Mahkota dan Burung Hudhud, simbol kebijaksanaan dan kekuasaan Nabi Sulaiman

Surah Nabi Sulaiman: Kerajaan, Mukjizat, dan Kebijaksanaan Ilahi

Kisah Nabi Sulaiman Alaihissalam (AS) merupakan salah satu narasi paling kaya dan mendalam yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Ia bukan sekadar seorang utusan Allah, melainkan juga seorang raja yang dianugerahi kekuasaan tak tertandingi di muka bumi. Kisah-kisah yang merincikan kehidupan, kebijaksanaan, dan mukjizatnya tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah kenabian, tetapi juga sebagai sumber pelajaran teologis, etika, dan kepemimpinan yang abadi.

Penyebutan Nabi Sulaiman paling menonjol ditemukan dalam dua Surah utama: Surah An-Naml (Semut) dan Surah Sad. Surah An-Naml secara spesifik memusatkan perhatian pada interaksi kerajaannya dengan makhluk lain—semut, burung Hudhud, dan Ratu Balqis—menggambarkan keluasan kontrol dan keadilan beliau. Sementara itu, Surah Sad menyoroti ujian yang menimpa Sulaiman, doanya yang agung, dan anugerah unik berupa pengendalian angin dan jin. Kedua surah ini, ketika digabungkan, membentuk potret lengkap seorang pemimpin yang segala kekuatannya tunduk pada kehendak Ilahi dan digunakan semata-mata sebagai sarana untuk bersyukur kepada Sang Pencipta.

I. Anugerah dan Warisan Nabi Sulaiman dalam Al-Qur'an

Nabi Sulaiman adalah putra dari Nabi Daud AS, yang mewarisi kenabian, ilmu, dan kerajaan. Warisan ini bukanlah sekadar harta benda atau wilayah, tetapi warisan spiritual dan ilmu pengetahuan yang mendalam. Al-Qur'an menekankan bahwa ilmu yang diwarisinya melebihi kekayaan materi.

1. Ilmu dan Keunggulan di Atas Segala Ciptaan

Dalam Surah An-Naml (Ayat 15), Allah SWT berfirman mengenai Nabi Daud dan Sulaiman:

وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا ۖ وَقَالَا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي فَضَّلَنَا عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman’.”

Ilmu yang dianugerahkan kepada mereka adalah ilmu yang memungkinkan mereka memahami bahasa burung dan memiliki kendali atas elemen alam. Ini adalah ilmu yang membedakan mereka, dan respons pertama mereka terhadap anugerah ini adalah rasa syukur yang tulus (Alhamdulillah). Kesyukuran ini menjadi inti dari seluruh narasi Sulaiman, menunjukkan bahwa puncak kekuasaan duniawi seharusnya sejalan dengan puncak ketawadhuan spiritual.

2. Permintaan yang Tak Tertandingi (Doa Agung)

Kekuatan Sulaiman adalah hasil dari doa yang sangat spesifik dan ambisius. Dalam Surah Sad (Ayat 35), Sulaiman memohon kepada Allah sebuah kerajaan yang tidak akan dimiliki oleh siapa pun setelahnya. Permintaan ini mencerminkan keyakinan mutlak pada kemampuan Allah untuk memberikan segala sesuatu, bahkan hal yang melampaui batas imajinasi manusia:

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّن بَعْدِي ۖ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

“Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut dimiliki oleh seorang pun sesudahku; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi’.”

Tafsir klasik menjelaskan bahwa doa ini dikabulkan secara harfiah. Kerajaan Sulaiman tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga mencakup Jin, setan (*shayatin*), angin, dan binatang. Kekuasaan universal ini adalah mukjizat khusus yang membedakan Sulaiman dari semua raja lain dalam sejarah. Doa ini mengajarkan kepada umat bahwa permohonan yang ikhlas dan besar kepada Allah tidak terbatas oleh standar duniawi.

3. Kendali Atas Angin dan Jin

Dua pilar utama kekuasaan Sulaiman yang sering disorot adalah pengendaliannya terhadap angin dan jin. Angin, yang secara fisik mewakili kecepatan dan mobilitas luar biasa, tunduk di bawah perintahnya. Surah Sad menyebutkan bahwa angin bertiup atas perintahnya, menuju tempat yang ia kehendaki.

Adapun Jin dan setan, mereka ditundukkan untuk melakukan pekerjaan berat yang tidak dapat dilakukan manusia, seperti mendirikan bangunan tinggi (*mihrab*), patung, piring-piring sebesar kolam, dan periuk-periuk yang tetap di atas tungku (Saba', 13). Kontrol ini menegaskan superioritas otoritas kenabian atas kekuatan gaib. Ketika jin membangkang, mereka dirantai dan dihukum, menjaga keamanan dan ketertiban di bawah kekuasaan Sulaiman.

