Surat Tabarok (Al-Mulk): Bacaan Lengkap, Tafsir, dan Keutamaannya

Menyelami Samudra Makna Surat Al-Mulk, Sang Pelindung dari Siksa Kubur.

Ilustrasi kaligrafi Islam Surat Al-Mulk Sebuah pola geometris Islami yang melambangkan keteraturan dan keindahan ciptaan Allah sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Mulk.

Pengenalan Surat Al-Mulk

Surat Al-Mulk, yang sering disebut juga sebagai Surat Tabarok, adalah surat ke-67 dalam mushaf Al-Qur'an. Namanya, "Al-Mulk", berarti "Kerajaan", diambil dari ayat pertamanya yang menegaskan bahwa segala bentuk kerajaan dan kekuasaan mutlak berada di Tangan Allah SWT. Sebutan "Tabarok" juga berasal dari kata pertama dalam surat ini, yaitu "Tabārakalladzī", yang bermakna "Maha Suci Dia (Allah)". Surat ini tergolong sebagai surat Makkiyah, yaitu surat yang diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Terdiri dari 30 ayat, surat ini memuat kandungan yang sangat fundamental dalam akidah Islam.

Fokus utama Surat Al-Mulk adalah untuk menanamkan kesadaran akan keagungan, kekuasaan, dan kesempurnaan ciptaan Allah SWT. Melalui surat ini, manusia diajak untuk merenungkan alam semesta—langit yang berlapis-lapis tanpa cacat, bumi yang terhampar sebagai tempat tinggal, burung-urung yang terbang dengan kepak sayapnya—sebagai bukti nyata keberadaan dan keesaan Sang Pencipta. Surat ini secara lugas menantang argumen kaum musyrikin yang meragukan hari kebangkitan dan kekuasaan Allah. Ia menyajikan ancaman siksa bagi mereka yang ingkar dan janji pahala yang besar bagi mereka yang beriman dan takut kepada Allah meskipun mereka tidak melihat-Nya. Dengan gaya bahasa yang kuat dan retorika yang menggugah, Surat Al-Mulk berfungsi sebagai pengingat keras tentang tujuan hidup, keniscayaan kematian, dan pertanggungjawaban di akhirat.

Bacaan Surat Tabarok (Al-Mulk) Lengkap

Ayat 1

تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ

Tabārakalladzī biyadihil-mulku wa huwa ‘alā kulli syai`in qadīr.

"Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Ayat 2

ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

Alladzī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā, wa huwal-‘azīzul-gafūr.

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Ayat 3

الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ

Alladzī khalaqa sab‘a samāwātin ṭibāqā, mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut, farji‘il-baṣara hal tarā min fuṭūr.

"Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?"

Ayat 4

ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ

Tsummarji‘il-baṣara karrataini yanqalib ilaikal-baṣaru khāsi`aw wa huwa ḥasīr.

"Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah."

Ayat 5

وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاۤءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَجَعَلْنٰهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيٰطِيْنِ وَاَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ

Wa laqad zayyannas-samā`ad-dun-yā bimaṣābīḥa wa ja‘alnāhā rujūmal lisy-syayāṭīni wa a‘tadnā lahum ‘adzābas-sa‘īr.

"Dan sesungguhnya telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala."

Ayat 6

وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

Wa lilladzīna kafarū birabbihim ‘adzābu jahannam, wa bi`sal-maṣīr.

"Dan orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali."

Ayat 7

اِذَآ اُلْقُوْا فِيْهَا سَمِعُوْا لَهَا شَهِيْقًا وَّهِيَ تَفُوْرُۙ

Idzā ulqū fīhā sami‘ū lahā syahīqaw wa hiya tafūr.

"Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu menggelegak."

Ayat 8

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ

Takādu tamayyazu minal-gaīẓ, kullamā ulqiya fīhā faujun sa`alahum khazanatuhā alam ya`tikum nadzīr.

"Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: 'Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?'"

