Ayat 1
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ
Qul a'ūżu birabbin-nās(i).
"Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,'"
Surat An-Nas, yang berarti "Manusia", adalah surat ke-114 dan surat terakhir dalam mushaf Al-Qur'an. Meskipun posisinya di akhir, surat ini memiliki kedalaman makna dan kekuatan spiritual yang luar biasa. Bersama dengan Surat Al-Falaq, ia dikenal sebagai Al-Mu'awwidhatain, dua surat perlindungan yang diajarkan langsung oleh Allah melalui Rasulullah SAW untuk memohon benteng dari segala bentuk kejahatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Surat ini secara spesifik memfokuskan perlindungan dari kejahatan internal yang paling berbahaya: bisikan (was-was) yang menyusup ke dalam hati dan merusak keimanan.
Berikut adalah bacaan lengkap Surat An-Nas yang terdiri dari enam ayat, beserta transliterasi latin dan artinya dalam Bahasa Indonesia untuk memudahkan pemahaman dan penghayatan.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm(i).
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ
Qul a'ūżu birabbin-nās(i).
"Katakanlah, 'Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,'"
مَلِكِ النَّاسِۙ
Malikin-nās(i).
"Raja manusia,"
اِلٰهِ النَّاسِۙ
Ilāhin-nās(i).
"Sembahan manusia,"
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ
Min syarril-waswāsil-khannās(i).
"dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi,"
الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ
Allażī yuwaswisu fī ṣudūrin-nās(i).
"yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,"
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
Minal jinnati wan-nās(i).
"dari (golongan) jin dan manusia."
Memahami konteks turunnya sebuah surat (Asbabun Nuzul) memberikan kita wawasan yang lebih dalam tentang urgensi dan kekuatannya. Surat An-Nas dan Al-Falaq diturunkan bersamaan terkait sebuah peristiwa yang menimpa Rasulullah SAW. Dikisahkan oleh para ulama tafsir, seorang Yahudi bernama Labid bin Al-A'sham dari Bani Zuraiq melakukan sihir terhadap Rasulullah SAW. Ia menggunakan sebuah sisir, beberapa helai rambut Nabi yang rontok, dan seludang mayang kurma jantan. Benda-benda tersebut kemudian diikat dengan sebelas ikatan dan dimasukkan ke dalam sumur tua bernama Dzarwan.
Akibat sihir ini, Rasulullah SAW merasakan kondisi yang tidak biasa. Beliau merasa seolah-olah telah melakukan sesuatu padahal belum melakukannya. Kondisi ini berlangsung selama beberapa waktu hingga suatu malam, beliau berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Dalam tidurnya, datanglah dua malaikat. Satu duduk di dekat kepala beliau dan satu lagi di dekat kaki. Mereka berdialog, menjelaskan bahwa Nabi sedang terkena sihir, siapa yang melakukannya, media apa yang digunakan, dan di mana benda sihir itu disembunyikan.
Keesokan harinya, Rasulullah SAW mengutus beberapa sahabat, termasuk Ali bin Abi Thalib, untuk pergi ke sumur tersebut. Mereka menemukan benda-benda sihir itu persis seperti yang digambarkan dalam mimpi. Kemudian, Allah SWT menurunkan Surat Al-Falaq dan An-Nas yang totalnya berjumlah sebelas ayat. Setiap kali satu ayat dibacakan, satu ikatan pada benda sihir itu terlepas, hingga pada ayat terakhir, semua ikatan terlepas dan Rasulullah SAW pun pulih sepenuhnya, seolah-olah terbebas dari belenggu yang berat. Peristiwa ini menunjukkan betapa nyata ancaman kejahatan gaib dan betapa agung kekuatan firman Allah sebagai penawar dan pelindungnya.
Surat An-Nas adalah sebuah deklarasi perlindungan yang komprehensif. Ia mengajarkan kita untuk mencari perlindungan kepada Allah dengan menyebut tiga sifat-Nya yang agung, sebelum menyebutkan musuh utama yang menjadi sumber kejahatan internal.
Perintah "Qul" (Katakanlah) menunjukkan bahwa ini adalah ajaran langsung dari Allah yang harus diucapkan, diyakini, dan diamalkan. Kata "A'udzu" berarti aku berlindung, mencari suaka, dan memohon penjagaan. Ini adalah pengakuan total akan kelemahan diri dan kebutuhan mutlak akan perlindungan dari Sang Pencipta.
Kita berlindung kepada "Rabbin-nās" (Tuhan manusia). Sifat Rabb mencakup makna Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemelihara, dan Pendidik. Dengan menyebut sifat Rabb, kita mengakui bahwa hanya Allah yang menciptakan kita, mengetahui segala kelemahan kita, dan memiliki kuasa penuh untuk memelihara serta melindungi kita dari segala marabahaya. Ini adalah pengakuan Tauhid Rububiyah, yaitu meyakini keesaan Allah dalam hal penciptaan dan pengaturan alam semesta. Ketika kita memohon kepada Dzat yang mengatur setiap sel dalam tubuh kita dan setiap helaan napas kita, maka perlindungan itu menjadi sangat dekat dan personal.