II. Surah An-Naml: Kisah Kerajaan yang Luar Biasa

Surah An-Naml, yang berarti "Semut", adalah tempat di mana kisah Sulaiman mencapai puncaknya dalam hal detail naratif. Surah ini memberikan pelajaran tentang kepekaan, investigasi, diplomasi, dan penaklukan spiritual.

1. Komunikasi dengan Semut dan Rasa Syukur yang Murni

Pelajaran pertama tentang kebijaksanaan Sulaiman terjadi saat pasukannya yang besar—terdiri dari manusia, jin, dan burung—berbaris. Ketika mereka mendekati lembah semut, Sulaiman mendengar percakapan antara semut. Kejadian ini diceritakan dalam ayat 18 dan 19:

حَتَّىٰ إِذَا أَتَوْا عَلَىٰ وَادِ النَّمْلِ قَالَتْ نَمْلَةٌ يَا أَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوا مَسَاكِنَكُمْ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

“Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.’ Maka dia (Sulaiman) tersenyum tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: ‘Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh’.”

Reaksi Sulaiman terhadap momen ini sangat instruktif. Mendengar percakapan semut, yang merupakan mukjizat besar, tidak membuatnya sombong. Sebaliknya, hal itu memicu doa mendalam yang meminta kekuatan untuk bersyukur. Ia menyadari bahwa kekuasaannya, yang begitu besar sehingga ia bahkan dapat mendengar percakapan makhluk terkecil, harus selalu diarahkan pada pengabdian kepada Allah. Doa ini, yang dikenal sebagai salah satu doa syukur terindah dalam Al-Qur'an, menunjukkan bahwa kebijaksanaan sejati adalah kemampuan untuk tetap rendah hati di puncak kekuasaan.

Selain itu, kisah semut mengajarkan tentang keadilan. Semut yang memimpin itu memperingatkan bangsanya, menunjukkan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Sulaiman, meskipun pasukannya besar dan tak terlihat ke bawah, tidak ingin melukai siapa pun tanpa disadari. Ini menunjukkan prinsip etika dalam perang dan kepemimpinan: kehati-hatian harus diterapkan bahkan terhadap makhluk yang paling tidak berdaya.

2. Hilangnya Hudhud dan Prinsip Investigasi

Dalam memimpin kerajaannya, Sulaiman menerapkan disiplin dan ketelitian yang luar biasa. Ia melakukan inspeksi terhadap pasukannya, termasuk kawanan burung. Ketika ia tidak menemukan Hudhud, seekor burung yang bertanggung jawab membawa air atau pesan, ia tidak langsung menghukum. Ia menerapkan prinsip investigasi yang adil (An-Naml: 20-21):

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا شَدِيدًا أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي بِسُلْطَانٍ مُّبِينٍ

“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: ‘Mengapa aku tidak melihat Hudhud, apakah dia termasuk yang tidak hadir? Sesungguhnya aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya, kecuali jika dia benar-benar datang kepadaku dengan alasan yang terang’.”

Ancaman hukuman yang keras menunjukkan pentingnya tugas dan tanggung jawab dalam sistem Sulaiman. Namun, frasa “...kecuali jika dia benar-benar datang kepadaku dengan alasan yang terang” adalah kunci. Ini adalah asas praduga tak bersalah. Sulaiman tidak menghukum sebelum mendengar pembelaan dan bukti yang kuat. Ini adalah model kepemimpinan yang menuntut pertanggungjawaban tetapi juga menjamin keadilan prosedural.

3. Misi Hudhud dan Penemuan Kerajaan Saba'

Tidak lama kemudian, Hudhud kembali membawa berita penting. Ia tidak hanya memberikan alasan atas ketidakhadirannya, tetapi juga membawa informasi intelijen geopolitik dan agama yang krusial dari negeri yang belum dikenal oleh Sulaiman: Saba' (Sheba), yang dipimpin oleh seorang Ratu.

Laporan Hudhud sangat detail dan fokus pada permasalahan utama: penyimpangan tauhid. Hudhud melaporkan bahwa Ratu Balqis dan rakyatnya menyembah matahari, bukan Allah, meskipun mereka dianugerahi kemakmuran besar:

“Aku dapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk.” (An-Naml: 24)

Kisah ini menegaskan bahwa misi utama kenabian Sulaiman, meskipun ia seorang raja, adalah menyeru kepada tauhid. Kekuasaan politiknya adalah sarana untuk menyampaikan risalah Ilahi.

