Wahyu Makkiyyah, Mengagungkan Kekuatan Kenabian dan Tanda-Tanda Kekuasaan Allah
Surah An-Naml, yang berarti "Semut", adalah Surah ke-27 dalam mushaf Al-Qur'an dan termasuk dalam kelompok wahyu Makkiyyah. Penamaan Surah ini berasal dari kisah luar biasa yang termuat di dalamnya, yaitu dialog antara Nabi Sulayman (as) dengan seekor semut, sebuah peristiwa yang sarat makna dan menunjukkan keluasan pengetahuan serta kekuasaan yang dianugerahkan Allah SWT kepada utusan-Nya.
Surah An-Naml berfungsi sebagai landasan teologis yang kokoh, berfokus pada dua poros utama: pertama, kebenaran Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk yang tak tertandingi; dan kedua, kesatuan (Tawhid) Allah, yang dibuktikan melalui kisah-kisah kenabian yang menantang akal manusia serta melalui demonstrasi tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta (ayat-ayat kosmik).
Di tengah tekanan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW dan para pengikut awal di Makkah, Surah ini datang membawa penghiburan dan jaminan. Ia menegaskan bahwa kekuatan dan kebenaran selalu berada di pihak mereka yang beriman, meskipun mereka mungkin tampak lemah di mata dunia. Kontras yang tajam ditampilkan antara kekuatan sementara dari kerajaan duniawi (Firaun, kaum Tsamud) dan kerajaan spiritual abadi yang dipimpin oleh Nabi Sulayman, yang kekuasaannya sepenuhnya tunduk kepada kehendak Ilahi.
Pernyataan pembuka ini langsung menetapkan otoritas Al-Qur'an. Ini bukan sekadar kisah sejarah, melainkan 'Ayat-Ayat'—tanda-tanda—dari Kitab yang 'Mubin' (jelas dan menerangkan). Pesan ini relevan bagi kaum musyrikin Makkah yang meragukan sumber wahyu, sekaligus bagi umat Islam sepanjang masa untuk menggali kedalaman maknanya.
Surah An-Naml memulai rangkaian kisah kenabiannya dengan Nabi Musa (as), meskipun kisah ini telah diceritakan di banyak Surah lain. Namun, di sini, penekanannya berbeda; fokus diletakkan pada momen penerimaan wahyu, yang menjadi titik balik dramatis dalam kehidupannya dan menegaskan bahwa wahyu adalah pengalaman yang nyata dan transformatif.
Ketika Musa melihat api di kejauhan, ia pergi untuk mencari penerangan atau petunjuk bagi keluarganya. Apa yang ia temukan jauh melampaui harapan materi. Di lembah suci Thuwa, Musa dipanggil oleh Suara dari sisi bukit, sebuah panggilan yang mengguncang eksistensinya dan menandai permulaan misi kenabiannya.
Kisah Musa di sini berfungsi sebagai pengantar yang kuat untuk tema sentral Surah: tanda-tanda (ayat) yang tidak dapat dipahami oleh akal murni kecuali melalui penerimaan bimbingan Ilahi. Tongkat yang berubah menjadi ular dan tangan yang bersinar putih adalah mukjizat yang tidak hanya dimaksudkan untuk meyakinkan Musa tetapi juga untuk menghadapi kesombongan Firaun dan para pembesar Mesir.
Reaksi Firaun dan kaumnya terhadap mukjizat tersebut menjadi pelajaran penting. Mereka melihat tanda-tanda yang jelas, namun kesombongan (istkibar) dan keyakinan buta pada pengetahuan duniawi mereka membuat mereka menolak kebenaran, menuduh Musa sebagai tukang sihir. Tafsir menekankan bahwa penolakan mereka didasarkan pada kezaliman dan keangkuhan, bukan pada ketidakjelasan bukti.
Pengulangan kisah Musa dalam konteks Surah An-Naml, yang selanjutnya akan membahas Sulayman, menyiapkan perbandingan mendalam antara dua jenis kekuasaan kenabian: Musa menghadapi kekuasaan tiranik dengan mukjizat fisik yang menantang, sementara Sulayman menerima kekuasaan kosmik yang merangkul alam dan makhluk hidup.
Ilustrasi simbolis Semut di hadapan keagungan Kerajaan Sulayman.
