Panduan Memilih Surat Pendek untuk Shalat Tarawih
Bulan Ramadhan adalah momen yang dinanti umat Islam di seluruh dunia. Salah satu ibadah yang menjadi ciri khasnya adalah shalat Tarawih. Dilaksanakan pada malam hari setelah shalat Isya, Tarawih menjadi kesempatan berharga untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak dzikir, dan merenungi ayat-ayat suci Al-Quran. Dalam pelaksanaannya, pemilihan surat yang dibaca setelah Al-Fatihah menjadi salah satu aspek penting. Meskipun tidak ada aturan baku yang mengharuskan pembacaan surat tertentu, penggunaan surat-surat pendek dari Juz 'Amma (Juz 30) telah menjadi praktik yang umum dan dianjurkan karena berbagai hikmah di dalamnya.
Penggunaan surat pendek dalam shalat Tarawih bukan berarti mengurangi kualitas ibadah. Justru, pilihan ini membawa banyak kemaslahatan. Hal ini membuat shalat lebih ringan dan dapat diikuti oleh berbagai kalangan jamaah, mulai dari anak-anak yang baru belajar shalat, orang tua yang kondisi fisiknya tidak lagi sekuat dulu, hingga mereka yang belum memiliki banyak hafalan Al-Quran. Dengan demikian, semangat untuk meramaikan masjid dengan shalat Tarawih berjamaah dapat terus terjaga. Fokusnya bergeser dari sekadar panjangnya bacaan menjadi kualitas kekhusyukan dan pemahaman makna yang terkandung di dalamnya.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam beberapa surat pendek yang sering dibaca saat shalat Tarawih. Pembahasan tidak hanya mencakup teks Arab, latin, dan terjemahannya, tetapi juga akan menyelami kandungan makna dan tafsir ringkasnya. Tujuannya adalah agar setiap rakaat Tarawih yang kita laksanakan tidak hanya menjadi rutinitas fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang memperkaya jiwa dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
1. Surat At-Takatsur (Bermegah-megahan)
Surat ini merupakan teguran keras bagi manusia yang lalai karena sibuk dengan urusan duniawi, berlomba-lomba dalam kemegahan harta, keturunan, dan kedudukan, hingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya.
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ (١) حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَۗ (٢) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ (٣) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَۗ (٤) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِۗ (٥) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَۙ (٦) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِۙ (٧) ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ ࣖ (٨)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Alhākumut-takāṡur(u). 2. Ḥattā zurtumul-maqābir(a). 3. Kallā saufa ta‘lamūn(a). 4. Ṡumma kallā saufa ta‘lamūn(a). 5. Kallā lau ta‘lamūna ‘ilmal-yaqīn(i). 6. Latarawunnal-jaḥīm(a). 7. Ṡumma latarawunnahā ‘ainal-yaqīn(i). 8. Ṡumma latus'alunna yauma'iżin ‘anin-na‘īm(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, 2. sampai kamu masuk ke dalam kubur. 3. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), 4. kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. 5. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, 6. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, 7. kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, 8. kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).
Kandungan dan Tafsir
Surat At-Takatsur dibuka dengan sebuah pernyataan yang menusuk: "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu." Kata "takatsur" berasal dari akar kata "katsrah" yang berarti banyak. "Takatsur" sendiri memiliki makna berlomba-lomba untuk memperbanyak sesuatu, baik itu harta, anak, pengikut, maupun status sosial. Ayat ini menggambarkan sebuah kondisi di mana manusia begitu terobsesi dengan perlombaan duniawi ini sehingga mereka lupa pada Allah, lupa pada akhirat, dan lupa pada hakikat penciptaan mereka.
Kelalaian ini terus berlanjut "sampai kamu masuk ke dalam kubur." Kematian adalah pemutus segala angan-angan duniawi. Saat ruh telah berpisah dari jasad dan tubuh terbujur kaku di liang lahad, barulah perlombaan itu berhenti. Di titik inilah penyesalan dimulai, karena semua yang dibanggakan di dunia tidak ada yang dapat dibawa. Harta, tahta, dan keluarga hanya mengantar sampai ke pemakaman.
