Surah ke-56 dalam Al-Qur'an, diturunkan di Mekah (Makkiyah), terdiri dari 96 ayat.
Surah Al-Waqi'ah, yang berarti "Hari Kiamat" atau "Peristiwa yang Pasti Terjadi," adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal Islam di Mekah. Tujuan utama surah ini adalah untuk menegaskan kepastian dan kengerian Hari Kebangkitan, serta memaparkan secara rinci nasib akhir umat manusia yang akan terbagi menjadi tiga golongan utama.
Surah ini memiliki kekuatan naratif yang luar biasa, membelah realitas kehidupan duniawi dan menempatkan pembaca langsung di tengah-tengah peristiwa dahsyat Hari Kiamat. Ini bukan hanya sebuah deskripsi, tetapi sebuah peringatan keras bagi mereka yang hidup dalam kelalaian dan pengabaian terhadap kebenaran Tuhan.
Dalam tradisi Islam, Surah Al-Waqi'ah dikenal luas karena keutamaannya yang berhubungan dengan rezeki dan kekayaan. Meskipun tema utamanya adalah akhirat dan hisab, para ulama menjelaskan bahwa hubungan ini muncul karena surah tersebut menanamkan keyakinan mutlak pada kekuasaan Allah, termasuk kekuasaan-Nya dalam mengatur segala bentuk rezeki di dunia. Keyakinan yang teguh inilah yang menenangkan hati dan menjauhkan kefakiran jiwa.
Alt: Ilustrasi Hari Kiamat: Gunung yang bergoncang dan bumi yang terbelah.
Berikut adalah teks lengkap Surah Al-Waqi'ah dalam tulisan Arab beserta terjemahan per ayat:
Surah Al-Waqi'ah dapat dibagi menjadi tiga tema besar: penegasan Hari Kiamat (ayat 1-12), deskripsi rinci tentang tiga golongan manusia (ayat 13-56), dan bukti-bukti kebesaran Allah melalui fenomena alam yang berhubungan dengan rezeki dan kehidupan (ayat 57-96).
Ayat pembuka Surah Al-Waqi'ah segera menarik perhatian pembaca ke peristiwa besar yang tidak dapat dihindari: Hari Kiamat. Penggunaan kata اِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ (Idzaa waqa'atil-waaqi'ah) menekankan bahwa ini adalah kepastian, bukan sekadar kemungkinan. Ayat 2 memperkuat penegasan ini: "Laisa liwaq'atihaa kaadzibah" (tidak ada yang mendustakan kejadiannya). Artinya, ketika peristiwa itu datang, semua keraguan akan sirna, dan mereka yang mendustakannya di dunia akan menyaksikan kebenaran dengan mata kepala sendiri.
Khofidhotur Roofi'ah (Merendahkan dan Mengangkat): Ayat 3 menjelaskan sifat dasar Hari Kiamat. Hari itu akan merendahkan orang-orang yang sombong dan durhaka di dunia, dan sebaliknya, akan meninggikan derajat orang-orang yang rendah hati, beriman, dan bertakwa. Nilai-nilai duniawi yang menjadi patokan (kekayaan, kekuasaan) akan runtuh, dan nilai-nilai akhirat (keimanan, amal saleh) akan menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku.
Deskripsi alam dalam ayat 4-6 sangat visual dan menakutkan. Bumi digoncangkan (rujjat) dengan guncangan yang dahsyat, dan gunung-gunung dihancurkan (bussat) hingga menjadi debu yang berterbangan (habaa'am mumbatstsa). Peristiwa ini melambangkan kehancuran total tatanan fisik dunia. Ketika fondasi yang paling kokoh—gunung—hancur menjadi debu, manusia memahami betapa rapuhnya segala sesuatu selain kekuasaan Allah.
Pentingnya memahami deskripsi ini adalah untuk menyadarkan jiwa bahwa stabilitas yang kita nikmati di dunia hanyalah pinjaman. Kiamat adalah penarikan pinjaman tersebut, mengubah materi terpadu menjadi partikel-partikel yang tak berarti.
Setelah kehancuran alam semesta, umat manusia dibangkitkan kembali dan dibagi menjadi tiga kelompok (azwaajan tsalaatsah).