Kisah Nabi Sulayman (as) dalam An-Naml (ayat 15-44) adalah mahakarya naratif yang memadukan unsur metafisika, diplomasi politik, dan demonstrasi keajaiban yang tidak tertandingi. Sulayman, putra Nabi Dawud (as), dianugerahi kekuasaan yang tak pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya maupun sesudahnya: kemampuan memahami bahasa binatang dan burung, pengendalian atas angin, dan pelayanan dari bangsa jin.
Sulayman menyadari bahwa semua kekuasaan ini adalah anugerah murni dari Allah, bukan hasil dari kecerdasan atau kekuatannya sendiri. Kesadaran akan nikmat inilah yang membuatnya selalu bersyukur. Penguasaannya terhadap bahasa alam bukan sekadar kemampuan fisik, tetapi merupakan demonstrasi dari ilmu (pengetahuan) Ilahi yang melampaui batas-batas material.
Ketika Sulayman mengumpulkan tentaranya—yang terdiri dari jin, manusia, dan burung—dia menunjukkan ketertiban, disiplin, dan kekuasaan yang mutlak. Tata kelola ini mencerminkan prinsip-prinsip syariat: setiap kelompok memiliki fungsi dan tempatnya. Ini mengajarkan bahwa kepemimpinan yang ideal adalah yang mampu mengelola beragam elemen di bawah satu sistem yang adil dan teratur.
Momen yang paling sering dikutip, dan yang memberi nama Surah ini, adalah pertemuannya dengan pasukan semut. Ketika rombongan Sulayman mendekati lembah semut, seekor semut memberi peringatan kepada kawanannya:
Reaksi Sulayman terhadap perkataan semut itu adalah tawa—tawa yang didasari rasa syukur dan kesadaran akan nikmat Allah. Dia tidak hanya mendengar kata-kata semut, tetapi juga memahami alasan di baliknya: kekhawatiran semut tersebut agar kawanannya tidak terinjak tanpa sengaja oleh pasukan yang tidak menyadari kehadiran mereka.
Dari dialog ini, kita belajar beberapa hal fundamental: 1) Pentingnya kepemimpinan yang bertanggung jawab (semut pemimpin melindungi kawanannya). 2) Kekuatan pengetahuan yang diberikan Allah (Sulayman memahami bahasa yang tersembunyi). 3) Bahkan dalam puncak kekuasaan, kehati-hatian terhadap makhluk terkecil (semut) adalah ajaran moral. Surah ini menetapkan bahwa keadilan Ilahi mencakup perlindungan bagi makhluk-makhluk yang paling rentan.
Setelah insiden semut, Sulayman memeriksa pasukannya dan menemukan ketidakhadiran burung Hudhud. Rasa tanggung jawab Sulayman sebagai pemimpin ditunjukkan dari keseriusannya menyelidiki ketidakhadiran satu prajurit, sekecil apapun itu. Ini merupakan pelajaran manajemen dan akuntabilitas.
Ketika Hudhud kembali, ia membawa laporan yang mengguncang: adanya sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang wanita—Balqis—di Saba' (Sheba), tetapi mereka menyembah matahari, bukan Allah. Laporan Hudhud tidak hanya sekadar intelijen, tetapi juga laporan teologis; Hudhud merasa terganggu oleh penyimpangan tauhid mereka.
Sulayman menunjukkan kecerdasan strategis. Ia tidak langsung menyerang. Ia mengirim surat diplomatik, singkat dan tegas, yang intinya adalah seruan untuk tunduk dan datang kepadanya dalam keadaan berserah diri (Islam). Surat ini adalah undangan universal menuju tauhid, disampaikan bahkan sebelum kontak fisik terjadi.
Balqis, seorang ratu yang bijaksana, tidak langsung bereaksi agresif. Ia berkonsultasi dengan para pembesarnya, yang menyarankan kekuatan militer. Namun, Balqis lebih memilih jalur diplomasi. Ia memutuskan mengirim hadiah besar kepada Sulayman untuk menguji niat dan kekuatannya.
Reaksi Sulayman terhadap hadiah tersebut menunjukkan kerendahan hati seorang nabi dan penguasa sejati. Ia menolak hadiah tersebut, menyatakan bahwa apa yang Allah anugerahkan kepadanya jauh lebih baik daripada harta benda duniawi mereka. Ini adalah penegasan bahwa misi kenabian bukan untuk keuntungan materi.