Ayat 9

قَالُوْا بَلٰى قَدْ جَاۤءَنَا نَذِيْرٌ ەۙ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍۖ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا فِيْ ضَلٰلٍ كَبِيْرٍ

Qālū balā qad jā`anā nadzīrun fa kadzdzabnā wa qulnā mā nazzalallāhu min syai`in in antum illā fī ḍalālin kabīr.

"Mereka menjawab: 'Benar ada', sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: 'Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar'."

Ayat 10

وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ اَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْٓ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِ

Wa qālū lau kunnā nasma‘u au na‘qilu mā kunnā fī aṣḥābis-sa‘īr.

"Dan mereka berkata: 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala'."

Ayat 11

فَاعْتَرَفُوْا بِذَنْۢبِهِمْۚ فَسُحْقًا لِّاَصْحٰبِ السَّعِيْرِ

Fa‘tarafū bidzambihim, fa suḥqal li`aṣḥābis-sa‘īr.

"Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala itu."

Ayat 12

اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ

Innalladzīna yakhsyauna rabbahum bil-gaibi lahum magfiratuw wa ajrun kabīr.

"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar."

Ayat 13

وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ

Wa asirrū qaulakum awijharū bih, innahū ‘alīmum bidzātiṣ-ṣudūr.

"Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati."

Ayat 14

اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ

Alā ya‘lamu man khalaq, wa huwal-laṭīful-khabīr.

"Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui."

Ayat 15

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

Huwallażī ja‘ala lakumul-arḍa żalūlan famsyū fī manākibihā wa kulū mir rizqih, wa ilaihin-nusyūr.

"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."

Ayat 16

ءَاَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يَّخْسِفَ بِكُمُ الْاَرْضَ فَاِذَا هِيَ تَمُوْرُۙ

A`amintum man fis-samā`i ay yakhsifa bikumul-arḍa fa idzā hiya tamūr.

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?"

Ayat 17

اَمْ اَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَاۤءِ اَنْ يُّرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًاۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ كَيْفَ نَذِيْرِ

Am amintum man fis-samā`i ay yursila ‘alaikum ḥāṣibā, fa sata‘lamūna kaifa nażīr.

"Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?"

Ayat 18

وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ

Wa laqad każżaballażīna min qablihim fa kaifa kāna nakīr.

"Dan sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku."

Ayat 19

اَوَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صٰۤفّٰتٍ وَّيَقْبِضْنَۘ مَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا الرَّحْمٰنُۗ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍۢ بَصِيْرٌ

Awalam yarau ilaṭ-ṭairi fauqahum ṣāffātiw wa yaqbiḍn, mā yumsikuhunna illar-raḥmān, innahū bikulli syai`im baṣīr.

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu."

Ayat 20

اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ هُوَ جُنْدٌ لَّكُمْ يَنْصُرُكُمْ مِّنْ دُوْنِ الرَّحْمٰنِۗ اِنِ الْكٰفِرُوْنَ اِلَّا فِيْ غُرُوْرٍۚ

Am man hāżallażī huwa jundul lakum yanṣurukum min dūnir-raḥmān, inil-kāfirūna illā fī gurūr.

"Atau siapakah ini yang menjadi tentara bagimu yang akan menolongmu selain dari Allah Yang Maha Pemurah? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam (keadaan) tertipu."

Ayat 21

اَمَّنْ هٰذَا الَّذِيْ يَرْزُقُكُمْ اِنْ اَمْسَكَ رِزْقَهٗ ۚ بَلْ لَّجُّوْا فِيْ عُتُوٍّ وَّنُفُوْرٍ

Am man hāżallażī yarzuqukum in amsaka rizqah, bal lajjū fī ‘utuwwiw wa nufūr.

"Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri."

Ayat 22

اَفَمَنْ يَّمْشِيْ مُكِبًّا عَلٰى وَجْهِهٖٓ اَهْدٰىٓ اَمَّنْ يَّمْشِيْ سَوِيًّا عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Afamay yamsyī mukibban ‘alā wajhihī ahdā ammay yamsyī sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm.

"Maka apakah orang yang berjalan terjungkal dengan mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?"