Allah kemudian memberikan peringatan yang berulang-ulang: "Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui." Pengulangan ini berfungsi sebagai penekanan yang sangat kuat, menunjukkan betapa pastinya kenyataan yang akan dihadapi setelah kematian. Manusia akan mengetahui dengan sebenar-benarnya akibat dari kelalaian mereka. Mereka akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa yang dahulu mereka ragukan atau abaikan.
Ayat kelima, "Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti ('ilmal-yaqin)," menyiratkan bahwa jika saja manusia di dunia memiliki pengetahuan yang hakiki tentang akhirat, niscaya mereka tidak akan pernah terlena oleh kemegahan dunia. 'Ilmal-yaqin adalah pengetahuan yang didasari oleh keyakinan yang kokoh. Jika keyakinan ini ada, maka "niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim." Ini adalah sebuah kepastian yang akan disaksikan oleh mereka yang lalai. Mereka akan melihatnya dengan 'ainal-yaqin (penglihatan yang sangat pasti) di hari kiamat.
Puncak dari surat ini adalah ayat terakhir: "kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan." Setiap nikmat yang kita terima di dunia, dari segelas air, hembusan napas, kesehatan, hingga harta yang melimpah, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Untuk apa nikmat itu digunakan? Apakah untuk ketaatan atau untuk kemaksiatan? Apakah disyukuri atau diingkari? Membaca surat ini dalam Tarawih menjadi pengingat yang kuat untuk senantiasa bersyukur dan menggunakan nikmat Allah di jalan yang benar.
2. Surat Al-'Asr (Masa)
Meskipun sangat pendek, surat ini mengandung inti sari ajaran Islam. Imam Syafi'i bahkan berkata, "Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah kepada makhluk-Nya selain surat ini, niscaya surat ini telah mencukupi mereka."
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
وَالْعَصْرِۙ (١) اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ (٢) اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ (٣)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Wal-‘aṣr(i). 2. Innal-insāna lafī khusr(in). 3. Illal-lażīna āmanū wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣau bil-ḥaqqi wa tawāṣau biṣ-ṣabr(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Demi masa. 2. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
Kandungan dan Tafsir
Surat Al-'Asr dimulai dengan sumpah Allah, "Demi masa." Allah bersumpah dengan waktu untuk menunjukkan betapa penting dan berharganya waktu itu. Waktu adalah modal utama manusia dalam hidup. Setiap detik yang berlalu tidak akan pernah bisa kembali. Dalam waktu inilah manusia bisa beramal, bertaubat, dan mengumpulkan bekal untuk akhirat. Namun, seringkali manusia justru menyia-nyiakan modal berharga ini.
Ayat kedua memberikan sebuah diagnosis universal: "Sungguh, manusia berada dalam kerugian." Ini adalah kondisi asal (default) setiap manusia. Kerugian di sini bukan hanya kerugian materi, tetapi kerugian yang hakiki, yaitu kerugian di akhirat kelak. Tanpa bimbingan dan rahmat Allah, setiap manusia pasti akan merugi karena waktu yang diberikan hanya dihabiskan untuk hal-hal yang sia-sia atau bahkan maksiat.
Namun, Allah memberikan jalan keluar dari kerugian tersebut pada ayat ketiga. Ada empat syarat yang harus dipenuhi agar manusia terhindar dari kerugian:
- Beriman (Alladzina amanu): Ini adalah fondasi utama. Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qada dan qadar. Iman adalah keyakinan yang tertanam di hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Tanpa iman, amal sebaik apapun tidak akan memiliki nilai di sisi Allah.
- Beramal Shaleh (Wa 'amilus shalihat): Iman harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Amal shaleh mencakup semua perbuatan baik yang sesuai dengan syariat Islam, baik yang berhubungan dengan Allah (ibadah mahdhah seperti shalat dan puasa) maupun yang berhubungan dengan sesama manusia (ibadah ghairu mahdhah seperti sedekah, menolong orang lain, dan berakhlak mulia).
