Surat Al-Adiyat: Latin dan Artinya

Memahami Makna Sumpah Kuda Perang dan Sifat Dasar Manusia

Surat Al-Adiyat (العاديات) adalah surat ke-100 dalam Al-Qur'an. Surat yang terdiri dari 11 ayat ini termasuk dalam golongan surat Makkiyah, yang berarti diturunkan di kota Mekkah sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Nama Al-Adiyat sendiri diambil dari ayat pertama yang berarti "kuda perang yang berlari kencang." Surat ini dibuka dengan sumpah Allah SWT yang agung, menggunakan gambaran visual yang sangat kuat dan dramatis tentang kuda-kuda perang yang gagah berani di medan pertempuran. Sumpah ini bukan tanpa tujuan; ia menjadi pengantar untuk menyingkap sebuah kebenaran fundamental tentang tabiat manusia: kecenderungan untuk ingkar terhadap nikmat Tuhannya dan kecintaannya yang berlebihan terhadap harta benda.

Melalui Surat Al-Adiyat, kita diajak untuk merenung secara mendalam tentang hakikat syukur, bahaya materialisme, dan keniscayaan hari pembalasan. Surat ini, meskipun pendek, mengandung pesan yang sangat padat dan relevan sepanjang zaman. Ia mengingatkan kita bahwa setiap perbuatan, pikiran, dan niat yang tersembunyi di dalam dada kelak akan dibongkar dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui segala rahasia.

Ilustrasi kuda berlari kencang Sebuah siluet kuda yang sedang berlari dengan kecepatan tinggi, menggambarkan energi dan kekuatan yang dibahas dalam Surat Al-Adiyat. Ilustrasi kuda perang yang berlari kencang sesuai gambaran Surat Al-Adiyat.

Bacaan Surat Al-Adiyat: Arab, Latin, Terjemahan, dan Tafsirnya

Berikut ini adalah bacaan lengkap Surat Al-Adiyat ayat 1-11, disajikan dalam tulisan Arab, transliterasi Latin untuk mempermudah pelafalan, serta terjemahan dalam bahasa Indonesia. Setiap ayat akan diikuti dengan pembahasan dan tafsir yang lebih mendalam untuk membantu kita menyelami makna yang terkandung di dalamnya.


Ayat 1

وَالْعٰدِيٰتِ ضَبْحًاۙ

Wal-‘ādiyāti ḍabḥā.

"Demi kuda-kuda perang yang berlari kencang terengah-engah,"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 1:
Allah SWT memulai surat ini dengan sebuah sumpah, sebuah gaya bahasa dalam Al-Qur'an yang berfungsi untuk menarik perhatian dan menekankan betapa pentingnya pesan yang akan disampaikan setelahnya. Objek sumpah di sini adalah "Al-Adiyat," yang secara umum ditafsirkan oleh para ulama sebagai kuda-kuda perang. Kata "ḍabḥā" adalah sebuah onomatope, yaitu kata yang meniru suara. Ia menggambarkan suara napas kuda yang terengah-engah saat berlari dengan kecepatan maksimal. Suara "hah, hah, hah" yang keluar dari dada kuda saat memacu seluruh tenaganya.

Pilihan kuda sebagai objek sumpah sangatlah signifikan. Di zaman itu, kuda adalah simbol kekuatan, kecepatan, keberanian, dan aset paling berharga dalam peperangan. Dengan bersumpah atas kuda yang berlari kencang, Allah seolah-olah mengajak kita untuk membayangkan sebuah adegan yang penuh dengan energi, ketegangan, dan totalitas. Kuda ini tidak berlari santai, ia mengerahkan seluruh kemampuannya demi menaati perintah tuannya, sang penunggang. Ia tidak bertanya, tidak ragu, ia hanya berlari sekuat tenaga. Ini adalah gambaran kepatuhan dan pengorbanan total. Sumpah ini secara implisit menyindir manusia. Jika seekor hewan saja bisa begitu patuh dan totalitas dalam menjalankan perintah tuannya, bagaimana mungkin manusia, makhluk yang diberi akal dan hati, justru sering kali lalai dan ingkar kepada Tuhannya yang telah memberinya segalanya?