Ayat 23

قُلْ هُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

Qul huwallażī ansya`akum wa ja‘ala lakumus-sam‘a wal-abṣāra wal-af`idah, qalīlam mā tasykurūn.

"Katakanlah: 'Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati'. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur."

Ayat 24

قُلْ هُوَ الَّذِيْ ذَرَاَكُمْ فِى الْاَرْضِ وَاِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ

Qul huwallażī żara`akum fil-arḍi wa ilaihi tuḥsyarūn.

"Katakanlah: 'Dialah Yang menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan'."

Ayat 25

وَيَقُوْلُوْنَ مَتٰى هٰذَا الْوَعْدُ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Wa yaqūlūna matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn.

"Dan mereka berkata: 'Kapankah datangnya ancaman itu jika kamu adalah orang-orang yang benar?'"

Ayat 26

قُلْ اِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللّٰهِ ۖوَاِنَّمَآ اَنَا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ

Qul innamal-‘ilmu ‘indallāhi wa innamā ana nażīrum mubīn.

"Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan (tentang hari kiamat) itu hanya di sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan'."

Ayat 27

فَلَمَّا رَاَوْهُ زُلْفَةً سِيْۤـَٔتْ وُجُوْهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَقِيْلَ هٰذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تَدَّعُوْنَ

Falammā ra`auhu zulfatan sī`at wujūhullażīna kafarū wa qīla hāżallażī kuntum bihī tadda‘ūn.

"Ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) sudah dekat, muka orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka) inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya."

Ayat 28

قُلْ اَرَءَيْتُمْ اِنْ اَهْلَكَنِيَ اللّٰهُ وَمَنْ مَّعِيَ اَوْ رَحِمَنَاۙ فَمَنْ يُّجِيْرُ الْكٰفِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ

Qul ara`aitum in ahlakaniyallāhu wa mam ma‘iya au raḥimanā, famay yujīrul-kāfirīna min ‘ażābin alīm.

"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang yang kafir dari azab yang pedih?'"

Ayat 29

قُلْ هُوَ الرَّحْمٰنُ اٰمَنَّا بِهٖ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَاۗ فَسَتَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Qul huwar-raḥmānu āmannā bihī wa ‘alaihi tawakkalnā, fa sata‘lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn.

"Katakanlah: 'Dialah Allah Yang Maha Penyayang kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya-lah kami bertawakkal. Kelak kamu akan mengetahui siapakah yang berada dalam kesesatan yang nyata'."

Ayat 30

قُلْ اَرَءَيْتُمْ اِنْ اَصْبَحَ مَاۤؤُكُمْ غَوْرًا فَمَنْ يَّأْتِيْكُمْ بِمَاۤءٍ مَّعِيْنٍ

Qul ara`aitum in aṣbaḥa mā`ukum gauran fa may ya`tīkum bimā`im ma‘īn.

"Katakanlah: 'Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?'"

Tafsir Mendalam Surat Al-Mulk

Ayat 1-2: Fondasi Kekuasaan Mutlak dan Tujuan Penciptaan

Surat ini dibuka dengan deklarasi keagungan Allah yang tiada tara. Kata "Tabārak" memiliki akar kata yang sama dengan "barakah" (berkah), yang berarti kebaikan yang melimpah dan langgeng. Penggunaan kata ini di awal surat menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala kebaikan dan kesucian, jauh dari segala kekurangan. Frasa "biyadihil-mulk" (di tangan-Nyalah segala kerajaan) secara metaforis menggambarkan kekuasaan Allah yang absolut dan total. Tidak ada satu pun entitas di alam semesta, baik yang terlihat maupun gaib, yang keluar dari genggaman kekuasaan-Nya. Dialah Raja diraja yang sesungguhnya. Penegasan "wa huwa ‘alā kulli syai`in qadīr" (dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) melengkapi gambaran ini, menyatakan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas. Dia mampu melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya tanpa ada yang bisa menghalangi.

