Islam, sebagai agama yang sempurna, memberikan perhatian mendalam terhadap perlindungan keturunan, kehormatan diri, dan tatanan sosial yang harmonis. Salah satu dosa besar yang secara tegas dilarang dan diberikan sanksi berat adalah perbuatan zina (perbuatan persetubuhan di luar ikatan pernikahan yang sah). Kajian ini akan menelusuri secara komprehensif surah-surah utama dalam Al-Qur’an yang membahas topik ini, mulai dari larangan fundamental, penetapan hukuman, hingga langkah-langkah pencegahan yang bersifat preventif.
Pemahaman yang utuh mengenai ayat-ayat ini memerlukan penelaahan bukan hanya pada teks literalnya (matan), tetapi juga pada konteks penurunan (Asbabun Nuzul), pandangan yurisprudensi Islam (Fiqh), serta hikmah filosofis di balik penetapan hukum tersebut (Maqashid Syariah).
Ayat ini merupakan fondasi moral dan etika dalam Islam yang menjadi rambu peringatan pertama terhadap dosa zina. Ayat ini diletakkan dalam konteks perintah-perintah moral lainnya, seperti larangan membunuh jiwa yang diharamkan Allah dan perintah berbuat baik kepada orang tua.
Simbol perlindungan dan batas.
(Artinya): "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra’ [17]: 32)
Pilihan kata dalam ayat ini sangatlah penting dan menunjukkan kedalaman linguistik Al-Qur'an. Allah SWT tidak hanya berfirman "Jangan berzina" (La taznu), melainkan menggunakan frasa "Janganlah kamu mendekati zina" (Wala taqrabu az-zina).
Konsep "Jangan mendekati" merupakan penekanan pada prinsip pencegahan (Sadd Adz-Dzari'ah) dalam Syariat Islam. Ini berarti segala tindakan, perbuatan, atau kondisi yang dapat menjadi jalan atau pemicu menuju perzinaan juga dilarang. Para ulama tafsir, seperti Imam Qurtubi dan Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa mendekati zina mencakup:
Dengan melarang akarnya, Syariat bertujuan memutus rantai godaan sejak dini, melindungi masyarakat dari kerusakan moral yang timbul akibat perzinaan.
Ayat ini memberikan dua sifat utama bagi zina:
Kata Fahisyah (فَاحِشَةً) dalam bahasa Arab merujuk pada dosa yang sangat buruk, menjijikkan, dan melampaui batas kewajaran atau moralitas. Zina disebut keji karena melanggar hak-hak berikut:
Penyebutan zina sebagai "jalan yang buruk" menekankan bahwa perbuatan ini bukan hanya dosa sesaat, tetapi juga merupakan pintu gerbang menuju keburukan-keburukan lain (dosa-dosa turunan). Ia merusak reputasi, menghancurkan masa depan, dan mendatangkan azab di akhirat. Penafsiran modern juga melihatnya sebagai jalan yang buruk karena risiko penyebaran penyakit menular seksual dan trauma psikologis.
Jika Surah Al-Isra’ berfokus pada larangan moral dan pencegahan, Surah An-Nur (Surah Cahaya) memberikan fokus utama pada hukum pidana (Hadd) terhadap pelaku zina, serta aturan-aturan yang melindungi kehormatan dan kemuliaan dalam masyarakat Islam.
Simbol keadilan dan implementasi hukum.
(Artinya): "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap satu dari keduanya seratus kali cambukan; dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman." (QS. An-Nur [24]: 2)
Ayat ini secara eksplisit menetapkan hukuman cambuk 100 kali bagi pezina. Mayoritas ulama menyepakati bahwa hukuman ini berlaku untuk pezina yang belum menikah (ghairu muhshan). Penetapan ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW dan praktik Khulafa’ur Rasyidin, di mana hukuman ini dikombinasikan dengan pengasingan selama setahun.