Setelah mengakui Allah sebagai Rabb, kita menegaskan-Nya sebagai "Malikin-nās" (Raja manusia). Seorang raja memiliki kekuasaan mutlak, kedaulatan, dan wewenang untuk membuat aturan atas wilayah dan rakyatnya. Berbeda dengan raja-raja dunia yang kekuasaannya terbatas oleh waktu, ruang, dan kekuatan lain, kekuasaan Allah adalah absolut dan tidak terbatas. Dia adalah Raja di atas segala raja.
Dengan berlindung kepada Sang Raja, kita melepaskan diri dari ketakutan terhadap "raja-raja" kecil di dunia ini, baik itu penguasa zalim, atasan yang sewenang-wenang, maupun tekanan sosial yang memaksa. Kita menempatkan diri di bawah yurisdiksi Raja Yang Sejati, yang hukum-Nya adalah keadilan mutlak dan perlindungan-Nya adalah yang paling kokoh. Ini juga menyiratkan bahwa kita tunduk dan patuh hanya kepada aturan-Nya, bukan kepada aturan makhluk yang bertentangan dengan-Nya.
Puncak dari pengakuan ini adalah menyebut Allah sebagai "Ilāhin-nās" (Sembahan manusia). Sifat Ilāh merujuk kepada satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah, dicintai, ditaati, dan dijadikan tujuan hidup. Ini adalah inti dari Tauhid Uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadahan. Setelah mengakui-Nya sebagai Pencipta (Rabb) dan Penguasa (Malik), maka konsekuensi logisnya adalah hanya Dia yang layak menjadi Sembahan (Ilah).
Mengapa tiga sifat ini disebut secara berurutan? Para ulama menjelaskan bahwa ini adalah tingkatan perlindungan yang sempurna. Kita berlindung kepada Rabb yang memelihara kita, kepada Malik yang berkuasa atas musuh-musuh kita, dan kepada Ilāh yang menjadi tujuan akhir dari segala ikhtiar kita. Tidak ada perlindungan yang lebih kuat daripada berlindung kepada Dzat yang memiliki ketiga sifat agung ini secara bersamaan.
Setelah membangun benteng perlindungan dengan tiga nama Allah, barulah kita menyebutkan musuh spesifik yang ingin kita lawan: "Syarril-waswāsil-khannās" (kejahatan bisikan yang bersembunyi). Ini menunjukkan betapa berbahayanya musuh ini.
Ayat ini menjelaskan medan pertempuran utama, yaitu "fī ṣudūrin-nās" (di dalam dada manusia). Kata ṣudūr (jamak dari ṣadr, dada) secara metaforis merujuk pada pusat perasaan, niat, dan keyakinan, yaitu hati (qalb). Serangan ini bukan serangan fisik yang terlihat, melainkan infiltrasi ke dalam pusat komando spiritual kita. Setan tidak bisa memaksa kita, tapi ia bisa membisikkan, menghasut, dan membuat keburukan tampak indah di mata kita. Ia menanamkan benih keraguan tentang Allah, memprovokasi amarah, menumbuhkan kesombongan, dan melemahkan tekad untuk berbuat baik. Karena serangannya bersifat internal dan tak terlihat, maka perlindungan yang dibutuhkan juga harus bersifat spiritual, yaitu dengan berlindung kepada Dzat yang Maha Mengetahui isi hati.
Ini adalah ayat penutup yang sangat penting dan seringkali kurang direnungkan. Ayat ini menjelaskan bahwa sumber bisikan jahat (waswas) itu tidak hanya satu, melainkan ada dua: "minal jinnati wan-nās" (dari golongan jin dan manusia).
Dengan demikian, Surat An-Nas mengajarkan kita untuk waspada terhadap dua front peperangan spiritual: front internal melawan bisikan gaib dari jin, dan front eksternal melawan pengaruh buruk dari sesama manusia. Perlindungan kepada "Rabb, Malik, dan Ilah" manusia mencakup perlindungan dari kedua sumber kejahatan ini.
Surat An-Nas, bersama Al-Falaq dan Al-Ikhlas, memiliki banyak keutamaan yang dijelaskan dalam hadis-hadis Rasulullah SAW. Mengamalkannya secara rutin dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi benteng spiritual yang sangat kuat.
Surat An-Nas adalah anugerah agung dari Allah. Ia bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah formula perlindungan yang dahsyat, sebuah deklarasi tauhid yang kokoh, dan sebuah senjata spiritual untuk menghadapi musuh yang tak terlihat. Ia mengajarkan kita untuk selalu sadar akan kelemahan diri dan senantiasa bergantung pada kekuatan Allah, Sang Rabb, Malik, dan Ilah seluruh manusia.
Dengan merenungi makna surat an nas latin dan artinya, serta mengamalkannya dengan penuh keyakinan, kita sedang membangun sebuah benteng di dalam jiwa. Benteng yang tidak hanya melindungi dari sihir atau gangguan jin, tetapi juga dari musuh yang lebih halus dan berbahaya: bisikan keraguan, kemalasan, kesombongan, dan keputusasaan yang datang dari jin maupun manusia. Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua di bawah naungan-Nya.