- Saling Menasihati untuk Kebenaran (Wa tawa shaubil haq): Kesalehan tidak boleh bersifat individual. Seorang mukmin memiliki tanggung jawab sosial untuk mengajak orang lain kepada kebenaran (al-haq), yaitu ajaran Islam. Ini adalah esensi dari dakwah. Saling menasihati berarti ada interaksi dua arah, memberi dan menerima nasihat dengan ikhlas demi tegaknya kebenaran.
- Saling Menasihati untuk Kesabaran (Wa tawa shaubis shabr): Jalan kebenaran dan dakwah tidaklah mudah. Ia penuh dengan ujian, tantangan, dan rintangan. Oleh karena itu, dibutuhkan kesabaran. Sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan. Para pejuang kebenaran harus saling menguatkan satu sama lain untuk tetap teguh dan sabar di atas jalan ini.
Merenungkan surat ini dalam shalat Tarawih adalah cara untuk mengevaluasi diri: sudahkah kita memenuhi keempat kriteria ini? Sudahkah waktu yang kita miliki diisi dengan iman, amal shaleh, dakwah, dan kesabaran? Ini adalah peta jalan menuju keselamatan dan keberuntungan sejati.
3. Surat Al-Fil (Gajah)
Surat Al-Fil mengisahkan peristiwa bersejarah tentang upaya penghancuran Ka'bah oleh Abrahah dan pasukan gajahnya, serta bagaimana Allah melindungi Rumah-Nya dengan cara yang ajaib.
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ (١) اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ (٢) وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ (٣) تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ (٤) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ (٥)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Alam tara kaifa fa‘ala rabbuka bi'aṣḥābil-fīl(i). 2. Alam yaj‘al kaidahum fī taḍlīl(in). 3. Wa arsala ‘alaihim ṭairan abābīl(a). 4. Tarmīhim biḥijāratim min sijjīl(in). 5. Faja‘alahum ka‘aṣfim ma'kūl(in).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? 2. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? 3. dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, 4. yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, 5. sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
Kandungan dan Tafsir
Surat ini dibuka dengan pertanyaan retoris kepada Nabi Muhammad SAW, "Tidakkah engkau perhatikan...?" Pertanyaan ini bertujuan untuk menarik perhatian dan menegaskan kebenaran peristiwa yang akan diceritakan. Meskipun Nabi tidak menyaksikan langsung, pengetahuan tentang peristiwa ini begitu populer di kalangan masyarakat Arab sehingga seolah-olah beliau melihatnya sendiri. Peristiwa ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan bagaimana Dia melindungi Ka'bah, simbol tauhid.
Abrahah, gubernur Yaman di bawah kekuasaan Kerajaan Aksum (Ethiopia), membangun sebuah gereja megah di Sana'a yang disebut Al-Qullays. Tujuannya adalah untuk mengalihkan kunjungan ziarah bangsa Arab dari Ka'bah ke gerejanya. Ketika usahanya tidak berhasil, ia marah dan memutuskan untuk menghancurkan Ka'bah dengan membawa pasukan besar yang dipimpin oleh seekor gajah bernama Mahmud. Kekuatan militer mereka begitu dahsyat sehingga tidak ada suku Arab yang mampu melawannya.
Ayat kedua, "Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?" menunjukkan bahwa segala rencana, strategi, dan kekuatan militer Abrahah pada hakikatnya adalah tipu daya yang lemah di hadapan kekuasaan Allah. Allah menggagalkan rencana mereka dengan cara yang tidak terduga.
Pertolongan Allah datang dalam bentuk yang luar biasa: "dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (thairan ababil)." Burung-burung kecil ini datang dalam jumlah yang sangat banyak, masing-masing membawa tiga batu kecil dari tanah liat yang dibakar (sijjil), satu di paruhnya dan dua di kakinya. Batu-batu kecil ini, atas kehendak Allah, memiliki kekuatan penghancur yang dahsyat. Setiap batu yang mengenai pasukan Abrahah langsung menghancurkan tubuh mereka.