III. Penaklukan Saba' dan Diplomasi Ratu Balqis

Setelah menerima laporan, Sulaiman segera mengambil tindakan diplomatik. Surat yang ia kirimkan melalui Hudhud bukanlah surat ancaman perang, melainkan surat dakwah yang tegas dan ringkas, mencerminkan otoritas kerajaan dan kenabian.

1. Isi Surat dan Tuntutan Kepatuhan

Surat itu dimulai dengan nama Allah dan menuntut kepatuhan total (An-Naml: 30-31):

إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya (isinya): ‘Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri (Muslim)’.”

Surat ini menunjukkan diplomasi Sulaiman: ia memberi kesempatan kepada Balqis dan rakyatnya untuk memilih jalan yang benar sebelum konflik militer terjadi. Pesan ini menekankan bahwa masalahnya bukanlah perebutan wilayah, melainkan kesombongan spiritual (*al-ta’lū* – berlaku sombong) di hadapan Kebenaran.

2. Kebijaksanaan Ratu Balqis dalam Musyawarah

Ratu Balqis merespons surat tersebut dengan kebijaksanaan politik yang patut dicontai. Ia tidak bertindak gegabah, melainkan mengadakan musyawarah dengan para pembesar kerajaannya (An-Naml: 32). Balqis adalah pemimpin yang inklusif, menghargai nasihat para penasihatnya, meskipun pada akhirnya keputusan ada di tangannya.

Setelah musyawarah, para pembesar menawarkan kekuatan militer (“Kami adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa”), tetapi Balqis memilih jalan diplomasi dan pengujian. Ia memutuskan untuk mengirim utusan dengan hadiah mewah kepada Sulaiman, tujuannya untuk menguji apakah Sulaiman hanyalah seorang raja yang tamak atau benar-benar seorang Nabi.

Keputusan Balqis ini menggambarkan pandangan jauh ke depan. Ia memahami bahwa raja-raja duniawi akan tergiur oleh harta, tetapi seorang Nabi hanya mencari kebenaran. Jika Sulaiman menolak hadiah tersebut, maka ia pasti berjuang demi misi spiritual, bukan kekayaan.

3. Ujian Harta dan Peringatan Sulaiman

Ketika utusan Balqis datang membawa hadiah-hadiah, Sulaiman menolaknya dengan tegas (An-Naml: 36):

فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِّمَّا آتَاكُم بَلْ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ

“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: ‘Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; bahkan kamu merasa gembira dengan hadiahmu’.”

Penolakan ini adalah titik balik. Sulaiman menyampaikan pesan bahwa kekayaan yang dianugerahkan Allah kepadanya (kekuasaan, ilmu, jin) jauh melampaui kekayaan duniawi Saba'. Dengan menolak hadiah, Sulaiman telah lulus ujian Balqis, membuktikan bahwa fokusnya adalah pada misi agama, bukan material.

IV. Mukjizat Pemindahan Singgasana (Ayat Kunci Tauhid)

Mengetahui Balqis sedang dalam perjalanan menuju kerajaannya, Sulaiman ingin menunjukkan mukjizat yang tidak terbantahkan, yang akan mematahkan semua keraguan Balqis mengenai keesaan Allah dan kenabiannya.

Sulaiman bertanya kepada majelisnya, siapa yang dapat membawa singgasana Ratu Balqis ke istananya sebelum Ratu itu tiba sebagai Muslim (orang yang berserah diri).

1. Tawaran dari Ifrit

Yang pertama menawarkan diri adalah Ifrit, dari golongan Jin yang kuat (An-Naml: 39):

قَالَ عِفْرِيتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ

“Berkata ‘Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: ‘Aku akan membawanya kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya’.”

Ifrit menjanjikan kecepatan luar biasa—dalam waktu yang dibutuhkan Sulaiman untuk menyelesaikan pertemuan di singgasananya. Ini sudah merupakan kecepatan yang sangat cepat dan di luar batas kemampuan manusia.

Simbol kecepatan pemindahan singgasana Balqis, menggarisbawahi kekuatan Ilmiah

2. Kekuatan Ilmu Allah (Orang yang Memiliki Ilmu Kitab)

Namun, Ifrit dikalahkan oleh tawaran yang jauh lebih cepat, dari seorang hamba Allah yang memiliki ilmu dari Kitab (An-Naml: 40):

قَالَ الَّذِي عِندَهُ عِلْمٌ مِّنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِندَهُ قَالَ هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Berkata seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab: ‘Aku akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia’.”

