Surat Asy-Syams, surat ke-91 dalam Al-Qur'an, merupakan salah satu surat Makkiyah yang paling puitis dan mendalam. Namanya, yang berarti "Matahari", diambil dari ayat pertamanya. Meskipun pendek, surat ini mengandung pesan universal yang luar biasa tentang dualisme jiwa manusia: potensinya untuk mencapai kesucian tertinggi dan risikonya untuk jatuh ke dalam kehinaan terendah. Melalui serangkaian sumpah yang agung atas ciptaan-Nya, Allah SWT mengajak kita untuk merenungkan kebesaran alam semesta sebagai cerminan dari kompleksitas dan pentingnya dunia batin kita sendiri.
Fokus utama dari pembahasan ini adalah pada surat asy syams latin 1 10, yang merangkum keseluruhan pesan sentral surat ini. Sepuluh ayat pertama ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: tujuh sumpah kosmik yang menakjubkan (ayat 1-7) dan pernyataan klimaks mengenai kondisi jiwa manusia beserta konsekuensinya (ayat 8-10). Setiap sumpah membawa kita pada sebuah perenungan, membangun momentum untuk sebuah kesimpulan yang tak terhindarkan: bahwa keberuntungan sejati terletak pada penyucian jiwa.
Bacaan Lengkap Surat Asy-Syams Ayat 1-10: Arab, Latin, dan Terjemahan
Untuk memulai pendalaman kita, mari kita simak terlebih dahulu bacaan surat Asy-Syams ayat 1 sampai 10 secara lengkap, meliputi tulisan Arab, transliterasi Latin untuk membantu pelafalan, serta terjemahan dalam bahasa Indonesia agar maknanya dapat langsung kita resapi.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Ayat 1: Sumpah Demi Matahari
وَالشَّمْسِ وَضُحٰىهَاۖ
Wasy-syamsi wa ḍuḥāhā.
Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,
Allah SWT memulai surat ini dengan sumpah (qasam) menggunakan kata "wa", yang menegaskan pentingnya objek yang disebut setelahnya. Objek pertama adalah "Asy-Syams", sang matahari. Matahari adalah sumber cahaya dan kehidupan di planet kita. Ia adalah tanda kekuasaan Allah yang paling nyata dan dapat disaksikan setiap hari. Sumpah ini bukan hanya tentang benda langit itu sendiri, tetapi juga tentang "ḍuḥāhā", yaitu cahayanya di waktu dhuha. Waktu dhuha adalah saat matahari mulai naik, sinarnya terang benderang namun tidak menyengat, memberikan kehangatan dan kejelasan. Cahaya dhuha melambangkan kejelasan, petunjuk, dan awal yang baru. Sebagaimana cahaya matahari menyingkap kegelapan malam dan memperlihatkan segala sesuatu dengan jelas, petunjuk Allah menyingkap kegelapan kebodohan dan kesesatan dalam jiwa manusia. Sumpah ini seolah-olah mengatakan, "Saksikanlah kejelasan dan kekuatan cahaya ini, karena Aku akan berbicara tentang cahaya dan kegelapan di dalam dirimu."
Ayat 2: Sumpah Demi Bulan
وَالْقَمَرِ اِذَا تَلٰىهَاۖ
Wal-qamari iżā talāhā.
demi bulan apabila mengiringinya,
Setelah matahari, Allah bersumpah demi bulan, "al-qamar". Hubungan antara matahari dan bulan sangat erat. Bulan tidak memiliki cahayanya sendiri; ia hanya memantulkan cahaya matahari. Frasa "iżā talāhā" berarti "apabila ia mengiringinya". Ini bisa diartikan dalam beberapa cara. Pertama, bulan muncul setelah matahari terbenam, seolah-olah menggantikan tugasnya menerangi bumi. Kedua, bulan secara harfiah "mengikuti" atau bergerak dalam orbit yang dipengaruhi oleh sistem tata surya yang berpusat pada matahari. Secara simbolis, jika matahari adalah representasi wahyu atau petunjuk utama yang terang benderang, maka bulan adalah representasi dari para nabi, ulama, atau akal sehat yang mengambil cahaya dari wahyu tersebut dan menyebarkannya di tengah kegelapan. Ia adalah pengikut yang setia, yang cahayanya menjadi pemandu saat sumber cahaya utama tidak terlihat. Pasangan sumpah ini menunjukkan harmoni dan keteraturan alam semesta yang sempurna.