Ayat 2

فَالْمُوْرِيٰتِ قَدْحًاۙ

Fal-mụriyāti qadḥā.

"yang memercikkan bunga api (dengan pukulan kuku-kukunya),"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 2:
Ayat ini melanjutkan gambaran dramatis dari ayat pertama. "Al-Mụriyāt" berarti sesuatu yang memantik atau menyalakan api. Sementara "qadḥā" adalah proses memercikkan api itu sendiri. Jadi, ayat ini melukiskan gambaran visual yang sangat jelas: saat kuda-kuda itu berlari di malam hari atau di atas tanah berbatu, hentakan tapal besi pada kuku mereka yang beradu dengan batu-batu di jalanan menimbulkan percikan-percikan api di tengah kegelapan.

Secara metaforis, percikan api ini melambangkan intensitas dan kegigihan perjuangan. Ia menunjukkan bahwa perjalanan yang ditempuh bukanlah jalan yang mulus dan mudah. Ada gesekan, ada kesulitan, ada rintangan yang harus dihadapi. Namun, kuda-kuda itu terus berlari tanpa henti. Percikan api juga bisa melambangkan semangat yang berkobar-kobar, panasnya pertempuran, atau bahkan konsekuensi dari sebuah tindakan yang penuh daya. Allah ingin kita melihat bahwa dalam setiap perjuangan yang sungguh-sungguh, pasti akan ada "percikan api" yang timbul sebagai bukti dari keseriusan dan totalitas usaha tersebut. Ini adalah pengingat bahwa kepatuhan sejati seringkali menuntut pengorbanan dan gesekan dengan kesulitan.

Ayat 3

فَالْمُغِيْرٰتِ صُبْحًاۙ

Fal-mugīrāti ṣubḥā.

"yang menyerang (dengan tiba-tiba) pada waktu subuh,"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 3:
Setelah menggambarkan kecepatan dan intensitas, ayat ini menjelaskan tujuan dari lari kencang tersebut. "Al-Mugīrāt" berasal dari kata "aghāra" yang berarti melakukan serangan mendadak atau penyerbuan. "Ṣubḥā" berarti waktu subuh. Mengapa waktu subuh? Dalam strategi perang kuno, serangan fajar adalah taktik yang paling efektif. Musuh sedang dalam keadaan lengah, terlelap, dan tidak siap. Serangan pada waktu ini memberikan elemen kejutan yang maksimal dan seringkali menentukan kemenangan.

Pemilihan waktu subuh memiliki makna simbolis yang mendalam. Subuh adalah waktu peralihan dari gelap menuju terang, waktu dimulainya aktivitas baru. Serangan pada waktu ini melambangkan sebuah tindakan yang tegas, cepat, dan transformatif. Ia mengakhiri ketenangan malam dengan sebuah aksi yang menentukan. Dalam konteks spiritual, ini bisa diartikan sebagai seruan untuk memulai hari dengan semangat perjuangan melawan hawa nafsu dan kemalasan. Sebagaimana para pejuang yang menyerbu di waktu subuh, seorang mukmin juga harus "menyerbu" kemalasan dan memulai harinya dengan ketaatan kepada Allah, dimulai dengan shalat Subuh. Ayat ini menggambarkan sebuah aksi yang terencana, strategis, dan dilakukan pada saat yang paling tepat untuk mencapai tujuan.

Ayat 4

فَاَثَرْنَ بِهٖ نَقْعًاۙ

Fa'aṡarna bihī naq'ā.

"sehingga menerbangkan debu,"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 4:
Ayat ini menggambarkan dampak langsung dari serbuan kuda-kuda tersebut. Kata "Aṡarna" berarti mereka membangkitkan atau menerbangkan. "Naq'ā" adalah debu yang beterbangan. Ketika pasukan berkuda yang begitu besar dan cepat menyerbu, hentakan ribuan kuku kuda secara bersamaan akan menerbangkan awan debu yang tebal. Awan debu ini mengaburkan pandangan, menciptakan kekacauan, dan menambah suasana genting di medan pertempuran.