Hukuman bagi pezina yang sudah menikah (muhshan), yang tidak disebutkan dalam ayat ini, telah ditetapkan melalui sunah Rasulullah SAW, yaitu rajam (dilempari batu sampai mati). Para ulama menjelaskan bahwa ayat ini (An-Nur: 2) turun setelah hukuman rajam ditetapkan, dan ia berfungsi sebagai pelengkap: cambuk untuk ghairu muhshan, dan rajam untuk muhshan, yang dianggap melakukan penghianatan yang jauh lebih besar terhadap janji pernikahan dan norma sosial.
Frasa "dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu" (wa lā ta’khużkum bihimā ra’fatun) menekankan bahwa hukum Allah harus ditegakkan dengan ketegasan dan tanpa pandang bulu, demi kemaslahatan umum. Jika hakim atau penegak hukum membiarkan emosi pribadi menghalangi pelaksanaan hukum, maka tatanan sosial akan rusak. Belas kasihan diberikan dalam konteks pengampunan dosa oleh Allah jika pelakunya bertobat, tetapi hukuman publik harus tetap dijalankan sebagai kaffarah (penebus dosa) di dunia dan pencegahan (zawajir) bagi masyarakat.
Kewajiban agar hukuman disaksikan oleh "sekumpulan orang-orang yang beriman" (ṭā’ifatun mina l-mu’minīn) memiliki dua tujuan utama:
(Artinya): "Laki-laki yang berzina tidaklah menikahi melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidaklah dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu atas orang-orang yang mukmin." (QS. An-Nur [24]: 3)
Ayat ini menimbulkan perdebatan sengit di kalangan fukaha (ahli fikih). Secara umum, ayat ini dipahami dalam dua cara:
Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama (misalnya Imam Ahmad bin Hanbal) yang menafsirkan ayat ini secara literal: seorang mukmin yang suci dilarang menikahi pezina (yang belum bertobat). Mereka berpendapat bahwa pernikahan yang sah hanya boleh terjadi jika pezina tersebut telah menjalani hukuman hadd atau telah menunjukkan tobat yang tulus.
Mayoritas ulama (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i) berpendapat bahwa ayat ini tidak bersifat larangan permanen, terutama jika pelaku telah bertobat. Mereka menafsirkan ayat ini lebih sebagai deskripsi dari sifat buruk: "Laki-laki yang sangat cenderung berzina tidak akan peduli menikah kecuali dengan perempuan yang memiliki kecenderungan sama." Setelah tobat nasuha, larangan tersebut terangkat, dan pernikahan menjadi sah. Namun, syarat utamanya adalah memastikan rahim bersih (istibra’) sebelum akad nikah dilaksanakan.
Syariat Islam sangat menghargai kehormatan individu. Untuk mencegah penyebaran fitnah dan tuduhan tak berdasar, Al-Qur'an menetapkan syarat yang sangat ketat untuk membuktikan zina, sekaligus memberikan hukuman berat bagi mereka yang menuduh tanpa bukti yang memadai. Ini adalah inti dari Surah An-Nur ayat 4-10.
(Artinya): "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur [24]: 4)
Untuk membuktikan perbuatan zina, Syariat menuntut kehadiran empat orang saksi laki-laki yang adil. Keempat saksi ini harus menyaksikan perbuatan tersebut secara langsung, seolah-olah melihat jarum masuk ke dalam benang. Kondisi yang sangat sulit ini menunjukkan bahwa Syariat lebih cenderung untuk menutupi aib dan memaafkan, daripada mencari-cari kesalahan, kecuali jika kerusakan moral sudah sangat jelas dan terbukti mutlak.
Jika penuduh gagal mendatangkan empat saksi, ia dikenai tiga sanksi berat:
Hukum Qazf ini adalah mekanisme perlindungan kehormatan yang paling kuat dalam Islam. Tujuannya bukan hanya menghukum penuduh, tetapi memastikan bahwa kehormatan masyarakat dijaga dari fitnah, desas-desus, dan berita bohong.
Ayat 6 hingga 10 dari Surah An-Nur membahas kasus khusus di mana suami menuduh istrinya berzina, tetapi ia tidak memiliki empat saksi. Dalam kasus ini, hukum Qazf (cambuk 80 kali) tidak berlaku bagi suami jika ia menggunakan mekanisme Li'an (sumpah laknat).
