yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Lantas, dari mana tradisi ini muncul? Banyak sejarawan menunjuk ke Mesir sebagai salah satu tempat lahirnya tradisi ini dalam bentuknya yang modern dan populer. Praktik ini berkembang seiring dengan kemajuan teknologi, terutama penemuan dan penyebaran pengeras suara. Salah satu figur sentral dalam mempopulerkan sholawat sebelum adzan subuh, yang kemudian dikenal sebagai "Tarhim", adalah Syekh Mahmud Khalil al-Hussary, seorang qari legendaris asal Mesir. Rekaman suaranya yang melantunkan sholawat tarhim dengan begitu syahdu dan penuh penghayatan menyebar luas melalui siaran radio di seluruh Timur Tengah dan dunia Muslim pada pertengahan abad ke-20.
Di Indonesia, tradisi ini mendapat tempat yang subur untuk berkembang. Penyebaran melalui Radio Republik Indonesia (RRI) dan radio-radio swasta lainnya membuat lantunan tarhim Syekh al-Hussary dan qari lainnya menjadi sangat populer. Budaya masyarakat Indonesia yang sangat mencintai dan menghormati Nabi Muhammad ﷺ serta terbuka terhadap praktik-praktik yang bertujuan untuk syiar Islam membuat sholawat sebelum adzan diterima dengan hangat. Ia dianggap sebagai cara yang indah untuk mengisi waktu tunggu antara akhir malam dan masuknya waktu subuh, sekaligus sebagai pengingat dan penyejuk hati. Seiring waktu, tidak hanya rekaman yang diputar, banyak muadzin atau marbot masjid yang melantunkannya secara langsung dengan gaya dan cengkok khas mereka.
Teks dan Makna: Lantunan Pujian yang Menggetarkan Jiwa
Meskipun ada berbagai variasi, teks yang paling identik dengan sholawat sebelum adzan, khususnya adzan subuh, adalah yang dikenal sebagai Sholawat Tarhim. "Tarhim" sendiri berasal dari kata Arab "rahmat", yang berarti memohon kasih sayang atau rahmat. Berikut adalah teks, transliterasi, dan terjemahan dari Sholawat Tarhim yang masyhur tersebut.
اَلصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا إِمَامَ الْمُجَاهِدِيْنَ ۞ يَا رَسُوْلَ اللهِ
اَلصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا نَاصِرَ الْهُدَى ۞ يَا خَيْرَ خَلْقِ اللهِ
اَلصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا نَاصِرَ الْحَقِّ يَا رَسُوْلَ اللهِ
اَلصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ ۞ يَا مَنْ أَسْرَى بِكَ الْمُهَيْمِنُ لَيْلًا ۞ نِلْتَ مَا نِلْتَ وَالْأَنَامُ نِيَامُ
وَتَقَدَّمْتَ لِلصَّلَاةِ فَصَلَّى ۞ كُلُّ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَأَنْتَ الْإِمَامُ
وَعِنْدَ الْمُنْتَهَى رُفِعْتَ كَرِيْمًا ۞ وَسَمِعْتَ نِدَاءً عَلَيْكَ السَّلَامُ
يَا كَرِيْمَ الْأَخْلَاقِ ۞ يَا رَسُوْلَ اللهِ ۞ صَلَّى اللهُ عَلَيْكَ ۞ وَعَلَى آلِكَ وَأَصْحَابِكَ أَجْمَعِيْنَAsh-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ imâmal mujâhidîn, Yâ Rasûlallâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ nâshiral hudâ, Yâ khayra khalqillâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ nâshiral haqqi, Yâ Rasûlallâh
Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk, Yâ man asrâ bikal muhayminu laylan, nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu
Wa taqaddamta lish-shalâti fa shallâ, kullu man fis-samâ-i wa antal imâmu
Wa ‘indal muntahâ rufi’ta karîman, wa sami’ta nidâ-an ‘alaykas salâm
Yâ karîmal akhlâq, Yâ Rasûlallâh, Shallallâhu ‘alayka, wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în"Sholawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai penolong petunjuk ilahi, wahai makhluk yang terbaik.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai penegak kebenaran, ya Rasulullah.