Golongan pertama adalah "As-Sabiqun, As-Sabiqun" (orang-orang yang terdahulu, merekalah yang terdahulu). Frasa yang berulang ini menekankan betapa istimewanya kedudukan mereka. Mereka adalah orang-orang yang bersegera dalam melakukan kebaikan, yang paling cepat menyambut seruan tauhid, dan yang amalannya selalu melebihi tuntutan minimal. Mereka adalah orang-orang yang didekatkan (Al-Muqarrabun) kepada Allah.
Deskripsi Kenikmatan:
Surga bagi Al-Muqarrabun adalah surga yang paling tinggi, yang dicirikan oleh ketenangan abadi dan keharmonisan sempurna, di mana tidak ada kelelahan, rasa sakit, atau ucapan kotor. Jumlah mereka lebih banyak dari umat terdahulu (Ayat 13-14), menunjukkan rahmat besar Allah kepada Umat Muhammad.
Golongan kedua adalah Ashab Al-Maimanah (Golongan Kanan). Mereka adalah orang-orang yang menerima catatan amal mereka di tangan kanan. Mereka adalah mayoritas umat Muhammad. Mereka menunaikan kewajiban, menjauhi larangan, dan menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat.
Deskripsi Kenikmatan Golongan Kanan:
Perbedaan antara surga Al-Muqarrabun dan Ashab Al-Maimanah sering diartikan sebagai perbedaan derajat dan intensitas kenikmatan. Sementara Al-Muqarrabun lebih dekat dan menikmati kenikmatan tertinggi, Ashab Al-Maimanah tetap mendapatkan kenikmatan yang melimpah ruah sebagai balasan atas ketaatan mereka.
Golongan ketiga adalah Ashab Al-Mash'amah (Golongan Kiri). Mereka adalah orang-orang yang menerima catatan amal di tangan kiri, simbol kesengsaraan dan kerugian. Mereka adalah orang-orang yang mendustakan Hari Kebangkitan dan hidup dalam kemewahan dan dosa di dunia.
Deskripsi Azab Golongan Kiri:
Penyebab azab mereka dijelaskan dalam Ayat 45-47: Pertama, mereka hidup bermewah-mewahan dan mengikuti dosa besar (Ayat 45). Kedua, mereka terus menerus melakukan dosa besar (Ayat 46). Ketiga, mereka mendustakan Hari Kebangkitan, bertanya, "Apakah setelah kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?" (Ayat 47). Keraguan ini adalah akar dari kerusakan moral mereka.
Hukuman puncak bagi mereka yang mendustakan kebenaran (Ayat 52-56) adalah memakan buah dari Pohon Zaqqum yang pahit dan busuk, yang memenuhi perut mereka, lalu minum air panas mendidih seperti unta yang kehausan. Ini adalah balasan yang adil bagi mereka yang menolak rezeki dan petunjuk Allah di dunia.
Setelah memaparkan secara menakutkan nasib akhir manusia, surah ini beralih ke pembahasan tentang kekuasaan Allah di dunia, khususnya melalui fenomena yang berkaitan dengan kehidupan dan rezeki. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa Tuhan yang mampu melakukan semua ini, pasti mampu membangkitkan manusia dari kubur.
Allah bertanya, "Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah (air mani) yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kami yang menciptakan?" (Ayat 58-59). Manusia diciptakan dari setetes air yang hina. Mengapa manusia yang awalnya diciptakan dari ketiadaan dan air, meragukan kekuasaan Allah untuk menciptakan mereka kembali?
Surah ini mengingatkan kita akan kepastian kematian, "Kamilah yang menentukan kematian di antara kamu, dan Kami sekali-kali tidak lemah" (Ayat 60). Kematian adalah bukti kekuasaan-Nya untuk mengganti dan mengubah bentuk kehidupan. Kematian bukanlah akhir, tetapi proses menuju bentuk kehidupan yang baru.
Ayat ini mengajak manusia merenungkan makanan pokok mereka: biji-bijian yang ditanam. "Maka terangkanlah kepadaku tentang benih yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya, atau Kami yang menumbuhkannya?" (Ayat 63-64). Manusia hanya menabur, tetapi Allah yang memberikan kehidupan, air, dan kesuburan.
Alt: Representasi Rezeki dan Karunia Allah: Biji yang tumbuh subur dan hujan.
Ayat ini berfungsi sebagai teguran: jika Allah menghendaki, Dia bisa menjadikan panen itu kering, layu, atau hancur sebelum sempat dipanen. "Maka jadilah kamu tercengang. (Sambil berkata) 'Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian. Bahkan kami tidak mendapat hasil apa-apa.'" (Ayat 66-67).
"Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan, ataukah Kami yang menurunkannya?" Air adalah sumber kehidupan, namun manusia sering melupakannya. Allah mengingatkan bahwa jika Dia menghendaki, Dia bisa menjadikan air itu asin atau pahit. Rasa syukur terhadap air yang tawar seharusnya menjadi pengingat harian akan kekuasaan-Nya.
Api, sumber energi dan panas. "Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan. Kamukah yang menumbuhkan kayunya, atau Kami yang menumbuhkannya?" Api adalah kebutuhan esensial. Allah mengingatkan bahwa kayu (bahan bakar) yang menghasilkan api adalah karunia-Nya. Api yang kita gunakan di dunia hanyalah pengingat (tazkirah) tentang api yang lebih besar dan mengerikan di akhirat (Neraka).
Bagian akhir surah ini mencapai puncaknya dengan sumpah agung dan kesimpulan yang kuat.
Sumpah dengan Tempat Terbenamnya Bintang (Ayat 75-76):
Allah bersumpah dengan posisi terbenamnya bintang-bintang. Ini adalah sumpah yang luar biasa, karena posisi bintang-bintang di angkasa adalah fenomena yang sangat teratur dan kompleks, membuktikan keteraturan penciptaan yang sempurna. Sumpah ini digunakan untuk menegaskan keagungan Al-Qur'an:
Al-Qur'an adalah Kitab yang mulia (Karim) dan terjaga (Maknun), tidak disentuh kecuali oleh hamba-hamba yang disucikan (para malaikat). Ini adalah peringatan bagi manusia agar tidak meremehkan firman Allah.
Surah ini kembali ke realitas yang paling dekat: kematian. Allah menantang manusia: "Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat," (Ayat 83-84). Mengapa saat ruh dicabut, dan kamu melihat orang yang sekarat itu, kamu tidak bisa mengembalikannya, jika memang kamu tidak dikuasai oleh kekuasaan lain?
Tantangan ini menunjukkan bahwa manusia, meskipun memiliki kecerdasan dan teknologi, sama sekali tidak berdaya di hadapan proses kematian. Hanya Allah yang menguasai kehidupan dan kematian.
Nasib Akhir Dikonfirmasi Kembali (Ayat 88-96):
Surah ditutup dengan tasbih (mensucikan nama Tuhan): "Fasabbiḥ bismi Rabbikal-'Aẓīm" (Maka sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Besar) (Ayat 96). Setelah semua bukti dan peringatan ini, respons yang paling tepat bagi seorang mukmin adalah berserah diri dan mensucikan Dzat Yang Maha Agung.
Meskipun setiap surah dalam Al-Qur'an mulia, Surah Al-Waqi'ah memiliki keutamaan khusus yang sering dibicarakan dalam literatur Islam, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari kemiskinan dan kelaparan.
Keutamaan yang paling terkenal dari Surah Al-Waqi'ah didasarkan pada sebuah riwayat hadis, yang meskipun statusnya diperdebatkan oleh para ahli hadis (sebagian menganggapnya dhaif, sebagian menganggapnya hasan lighairihi), tetap populer di kalangan umat Islam dan dipegang teguh oleh banyak ulama salaf:
Para ulama menjelaskan bahwa "kefakiran" di sini tidak hanya berarti kemiskinan materi, tetapi juga kefakiran jiwa (qana'ah). Pembacaan surah ini secara rutin menanamkan keyakinan mendalam (tauhid) pada Dzat Pemberi Rezeki (Allah), sehingga hati merasa kaya (cukup) meskipun harta duniawi sedikit.
Tujuan utama surah ini adalah peringatan tentang Hari Kiamat. Dengan membaca dan merenungkan Surah Al-Waqi'ah, seorang Muslim akan selalu diingatkan tentang akhirat dan akan didorong untuk meninggalkan kehidupan mewah dan dosa yang menjadi ciri khas Ashab Al-Mash'amah.
Keistiqamahan dalam membaca surah ini berfungsi sebagai 'tameng' spiritual, memastikan bahwa fokus seorang mukmin tetap pada amal saleh dan persiapan untuk bertemu dengan Allah, sehingga ia terhindar dari kefakiran amalan di Hari Kiamat.