Ayat kedua kemudian menjelaskan salah satu manifestasi kekuasaan-Nya yang paling fundamental bagi manusia: penciptaan kematian dan kehidupan. Kematian disebut lebih dulu daripada kehidupan, sebuah pilihan kata yang sarat makna. Ini bisa diartikan bahwa manusia berasal dari ketiadaan (seperti kematian) lalu dihidupkan, atau sebagai penekanan bahwa tujuan akhir dari kehidupan duniawi adalah kematian, yang kemudian menjadi gerbang menuju kehidupan abadi. Tujuan dari siklus hidup dan mati ini bukanlah kesia-siaan, melainkan sebuah ujian ("liyabluwakum"). Kehidupan di dunia adalah arena untuk menguji kualitas amal manusia. Allah ingin melihat "ayyukum aḥsanu ‘amalā" (siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya). Fokusnya bukan pada kuantitas (paling banyak), tetapi pada kualitas (paling baik), yang mencakup keikhlasan niat dan kesesuaian dengan syariat. Di akhir ayat, Allah memperkenalkan dua sifat-Nya: Al-‘Azīz (Maha Perkasa), yang menunjukkan bahwa Dia mampu memberikan balasan setimpal kepada yang durhaka, dan Al-Gafūr (Maha Pengampun), yang membuka pintu harapan bagi mereka yang bertaubat dan memperbaiki amalnya.

Ayat 3-5: Kesempurnaan Ciptaan Langit sebagai Bukti

Setelah menetapkan kekuasaan-Nya, Allah mengajak manusia untuk menggunakan akal dan indranya untuk melihat bukti kekuasaan tersebut di alam semesta. Dimulai dari langit, ciptaan yang megah dan terbentang luas. Allah menciptakan "sab‘a samāwātin ṭibāqā" (tujuh langit berlapis-lapis). Angka tujuh di sini bisa berarti harfiah atau sebagai simbol banyaknya tingkatan yang teratur. Inti pesannya adalah keteraturan dan keharmonisan. Allah menantang manusia dengan firman-Nya: "mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut" (kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang). Tidak ada cacat, retak, atau ketidakselarasan dalam ciptaan-Nya. Tantangan ini dipertegas dengan perintah "farji‘il-baṣar" (maka lihatlah berulang-ulang).

Allah tidak cukup dengan satu kali pandangan. Di ayat keempat, Dia memerintahkan untuk mengulangi pandangan itu sekali lagi ("karratain"). Ini adalah sebuah penegasan bahwa seberapa pun teliti dan cermatnya manusia mengamati, seberapa canggih pun teknologi yang digunakan, mereka tidak akan pernah menemukan cacat dalam ciptaan-Nya. Hasilnya? Penglihatan itu akan kembali dalam keadaan "khāsi`a" (hina, tidak menemukan apa yang dicari) dan "ḥasīr" (payah, lelah). Ini adalah bukti empiris yang dapat diobservasi oleh siapa pun, kapan pun, yang menunjukkan kesempurnaan karya Sang Pencipta. Ayat kelima menambahkan dimensi keindahan dan fungsi pada langit. Langit yang terdekat ("as-samā`ad-dun-yā") dihiasi dengan "maṣābīḥ" (lampu-lampu), yaitu bintang-bintang. Selain sebagai hiasan yang indah, bintang-bintang ini juga memiliki fungsi sebagai "rujūmal lisy-syayāṭīn" (alat pelempar setan) yang mencoba mencuri dengar berita dari langit. Ini menegaskan bahwa setiap elemen ciptaan memiliki tujuan dan fungsi yang telah ditetapkan oleh Allah.

Ayat 6-11: Kontras Nasib Para Pendusta di Neraka

Dari keindahan ciptaan di langit, surat ini beralih secara drastis ke gambaran mengerikan tentang nasib orang-orang yang mengingkari Sang Pencipta. Bagi mereka yang kafir kepada Tuhannya, telah disediakan azab Jahannam, "seburuk-buruk tempat kembali". Ayat-ayat berikutnya melukiskan kengerian neraka dengan detail sensorik yang kuat. Ketika mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar "syahīq" (suara tarikan napas yang mengerikan, seperti ringkikan keledai) sementara neraka itu sendiri "tafūr" (menggelegak dahsyat). Amarah neraka begitu hebat hingga ia "takādu tamayyazu minal-gaīẓ" (hampir-hampir terpecah-pecah lantaran marah).