Hasilnya digambarkan dengan sangat jelas di ayat terakhir: "sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." Tubuh mereka hancur lebur, berlubang, dan membusuk, layaknya daun yang telah digerogoti ulat. Kekuatan yang mereka banggakan lenyap dalam sekejap oleh tentara Allah yang paling lemah sekalipun. Peristiwa ini menjadi pengingat abadi bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Allah. Surat ini, ketika dibaca dalam Tarawih, menanamkan keyakinan dan rasa tawakal bahwa Allah akan selalu menolong hamba-Nya dan melindungi agama-Nya dari tipu daya musuh.
4. Surat Quraisy (Suku Quraisy)
Surat ini sangat erat kaitannya dengan surat sebelumnya, Al-Fil. Jika Al-Fil menceritakan bagaimana Allah melindungi Ka'bah secara fisik, maka surat Quraisy menjelaskan nikmat keamanan dan kemakmuran yang Allah berikan kepada suku Quraisy sebagai penjaga Ka'bah.
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ (١) اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ (٢) فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ (٣) الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ (٤)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Li'īlāfi quraīsy(in). 2. Īlāfihim riḥlatasy-syitā'i waṣ-ṣaīf(i). 3. Falya‘budū rabba hāżal-baīt(i). 4. Allażī aṭ‘amahum min jū‘iw wa āmanahum min khaūf(in).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, 2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. 3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka'bah), 4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.
Kandungan dan Tafsir
Kata "ilaf" pada ayat pertama berarti kebiasaan, kesepakatan, atau sesuatu yang membuat akrab dan harmonis. Allah menyebutkan nikmat-Nya kepada suku Quraisy dalam bentuk sebuah tradisi yang mapan dan aman, yaitu perjalanan dagang mereka. Karena status mereka sebagai penjaga Ka'bah dan dihormati oleh suku-suku lain (terutama setelah peristiwa pasukan gajah), perjalanan dagang mereka menjadi aman.
Ayat kedua merinci perjalanan ini: "perjalanan pada musim dingin dan musim panas." Pada musim dingin, kafilah dagang Quraisy pergi ke selatan, menuju Yaman. Pada musim panas, mereka pergi ke utara, menuju Syam (Suriah). Perjalanan ini adalah tulang punggung perekonomian mereka. Keamanan dalam perjalanan ini adalah nikmat yang sangat besar, karena pada masa itu perampokan di padang pasir adalah hal yang biasa.
Setelah menyebutkan nikmat-nikmat tersebut, Allah kemudian memerintahkan konsekuensi logis dari penerimaan nikmat itu: "Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka'bah)." Allah mengingatkan mereka bahwa segala kemudahan dan kemuliaan yang mereka dapatkan adalah karena keberadaan Ka'bah. Oleh karena itu, yang paling berhak mereka sembah bukanlah berhala-berhala di sekitar Ka'bah, melainkan Tuhan Pemilik Ka'bah itu sendiri, yaitu Allah SWT.
Ayat terakhir merangkum dua nikmat pokok yang menjadi dambaan setiap manusia: nikmat ekonomi dan nikmat keamanan. "Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar" (nikmat ekonomi) dan "mengamankan mereka dari rasa ketakutan" (nikmat keamanan). Dua nikmat ini adalah fondasi bagi sebuah peradaban yang stabil. Allah-lah sumber dari kedua nikmat tersebut. Surat ini mengajarkan kita untuk selalu menghubungkan setiap nikmat yang kita terima—apakah itu makanan di meja kita, rasa aman di rumah kita, atau kelancaran dalam pekerjaan kita—kepada Sang Pemberi Nikmat, yaitu Allah. Dan wujud syukur tertinggi atas nikmat itu adalah dengan beribadah hanya kepada-Nya.
5. Surat Al-Ma'un (Barang-barang Berguna)
Surat Al-Ma'un memberikan kritik tajam terhadap orang-orang yang shalat tetapi perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai shalat. Surat ini mendefinisikan "pendusta agama" bukan dari aspek ritual semata, tetapi dari aspek kepedulian sosial.