(Artinya): "Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar." (QS. An-Nur [24]: 6)
Jika suami menuduh, ia harus bersumpah empat kali di hadapan hakim bahwa tuduhannya benar, dan yang kelima kalinya ia bersumpah bahwa laknat Allah akan menimpanya jika ia berbohong (Ayat 7).
Istri kemudian memiliki hak untuk membela diri dengan melakukan sumpah tandingan, empat kali bersumpah bahwa suaminya adalah pembohong, dan yang kelima kali ia bersumpah bahwa murka Allah akan menimpanya jika suaminya berkata benar (Ayat 8-9).
Jika kedua belah pihak telah melaksanakan Li'an, konsekuensinya adalah:
Mekanisme Li'an menunjukkan betapa pentingnya keadilan dan menjaga integritas rumah tangga, bahkan dalam situasi yang paling rumit dan intim.
Sejalan dengan perintah "Jangan mendekati zina" (Al-Isra’ 32), Surah An-Nur juga secara rinci menetapkan aturan-aturan preventif yang berfungsi sebagai benteng utama melawan godaan. Aturan ini berpusat pada perintah menjaga pandangan (ghad-dhul bashar) dan menjaga aurat (hijab).
(Artinya): "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur [24]: 30)
Ayat ini ditujukan pertama-tama kepada laki-laki mukmin. Menahan pandangan (Ghadhdhul Bashar) adalah perintah untuk tidak menatap hal-hal yang diharamkan, terutama lawan jenis, dengan syahwat. Para ulama sepakat bahwa pandangan pertama yang tidak disengaja dimaafkan, tetapi pandangan kedua yang disengaja dan dipertahankan adalah haram. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Pandangan mata adalah panah beracun dari panah-panah Iblis."
Korelasi antara menjaga pandangan dan menjaga kemaluan (yahfadzū furūjahum) sangat jelas. Pandangan adalah langkah pertama menuju dosa zina. Dengan mengendalikan mata, seorang mukmin secara otomatis memperkuat perlindungan terhadap kemaluannya, menjaga kesucian diri (azkā lahum).
(Artinya): "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka..." (QS. An-Nur [24]: 31, potongan)
Ayat ini mencantumkan serangkaian perintah spesifik yang memastikan kesucian dan perlindungan kehormatan bagi perempuan:
Sama seperti laki-laki, perempuan mukmin diperintahkan menahan pandangan dan memelihara kehormatan seksualnya. Ini menegaskan prinsip kesetaraan dalam tanggung jawab menjaga kesucian.
Perintah ini merujuk pada larangan menampilkan daya tarik yang dapat membangkitkan syahwat, kecuali bagian yang ‘biasa nampak’ (seperti wajah dan telapak tangan, menurut sebagian besar mazhab fiqih).
Ayat ini secara spesifik memerintahkan agar perempuan "menutupkan kerudung (khumur) mereka ke dada (juyūbihinna)". Ini adalah perintah langsung mengenai bagaimana jilbab (penutup kepala) harus dikenakan, yaitu menutupi leher dan dada, area yang sering dianggap sebagai pusat daya tarik.
Ayat ini kemudian merinci daftar laki-laki yang boleh melihat perhiasan perempuan, yaitu mereka yang menjadi mahram (suami, ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, dan seterusnya). Daftar ini menegaskan bahwa interaksi bebas hanya diperbolehkan dalam lingkaran keluarga terdekat.
Ayat-ayat pencegahan ini menunjukkan bahwa Syariat Islam menerapkan strategi multi-lapisan untuk menjaga kesucian, yang dikenal sebagai Maqashid Syariah (Tujuan Hukum Islam), khususnya perlindungan terhadap Nasab (keturunan) dan Irdh (kehormatan).
Meskipun zina adalah dosa besar yang membawa hukuman berat di dunia, Al-Qur'an juga selalu membuka pintu tobat bagi hamba-Nya yang menyesali perbuatan mereka. Ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan Allah (hukum hadd) dan kasih sayang-Nya (penerimaan tobat).
