Surat At-Tariq: Makna Mendalam di Balik Bintang Penembus Kegelapan
Surat At-Tariq adalah surat ke-86 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 17 ayat dan tergolong sebagai surat Makkiyah. Namanya, "At-Tariq", diambil dari ayat pertama yang berarti "Yang datang pada malam hari". Surat ini membawa pesan-pesan fundamental dalam akidah Islam, terutama mengenai kekuasaan Allah SWT dalam penciptaan, kepastian hari kebangkitan, dan kebenaran mutlak Al-Qur'an sebagai pemisah antara yang hak dan yang batil. Melalui sumpah-sumpah agung dan perenungan mendalam, surat ini mengajak manusia untuk menyadari hakikat eksistensinya dan tujuannya di dunia.
Surat ini turun pada periode awal dakwah di Makkah, di mana penolakan terhadap konsep kebangkitan setelah mati sangat kuat di kalangan kaum kafir Quraisy. Mereka meragukan bagaimana tubuh yang telah hancur lebur menjadi tulang belulang bisa dihidupkan kembali. Allah SWT menjawab keraguan ini dengan argumen yang sangat logis dan kuat: Dia yang mampu menciptakan manusia dari ketiadaan, tentu lebih mudah bagi-Nya untuk mengembalikannya seperti semula. Surat At-Tariq, dengan gayanya yang puitis dan tegas, menancapkan keyakinan ini ke dalam hati orang-orang yang beriman dan menjadi hujjah yang tak terbantahkan bagi mereka yang ragu.
Bacaan Surat At-Tariq Latin, Arab, dan Terjemahannya
Berikut adalah bacaan lengkap dari Surat At-Tariq ayat 1 hingga 17, disajikan dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk kemudahan pelafalan, serta terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk memahami maknanya secara langsung.
Ayat 1-4: Sumpah Agung dan Penjagaan Atas Setiap Jiwa
Surat ini dibuka dengan sumpah yang megah, menarik perhatian pendengar pada fenomena alam semesta yang luar biasa sebagai bukti kekuasaan Sang Pencipta. Allah bersumpah demi langit dan "At-Tariq" untuk menegaskan sebuah kebenaran fundamental: setiap jiwa berada di bawah pengawasan dan penjagaan.
وَالسَّمَاۤءِ وَالطَّارِقِۙ
was-samā'i waṭ-ṭāriq(i).
1. Demi langit dan yang datang pada malam hari.
Tafsir Ayat 1: Allah SWT memulai dengan sumpah, sebuah gaya bahasa dalam Al-Qur'an untuk menekankan pentingnya pesan yang akan disampaikan. Sumpah pertama adalah "demi langit" (was-samā'). Langit, dengan segala kemegahan, keluasan, dan misterinya, adalah tanda nyata kebesaran Allah. Langit menjadi atap yang melindungi bumi, tempat beredarnya benda-benda angkasa, dan sumber turunnya hujan yang memberi kehidupan. Kemudian, sumpah dilanjutkan dengan "dan yang datang pada malam hari" (waṭ-ṭāriq). Kata "Ṭāriq" berasal dari akar kata "ṭaraqa" yang berarti mengetuk atau datang di malam hari. Pada zaman dahulu, musafir yang datang di malam hari harus mengetuk pintu untuk dibukakan, sehingga istilah ini melekat pada siapa pun atau apa pun yang muncul saat gelap.
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الطَّارِقُۙ
wa mā adrāka maṭ-ṭāriq(u).
2. Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
Tafsir Ayat 2: Ayat ini berbentuk pertanyaan retoris yang bertujuan untuk memancing rasa penasaran dan mengagungkan objek yang disebut. "Wa mā adrāka" (Dan tahukah kamu) adalah ungkapan yang digunakan dalam Al-Qur'an untuk menunjukkan betapa penting dan luar biasanya sesuatu yang akan dijelaskan. Seolah-olah Allah berkata, "Pikirkanlah baik-baik, apa gerangan 'At-Tariq' yang Aku jadikan sumpah ini?" Pertanyaan ini mempersiapkan pikiran untuk menerima jawaban yang menakjubkan di ayat berikutnya.