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ (١) فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ (٢) وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ (٣) فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ (٤) الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ (٥) الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ (٦) وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ (٧)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Ara'aital-lażī yukażżibu bid-dīn(i). 2. Fażālikal-lażī yadu‘‘ul-yatīm(a). 3. Wa lā yaḥuḍḍu ‘alā ṭa‘āmil-miskīn(i). 4. Fa wailul lil-muṣallīn(a). 5. Allażīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn(a). 6. Allażīna hum yurā'ūn(a). 7. Wa yamna‘ūnal-mā‘ūn(a).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. 4. Maka celakalah orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, 6. yang berbuat riya, 7. dan enggan (memberikan) bantuan dengan barang-barang yang berguna.
Kandungan dan Tafsir
Surat ini diawali dengan sebuah pertanyaan yang menggugah, "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?" Jawaban yang diberikan oleh Allah mungkin mengejutkan. Pendusta agama bukanlah orang yang secara terang-terangan menolak eksistensi Tuhan, melainkan mereka yang perilakunya bertentangan dengan esensi ajaran agama. Dua ciri pertama pendusta agama adalah mereka yang "menghardik anak yatim" dan "tidak mendorong memberi makan orang miskin."
Menghardik anak yatim berarti berlaku kasar, menolak hak-hak mereka, dan tidak menunjukkan kasih sayang. Ini adalah simbol dari ketiadaan empati dan rahmat dalam hati. Ciri kedua, tidak mendorong memberi makan orang miskin, bahkan lebih dalam maknanya. Bukan hanya tidak memberi makan, tetapi bahkan tidak memiliki kepedulian untuk mengajak atau mendorong orang lain berbuat baik. Ini menunjukkan matinya kepekaan sosial dalam diri seseorang. Agama, menurut Al-Quran, tidak bisa dipisahkan dari kepedulian terhadap kaum lemah.
Selanjutnya, surat ini beralih kepada ancaman, "Maka celakalah orang yang shalat." Ini adalah ayat yang sangat menakutkan. Bagaimana mungkin orang yang shalat justru diancam dengan kecelakaan (wail)? Ayat berikutnya memberikan penjelasan. Celakalah mereka:
- Yang lalai terhadap shalatnya: "Sahun" bisa berarti lalai dari waktu shalat (mengakhir-akhiirkannya tanpa uzur), lalai dari rukun dan syaratnya, atau yang paling utama, lalai dari ruh dan esensi shalat. Shalat mereka hanya gerakan fisik tanpa kehadiran hati. Mereka shalat, tetapi perbuatan shalat itu tidak mencegah mereka dari perbuatan keji dan mungkar.
- Yang berbuat riya: Mereka shalat bukan karena Allah, tetapi untuk dilihat dan dipuji oleh manusia. Ibadah mereka tercemar oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan dari makhluk, sehingga ibadah itu menjadi sia-sia dan justru mendatangkan murka Allah.
- Dan enggan memberikan bantuan (al-ma'un): "Al-Ma'un" adalah barang-barang sepele yang biasa dipinjamkan antar tetangga, seperti garam, timba, atau kapak. Jika untuk memberikan bantuan sekecil ini saja mereka enggan, apalagi bantuan yang lebih besar. Ini adalah puncak dari sifat kikir dan individualisme, yang sangat bertentangan dengan semangat shalat yang seharusnya melahirkan kepedulian sosial.
Membaca Surat Al-Ma'un dalam Tarawih adalah sebuah introspeksi mendalam. Apakah shalat kita sudah benar-benar berdampak pada perilaku sosial kita? Apakah kita sudah peduli pada anak yatim dan fakir miskin? Apakah shalat kita ikhlas karena Allah atau masih terselip riya? Apakah kita termasuk orang yang ringan tangan untuk membantu sesama?
6. Surat Al-Kautsar (Nikmat yang Banyak)
Ini adalah surat terpendek dalam Al-Quran, namun kandungannya sangat padat. Surat ini diturunkan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW ketika beliau diejek oleh kaum kafir Quraisy karena tidak memiliki keturunan laki-laki yang hidup hingga dewasa.