Sholawat dan salam semoga tercurahkan padamu, wahai yang diperjalankan oleh Allah pada malam hari, engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur.
Engkau maju untuk memimpin shalat, maka semua yang berada di langit turut shalat (di belakangmu) dan engkaulah imamnya.
Dan di Sidratul Muntaha engkau diangkat dengan mulia, dan engkau mendengar seruan salam atasmu.
Wahai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah. Semoga sholawat Allah tercurah padamu, keluargamu, dan seluruh sahabatmu."
Merenungi liriknya, kita dapat melihat betapa dalamnya kandungan pujian dan sanjungan kepada Rasulullah ﷺ. Sholawat ini tidak hanya berisi permohonan rahmat, tetapi juga mengisahkan kembali beberapa kemuliaan Nabi, seperti kepemimpinan beliau, perannya sebagai pembawa petunjuk, hingga peristiwa agung Isra' Mi'raj. Lantunan ini menjadi sarana untuk mengingatkan umat akan keagungan sosok yang menjadi panutan utama, membangkitkan rasa cinta (mahabbah) dan kerinduan kepada beliau.
Tinjauan Fikih: Antara Bid'ah dan Amal yang Diperbolehkan
Inilah inti perdebatan yang sering muncul terkait praktik sholawat sebelum adzan. Pandangan para ulama dapat dikelompokkan menjadi dua kubu utama, yakni yang membolehkan dan yang melarang atau setidaknya sangat berhati-hati terhadapnya. Penting untuk memahami argumentasi dari kedua belah pihak dengan pikiran terbuka untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Argumen Pihak yang Membolehkan
Kelompok ulama yang membolehkan praktik ini tidak memandangnya sebagai bagian dari ritual adzan itu sendiri, melainkan sebagai sebuah amalan terpisah yang kebetulan dilakukan sebelum adzan. Argumentasi mereka dibangun di atas beberapa pilar utama:
- Keumuman Perintah Bersholawat dan Berdzikir: Al-Qur'an dan Hadis dipenuhi dengan perintah untuk memperbanyak dzikir (mengingat Allah) dan bersholawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 56: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya." Perintah ini bersifat umum, tidak dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu. Oleh karena itu, melantunkan sholawat kapan pun, termasuk sebelum adzan, adalah sebuah kebaikan yang dianjurkan.
- Fungsi sebagai I'lam (Pemberitahuan): Sholawat sebelum adzan berfungsi sebagai pemberitahuan awal (i'lam awwal) bahwa waktu sholat akan segera tiba. Ini memberikan kesempatan bagi orang-orang untuk bangun, bersiap-siap, berwudhu, atau bahkan melaksanakan sholat sunnah qabliyah. Fungsi ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan adanya adzan pertama pada hari Jumat atau adzan pertama pada waktu subuh di zaman Nabi, yang tujuannya adalah untuk membangunkan orang yang tidur, bukan penanda masuknya waktu sholat.
- Konsep Bid'ah Hasanah (Inovasi yang Baik): Sebagian ulama, terutama dari kalangan mazhab Syafi'i, membagi bid'ah (hal baru dalam agama) menjadi dua kategori: bid'ah hasanah (yang baik) dan bid'ah sayyi'ah/dhalalah (yang buruk/sesat). Selama sebuah praktik baru tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat dan justru mendukung tujuan syariat (maqashid syariah), maka ia dapat diterima. Sholawat sebelum adzan dianggap masuk dalam kategori bid'ah hasanah karena tujuannya baik, yaitu untuk syiar Islam, mengingatkan orang untuk sholat, dan menumbuhkan cinta kepada Nabi.
- Maslahat Mursalah (Kemaslahatan Umum): Praktik ini dinilai memiliki banyak kemaslahatan, seperti menciptakan suasana religius di lingkungan masyarakat, menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak untuk akrab dengan puji-pujian kepada Nabi, dan sebagai pengingat di tengah kesibukan dunia. Selama tidak ada dalil yang secara tegas melarangnya, maka praktik yang mendatangkan maslahat seperti ini diperbolehkan.