Ayat-ayat lain dalam Al-Qur’an, terutama yang membahas dosa-dosa besar, seringkali menyandingkan zina dengan syirik (menyekutukan Allah) dan pembunuhan. Surah Al-Furqan memberikan peringatan keras tentang konsekuensi akhirat bagi pelaku dosa besar:
(Artinya): "Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barangsiapa melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa." (QS. Al-Furqan [25]: 68)
Pembalasan dosa (athamā) yang dimaksud dalam ayat berikutnya adalah azab yang berlipat ganda pada Hari Kiamat. Ini menegaskan status zina sebagai salah satu dosa terberat yang merusak pondasi keimanan seorang hamba.
Namun, segera setelah ancaman azab tersebut, Al-Qur'an menawarkan jalan keluar yang penuh harapan:
(Artinya): "Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Furqan [25]: 70)
Pintu tobat ini terbuka lebar bagi pelaku zina. Syaratnya adalah taubat nasuha (tobat yang sungguh-sungguh): menyesal, berhenti dari perbuatan dosa, bertekad tidak mengulangi, dan menggantinya dengan amal saleh. Dalam konteks tobat dari zina, para ulama menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan dosa tersebut dan tidak mengungkapkannya kepada publik, kecuali dalam situasi di mana hukuman hadd ditegakkan oleh pengadilan.
Untuk memahami implementasi ayat-ayat di atas, penting untuk menelaah bagaimana para ahli fikih (fukaha) merumuskan hukum pidana (hadd) berdasarkan teks Al-Qur’an dan Sunnah. Perbedaan utama terletak pada definisi Muhshan (sudah menikah) dan Ghairu Muhshan (belum menikah).
Menurut konsensus fikih empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), zina adalah hubungan seksual terlarang yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan mukallaf (berakal, baligh) tanpa ikatan pernikahan yang sah, baik itu pernikahan yang sah, syubhat (diragukan), maupun milik (budak).
Seorang pezina dianggap muhshan jika ia memenuhi empat syarat dasar saat melakukan perzinaan:
Bagi muhshan, hukuman yang disepakati oleh mayoritas ulama adalah Rajam, berdasarkan praktik Rasulullah SAW (misalnya kasus Ma’iz dan Al-Ghamidiyyah). Hukuman rajam dianggap sebagai nasakh (penghapusan) hukum cambuk yang ada pada Surah An-Nur bagi pezina muhshan, atau sebagai penambahan hukuman yang datang dari Sunnah. Walaupun ayat rajam tidak lagi terdapat dalam Mushaf, keabsahannya sebagai hukum tetap dipertahankan melalui Sunnah Mutawatir.
Bagi mereka yang belum pernah menikah secara sah, hukuman yang diterapkan adalah Cambuk 100 kali (sebagaimana firman QS. An-Nur: 2) ditambah Pengasingan (Taghrib) selama satu tahun. Pengasingan ini adalah tambahan dari Sunnah (berdasarkan Hadis), yang bertujuan menjauhkan pelaku dari lingkungan yang dapat membawanya kembali kepada dosa dan memberikan waktu untuk introspeksi dan tobat.
Kajian mendalam terhadap Surah An-Nur menunjukkan bagaimana Al-Qur'an menyediakan kerangka hukum dasar (cambuk 100 kali), sementara Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap yang membedakan jenis hukuman berdasarkan status pernikahan. Interaksi ini adalah bukti nyata dari peran Sunnah sebagai sumber hukum kedua dalam Islam, yang berfungsi sebagai tafsir praktis terhadap wahyu.
Mengingat sulitnya pembuktian melalui empat saksi, para ulama menekankan bahwa hukuman hadd jarang sekali diterapkan. Kasus-kasus yang tercatat di masa Nabi sering kali melibatkan:
Dalam ketiadaan dua hal tersebut dan ketiadaan empat saksi, penuduh akan dikenai hukuman Qazf. Ini menunjukkan bahwa fokus Syariat adalah pencegahan dan perlindungan, bukan penghukuman massal.
Selain ayat-ayat hukum yang eksplisit, Al-Qur'an juga menyampaikan pesan moral tentang kesucian melalui kisah-kisah para Nabi. Kisah Nabi Yusuf AS dan godaan dari Zulaikha, sebagaimana diceritakan dalam Surah Yusuf, menjadi contoh agung tentang perjuangan melawan syahwat dan godaan zina.