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ (١) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ (٢) اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ ࣖ (٣)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Innā a‘ṭainākal-kauṡar(a). 2. Faṣalli lirabbika wanḥar. 3. Inna syāni'aka huwal-abtar(u).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. 2. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). 3. Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).
Kandungan dan Tafsir
Ayat pertama, "Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak (Al-Kautsar)." Kata "Al-Kautsar" berasal dari akar kata yang sama dengan "takatsur" dan "katsir," yang berarti banyak. Para ulama menafsirkan Al-Kautsar dengan berbagai makna, di antaranya: sebuah telaga di surga yang airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, kebaikan yang sangat banyak di dunia dan akhirat, kenabian, Al-Quran, dan syafaat. Semua tafsiran ini menunjukkan betapa besar anugerah yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW. Anugerah ini jauh lebih agung dan abadi dibandingkan sekadar keturunan laki-laki yang bersifat duniawi dan fana.
Sebagai wujud syukur atas nikmat yang melimpah ini, Allah memerintahkan dua hal pada ayat kedua: "Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah." Shalat adalah bentuk ibadah badan yang paling utama, hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Sedangkan berkurban (an-nahr) adalah ibadah harta yang juga memiliki dimensi sosial, yaitu berbagi daging kurban kepada fakir miskin. Dua ibadah ini diperintahkan untuk dilakukan semata-mata "karena Tuhanmu" (li Rabbika), menunjukkan pentingnya keikhlasan.
Ayat terakhir adalah jawaban telak bagi para pencela Nabi: "Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (al-abtar)." Kata "abtar" secara harfiah berarti terputus, seperti ekor hewan yang terpotong. Mereka menuduh Nabi sebagai "abtar" karena tidak punya keturunan laki-laki yang akan meneruskan namanya. Namun, Allah membalikkan tuduhan itu. Justru para pembenci Nabi-lah yang terputus. Mereka terputus dari rahmat Allah, terputus dari sejarah, nama mereka hilang ditelan zaman atau hanya dikenang dalam keburukan. Sebaliknya, nama Nabi Muhammad SAW terus disebut, dipuji, dan shalawat dilantunkan untuknya oleh miliaran manusia di seluruh dunia hingga akhir zaman. Ajaran dan keturunan maknawi beliau terus berkembang, sementara para pencelanya lenyap tanpa jejak. Surat ini mengajarkan optimisme, pentingnya bersyukur, dan keyakinan bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang.
7. Surat Al-Kafirun (Orang-orang Kafir)
Surat Al-Kafirun adalah surat yang menegaskan prinsip toleransi dalam Islam dengan garis pemisah yang jelas antara akidah tauhid dan kemusyrikan. Surat ini disebut juga sebagai surat Al-Ikhlas kecil karena kemurniannya dalam tauhid ibadah.
Teks Arab, Latin, dan Terjemahan
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ (١) لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ (٢) وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ (٣) وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ (٤) وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ (٥) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ (٦)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Qul yā ayyuhal-kāfirūn(a). 2. Lā a‘budu mā ta‘budūn(a). 3. Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud(u). 4. Wa lā ana ‘ābidum mā ‘abattum. 5. Wa lā antum ‘ābidūna mā a‘bud(u). 6. Lakum dīnukum wa liya dīn(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir! 2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, 3. dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, 4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Kandungan dan Tafsir
Surat ini turun sebagai jawaban atas usulan kompromi dari para pemuka Quraisy. Mereka menawarkan kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau menyembah tuhan-tuhan mereka selama setahun, dan sebagai imbalannya, mereka akan menyembah Tuhannya Nabi (Allah) selama setahun. Mereka berharap bisa menemukan titik tengah. Namun, dalam urusan akidah dan ibadah, tidak ada kompromi. Maka, turunlah surat ini dengan ketegasan yang mutlak.