Titik klimaks kisah ini terjadi ketika Balqis memutuskan untuk datang ke kerajaan Sulayman. Sulayman ingin menunjukkan kepadanya tanda kekuasaan Ilahi yang tak tertandingi sebelum kedatangannya. Ia menantang majelisnya, terdiri dari jin dan manusia berilmu, untuk memindahkan singgasana megah Balqis dari Saba' ke Yerusalem dalam sekejap mata.
Seorang yang memiliki ilmu dari Kitab (atau ‘Ilmu Ghaib’ menurut beberapa tafsir) berhasil melakukannya. Peristiwa pemindahan singgasana ini hanya memakan waktu sekejap mata. Ini bukan hanya mukjizat, tetapi juga demonstrasi akan kekuatan ‘Ilmu’ (Pengetahuan) yang bersumber dari Allah, yang melampaui kemampuan fisik bangsa jin sekalipun.
Singgasana itu diubah sedemikian rupa untuk menguji kecerdasan dan keyakinan Balqis. Ketika Balqis tiba dan melihat singgasananya, ia mengakui kemiripannya, yang mengisyaratkan bahwa ia telah menerima petunjuk kebenaran sejak awal. Ujian ini mengarahkannya pada kesimpulan logis: kekuatan yang dimiliki Sulayman bersifat Ilahi, bukan manusia biasa.
Akhirnya, Balqis dibawa ke istana yang lantainya terbuat dari kaca yang begitu bening sehingga ia mengira itu adalah genangan air dan menyingkapkan betisnya. Ini adalah ujian terakhir yang menghilangkan kesombongan dan keangkuhan duniawi. Di hadapan Sulayman, Balqis membuat pernyataan yang monumental:
Ia mengakui kezalimannya (menyembah matahari) dan menyatakan keislamannya, berserah diri kepada Allah, Rabb semesta alam. Kisah ini adalah puncak naratif An-Naml, menunjukkan bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang digunakan untuk menegakkan tauhid, dan bahwa hikmah serta mukjizat mampu melunakkan hati para penguasa yang paling sombong sekalipun.
Setelah demonstrasi kekuasaan Ilahi melalui Sulayman, Surah An-Naml beralih ke kisah-kisah yang menjadi peringatan keras bagi kaum Quraisy yang menolak Nabi Muhammad SAW. Kisah Nabi Salih (as) dan Kaum Tsamud, serta kisah Nabi Luth (as) dan kaumnya, disajikan untuk menunjukkan konsekuensi tak terhindarkan dari penolakan terhadap kebenaran dan perbuatan jahat.
Salih diutus kepada Kaum Tsamud, yang meskipun dianugerahi kemakmuran dan kemampuan membangun di lembah bebatuan, mereka terpecah menjadi dua golongan yang saling bertentangan. Para pembesar yang zalim menolak seruan tauhid Salih dan menuduhnya sebagai pertanda buruk (tathayyur).
Ketika Salih mendatangkan mukjizat unta betina sebagai bukti kebenarannya, kaum Tsamud bukannya beriman, malah bersekongkol untuk membunuh unta itu. Plot jahat ini melibatkan sembilan pemimpin yang berani bersumpah palsu. Ini menunjukkan tingkat kebobrokan moral mereka; kejahatan mereka tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi dengan arogansi terbuka.
Pelajaran mendalam dari kisah Tsamud di sini adalah tentang ‘al-Makar’ (persekongkolan jahat). Allah SWT mengungkapkan bahwa meskipun manusia merencanakan kejahatan yang tersembunyi, Allah memiliki rencana yang jauh lebih besar dan sempurna, yang akan membatalkan makar mereka. Kaum Tsamud dihancurkan oleh petir yang dahsyat, meninggalkan rumah-rumah mereka dalam kehancuran total, menjadi tanda bagi generasi setelahnya.
Kisah Nabi Luth (as) disajikan secara ringkas, namun dengan penekanan yang jelas pada kejahatan yang melampaui batas, yaitu praktik homoseksual yang merajalela di kalangan kaumnya. Ketika Luth menyeru mereka untuk meninggalkan kejahatan yang belum pernah dilakukan oleh umat manapun sebelumnya, tanggapan mereka adalah ejekan dan ancaman untuk mengusir Luth dan para pengikutnya.
Penghancuran Kaum Luth melalui hujan batu menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap norma-norma moral mendasar akan membawa bencana yang tidak terhindarkan. Dalam konteks Surah Makkiyyah, kisah ini memperingatkan para penolak Nabi bahwa kekuatan fisik dan kekayaan mereka tidak akan melindungi mereka dari murka Ilahi jika mereka terus-menerus melanggar hukum-hukum moral universal.