Ayat 3: Sumpah Demi Siang
وَالنَّهَارِ اِذَا جَلّٰىهَاۖ
Wan-nahāri iżā jallāhā.
demi siang apabila menampakkannya,
Sumpah ketiga adalah demi siang, "an-nahār", ketika ia "jallāhā" (menampakkannya). Kata ganti "-hā" di sini merujuk kembali kepada matahari, atau bisa juga merujuk kepada bumi. Artinya, demi siang hari ketika ia dengan jelas menampakkan matahari di langit, atau ketika ia menampakkan permukaan bumi dengan segala isinya. Siang adalah waktu aktivitas, kerja, dan kejelasan. Semua menjadi terlihat, terungkap, dan nyata. Ini adalah metafora untuk kebenaran. Kebenaran, seperti siang hari, membuat segalanya menjadi jelas dan tidak ada yang tersembunyi. Dalam konteks jiwa, siang melambangkan kondisi hati yang terang oleh iman dan ilmu, di mana kebaikan dan keburukan dapat dibedakan dengan jelas, memungkinkan seseorang untuk beramal dan berkarya di jalan yang benar.
Ayat 4: Sumpah Demi Malam
وَالَّيْلِ اِذَا يَغْشٰىهَاۖ
Wal-laili iżā yagsyāhā.
demi malam apabila menutupinya,
Sebagai pasangan dari siang, Allah bersumpah demi malam, "al-layl", ketika ia "yagsyāhā" (menutupinya). Malam dengan kegelapannya menyelimuti bumi, menyembunyikan segala sesuatu yang tadinya tampak jelas di siang hari. Malam adalah waktu istirahat, ketenangan, tetapi juga misteri dan kerahasiaan. Jika siang adalah metafora untuk kejelasan dan kebenaran, maka malam adalah metafora untuk kesesatan, kebodohan, atau perbuatan dosa yang seringkali dilakukan secara sembunyi-sembunyi di dalam kegelapan. Kontras antara siang yang menampakkan dan malam yang menutupi ini menggarisbawahi dualisme yang akan menjadi tema utama surat ini: dualisme antara kejelasan petunjuk dan kegelapan hawa nafsu.
Ayat 5: Sumpah Demi Langit
وَالسَّمَاۤءِ وَمَا بَنٰىهَاۖ
Was-samā'i wa mā banāhā.
demi langit serta pembinaannya,
Sumpah beralih dari fenomena waktu ke struktur kosmik. Allah bersumpah "was-samā'", demi langit. Langit adalah simbol keagungan, ketinggian, dan kekuasaan yang tak terbatas. Namun, sumpah ini diperluas dengan frasa "wa mā banāhā", yang dapat diartikan "dan apa yang membangunnya" atau "dan Dia yang membangunnya". Kedua interpretasi menunjuk pada kehebatan penciptaan. Jika "mā" diartikan sebagai "apa", maka Allah bersumpah demi kekuatan atau mekanisme luar biasa yang membangun struktur langit yang kokoh tanpa tiang. Jika "mā" diartikan sebagai "Dia yang" (sebagai bentuk pengagungan), maka Allah bersumpah demi Dzat-Nya sendiri sebagai Sang Arsitek Agung. Sumpah ini mengajak kita untuk mengagumi kesempurnaan dan kekuatan di balik penciptaan langit, sebagai persiapan untuk memahami kesempurnaan penciptaan jiwa.