Debu yang beterbangan ini adalah bukti nyata dari aksi yang telah dilakukan. Ia adalah jejak yang tak terhindarkan dari sebuah gerakan yang masif dan penuh kekuatan. Secara metaforis, ini mengajarkan bahwa setiap tindakan besar dan signifikan pasti akan meninggalkan dampak dan "menerbangkan debu". Ia akan menyebabkan perubahan, mungkin juga kekacauan sementara, sebelum sebuah tatanan baru terbentuk. Debu ini juga melambangkan betapa hiruk pikuknya kehidupan duniawi. Manusia seringkali sibuk "menerbangkan debu" dalam pengejaran materi, menciptakan kesibukan dan kekacauan yang seringkali membuat mereka lupa pada tujuan hidup yang sebenarnya. Pandangan mereka menjadi kabur oleh debu duniawi sehingga tidak bisa melihat kebenaran yang hakiki.

Ayat 5

فَوَسَطْنَ بِهٖ جَمْعًاۙ

Fawasaṭna bihī jam'ā.

"lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 5:
Inilah puncak dari rangkaian aksi yang digambarkan dalam empat ayat sebelumnya. "Wasaṭna" berarti mereka masuk ke tengah-tengah. "Jam'ā" berarti kumpulan atau pasukan musuh. Setelah berlari kencang, memercikkan api, dan menerbangkan debu, kuda-kuda perang ini bersama penunggangnya dengan gagah berani menerobos langsung ke jantung pertahanan musuh. Ini adalah tindakan yang membutuhkan keberanian luar biasa, karena di tengah-tengah pasukan musuh adalah tempat yang paling berbahaya dan paling menentukan.

Tindakan ini melambangkan keberanian untuk menghadapi inti permasalahan, tidak hanya berputar-putar di pinggiran. Para pejuang ini tidak ragu-ragu untuk masuk ke pusat konflik. Ini adalah klimaks dari sumpah Allah. Lima ayat ini secara berurutan melukiskan sebuah proses: persiapan (lari kencang), intensitas (percikan api), strategi (serangan subuh), dampak (debu beterbangan), dan puncak keberanian (menyerbu ke tengah). Seluruh gambaran ini menunjukkan sebuah makhluk (kuda) yang begitu total dalam menjalankan tugasnya. Setelah rangkaian sumpah yang begitu kuat ini, barulah Allah menyampaikan isi atau jawaban dari sumpah tersebut.

Ayat 6

اِنَّ الْاِنْسَانَ لِرَبِّهٖ لَكَنُوْدٌ ۚ

Innal-insāna lirabbihī lakanụd.

"Sungguh, manusia itu sangat ingkar kepada Tuhannya."

Tafsir dan Penjelasan Ayat 6:
Inilah jawaban dari sumpah (jawab al-qasam) yang telah dibangun dalam lima ayat sebelumnya. Setelah menunjukkan kepatuhan total seekor kuda, Allah membuat pernyataan yang kontras tentang manusia. "Inna" (sesungguhnya) dan "la" (benar-benar) adalah dua partikel penekanan (ta'kid) yang menunjukkan betapa pastinya pernyataan ini. Manusia, kata Allah, sangat "kanụd" kepada Tuhannya.

Apa arti "kanụd"? Kata ini memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar "kafir" atau "ingkar". "Kanụd" adalah sifat seseorang yang hanya mengingat-ingat musibah dan melupakan semua nikmat yang telah diberikan. Ia adalah orang yang menghitung-hitung kesulitan tetapi buta terhadap lautan karunia. Jika ia mendapat satu kesulitan, ia akan mengeluh dan merasa Tuhannya tidak adil, seolah-olah ia melupakan ribuan hari kemudahan yang pernah ia rasakan. Ia seperti tanah gundul yang menyerap air hujan namun tidak menumbuhkan tanaman apa pun. Nikmat Allah terus tercurah kepadanya, tetapi tidak ada buah syukur yang tumbuh dari dirinya. Sifat inilah yang menjadi penyakit utama manusia. Ia sangat kontras dengan gambaran kuda yang patuh, yang terus berlari dan berjuang untuk tuannya tanpa pernah mengeluh, meskipun napasnya terengah-engah dan kakinya memercikkan api.