Setelah menyajikan kisah-kisah kenabian yang sarat dengan mukjizat historis, Surah An-Naml beralih secara retoris kepada bukti-bukti yang senantiasa hadir dan tidak terbantahkan: tanda-tanda Allah di alam semesta (ayat-ayat kosmik). Bagian ini, dimulai dari ayat 59 hingga akhir Surah, merupakan serangkaian pertanyaan retoris yang menantang kaum musyrikin untuk menjawab:
Rangkaian pertanyaan ini secara bertahap membangun argumen yang tak terhindarkan mengenai Tawhid Rububiyyah (Ketuhanan dalam Penciptaan dan Pemeliharaan) dan Tawhid Uluhiyyah (Ketuhanan dalam Ibadah). Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi:
Siapakah yang menciptakan langit yang menjulang tanpa tiang dan bumi sebagai hamparan? Siapakah yang menurunkan air dari langit yang menghidupkan kebun-kebun yang indah? Musyrikin Makkah sendiri tidak akan bisa mengklaim bahwa berhala mereka melakukannya. Jawaban yang diakui secara implisit adalah Allah, sehingga mengapa mereka menyekutukan-Nya?
Siapakah yang menjadikan bumi sebagai tempat tinggal yang stabil, meletakkan sungai-sungai dan gunung-gunung yang kokoh di permukaannya, dan membatasi dua lautan (air tawar dan air asin) agar tidak bercampur, meskipun keduanya bertemu? Struktur geologis dan hidrologis bumi adalah tanda bahwa ada Pengatur Tunggal yang Mahakuasa. Kemampuan manusia untuk berlayar dan membangun peradaban bergantung pada stabilitas ini, yang diatur oleh kehendak Ilahi.
Ini adalah pertanyaan yang paling menusuk hati nurani: Siapakah yang memperkenankan doa orang yang kesulitan (al-Mudhtharr) ketika ia menyeru-Nya, dan menghilangkan bencana? Ketika manusia menghadapi kesulitan ekstrem di lautan badai atau di tengah penyakit parah, insting mereka secara alami kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan para penyembah berhala mengakui kekuatan ini pada saat-saat kritis. Surah ini menggunakan pengakuan naluriah manusia sebagai bukti terhadap kesyirikan mereka.
Siapakah yang menunjukkan jalan bagi kalian di tengah kegelapan daratan dan lautan? Siapakah yang mengirimkan angin sebagai pembawa kabar gembira (hujan) sebelum rahmat-Nya datang? Sistem navigasi alami (bintang, matahari) dan siklus meteorologi yang kompleks, yang menunjang kehidupan dan pelayaran, adalah bukti manajemen yang sangat rinci dari Pencipta tunggal.
Siapakah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya (Kebangkitan)? Dan siapakah yang memberi rezeki dari langit dan bumi? Jika mereka mengakui bahwa Allah adalah Pencipta yang pertama, maka Dia juga pasti mampu melakukan penciptaan kedua (Kebangkitan), yang merupakan bagian fundamental dari ajaran Islam yang mereka tolak.
Rangkaian ayat kosmik ini secara efektif mengakhiri perdebatan dengan kaum musyrikin. Dengan memaksa mereka untuk mengakui kuasa Allah dalam hal penciptaan dan pemeliharaan alam, Surah ini membangun jembatan logis menuju keharusan mengakui Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah.
Ilustrasi simbolis kepastian Hari Penghisaban, mengingatkan bahwa ilmu Kiamat hanya milik Allah.
Surah An-Naml secara tegas membatasi pengetahuan tentang alam ghaib, khususnya waktu Hari Kiamat (Al-Sa'ah), hanya pada Allah SWT. Hal ini merupakan jawaban langsung terhadap tuntutan dan ejekan kaum musyrikin yang sering bertanya kapan janji hari Kebangkitan akan terpenuhi.
Ayat 65 menyatakan:
Tidak ada penghuni langit dan bumi yang mengetahui yang ghaib selain Allah. Ayat ini menegakkan prinsip mendasar dalam Aqidah Islam: pengetahuan tentang hal-hal yang tidak terjangkau panca indra (Ghaib Mutlaq) secara eksklusif dimiliki oleh Allah. Nabi Muhammad SAW sekalipun hanya mengetahui apa yang diwahyukan kepadanya.