النَّجْمُ الثَّاقِبُۙ
an-najmuṡ-ṡāqib(u).
3. (yaitu) bintang yang cahayanya menembus.
Tafsir Ayat 3: Jawaban pun datang. "At-Tariq" adalah "an-najmuṡ-ṡāqib", bintang yang cahayanya menembus. Kata "ṡāqib" berasal dari akar kata "ṡaqaba" yang berarti melubangi atau menembus. Ini memberikan gambaran visual yang sangat kuat: sebuah bintang yang sinarnya begitu terang dan tajam sehingga mampu menembus pekatnya kegelapan malam. Para mufasir berpendapat ini bisa merujuk pada bintang tertentu yang sangat terang seperti Venus atau Saturnus, atau bisa juga merujuk pada semua bintang yang berkelip di malam hari. Cahaya bintang yang menembus kegelapan menjadi simbol bahwa tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari penglihatan dan pengawasan Allah, bahkan dalam kegelapan yang paling pekat sekalipun.
اِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌۗ
in kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfiẓ(un).
4. Setiap orang pasti ada penjaganya.
Tafsir Ayat 4: Inilah inti dari sumpah pada tiga ayat pertama. "In kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfiẓ" (Setiap jiwa pasti ada penjaganya). Setelah bersumpah dengan ciptaan-Nya yang agung, Allah menegaskan bahwa setiap individu, setiap jiwa (nafs), tidak pernah dibiarkan begitu saja. Selalu ada "ḥāfiẓ" atau penjaga. Para ulama menafsirkan "penjaga" ini dalam beberapa makna. Pertama, malaikat pencatat amal (Raqib dan Atid) yang senantiasa mengawasi dan mencatat setiap perkataan dan perbuatan. Kedua, malaikat pelindung yang menjaga manusia dari berbagai marabahaya atas izin Allah. Ketiga, pengawasan Allah SWT sendiri yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, tidak ada satu pun yang luput dari-Nya. Seperti cahaya bintang yang menembus kegelapan, pengawasan Allah menembus segala tirai dan kerahasiaan.
Ayat 5-8: Asal Usul Manusia sebagai Bukti Kebangkitan
Setelah menegaskan adanya pengawasan ilahi, Al-Qur'an mengalihkan fokus pada diri manusia sendiri. Manusia diajak untuk merenungkan asal-usul penciptaannya yang menakjubkan sebagai argumen logis atas keniscayaan hari kebangkitan.
فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ
falyanẓuril-insānu mimma khuliq(a).
5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan.
Tafsir Ayat 5: Ini adalah sebuah perintah untuk introspeksi dan refleksi. "Falyanẓuril-insān" (Maka hendaklah manusia memperhatikan). Kata "yanẓur" tidak sekadar berarti melihat, tetapi memperhatikan, merenungkan, dan memikirkan secara mendalam. Objek perenungan adalah "mimma khuliq" (dari apa dia diciptakan). Allah mengajak manusia yang sombong dan ragu akan hari kebangkitan untuk kembali melihat asal-usulnya yang sederhana dan hina, agar ia menyadari betapa besar kuasa Allah yang telah menjadikannya makhluk yang sempurna.
خُلِقَ مِنْ مَّاۤءٍ دَافِقٍۙ
khuliqa mim mā'in dāfiq(in).
6. Dia diciptakan dari air yang terpancar.
Tafsir Ayat 6: Ayat ini menjawab pertanyaan sebelumnya. Manusia diciptakan "mim mā'in dāfiq", dari air yang terpancar atau memancar. Istilah ini merujuk pada air mani (sperma) yang keluar dengan memancar saat ejakulasi. Ini adalah sebuah pengingat bahwa manusia, dengan segala kecerdasan, kekuatan, dan kesombongannya, berasal dari cairan yang dianggap tidak berharga. Penggunaan kata "dāfiq" (memancar) juga menunjukkan adanya energi dan kehidupan dalam proses awal penciptaan ini, sebuah keajaiban yang diatur oleh Allah.