Ayat 6: Sumpah Demi Bumi
وَالْاَرْضِ وَمَا طَحٰىهَاۖ
Wal-arḍi wa mā ṭaḥāhā.
demi bumi serta penghamparannya,
Sebagai pasangan langit, Allah bersumpah "wal-arḍ", demi bumi. Bumi adalah tempat kita berpijak, tempat kita hidup dan mencari rezeki. Frasa "wa mā ṭaḥāhā" berarti "dan apa yang menghamparkannya" atau "dan Dia yang menghamparkannya". Kata "ṭaḥā" memberikan gambaran tentang sesuatu yang dihamparkan luas agar nyaman untuk dihuni. Meskipun bumi berbentuk bulat, bagi kita yang hidup di atasnya, ia terasa terhampar luas. Ini adalah rahmat Allah yang luar biasa. Penciptaan bumi yang stabil, subur, dan terhampar luas adalah bukti kasih sayang dan kekuasaan-Nya. Langit yang dibangun kokoh di atas dan bumi yang dihamparkan nyaman di bawah menciptakan sebuah ruang kehidupan yang sempurna, sebuah panggung bagi drama besar yang akan terjadi di dalam jiwa manusia.
Puncak Sumpah dan Pernyataan Inti
Setelah enam sumpah atas ciptaan-ciptaan makrokosmos yang agung, Allah membawa fokus kita kepada ciptaan mikrokosmos yang paling kompleks dan penting: jiwa manusia. Ini adalah klimaks dari rangkaian sumpah tersebut.
Ayat 7: Sumpah Demi Jiwa dan Kesempurnaannya
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ
Wa nafsiw wa mā sawwāhā.
demi jiwa serta penyempurnaannya,
Inilah sumpah ketujuh dan yang paling krusial: "wa nafsin", demi jiwa. Kata "nafs" mencakup seluruh esensi manusia—pikiran, perasaan, kehendak, dan spiritualitasnya. Ini adalah inti dari keberadaan kita. Kemudian diikuti dengan "wa mā sawwāhā", "dan Dia yang telah menyempurnakannya". Kata "sawwāhā" berasal dari akar kata yang berarti membentuk sesuatu dengan proporsi yang sempurna, seimbang, dan harmonis. Allah menyatakan bahwa Dia telah menciptakan jiwa manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Jiwa ini dibekali dengan berbagai potensi: potensi untuk berpikir (akal), potensi untuk merasa (hati), dan potensi untuk memilih (kehendak bebas). Kesempurnaan ini bukan berarti jiwa tidak bisa salah, tetapi ia diciptakan dengan semua perangkat yang dibutuhkan untuk mengenali kebenaran dan memilih jalan yang lurus. Ini adalah sebuah pengakuan atas kemuliaan penciptaan manusia.
Ayat 8: Ilham Kefasikan dan Ketakwaan
فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ
Fa alhamahā fujūrahā wa taqwāhā.
maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
Ayat ini adalah kelanjutan langsung dari penyempurnaan jiwa. Setelah diciptakan dengan sempurna, Allah "alhamahā", mengilhamkan padanya dua jalan: "fujūrahā" (jalan kejahatannya/kefasikannya) dan "taqwāhā" (jalan ketakwaannya). Kata "ilham" berarti Allah menanamkan dalam fitrah manusia sebuah kesadaran atau kemampuan bawaan untuk mengenali apa itu baik dan apa itu buruk. Ini bukan berarti Allah memaksa manusia berbuat jahat atau baik, melainkan membekalinya dengan pengetahuan tentang kedua potensi tersebut. "Fujūr" berarti merobek tabir kesopanan, melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Allah. Sementara "taqwā" berarti menjaga diri, melindungi diri dari murka Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jiwa manusia adalah arena pertarungan antara dua kecenderungan ini. Kita memiliki potensi untuk menjadi seperti malaikat dalam ketakwaannya, dan juga potensi untuk jatuh lebih rendah dari binatang dalam kefasikannya.
Konsekuensi Pilihan: Keberuntungan dan Kerugian Abadi
Setelah Allah bersumpah dengan tujuh hal agung dan menyatakan tentang penciptaan jiwa yang sempurna beserta dua potensinya, kini tibalah jawaban dari semua sumpah tersebut. Jawaban ini adalah sebuah penegasan tentang hasil akhir dari pilihan yang diambil oleh setiap jiwa.