Penyembunyian waktu Kiamat memiliki hikmah besar. Jika manusia mengetahuinya, mereka mungkin akan putus asa atau menunda pertobatan. Ketidaktahuan ini mempertahankan rasa waspada (muraqabah) dan dorongan untuk berbuat kebaikan, memastikan bahwa setiap orang berusaha sebaik mungkin sepanjang hidup mereka.
Meskipun waktu Kiamat dirahasiakan, kepastian kedatangannya ditekankan berulang kali. Allah menjamin bahwa mereka yang mengingkari Kebangkitan akan dibangkitkan. Ayat 82 meramalkan munculnya ‘Dabbatul Ardh’ (Binatang Bumi), yang akan menjadi salah satu tanda besar menjelang Hari Akhir. Binatang ini akan berbicara kepada manusia, menandai runtuhnya batas-batas dunia material dan spiritual.
Pada Hari Penghisaban, semua manusia akan dikumpulkan dalam barisan (Ayat 87). Mereka yang datang dengan membawa kebaikan (tauhid dan amal saleh) akan menerima balasan yang lebih baik dan aman dari ketakutan di hari itu. Sementara mereka yang membawa kejahatan (syirik dan dosa besar) akan dilemparkan ke dalam api neraka.
Surah An-Naml menekankan keadilan mutlak dalam pengadilan Ilahi. Penghakiman didasarkan pada perbuatan yang dicatat, dan setiap jiwa akan dibalas sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya, tanpa dizalimi sedikitpun. Konsep ‘Kitab’ yang disajikan di awal Surah kembali ditegaskan di akhir; Al-Qur’an adalah pembimbing dan pemberi peringatan, dan mereka yang mengikuti petunjuknya akan selamat.
Surah An-Naml, lebih dari Surah lain, adalah ode tentang nilai ilmu ('Ilm) dan hikmah (Wisdom) sejati. Kisah Sulayman adalah studi kasus tentang bagaimana ilmu sejati dari Allah menghasilkan kekuasaan yang adil, bukan tirani. Kekuasaan Sulayman adalah ujian keimanan dan kesyukurannya.
Ada kontras tajam antara ilmu yang dimiliki Sulayman (yang meliputi bahasa semut, kontrol jinn, dan pemahaman kitab) dengan ilmu yang dimiliki Firaun dan kaum Tsamud. Firaun memiliki ilmu pengetahuan Mesir kuno (sihir, arsitektur), namun ia menggunakannya untuk menindas dan menolak kebenaran, sehingga ilmunya menjadi bencana.
Sebaliknya, ilmu Sulayman tidak membuatnya sombong. Ketika ia menyaksikan singgasana Balqis dipindahkan secepat kedipan mata, ia tidak mengklaim itu sebagai kekuatannya, melainkan langsung bersujud dan berkata:
Ini adalah karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur. Sikap ini mendefinisikan seorang pemimpin sejati dalam Islam: setiap pencapaian, sekecil apapun itu, harus diakui sebagai anugerah Ilahi dan harus diikuti dengan syukur, bukan kebanggaan diri.
Penyebutan semut dan burung Hudhud bukan sekadar dekorasi naratif. Mereka memainkan peran penting dalam menegaskan kebenaran tauhid. Semut menunjukkan kepedulian komunitas dan kepemimpinan yang waspada, bahkan di tingkat paling mikroskopis. Hal ini mengajarkan bahwa alam semesta diatur dengan ketertiban (nizam) yang sempurna, dari unit terkecil hingga terbesar.
Hudhud, dengan pengetahuannya tentang air dan bumi, serta kepekaannya terhadap penyimpangan tauhid, menunjukkan bahwa makhluk alamiah pun, dalam batas-batas fungsi mereka, tunduk dan mengenal Penciptanya. Ini memperkuat gagasan bahwa penyembahan matahari oleh Balqis adalah pelanggaran terhadap fitrah yang diakui oleh makhluk selain manusia.
Kerajaan Sulayman adalah model teokratis yang sempurna, di mana kedaulatan tertinggi adalah milik Allah. Kekuasaan (mulk) Sulayman adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Tindakannya dalam mengelola tentara (termasuk jin dan binatang), diplomasi dengan Balqis, dan penolakannya terhadap hadiah, semuanya mencerminkan penggunaan kekuasaan untuk tujuan Ilahi.