يَّخْرُجُ مِنْۢ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَاۤىِٕبِۗ
yakhruju mim bainiṣ-ṣulbi wat-tarā'ib(i).
7. yang keluar dari antara tulang sulbi (punggung) dan tulang dada.
Tafsir Ayat 7: Ayat ini memberikan detail lebih lanjut mengenai asal-usul air mani tersebut. Ia keluar "mim bainiṣ-ṣulbi wat-tarā'ib", dari antara tulang sulbi dan tulang dada. "Aṣ-ṣulb" secara harfiah berarti tulang punggung atau tulang belakang, yang identik dengan bagian pria. Sedangkan "at-tarā'ib" merujuk pada tulang-tulang dada atau rusuk, yang sering diidentikkan dengan bagian wanita (tempat sel telur berkembang di ovarium yang berada di area tersebut). Para mufasir klasik menafsirkannya sebagai pertemuan antara cairan dari pria (yang berasal dari tulang punggungnya) dan wanita (yang berasal dari area dadanya). Ilmu pengetahuan modern menjelaskan bahwa organ reproduksi pria dan wanita mendapatkan suplai saraf dan pembuluh darah dari area yang berada di antara tulang punggung dan tulang dada. Embriologi juga menunjukkan bahwa gonad (testis dan ovarium) pada awalnya berkembang di dekat ginjal (area punggung) sebelum turun ke posisinya masing-masing. Terlepas dari interpretasi spesifiknya, ayat ini secara ajaib menunjuk pada area inti tubuh sebagai sumber kehidupan, menegaskan bahwa proses ini berada di bawah kendali penuh Allah SWT.
اِنَّهٗ عَلٰى رَجْعِهٖ لَقَادِرٌۗ
innahū ‘alā raj‘ihī laqādir(un).
8. Sungguh, Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup setelah mati).
Tafsir Ayat 8: Inilah kesimpulan dari argumen penciptaan. "Innahū ‘alā raj‘ihī laqādir" (Sungguh, Dia berkuasa untuk mengembalikannya). Kata "raj'ihi" berarti mengembalikannya. Jika Allah SWT mampu menciptakan manusia dari setetes air yang hina, sebuah proses yang luar biasa rumit dan ajaib, maka tentu saja Dia Maha Kuasa untuk "mengembalikannya" atau membangkitkannya kembali setelah ia menjadi tanah. Logikanya sangat sederhana: menciptakan dari ketiadaan jauh lebih sulit daripada mengumpulkan kembali apa yang sudah pernah ada. Ayat ini adalah jawaban telak bagi mereka yang mengingkari hari kebangkitan.
Ayat 9-10: Hari Ketika Semua Rahasia Terbongkar
Setelah menetapkan kepastian kebangkitan, surat ini menggambarkan suasana hari tersebut. Ini adalah hari perhitungan di mana tidak ada lagi yang bisa disembunyikan dan tidak ada penolong selain Allah.
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَاۤىِٕرُۙ
yauma tublas-sarā'ir(u).
9. Pada hari ditampakkan segala rahasia.
Tafsir Ayat 9: Ayat ini melukiskan gambaran yang sangat mengerikan sekaligus adil tentang Hari Kiamat. "Yauma tublas-sarā'ir" (Pada hari ketika rahasia-rahasia diuji/ditampakkan). Kata "tublā" berarti diuji, diungkap, dan dibuka. "As-sarā'ir" adalah bentuk jamak dari "sarīrah", yang berarti segala sesuatu yang disembunyikan di dalam hati: niat, keyakinan, kemunafikan, kedengkian, atau keikhlasan. Di dunia, manusia bisa menyembunyikan isi hatinya. Ia bisa tampil sebagai orang baik padahal hatinya busuk, atau sebaliknya. Namun di akhirat, semua topeng akan terbuka. Isi hati akan menjadi penentu utama dari nilai amal perbuatan. Amal yang tampak hebat bisa jadi tidak bernilai karena niat yang salah, dan amal kecil bisa menjadi besar karena keikhlasan yang tersembunyi. Hari itu adalah hari transparansi total di hadapan Allah.