Ayat 7

وَاِنَّهٗ عَلٰى ذٰلِكَ لَشَهِيْدٌ ۚ

Wa innahụ ‘alā żālika lasyahīd.

"dan sesungguhnya dia (manusia) benar-benar menjadi saksi atas (keingkarannya) itu."

Tafsir dan Penjelasan Ayat 7:
Ayat ini memberikan penegasan lebih lanjut. Ada dua penafsiran utama mengenai kata ganti "hu" (dia) dalam ayat ini.
1. "Dia" adalah manusia itu sendiri. Menurut penafsiran ini, manusia sesungguhnya sadar akan keingkarannya. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ia sering mengeluh. Perbuatannya, ucapannya, dan bahkan raut wajahnya menjadi saksi atas sifat "kanụd" yang ada dalam dirinya. Ketika ia sehat, ia lupa nikmat sehat. Ketika sakit, ia mengeluh. Ketika lapang, ia boros. Ketika sempit, ia putus asa. Semua tindakannya ini adalah kesaksian nyata yang ia perlihatkan sendiri di hadapan Allah dan sesama manusia. Ia tidak bisa mengelak dari kenyataan ini.
2. "Dia" adalah Allah SWT. Menurut penafsiran ini, Allah SWT adalah saksi atas segala keingkaran yang dilakukan oleh manusia. Tidak ada satu pun keluhan, kesombongan, atau kelalaian manusia yang luput dari pengawasan Allah. Allah Maha Menyaksikan setiap detik kehidupan hamba-Nya. Kedua penafsiran ini tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Manusia menjadi saksi atas perbuatannya sendiri, dan Allah pun menjadi saksi atas semua itu. Ini menekankan betapa tidak ada celah bagi manusia untuk menyangkal sifat ingkarnya di hadapan Allah kelak.

Ayat 8

وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ

Wa innahụ liḥubbil-khairi lasyadīd.

"dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan."

Tafsir dan Penjelasan Ayat 8:
Ayat ini mengungkap akar penyebab dari sifat "kanụd" atau ingkar tersebut. Penyebabnya adalah kecintaan yang luar biasa terhadap "al-khair". Secara harfiah, "al-khair" berarti kebaikan. Namun, dalam konteks ini, para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud adalah harta benda dan kesenangan duniawi. Mengapa harta disebut "kebaikan"? Karena secara naluriah, manusia memandang harta sebagai sumber kebaikan, kebahagiaan, dan keamanan.

Kata kuncinya adalah "syadīd", yang berarti sangat kuat, keras, atau berlebihan. Jadi, masalahnya bukan pada mencintai harta, karena itu adalah fitrah manusia. Masalahnya adalah ketika cinta itu menjadi "syadīd", yaitu berlebihan, ekstrem, dan membutakan. Kecintaan yang berlebihan inilah yang membuatnya menjadi kikir, takut miskin, enggan bersedekah, dan pada akhirnya menjadi ingkar (kanụd). Ia sibuk mengumpulkan harta dan lupa bersyukur kepada Sang Pemberi Harta. Ia merasa semua yang didapatkannya adalah murni hasil usahanya sendiri, melupakan campur tangan Allah. Ayat ini secara psikologis sangat akurat dalam menggambarkan bagaimana materialisme dapat merusak spiritualitas dan rasa syukur seseorang.

Ayat 9

اَفَلَا يَعْلَمُ اِذَا بُعْثِرَ مَا فِى الْقُبُوْرِۙ

Afalā ya‘lamu iżā bu‘ṡira mā fil-qubụr.

"Maka, tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan,"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 9:
Setelah memaparkan diagnosis penyakit manusia (ingkar dan cinta harta), Allah memberikan terapi kejut (shock therapy) berupa pertanyaan retoris yang menyentak. "Afalā ya'lamu?" (Maka, tidakkah dia mengetahui?). Pertanyaan ini bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegur dan menyadarkan manusia dari kelalaiannya. Seolah-olah Allah berkata, "Apakah manusia yang begitu sibuk dengan dunianya itu tidak berpikir tentang apa yang akan terjadi nanti?"