Argumen Pihak yang Melarang atau Berhati-hati
Di sisi lain, terdapat kelompok ulama yang memandang praktik ini sebagai sesuatu yang harus dihindari. Pandangan mereka didasarkan pada prinsip kehati-hatian dalam beribadah dan kekhawatiran akan munculnya hal-hal baru yang tidak dicontohkan. Berikut adalah landasan argumen mereka:
- Prinsip At-Tawaqquf fil Ibadah (Berhenti pada Dalil dalam Ibadah): Kaidah dasar dalam ibadah mahdhah (ibadah ritual murni) adalah bahwa segala sesuatu dilarang kecuali ada dalil yang memerintahkannya. Adzan adalah ibadah yang tata caranya telah ditentukan secara rinci (tauqifi). Menambahkan sesuatu sebelum atau sesudahnya secara rutin dikhawatirkan akan merusak kemurnian ibadah tersebut dan dianggap sebagai penambahan atas apa yang telah disyariatkan.
- Kekhawatiran Dianggap Sebagai Bagian dari Sunnah Adzan: Jika praktik ini dilakukan secara terus-menerus dan menjadi kebiasaan, generasi selanjutnya bisa salah paham dan menganggap bahwa sholawat dengan pengeras suara sebelum adzan adalah bagian dari sunnah atau bahkan rukun adzan. Hal ini dapat mengaburkan ajaran yang asli dari Rasulullah ﷺ.
- Hadis Tentang Semua Bid'ah adalah Sesat: Kelompok ini berpegang pada pemahaman literal dari hadis Nabi ﷺ, "Setiap hal baru (dalam urusan agama) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan (kullu bid'atin dhalalah)." Menurut pandangan ini, tidak ada pembagian bid'ah menjadi baik dan buruk dalam urusan ibadah. Semua bentuk penambahan dalam ritual ibadah adalah tercela dan harus ditinggalkan.
- Potensi Gangguan (Tasywisy): Menggunakan pengeras suara dengan volume tinggi pada waktu-waktu hening, seperti menjelang subuh, berpotensi mengganggu orang lain. Mungkin ada orang yang sedang sakit, bayi yang sedang tidur, atau bahkan orang yang sedang melaksanakan sholat tahajud atau membaca Al-Qur'an di rumahnya. Gangguan ini bertentangan dengan prinsip Islam yang sangat menekankan untuk tidak menyakiti tetangga.
Menemukan Jalan Tengah dan Sikap Bijaksana
Melihat kedua argumentasi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan sholawat sebelum adzan termasuk dalam ranah khilafiyah ijtihadiyah (perbedaan pendapat hasil ijtihad) di kalangan ulama. Ini bukanlah masalah pokok akidah, melainkan masalah cabang (furu'). Oleh karena itu, sikap yang paling bijaksana adalah saling menghormati perbedaan pendapat.
Bagi masyarakat yang mengamalkannya, penting untuk memastikan beberapa hal. Pertama, mengedukasi masyarakat bahwa amalan ini bukanlah bagian dari adzan itu sendiri, melainkan amalan dzikir dan sholawat yang baik yang kebetulan dilakukan sebelum adzan. Kedua, menggunakan volume pengeras suara yang wajar dan tidak berlebihan, sehingga tujuan syiar tercapai tanpa menimbulkan gangguan yang signifikan bagi lingkungan sekitar. Kebijaksanaan dalam mengatur volume adalah kunci untuk menjaga keharmonisan. Ketiga, memastikan bacaan yang dilantunkan adalah benar, baik dari segi lafaz maupun makna, serta dibawakan dengan suara yang merdu dan tidak terkesan dibuat-buat atau berlebihan.
Bagi mereka yang tidak sependapat, sikap yang baik adalah tidak terburu-buru menghakimi atau mencap sesat, melainkan menyampaikan pandangannya dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Dialog yang konstruktif jauh lebih baik daripada saling menyalahkan, karena kedua belah pihak sejatinya memiliki niat yang baik, yaitu untuk mengagungkan syiar Allah.