Hal ini kontras dengan kekuasaan Firaun yang arogan, yang bertindak seolah-olah dia adalah tuhan bagi dirinya sendiri. Surah An-Naml mengajarkan bahwa kekuasaan, jika dipahami sebagai anugerah dan ujian, akan menghasilkan keadilan dan kedamaian; namun, jika dipahami sebagai hak mutlak, ia akan menghasilkan kezaliman dan kehancuran (seperti Tsamud).
Kisah perpindahan singgasana Balqis juga membawa makna filosofis mendalam tentang dimensi ruang dan waktu. Mukjizat ini, yang dilakukan oleh seorang manusia berilmu (Ashif bin Barkhiya, menurut beberapa tafsir), menunjukkan bahwa batasan-batasan fisik yang dikenal manusia dapat dilampaui melalui ‘Ilmu’ yang berasal dari Allah SWT. Ini adalah manifestasi dari kemampuan Ilahi untuk melipat jarak dan waktu. Hal ini seharusnya membuka pikiran para musyrikin Makkah yang terperangkap dalam materialisme sempit mereka.
Surah An-Naml menutup dengan menegaskan kembali peran Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan, serta menegaskan kembali bahwa setiap makhluk akan kembali kepada Allah SWT.
Nabi diperintahkan untuk berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan Makkah (Rabbul Balad), yang telah menjadikan Makkah Tanah Suci. Ini adalah penegasan identitas keagamaan Makkah yang kembali ke ajaran Tauhid Ibrahim, sebagai lawan dari penyembahan berhala yang ada pada saat itu.
Pada ayat-ayat penutup, terdapat jaminan bahwa meskipun Nabi dan pengikutnya saat itu lemah dan terancam, Allah akan mengembalikan mereka ke tempat kembalinya (Makkah) dengan kemenangan. Ini adalah janji yang terpenuhi melalui Fathu Makkah (Penaklukan Makkah).
Akhir Surah adalah seruan untuk memuji Allah dan sebuah janji bahwa Allah akan menunjukkan tanda-tanda-Nya (ayat) kepada manusia, sehingga mereka akan mengenalinya. Tanda-tanda ini tidak hanya terbatas pada mukjizat para nabi masa lalu, tetapi juga kebenaran kenabian Muhammad, kemenangan Islam, dan tanda-tanda kosmik yang terus berlangsung.
Keseluruhan Surah An-Naml merupakan pengingat abadi bahwa kisah-kisah masa lalu adalah pelajaran untuk masa kini. Kekuasaan dan kekayaan adalah fana, ilmu sejati berasal dari Ilahi, dan Tawhid adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Baik melalui dialog seekor semut, keagungan singgasana, maupun kehancuran kaum zalim, pesan Surah An-Naml tetaplah sama: Bersyukurlah atas nikmat Allah dan tunduklah kepada kehendak-Nya sebelum datangnya Hari Pengadilan yang pasti.
Surah ini mengajarkan umat Muslim untuk selalu melihat dunia melalui lensa hikmah dan tauhid. Jika Nabi Sulayman yang menguasai seluruh dunia dan alam ghaib masih bersujud dan bersyukur, maka manusia biasa wajib berbuat lebih. Surah An-Naml adalah mercusuar yang menerangi jalan menuju kesadaran diri dan kesadaran Ilahi.
Melalui perbandingan tiga nabi (Musa, Salih, Sulayman), Surah ini menyajikan berbagai cara Allah berinteraksi dengan manusia: melalui mukjizat yang menantang (Musa), melalui pemusnahan kaum yang zalim (Salih), dan melalui kekuasaan yang diberkati dan ilmu yang mendalam (Sulayman). Semua kisah ini bermuara pada satu titik tunggal: Kekuasaan dan kebenaran adalah milik Allah SWT semata. Setiap jiwa harus mempertimbangkan jejak langkahnya di dunia ini, menyadari bahwa setiap desahan napas dan setiap langkah kaki dicatat dan akan dihisab di hadapan Tuhan semesta alam.
An-Naml mengajarkan bahwa ujian terbesar dalam hidup bukanlah kesulitan, tetapi kemakmuran dan kekuasaan. Kekuatan yang diberikan kepada Sulayman bukanlah akhir dari ujian, melainkan awal. Dia diuji melalui kelimpahan, dan dia lulus dengan menyatakan syukur (Ayat 40). Pelajaran ini relevan bagi setiap individu, terlepas dari tingkat kekuasaan mereka. Setiap rezeki, ilmu, dan kemampuan yang kita miliki adalah "karunia Tuhanku" untuk menguji: apakah kita bersyukur atau kufur.