فَمَا لَهٗ مِنْ قُوَّةٍ وَّلَا نَاصِرٍۗ
fa mā lahū min quwwatiw wa lā nāṣir(in).
10. Maka tidak ada baginya (manusia) suatu kekuatan pun dan tidak (pula) ada seorang penolong.
Tafsir Ayat 10: Ketika semua rahasia terbongkar, konsekuensinya adalah manusia akan berdiri sendiri dengan amalnya. "Fa mā lahū min quwwatin wa lā nāṣir" (Maka tidak ada baginya kekuatan dan tidak pula penolong). Di dunia, seseorang bisa mengandalkan kekuatan fisiknya, hartanya, jabatannya, keluarga, atau teman-temannya untuk membela diri. Namun di hari itu, semua kekuatan duniawi tersebut lenyap tak berbekas. Tidak ada kekuatan internal ("quwwah") dari dalam dirinya, dan tidak ada penolong eksternal ("nāṣir") yang bisa membelanya dari pengadilan Allah. Setiap orang akan sibuk dengan urusannya sendiri, bertanggung jawab penuh atas apa yang telah ia rahasiakan dan ia kerjakan. Ayat ini menanamkan rasa rendah diri dan kesadaran bahwa satu-satunya tempat bergantung hanyalah Allah.
Ayat 11-14: Al-Qur'an sebagai Pembeda yang Hakiki
Setelah membahas penciptaan manusia dan hari kiamat, Allah kembali bersumpah dengan fenomena alam untuk menegaskan kebenaran dan sifat Al-Qur'an.
وَالسَّمَاۤءِ ذَاتِ الرَّجْعِۙ
was-samā'i żātir-raj‘(i).
11. Demi langit yang mengandung hujan.
Tafsir Ayat 11: Sumpah kedua dalam surat ini. "Was-samā'i żātir-raj‘". Secara harfiah, "żātir-raj‘" berarti "yang memiliki kembalinya". Para mufasir menafsirkannya sebagai langit yang "mengembalikan" hujan ke bumi secara berulang-ulang dalam siklus hidrologi. Air dari bumi menguap, naik ke langit, menjadi awan, lalu kembali lagi ke bumi sebagai hujan. Selain itu, beberapa penafsir modern melihatnya sebagai isyarat ilmiah lain, seperti kemampuan atmosfer untuk "mengembalikan" (memantulkan) gelombang radio kembali ke bumi, atau perannya dalam melindungi bumi dengan "mengembalikan" radiasi berbahaya ke luar angkasa. Sifat "kembali" ini melambangkan keteraturan, siklus, dan manfaat yang berkelanjutan.
وَالْاَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِۙ
wal-arḍi żātiṣ-ṣad‘(i).
12. dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan.
Tafsir Ayat 12: Sumpah ini berpasangan dengan sumpah sebelumnya. "Wal-arḍi żātiṣ-ṣad‘". Secara harfiah, "żātiṣ-ṣad‘" berarti "yang memiliki retakan" atau "yang terbelah". Ini adalah gambaran yang sangat akurat tentang bagaimana bumi "terbelah" atau "retak" ketika tunas-tunas tanaman menembusnya untuk tumbuh ke atas. Hujan yang "kembali" dari langit (ayat 11) jatuh ke bumi, lalu bumi "terbelah" (ayat 12) untuk menumbuhkan kehidupan. Ini adalah sebuah siklus kehidupan yang luar biasa. Langit dan bumi bekerja sama atas perintah Allah untuk menopang kehidupan. Keterbelahan bumi ini adalah simbol kelahiran dan munculnya sesuatu yang baru dari dalam.