Manfaat dan Hikmah di Balik Tradisi
Terlepas dari perdebatan fikihnya, tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi sholawat sebelum adzan, ketika dijalankan dengan baik, membawa sejumlah manfaat dan hikmah yang dapat dirasakan oleh individu dan masyarakat.
- Persiapan Spiritual: Lantunan sholawat yang syahdu berfungsi sebagai "pemanasan" spiritual. Ia mengkondisikan hati dan pikiran untuk beralih dari urusan duniawi menuju kesadaran akan panggilan ilahi. Hati yang tadinya lalai atau keras dapat menjadi lebih lembut dan siap untuk menyambut seruan adzan.
- Media Syiar dan Dakwah: Suara sholawat yang berkumandang dari menara masjid adalah bentuk syiar Islam yang damai dan menyejukkan. Bagi non-Muslim sekalipun, suara ini sering kali dianggap sebagai bagian dari kekayaan budaya dan ciri khas masyarakat yang religius, menciptakan citra Islam yang penuh dengan keindahan dan ketenangan.
- Menumbuhkan Cinta Kepada Rasulullah ﷺ: Mendengar nama dan pujian untuk Nabi Muhammad ﷺ disebut berulang kali setiap hari dapat membantu menyuburkan rasa cinta (mahabbah) dalam hati kaum Muslimin. Cinta inilah yang menjadi fondasi untuk mengikuti sunnah-sunnah beliau.
- Pengingat Waktu yang Efektif: Di banyak tempat, terutama di pedesaan, suara tarhim menjadi alarm kolektif yang lebih efektif daripada jam weker pribadi. Ia membangunkan satu komunitas secara bersamaan untuk mempersiapkan diri melaksanakan sholat subuh berjamaah, yang memiliki keutamaan sangat besar.
- Menjaga Identitas Kultural-Religius: Di tengah arus globalisasi dan modernitas, tradisi seperti ini menjadi penanda identitas yang kuat bagi sebuah komunitas Muslim. Ia adalah warisan yang dipertahankan dari generasi ke generasi, yang membedakan dan memperkaya khazanah budaya Islam lokal.
Kesimpulan: Sebuah Refleksi
Sholawat sebelum adzan adalah sebuah fenomena sosio-religius yang kompleks dan berlapis. Ia bukan sekadar lantunan suara, melainkan cerminan dari kecintaan umat kepada Nabinya, sarana syiar, sekaligus menjadi objek perdebatan fikih yang menunjukkan kekayaan dinamika intelektual dalam Islam. Praktik ini tidak ditemukan pada masa kenabian, namun tumbuh dan berkembang dalam rahim sejarah peradaban Islam sebagai respons terhadap kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat di zamannya.
Menyikapinya dengan bijaksana menuntut kita untuk memahami seluruh spektrum pandangan. Memahaminya sebagai amalan dzikir umum yang baik adalah sah, selama tidak diyakini sebagai bagian wajib dari adzan. Di saat yang sama, mengkritiknya atas dasar kehati-hatian dalam beribadah dan kekhawatiran mengganggu orang lain juga merupakan argumen yang valid dan perlu dipertimbangkan.
Pada akhirnya, esensi dari semua ini adalah niat. Selama niatnya tulus untuk mengagungkan Allah, memuliakan Rasulullah ﷺ, dan mengajak manusia kepada kebaikan, maka amalan ini berpotensi menjadi ladang pahala. Namun, niat baik tersebut harus diiringi dengan cara yang bijaksana (hikmah), yaitu dengan memperhatikan hak-hak orang lain dan menjaga kemurnian ajaran pokok agama. Dengan demikian, suara merdu yang mengalun sebelum fajar itu dapat terus menjadi sumber ketenangan dan penyejuk jiwa, bukan menjadi sumber perpecahan. Ia akan tetap menjadi melodi spiritual yang menyatukan hati dalam kerinduan kepada Sang Nabi dan kesiapan menyambut panggilan Sang Ilahi.