Di tengah kengerian itu, terjadi sebuah dialog yang mengungkap penyesalan terdalam para penghuninya. Setiap kali sekelompok orang kafir dilemparkan, para malaikat penjaga neraka (khazanah) akan bertanya dengan nada mencela, "alam ya`tikum nadzīr?" (Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?). Ini bukanlah pertanyaan untuk mencari informasi, tetapi untuk menegaskan keadilan Allah dan kesalahan mereka. Mereka pun mengakuinya: "balā qad jā`anā nadzīr" (Benar, telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan). Namun, mereka melanjutkan pengakuan dosa mereka: "fa kadzdzabnā wa qulnā mā nazzalallāhu min syai`" (maka kami mendustakannya dan kami katakan: 'Allah tidak menurunkan sesuatupun'). Mereka tidak hanya menolak, tetapi juga menuduh para rasul berada dalam kesesatan yang besar. Puncak penyesalan mereka terungkap di ayat 10: "lau kunnā nasma‘u au na‘qilu mā kunnā fī aṣḥābis-sa‘īr" (Sekiranya kami dahulu mau mendengarkan atau memikirkan, niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka). Ini adalah pengakuan tragis bahwa mereka telah menyia-nyiakan karunia pendengaran dan akal, dua instrumen utama untuk meraih hidayah. Akhirnya, mereka mengakui dosa mereka, namun pengakuan di saat itu sudah tidak berguna lagi. "Fa suḥqal li`aṣḥābis-sa‘īr" (Maka kebinasaanlah bagi penghuni neraka), sebuah kutukan yang menyegel nasib mereka.

Ayat 12-14: Janji bagi Orang Bertakwa dan Ilmu Allah yang Meliputi Segalanya

Setelah gambaran suram neraka, Allah menyajikan antitesisnya, yaitu balasan bagi orang-orang beriman. "Innalladzīna yakhsyauna rabbahum bil-gaib" (Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak nampak oleh mereka). Kata kunci di sini adalah "bil-gaib" (dalam keadaan gaib/tidak terlihat). Ketakutan dan ketakwaan mereka bukan karena paksaan atau karena melihat azab di depan mata, melainkan lahir dari keyakinan yang tulus kepada Allah yang tidak mereka lihat. Inilah level keimanan tertinggi. Bagi mereka, Allah menjanjikan dua hal: "magfirah" (ampunan) yang menghapus dosa-dosa mereka, dan "ajrun kabīr" (pahala yang besar), yaitu surga. Janji ini memberikan ketenangan dan motivasi bagi setiap mukmin.

Untuk memperkuat makna takwa "bil-gaib", ayat 13 dan 14 menegaskan kemahatahuan Allah yang absolut. "Wa asirrū qaulakum awijharū bih" (Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah). Bagi Allah, tidak ada bedanya antara ucapan yang dibisikkan dalam hati dengan yang diteriakkan di depan umum. Mengapa? "Innahū ‘alīmum bidzātiṣ-ṣudūr" (sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati). Ilmu-Nya menembus hingga ke niat dan rahasia yang paling tersembunyi di dalam dada. Ayat 14 menyajikan sebuah argumen logis yang tak terbantahkan: "Alā ya‘lamu man khalaq?" (Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui?). Logikanya sederhana: seorang pencipta pasti mengetahui seluk-beluk ciptaannya. Seorang pembuat jam tangan tahu persis bagaimana setiap komponennya bekerja. Maka, Allah, Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta, tentu lebih mengetahui segala hal tentang ciptaan-Nya. Di akhir ayat, ditegaskan lagi sifat-Nya "Al-Laṭīf" (Maha Halus), yang ilmunya dapat menjangkau hal-hal terkecil dan tersembunyi, dan "Al-Khabīr" (Maha Mengetahui), yang pengetahuannya meliputi perkara lahir dan batin.