Apa yang akan terjadi itu adalah "bu'ṡira mā fil-qubụr". Kata "bu'ṡira" memiliki makna yang lebih kuat dari sekadar "dikeluarkan". Ia berarti dibangkitkan, dibongkar, dan isinya dihamburkan keluar. Ini adalah gambaran Hari Kebangkitan yang dahsyat, ketika semua kuburan akan terbelah dan semua manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali. Peringatan ini ditujukan langsung kepada manusia yang ingkar dan cinta harta. Semua harta yang ia kumpulkan mati-matian tidak akan bisa menolongnya saat ia berada di dalam kubur, dan pada akhirnya semua itu akan ia tinggalkan saat ia dibangkitkan untuk diadili.

Ayat 10

وَحُصِّلَ مَا فِى الصُّدُوْرِۙ

Wa ḥuṣṣila mā fiṣ-ṣudụr.

"dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan (ditampakkan)?"

Tafsir dan Penjelasan Ayat 10:
Jika ayat 9 berbicara tentang fisik (apa yang di dalam kubur), maka ayat 10 berbicara tentang metafisik (apa yang di dalam dada). Kata "ḥuṣṣila" berarti dikumpulkan, diungkap, dan ditampakkan dengan jelas. "Aṣ-ṣudụr" (dada) adalah representasi dari hati, tempat bersemayamnya niat, rahasia, keyakinan, cinta, benci, dan segala motif tersembunyi. Pada hari itu, pengadilan Allah tidak hanya berdasarkan perbuatan yang tampak, tetapi juga berdasarkan apa yang tersembunyi di dalam hati.

Semua akan "dilahirkan". Niat-niat busuk, kedengkian, riya' (pamer dalam beribadah), kesombongan, dan cinta dunia yang berlebihan, semuanya akan dibuka dan diperlihatkan. Sebaliknya, niat yang ikhlas, kesabaran yang tersembunyi, dan cinta tulus kepada Allah juga akan ditampakkan. Ini adalah hari transparansi total, di mana tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Peringatan ini adalah tamparan keras bagi manusia agar tidak hanya memperbaiki penampilan luarnya, tetapi yang lebih penting adalah membersihkan dan memperbaiki isi hatinya.

Ayat 11

اِنَّ رَبَّهُمْ بِهِمْ يَوْمَىِٕذٍ لَّخَبِيْرٌ ࣖ

Inna rabbahum bihim yauma'iżil lakhabīr.

"Sungguh, Tuhan mereka pada hari itu Mahateliti terhadap (keadaan) mereka."

Tafsir dan Penjelasan Ayat 11:
Inilah ayat penutup yang menjadi kesimpulan dari seluruh surat. Ayat ini menegaskan bahwa pada hari pembalasan itu ("yauma'iżin"), Allah, Tuhan mereka, benar-benar "Khabīr" terhadap mereka. Kata "Khabīr" berasal dari akar kata yang sama dengan "khabar" (berita atau informasi). "Khabīr" berarti Maha Mengetahui secara detail, mendalam, dan menyeluruh, termasuk hal-hal yang paling tersembunyi sekalipun. Pengetahuan Allah tidak seperti pengetahuan manusia yang terbatas. Dia mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi, apa yang diucapkan dan apa yang hanya terlintas di dalam hati.

Penegasan bahwa Allah "Khabīr" pada hari itu bukan berarti Allah baru mengetahuinya saat itu. Allah Maha Mengetahui sejak azali. Namun, penekanan pada "hari itu" adalah untuk menunjukkan bahwa pada hari itulah pengetahuan Allah yang sempurna akan menjadi dasar bagi pengadilan-Nya yang Maha Adil. Tidak akan ada yang terlewat, tidak akan ada yang salah hitung. Setiap perbuatan, baik besar maupun kecil, akan mendapat balasan yang setimpal berdasarkan pengetahuan Allah yang mutlak. Ayat ini memberikan rasa takut (khauf) bagi mereka yang ingkar, sekaligus memberikan rasa harapan (raja') bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, karena mereka yakin bahwa tidak ada satu pun kebaikan mereka yang luput dari pengetahuan Allah.

🏠 Kembali ke Homepage