Melalui bukti-bukti penciptaan (air mani, benih, air minum, api) di bagian akhir surah, Al-Waqi'ah menegaskan Tauhid Rububiyah (keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki). Pengakuan ini adalah fondasi bagi ketenangan jiwa dan rezeki yang berkah. Siapa pun yang mengakui Allah sebagai satu-satunya Pengatur Rezeki tidak akan pernah merasa cemas atau miskin.
Hubungan antara Surah Al-Waqi'ah dan rezeki dapat dianalisis dari segi makna: Surah ini membahas secara rinci kenikmatan di Surga, yang merupakan balasan atas amal yang tulus. Jika seseorang yakin akan janji rezeki abadi di surga, ia tidak akan terikat pada rezeki duniawi yang fana. Sikap ini, dalam banyak kasus, justru membuka pintu rezeki karena ia fokus pada ibadah dan menjauhi ketamakan yang merusak.
Membaca Al-Waqi'ah setiap malam bukanlah ritual magis, melainkan latihan spiritual untuk menancapkan kepastian akhirat dalam hati, sehingga menghilangkan ketakutan terhadap hari esok (yang merupakan akar dari kefakiran).
Surah Al-Waqi'ah memberikan banyak pelajaran mendasar yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim:
Pelajaran terpenting adalah kepastian balasan. Tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari perhitungan. Pembagian menjadi tiga golongan—Muqarrabun, Maimanah, dan Mash'amah—menunjukkan bahwa takdir seseorang di akhirat ditentukan oleh perbuatannya di dunia.
Implementasi: Seorang mukmin harus senantiasa mengukur tindakannya, bertanya pada diri sendiri: "Apakah perbuatanku ini mendekatkanku pada Golongan Kanan atau justru menyeretku pada Golongan Kiri?" Ini menuntut introspeksi (muhasabah) yang konstan.
Surah ini mendorong umat Islam untuk tidak puas hanya dengan menjadi Ashab Al-Maimanah (golongan standar), tetapi untuk bercita-cita menjadi As-Sabiqun (yang tercepat dan terdepan). Jalan menuju kedekatan ini meliputi:
Empat bukti kekuasaan Allah (air mani, tanaman, air minum, api) adalah pengingat bahwa semua rezeki bersumber dari Allah semata. Ketergantungan ini harus diterjemahkan menjadi rasa syukur yang mendalam. Ketika seseorang memahami bahwa rezeki bukan dihasilkan oleh kecerdasan semata, tetapi oleh izin Allah, ia akan bersikap jujur dan menghindari cara-cara haram dalam mencari nafkah.
Jika Allah mampu menciptakan seluruh tanaman di bumi, maka menyediakan rezeki harian bagi satu hamba bukanlah hal yang sulit bagi-Nya. Keraguan terhadap rezeki adalah keraguan terhadap kekuasaan Allah yang Mahabesar.
Sumpah agung Allah dengan posisi bintang-bintang menegaskan bahwa Al-Qur'an adalah firman yang mulia dan terjaga. Ini mengajarkan kita untuk memperlakukan Al-Qur'an dengan rasa hormat tertinggi, baik dalam bentuk fisik (menjaga kebersihannya) maupun spiritual (membaca, mempelajari, dan mengamalkannya dengan tulus).
Untuk mencapai pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap Surah Al-Waqi'ah, khususnya dalam konteks rezeki, kita harus mengkaji bagaimana surah ini menghubungkan antara keyakinan akhirat dengan ketenangan dunia.
Di bagian pertama surah, Golongan Kiri dihukum karena "mereka hidup bermewah-mewahan" (Ayat 45). Kemewahan (mutrafin) yang dicela di sini bukanlah sekadar memiliki harta, tetapi menggunakan harta tersebut untuk melupakan tujuan hidup, mendustakan kebenaran, dan menumpuk dosa besar. Mereka menjadikan harta sebagai dewa yang dipuja, sehingga menolak kebenaran tentang Hari Kiamat. Kontras antara kenikmatan yang fana (dunia) dan kenikmatan yang abadi (surga) sangat mencolok.
Ketika seseorang rutin membaca surah ini dan merenungkan perbandingan antara tempat tidur bertahtakan emas di surga dan azab Zaqqum, perspektifnya terhadap harta dunia akan berubah. Harta dunia menjadi sarana (wasilah), bukan tujuan (ghayah).