(Artinya): "Sesungguhnya wanita itu telah berkeinginan (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun berkeinginan (melakukan perbuatan itu) dengannya, sekiranya dia tidak melihat bukti dari Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (QS. Yusuf [12]: 24)
Ayat ini mengakui realitas naluri manusia (hamma biha), menunjukkan bahwa bahkan seorang Nabi pun dapat merasakan godaan. Ini menghilangkan pandangan simplistik bahwa menjaga kesucian itu mudah. Namun, yang membedakan adalah intervensi keimanan.
Penyelamat Nabi Yusuf adalah Burhana Rabbih (Bukti dari Tuhannya). Para mufasir berbeda pendapat tentang bentuk bukti ini (apakah itu teguran internal, visualisasi azab, atau manifestasi fisik dari tanda kenabian). Intinya adalah: Yusuf memilih Tuhannya di atas nafsu. Ini adalah penekanan Al-Qur'an bahwa melawan zina membutuhkan intervensi ilahi dan kesadaran spiritual yang tinggi.
Puncak dari kisah ini adalah keputusan Yusuf untuk lari:
(Artinya): "Dan keduanya berlomba menuju pintu, dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak." (QS. Yusuf [12]: 25)
Tindakan berlari menuju pintu adalah manifestasi fisik dari perintah "Jangan mendekati zina" (Al-Isra’ 32). Ketika berada dalam situasi yang berpotensi haram (khalwat), tindakan paling suci adalah melarikan diri, memutuskan rantai godaan secara total.
Kisah Yusuf menegaskan bahwa kesucian moral adalah pertarungan terus-menerus. Itu bukan hanya tentang menghindari hukuman di dunia, tetapi tentang pemeliharaan jiwa (tazkiyatun nafs) dari setiap bentuk kekejian (fahisyah).
Kajian mendalam terhadap surah-surah utama Al-Qur'an yang membahas zina—terutama Al-Isra’, An-Nur, dan pelajaran dari Al-Furqan dan Yusuf—mengungkapkan bahwa Islam tidak hanya melarang suatu perbuatan, tetapi juga membangun sebuah sistem perlindungan sosial yang holistik.
Sistem ini beroperasi dalam tiga dimensi:
Pilar utama adalah pencegahan, melalui larangan mendekati (la taqrabu), perintah menjaga pandangan (ghad-dhul bashar), dan penetapan aturan berbusana (hijab). Ini adalah upaya untuk menjaga kebersihan spiritual dan menghindari pemicu dosa.
Islam menetapkan sanksi berat (hadd) bagi pelaku zina yang terbukti mutlak, berfungsi sebagai penebus dosa di dunia dan peringatan keras bagi masyarakat. Bersamaan dengan itu, Islam melindungi kehormatan melalui Hukum Qazf, yang memastikan bahwa sanksi tersebut hanya diterapkan pada kasus-kasus yang tidak menyisakan keraguan sama sekali, sekaligus menghukum para penyebar fitnah.
Meskipun beratnya hukuman, Al-Qur'an senantiasa menawarkan harapan melalui tobat. Ini mencerminkan sifat Allah SWT sebagai Maha Pengampun, memberikan kesempatan kedua bagi hamba-Nya untuk kembali ke jalan yang lurus.
Pada akhirnya, ayat-ayat tentang zina dalam Al-Qur'an adalah manifestasi dari tujuan Syariat (Maqashid Syariah) untuk melindungi lima hal mendasar: Agama (Din), Jiwa (Nafs), Akal (Aql), Keturunan (Nasab), dan Harta (Mal). Dengan menjaga kesucian seksual, Islam memastikan bahwa tatanan keturunan tetap terjaga, keluarga utuh, dan masyarakat terbebas dari kekejian yang merusak.
Umat Muslim diwajibkan untuk merenungkan kedalaman hukum ini, menjadikannya bukan sekadar aturan legalistik, tetapi sebagai peta jalan menuju kesucian diri dan kemaslahatan bersama.