Ayat kedua, "aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah," adalah penegasan untuk masa sekarang dan masa depan. Nabi Muhammad SAW menyatakan pendiriannya yang kokoh untuk tidak akan pernah menyembah berhala-berhala mereka. Ayat ketiga, "dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah," menyatakan fakta bahwa cara mereka beribadah dan objek yang mereka sembah berbeda secara fundamental dengan apa yang Nabi sembah. Meskipun mereka mungkin mengaku menyembah Allah, mereka menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Ayat keempat dan kelima mengulangi penegasan yang sama dengan struktur kalimat yang sedikit berbeda, untuk menghilangkan segala keraguan dan menutup semua celah untuk kompromi. "Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah," menegaskan konsistensi Nabi sejak dulu. Pengulangan "dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah" memperkuat fakta bahwa selama mereka masih dalam kemusyrikan, mereka tidak bisa dianggap sebagai penyembah Tuhan yang Esa sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi.
Ayat penutup, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku," adalah puncak dari deklarasi ini. Ini bukanlah pernyataan persetujuan terhadap agama mereka, melainkan pernyataan pelepasan diri (bara'ah) dan pengakuan akan adanya perbedaan yang tidak bisa disatukan. Ini adalah prinsip toleransi yang sejati: mengakui keberadaan keyakinan lain tanpa harus mencampuradukkan akidah. Islam menghormati hak orang lain untuk meyakini agamanya, tetapi pada saat yang sama, Islam menuntut pemeluknya untuk memegang teguh kemurnian tauhid. Surat ini mengajarkan pentingnya keteguhan prinsip dalam beragama.
8. Tiga Surat Pelindung (Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas)
Ketiga surat ini sering disebut sebagai Al-Mu'awwidzat (surat-surat perlindungan) dan sangat dianjurkan untuk dibaca secara rutin, termasuk dalam shalat Tarawih, terutama pada rakaat-rakaat shalat Witir. Ketiganya memiliki keutamaan yang besar dalam menjaga diri dari berbagai keburukan.
Surat Al-Ikhlas (Memurnikan Keesaan Allah)
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ (١) اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ (٢) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ (٣) وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ (٤)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Qul huwallāhu aḥad(un). 2. Allāhuṣ-ṣamad(u). 3. Lam yalid wa lam yūlad. 4. Wa lam yakul lahū kufuwan aḥad(un).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. 2. Allah tempat meminta segala sesuatu. 3. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. 4. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”
Kandungan: Surat ini adalah intisari dari tauhid. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa membaca surat Al-Ikhlas setara dengan membaca sepertiga Al-Quran. Ayat pertama menegaskan keesaan Allah yang mutlak (Ahad). Ayat kedua menyatakan bahwa Allah adalah Ash-Shamad, Dzat yang menjadi tumpuan segala makhluk, sementara Dia tidak membutuhkan apapun. Ayat ketiga dan keempat menolak segala bentuk antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), seperti konsep anak atau orang tua bagi Tuhan, dan menegaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menandingi atau menyerupai-Nya. Ini adalah deklarasi kemurnian akidah Islam.
Surat Al-Falaq (Waktu Subuh)
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِۙ (١) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَۙ (٢) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ (٣) وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ (٤) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ ࣖ (٥)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Qul a‘ūżu birabbil-falaq(i). 2. Min syarri mā khalaq(a). 3. Wa min syarri gāsiqin iżā waqab(a). 4. Wa min syarrin-naffāṡāti fil-‘uqad(i). 5. Wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad(a).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), 2. dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, 3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, 4. dan dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya), 5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki.”
Kandungan: Surat ini mengajarkan kita untuk memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai kejahatan yang datang dari luar diri kita. Kita berlindung kepada "Tuhan yang menguasai subuh" karena subuh adalah simbol harapan dan terbebasnya dari kegelapan. Permohonan perlindungan ini mencakup: (1) Kejahatan semua makhluk secara umum. (2) Kejahatan malam yang gelap, karena pada malam hari sering terjadi kejahatan. (3) Kejahatan sihir. (4) Kejahatan orang yang hasad atau dengki, karena dengki adalah sumber dari banyak perbuatan jahat lainnya.