Ayat 15-22: Bukti Kekuasaan di Bumi dan Peringatan Keras

Fokus kembali beralih ke bukti kekuasaan Allah di bumi. "Huwallażī ja‘ala lakumul-arḍa żalūlan" (Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu). Kata "żalūl" berarti tunduk, mudah ditaklukkan, dan tidak liar. Bumi diciptakan stabil, tidak terus-menerus bergoncang; tanahnya mudah digarap untuk pertanian; dan permukaannya mudah dijelajahi. Karena kemudahan inilah, Allah memerintahkan: "famsyū fī manākibihā wa kulū mir rizqih" (maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya). Ini adalah perintah untuk bekerja, berusaha, dan memanfaatkan sumber daya yang telah Allah sediakan. Namun, kesibukan mencari rezeki tidak boleh melupakan tujuan akhir: "wa ilaihin-nusyūr" (dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan kembali setelah dibangkitkan). Semua kenikmatan dunia ini hanyalah sarana, bukan tujuan.

Setelah mengingatkan nikmat bumi yang stabil, Allah memberikan peringatan keras dengan retorika yang mengguncang. "A`amintum man fis-samā`i...?" (Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit...?). Pertanyaan ini ditujukan kepada orang-orang yang merasa aman dari azab Allah. Allah mengingatkan bahwa Dia mampu menelan mereka ke dalam bumi ("yakhsifa bikumul-arḍa") sehingga bumi yang tadinya "żalūl" menjadi "tamūr" (bergoncang dahsyat). Atau, Dia mampu mengirim "ḥāṣibā" (badai kerikil dari langit) yang membinasakan. Peringatan ini diperkuat dengan merujuk pada umat-umat terdahulu yang juga mendustakan rasul-rasul mereka dan telah merasakan betapa dahsyatnya kemurkaan Allah ("nakīr").

Ayat-ayat berikutnya terus menyajikan bukti dan menantang logika kaum kafir. Mereka diajak memperhatikan burung-burung yang terbang, yang dengan kuasa Allah dapat mengembangkan dan mengatupkan sayapnya, tetap melayang di udara. Siapa yang menahan mereka jika bukan "Ar-Raḥmān" (Yang Maha Pemurah)? Kemudian, Allah menantang mereka secara langsung: Siapakah yang bisa menjadi tentara penolong mereka selain Allah? Siapa yang bisa memberi rezeki jika Allah menahannya? Ini menunjukkan bahwa orang kafir sejatinya berada dalam "gurūr" (tipu daya) yang nyata. Ayat 22 memberikan perumpamaan yang sangat kuat: mana yang lebih baik, orang yang berjalan "mukibban ‘alā wajhihī" (terjungkal dengan mukanya), atau orang yang berjalan "sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm" (tegap di atas jalan yang lurus)? Yang pertama adalah perumpamaan orang kafir yang berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan, sementara yang kedua adalah orang mukmin yang berjalan di atas jalan hidayah yang lurus dan jelas.

Ayat 23-30: Penegasan tentang Penciptaan, Kebangkitan, dan Sumber Kehidupan

Bagian akhir surat ini kembali menegaskan peran Allah sebagai Pencipta dan tujuan akhir manusia. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengatakan, "Dialah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati." Ini adalah tiga karunia terbesar yang menjadi sarana manusia untuk memperoleh ilmu dan hidayah. Namun ironisnya, "qalīlam mā tasykurūn" (amat sedikit kamu bersyukur). Manusia seringkali lalai mensyukuri nikmat-nikmat fundamental ini. Selanjutnya, ditegaskan bahwa Dialah yang "żara`akum fil-arḍ" (menjadikan kamu berkembang biak di muka bumi), dan hanya kepada-Nya mereka akan "tuḥsyarūn" (dikumpulkan) pada hari kiamat.