اِنَّهٗ لَقَوْلٌ فَصْلٌۙ
innahū laqaulun faṣl(un).
13. Sungguh, (Al-Qur'an) itu benar-benar firman pemisah (antara yang hak dan yang batil).
Tafsir Ayat 13: Inilah inti dari sumpah pada ayat 11 dan 12. "Innahū laqaulun faṣl". Sesungguhnya ia (Al-Qur'an) adalah perkataan yang "faṣl". Kata "faṣl" berarti pemisah, pembeda, atau keputusan yang tegas. Sebagaimana hujan yang turun memisahkan antara musim kering dan musim subur, dan sebagaimana bumi yang terbelah memisahkan antara benih yang mati di dalam tanah dan tanaman yang hidup di atasnya, Al-Qur'an adalah firman yang memisahkan dengan jelas antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-bāṭil), antara petunjuk dan kesesatan, antara iman dan kekafiran. Ajarannya tegas, jelas, dan tidak mengandung keraguan.
وَّمَا هُوَ بِالْهَزْلِۗ
wa mā huwa bil-hazl(i).
14. dan (Al-Qur'an) itu bukanlah senda gurau.
Tafsir Ayat 14: Ayat ini menegaskan sifat Al-Qur'an yang berlawanan dengan "faṣl". "Wa mā huwa bil-hazl", dan ia bukanlah "hazl". "Hazl" berarti senda gurau, permainan, atau sesuatu yang tidak serius. Al-Qur'an adalah firman yang sangat serius. Setiap ayatnya mengandung hikmah, hukum, dan petunjuk yang menyangkut nasib manusia di dunia dan akhirat. Menanggapinya dengan main-main atau mengabaikannya adalah sebuah kebodohan yang akan berakibat fatal. Penegasan ini ditujukan kepada kaum kafir yang menuduh Nabi Muhammad SAW membawa dongeng atau syair belaka.
Ayat 15-17: Rencana Allah Melawan Tipu Daya Manusia
Bagian penutup surat ini memberikan ketenangan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin, sekaligus menjadi ancaman bagi orang-orang kafir. Allah menegaskan bahwa tipu daya mereka tidak akan pernah berhasil mengalahkan rencana-Nya.
اِنَّهُمْ يَكِيْدُوْنَ كَيْدًاۙ
innahum yakīdūna kaidā(n).
15. Sungguh, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat.
Tafsir Ayat 15: Allah memberitahu Nabi-Nya tentang apa yang dilakukan oleh para penentangnya. "Innahum yakīdūna kaidā". Sesungguhnya mereka sedang merencanakan tipu daya. "Kaid" adalah sebuah rencana rahasia yang bertujuan untuk mencelakakan pihak lain. Orang-orang kafir Quraisy menyusun berbagai macam plot untuk menghentikan dakwah Nabi: mereka menyebarkan fitnah, melakukan intimidasi, menawarkan harta dan tahta, hingga merencanakan pembunuhan. Mereka berpikir rencana mereka sangat cerdik dan akan berhasil.
وَّاَكِيْدُ كَيْدًاۖ
wa akīdu kaidā(n).
16. Dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu.
Tafsir Ayat 16: Ini adalah jawaban Allah yang menunjukkan kemahakuasaan-Nya. "Wa akīdu kaidā". Dan Aku pun merencanakan (membalas) tipu daya. Ketika kata "kaid" disandarkan kepada Allah, maknanya adalah balasan yang setimpal atas tipu daya makhluk-Nya. Rencana Allah adalah menggagalkan semua rencana jahat mereka dan memenangkan kebenaran. Rencana Allah jauh lebih unggul, lebih kuat, dan tidak terlihat. Mereka berencana memadamkan cahaya Allah, namun Allah berencana menyempurnakannya. Mereka berencana mengusir Nabi dari Makkah, namun rencana Allah justru membuat Islam tersebar dari Madinah dan kembali menaklukkan Makkah. Rencana Allah selalu merupakan yang terbaik dan pasti terlaksana.