Surat An-Nas (Manusia)
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ (١) مَلِكِ النَّاسِۙ (٢) اِلٰهِ النَّاسِۙ (٣) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ (٤) الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ (٥) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ࣖ (٦)
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
1. Qul a‘ūżu birabbin-nās(i). 2. Malikin-nās(i). 3. Ilāhin-nās(i). 4. Min syarril-waswāsil-khannās(i). 5. Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās(i). 6. Minal jinnati wan-nās(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
1. Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia, 2. Rajanya manusia, 3. Sembahannya manusia, 4. dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi, 5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, 6. dari (golongan) jin dan manusia.”
Kandungan: Jika Al-Falaq fokus pada kejahatan eksternal, maka An-Nas fokus pada kejahatan internal, yaitu bisikan jahat (was-was) yang masuk ke dalam hati. Kita berlindung kepada Allah dengan menyebut tiga sifat-Nya yang agung: Rabb (Tuhan yang memelihara), Malik (Raja yang menguasai), dan Ilah (Sembahan yang haq). Ini untuk menunjukkan bahwa hanya Dia yang Maha Kuasa yang bisa melindungi kita dari musuh yang tak terlihat ini. Bisikan jahat ini datang dari setan (al-khannas, yang bersembunyi ketika nama Allah disebut) baik dari golongan jin maupun manusia yang berperilaku seperti setan, yang senantiasa berusaha menyesatkan manusia dari jalan yang lurus.
Pola dan Urutan Bacaan dalam Tarawih
Tidak ada aturan yang baku mengenai urutan surat yang harus dibaca dalam shalat Tarawih. Fleksibilitas ini adalah bagian dari keindahan syariat Islam. Namun, ada beberapa pola umum yang sering dipraktikkan oleh para imam untuk menjaga keteraturan dan memudahkan jamaah:
- Pola Berurutan Sesuai Mushaf: Ini adalah pola yang paling umum. Imam memulai dari surat Al-Fil pada rakaat pertama setelah salam pertama, kemudian Quraisy pada rakaat kedua. Dilanjutkan dengan Al-Ma'un dan Al-Kautsar pada salam kedua, dan seterusnya hingga surat An-Nas. Pola ini membantu jamaah mengikuti alur dan mudah dihafal.
- Pola Pengulangan Surat Tertentu: Beberapa masjid, terutama untuk shalat yang lebih ringkas (misalnya 11 rakaat termasuk witir), terkadang mengulang-ulang beberapa surat. Misalnya, setelah Al-Fatihah selalu membaca surat Al-Ikhlas, atau kombinasi lainnya. Ini sah-sah saja, terutama jika tujuannya adalah untuk menjaga semangat jamaah yang kemampuannya terbatas.
- Pola Bebas Sesuai Hafalan Imam: Imam juga boleh membaca surat apa saja yang ia hafal dengan baik. Yang terpenting adalah bacaan yang tartil, fasih, dan dapat diresapi maknanya, bukan sekadar urutan.
Intinya, tujuan dari shalat Tarawih adalah untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Pilihlah pola yang paling membantu tercapainya kekhusyukan bagi imam dan makmum.
Kesimpulan: Meraih Kekhusyukan Melalui Pemahaman
Membaca surat-surat pendek dalam shalat Tarawih adalah sebuah pilihan yang bijaksana dan penuh hikmah. Surat-surat ini, meskipun ringkas, memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Dari peringatan akan kelalaian dunia (At-Takatsur), pentingnya waktu dan amal (Al-'Asr), bukti kekuasaan Allah (Al-Fil), hingga pelajaran tentang syukur (Quraisy), kepedulian sosial (Al-Ma'un), dan kemurnian tauhid (Al-Ikhlas), semuanya adalah bekal spiritual yang sangat berharga.
Kunci untuk mendapatkan manfaat maksimal dari bacaan ini adalah dengan tidak hanya melafalkannya, tetapi juga berusaha memahami dan merenungkan maknanya. Ketika kita mengerti apa yang kita baca, shalat tidak lagi terasa sebagai ritual mekanis, melainkan menjadi dialog yang intim dengan Sang Pencipta. Semoga dengan memahami kandungan surat-surat pendek ini, shalat Tarawih kita di bulan Ramadhan menjadi lebih berkualitas, lebih khusyuk, dan mampu mengubah diri kita menjadi pribadi yang lebih baik.