Menghadapi penegasan tentang hari kebangkitan ini, kaum kafir selalu bertanya dengan nada mengejek, "matā hāżal-wa‘d?" (Kapan janji itu akan terjadi?). Pertanyaan mereka bukan untuk mencari tahu, tetapi untuk mengingkari. Allah memerintahkan Nabi untuk menjawab dengan tegas: "innamal-‘ilmu ‘indallāh" (Sesungguhnya pengetahuan tentang itu hanya di sisi Allah). Tugas seorang rasul hanyalah sebagai "nażīrum mubīn" (pemberi peringatan yang menjelaskan), bukan untuk mengetahui kapan kiamat tiba. Namun, ketika hari itu tiba dan mereka melihat azab sudah dekat ("zulfah"), wajah mereka akan menjadi muram dan penuh penyesalan ("sī`at wujūhullażīna kafarū"). Saat itulah akan dikatakan kepada mereka, "inilah yang dahulu kamu selalu minta-mintanya."

Dua ayat terakhir memberikan penutup yang sangat kuat. Ayat 28 adalah tantangan pamungkas kepada kaum kafir yang seringkali mendoakan keburukan bagi Nabi dan para pengikutnya. Katakanlah, jika Allah mematikan kami atau memberi rahmat kepada kami, itu adalah urusan Allah. Tapi pertanyaannya adalah, siapa yang bisa melindungi kalian, wahai orang-orang kafir, dari azab yang pedih? Ini membalikkan keadaan dan menunjukkan bahwa nasib mereka jauh lebih mengkhawatirkan. Jawaban atas kebingungan ini ada di ayat 29: "Qul huwar-raḥmān" (Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Penyayang). Inilah identitas Tuhan yang disembah oleh kaum mukmin. Mereka beriman dan bertawakal kepada-Nya, dan kelak akan terbukti siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.

Surat ini ditutup dengan sebuah pertanyaan retoris yang mencengangkan dan fundamental bagi kehidupan. "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?" Air adalah sumber kehidupan. Jika Allah menahan nikmat yang paling dasar ini, tidak ada satu kekuatan pun di alam semesta yang mampu mengembalikannya. Pertanyaan ini meninggalkan pembaca dalam perenungan yang mendalam tentang ketergantungan mutlak mereka kepada Allah SWT, Sang Pemilik Kerajaan dan Sumber segala Kehidupan.

Keutamaan Membaca Surat Al-Mulk

Surat Al-Mulk memiliki kedudukan istimewa dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Keutamaannya yang paling masyhur adalah perannya sebagai pelindung dan penyelamat dari siksa kubur. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda: "Ada suatu surat dari Al-Qur'an yang terdiri dari tiga puluh ayat dan dapat memberi syafaat bagi yang membacanya, sampai dia diampuni. Yaitu: Tabaarakalladzii biyadihil mulku..."

Hadis lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai surat ini, "Dia adalah Al-Mani'ah (penghalang), dia adalah Al-Munjiyah (penyelamat), yang menyelamatkannya dari siksa kubur." Keutamaan ini tidak didapat hanya dengan sekadar membacanya tanpa penghayatan. Para ulama menjelaskan bahwa orang yang rutin membaca Surat Al-Mulk, merenungkan maknanya, dan mengamalkan kandungannya—yaitu dengan senantiasa merasa diawasi oleh Allah, takut akan azab-Nya, dan berharap akan rahmat-Nya—maka kandungan surat ini akan mendarah daging dalam dirinya. Keyakinan akan kekuasaan mutlak Allah, kesempurnaan ciptaan-Nya, dan keniscayaan hari pembalasan akan membentuk karakternya. Sifat inilah yang akan menjadi penghalang dan penyelamat baginya dari siksa kubur atas izin Allah.

Karena keutamaannya yang luar biasa ini, Rasulullah SAW sangat menganjurkan umatnya untuk menghafal dan membacanya secara rutin, terutama sebelum tidur. Diriwayatkan bahwa beliau tidak akan tidur sebelum membaca Surat As-Sajdah dan Surat Al-Mulk. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjadikan surat ini sebagai wirid harian untuk memperkuat iman dan sebagai perisai spiritual bagi seorang mukmin, baik di dunia maupun di alam barzakh.

🏠 Kembali ke Homepage