Ayat 9: Keberuntungan Bagi yang Menyucikan Jiwa
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ
Qad aflaḥa man zakkāhā.
sungguh beruntung orang yang menyucikannya,
Inilah inti pesan dari Surat Asy-Syams. "Qad aflaḥa", sungguh telah beruntung, telah sukses, telah jaya. Siapa? "Man zakkāhā", yaitu orang yang menyucikannya (jiwanya). Kata "zakkā" (tazkiyah) memiliki makna ganda: membersihkan dan menumbuhkan. Jadi, menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs) berarti membersihkannya dari kotoran-kotoran syirik, kemunafikan, kesombongan, iri hati, dan segala penyakit batin lainnya. Setelah bersih, jiwa tersebut kemudian ditumbuhkembangkan dengan amal-amal saleh, seperti iman yang kokoh, ibadah yang khusyuk, akhlak yang mulia, dan perbuatan baik kepada sesama. Keberuntungan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar keberuntungan duniawi, tetapi keberuntungan hakiki yang mencakup ketenangan batin di dunia dan keselamatan serta kebahagiaan abadi di akhirat. Ini adalah tujuan hidup setiap muslim: berjuang untuk menyucikan jiwa.
Ayat 10: Kerugian Bagi yang Mengotorinya
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۖ
Wa qad khāba man dassāhā.
dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
Sebagai kebalikannya, Allah menegaskan, "Wa qad khāba", dan sungguh telah merugi, telah gagal. Siapa? "Man dassāhā", yaitu orang yang mengotorinya atau menenggelamkannya. Kata "dassā" memberikan gambaran tentang sesuatu yang ditimbun, dikubur, atau disembunyikan dalam kegelapan. Orang yang mengotori jiwanya adalah mereka yang membiarkan potensi "fujūr" (kejahatan) mendominasi. Mereka menutupi cahaya fitrah yang ada di dalam diri mereka dengan lapisan-lapisan dosa, kemaksiatan, dan kelalaian. Mereka menenggelamkan jiwa mereka dalam lumpur hawa nafsu dan kesenangan duniawi yang fana. Kerugian yang dimaksud di sini adalah kerugian total. Mereka mungkin terlihat sukses di mata manusia, tetapi di hadapan Allah, mereka adalah orang-orang yang gagal. Mereka kehilangan ketenangan di dunia dan akan menghadapi penyesalan yang pedih di akhirat. Ayat ini menjadi peringatan keras bagi siapa saja yang meremehkan urusan kebersihan jiwa.
Refleksi Akhir: Pertarungan Abadi di Dalam Diri
Sepuluh ayat pertama dari Surat Asy-Syams membawa kita dalam sebuah perjalanan kosmik yang berakhir pada medan pertempuran paling vital: jiwa kita sendiri. Allah tidak memulai dengan perintah atau larangan, melainkan dengan mengajak kita menyaksikan keagungan ciptaan-Nya. Matahari, bulan, siang, malam, langit, dan bumi—semuanya bergerak dalam harmoni dan ketaatan yang sempurna. Keteraturan alam semesta ini menjadi latar bagi pertanyaan besar: bagaimana dengan dirimu?
Allah telah memberikan kita bekal yang sempurna. Jiwa yang seimbang dan fitrah yang mampu mengenali baik dan buruk. Pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Apakah kita akan memilih jalan "tazkiyah", membersihkan dan menumbuhkan jiwa kita dengan cahaya iman dan amal saleh hingga meraih keberuntungan sejati? Ataukah kita akan memilih jalan "dassā", mengubur potensi luhur kita di bawah tumpukan dosa dan kelalaian hingga terjerumus dalam kerugian abadi? Inilah pertanyaan esensial yang diajukan oleh surat asy syams latin 1 10 kepada setiap individu yang membacanya. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa berjuang untuk menyucikan jiwa dan meraih keberuntungan yang telah dijanjikan-Nya.