Ayat 57 hingga 74 yang membahas tentang air, benih, dan api adalah titik balik naratif surah. Tiga elemen ini adalah fondasi kehidupan dan rezeki fisik, namun manusia sering menganggapnya ada dengan sendirinya (entitlement). Surah Al-Waqi'ah secara tegas menanyakan kepemilikan dan kontrol atas elemen-elemen ini. Pertanyaan retoris Allah bertujuan untuk menghilangkan ilusi kontrol pada diri manusia.
Misalnya, pembahasan tentang air. Seberapa berharganya air tawar yang mudah didapat? Jika Allah menghendaki air itu asin (ujaaj), seluruh peradaban manusia akan runtuh. Kesadaran ini menciptakan syukur yang merupakan pintu pembuka rezeki sejati, sebagaimana firman Allah dalam surah lain, "Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu."
Kekayaan sejati yang dijanjikan oleh Surah Al-Waqi'ah bukan terletak pada rekening bank, tetapi pada status seseorang di hari perhitungan. Status tertinggi adalah Al-Muqarrabun, yang menikmati kekayaan spiritual berupa kedekatan dengan Allah. Kekayaan ini adalah imunitas terhadap kefakiran jiwa. Ketika hati seorang hamba dipenuhi dengan keyakinan (iman), ia tidak akan merasa miskin, bahkan jika secara materi ia kekurangan.
Oleh karena itu, janji "tidak akan ditimpa kefakiran" bagi pembaca Al-Waqi'ah adalah janji ganda:
Alt: Simbol Keseimbangan Amalan: Timbangan yang berat di sisi amalan baik.
Bagi mereka yang telah diberi kelapangan rezeki, Surah Al-Waqi'ah menjadi peringatan keras. Kekayaan yang melimpah harus digunakan untuk tujuan akhirat. Para Al-Mutrafin (yang hidup bermewah-mewahan tanpa batas) adalah mereka yang menolak dakwah karena merasa rezeki mereka adalah hasil dari kehebatan diri sendiri, bukan karunia Allah.
Seorang Muslim yang membaca surah ini secara konsisten didorong untuk menggunakan hartanya sebagai jembatan menuju status Al-Muqarrabun, bukan sebagai beban yang menyeretnya ke dalam kelompok Al-Mash'amah.
Surah Al-Waqi'ah adalah masterclass dalam perbandingan. Perbandingan rinci antara tempat tinggal tiga golongan berfungsi sebagai motivasi dan ancaman yang seimbang.
Ayat-ayat surga bukan sekadar deskripsi, tetapi janji yang menenangkan jiwa para mukmin yang berjuang di dunia:
Bidara di dunia seringkali dipenuhi duri. Allah menyebutkan bidara di surga telah dihilangkan durinya (makhdhud). Ini melambangkan kenikmatan yang murni dan mudah didapatkan, tanpa kesulitan atau rasa sakit yang terkait dengan kenikmatan duniawi. Ini adalah keindahan yang dapat dinikmati sepenuhnya.
Di Mekah, di mana surah ini diturunkan, naungan adalah nikmat yang sangat berharga. Surga dijanjikan memiliki naungan yang memanjang, yang tidak pernah bergeser atau hilang, menandakan kenyamanan dan kesejukan abadi. Berbeda dengan naungan dunia yang selalu berubah seiring pergerakan matahari.
Deskripsi bidadari (al-hurul-'in) dan penciptaan kembali istri-istri di dunia dalam bentuk yang sempurna (Ayat 35-37) menepis anggapan bahwa surga hanya bersifat spiritual murni. Kenikmatan fisik di surga juga sempurna, tanpa kelemahan, kebosanan, atau kekecewaan, sebagai hadiah atas kesabaran dalam menjaga kehormatan di dunia.
Kondisi Neraka digambarkan melalui lima elemen utama yang bertolak belakang dengan kenikmatan surga:
Kontras yang tajam ini mempertegas urgensi taubat dan amal saleh. Surah Al-Waqi'ah berfungsi sebagai peta spiritual yang jelas: Jalan Kanan menawarkan ketenangan abadi, sementara Jalan Kiri menjamin kesengsaraan yang tak berkesudahan.
Dengan mengakhiri surah ini dengan tasbih (mensucikan nama Allah Yang Maha Agung), seorang Muslim diingatkan bahwa respons terbaik terhadap wahyu yang begitu dahsyat dan janji yang begitu besar adalah dengan menundukkan diri sepenuhnya kepada Pencipta.