فَمَهِّلِ الْكٰفِرِيْنَ اَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا ࣖ
fa mahhilil-kāfirīna amhilhum ruwaidā(n).
17. Karena itu, berilah penangguhan kepada orang-orang kafir itu. Berilah mereka kesempatan untuk sementara waktu.
Tafsir Ayat 17: Ayat terakhir ini berisi perintah kepada Nabi Muhammad SAW. "Fa mahhilil-kāfirīn, amhilhum ruwaidā". Maka berilah tangguh orang-orang kafir itu, berilah mereka penangguhan sebentar. Kata "mahhil" dan "amhil" keduanya berarti memberi tangguh atau menunda. Pengulangan ini menekankan agar Nabi bersabar dan tidak tergesa-gesa meminta azab bagi mereka. Kata "ruwaidā" berarti sebentar, perlahan-lahan. Ini mengandung makna bahwa waktu di dunia ini, seberapa pun panjangnya, hanyalah sebentar di hadapan keabadian akhirat. Penangguhan ini memiliki beberapa hikmah: memberi kesempatan bagi sebagian dari mereka atau keturunan mereka untuk mendapatkan hidayah, dan agar dosa-dosa mereka yang tetap ingkar semakin menumpuk sehingga azab yang mereka terima kelak menjadi setimpal dengan perbuatan mereka. Ini adalah pesan penutup yang menenangkan hati Rasulullah SAW, bahwa kemenangan pasti akan datang pada waktu yang telah ditetapkan Allah.
Kesimpulan dan Pelajaran dari Surat At-Tariq
Surat At-Tariq, meskipun singkat, sarat dengan pelajaran berharga yang memperkuat fondasi keimanan seorang Muslim. Beberapa intisari penting yang dapat kita petik adalah:
- Kesadaran akan Pengawasan Allah: Sumpah demi bintang yang menembus kegelapan mengingatkan kita bahwa setiap jiwa selalu berada dalam pengawasan Allah dan para malaikat-Nya. Tidak ada satu pun perbuatan, perkataan, atau niat yang tersembunyi. Kesadaran ini (muraqabah) seharusnya mendorong kita untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi kemaksiatan.
- Bukti Kebangkitan dalam Diri Sendiri: Dengan merenungkan asal-usul kita dari setetes air yang hina, kita mendapatkan bukti yang tak terbantahkan akan kekuasaan Allah untuk membangkitkan kita kembali. Ini menghilangkan keraguan akan hari akhir dan memotivasi kita untuk mempersiapkan bekal terbaik.
- Keadilan Mutlak di Hari Kiamat: Gambaran tentang hari di mana semua rahasia dibongkar dan tidak ada penolong selain Allah menanamkan rasa takut yang sehat dan harapan akan keadilan-Nya. Ini mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan hati dan niat, karena itulah yang akan dinilai di akhirat.
- Al-Qur'an sebagai Pedoman Hidup: Surat ini menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah firman pemisah yang tegas dan serius, bukan main-main. Ia adalah sumber kebenaran absolut yang harus kita jadikan pedoman dalam setiap aspek kehidupan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
- Keyakinan akan Pertolongan Allah: Di tengah berbagai tantangan dan tipu daya musuh-musuh Islam, surat ini memberikan keyakinan bahwa rencana Allah pasti lebih unggul. Tugas kita adalah bersabar, tetap teguh di jalan dakwah, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.
Dengan menghayati makna Surat At-Tariq, seorang mukmin akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tawadhu, lebih waspada terhadap amalnya, lebih yakin akan hari kebangkitan, dan lebih teguh berpegang pada Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup, sambil bersabar menghadapi segala rintangan dengan keyakinan penuh akan pertolongan Allah SWT.