Perbedaan kecepatan ini sangat penting: Ifrit menggunakan kekuatan fisik/sihir yang besar (*quwwah*), tetapi hamba yang memiliki ilmu Kitab (yang umumnya diyakini sebagai Asif bin Barkhiya, wazir Sulaiman) menggunakan kekuatan Ilahi yang didapat dari pengetahuan (*ilm*). Kecepatan "sebelum mata berkedip" menunjukkan teleportasi yang instan, melintasi jarak ribuan mil dalam sekejap. Ini adalah bukti bahwa pengetahuan yang benar, yang berasal dari Allah, mengungguli semua kekuatan fisik, termasuk kekuatan Jin.

Reaksi Sulaiman sekali lagi kembali pada syukur. Meskipun ia baru saja menyaksikan mukjizat yang terjadi di bawah perintahnya, ia tidak mengambil pujian. Ia langsung mengaitkannya dengan “karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).” Kekuasaan yang sempurna adalah yang selalu disertai dengan kesadaran akan ujian Ilahi.

3. Ujian Identitas Singgasana

Ketika Balqis tiba, singgasananya telah dimodifikasi sedikit, sehingga tidak identik, tetapi cukup untuk dikenali. Tujuannya adalah untuk menguji kecerdasan dan keyakinannya. Balqis menunjukkan kecerdasan dengan merespons, “Seolah-olah itulah dia.” (An-Naml: 42). Ini menunjukkan kecerdasan Balqis dalam memproses bukti yang jelas namun sedikit berbeda.

Setelah itu, Balqis dibawa ke istana Sulaiman yang lantainya dilapisi kaca tebal sehingga terlihat seperti kolam air dalam. Balqis, yang terkejut, mengangkat sedikit pakaiannya karena mengira ia harus menyeberangi air. Sulaiman kemudian menjelaskan bahwa itu hanya kaca.

Rangkaian demonstrasi mukjizat ini—kecepatan pemindahan takhta dan ilusi lantai air—membuka mata Balqis sepenuhnya terhadap kebenaran yang lebih besar dari kekuasaan duniawinya sendiri. Ia menyadari bahwa kekuasaan Sulaiman berasal dari sumber Ilahi.

4. Penyerahan Diri Ratu Balqis

Puncak dari seluruh narasi ini adalah pengakuan iman Balqis (An-Naml: 44):

قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ ۖ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَن سَاقَيْهَا ۚ قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُّمَرَّدٌ مِّن قَوَارِيرَ ۗ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam istana.’ Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: ‘Sesungguhnya ia adalah istana yang dilapisi dari kaca.’ Balqis berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku sendiri dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam’.”

Penyerahan diri Balqis, yang merupakan hasil dari diplomasi, investigasi, dan demonstrasi mukjizat, adalah kesuksesan terbesar Sulaiman. Ia tidak harus berperang, menumpahkan darah, atau menghancurkan sebuah peradaban. Ia menaklukkan hati dan pikiran seorang pemimpin besar, membawa sebuah kerajaan besar ke dalam jalan tauhid melalui kebijaksanaan dan bukti yang tak terbantahkan. Hal ini merupakan model da’wah (dakwah) yang mengutamakan bukti logis dan mukjizat yang meyakinkan daripada paksaan.

V. Surah Sad: Ujian dan Kedudukan Abadi

Sementara An-Naml fokus pada kejayaan politik dan mukjizat komunikasi, Surah Sad memberikan perspektif yang lebih mendalam mengenai hubungan Sulaiman dengan Allah, terutama melalui ujian yang ia hadapi dan doa-doanya yang mendalam.

1. Ujian Singgasana (Jasad di Atas Kursi)

Salah satu bagian paling misterius dan sering diperdebatkan dalam kisah Sulaiman adalah ujian yang menimpanya, seperti yang disebutkan dalam Surah Sad (Ayat 34):

وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ

“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami letakkan di atas kursi singgasananya satu jasad, kemudian ia bertaubat.”

Ayat ini telah memicu banyak tafsir. Secara umum, para ulama sepakat bahwa ini adalah ujian berat yang berhubungan dengan kerajaannya, yang mengakibatkan terputusnya kendali atau kekuasaannya untuk sementara waktu. Beberapa tafsir menyebutkan bahwa jasad tersebut adalah perwujudan sementara dari setan yang merebut cincin atau kekuasaan Sulaiman karena kelalaian sesaat, atau bahwa itu adalah hukuman atas kesibukan Sulaiman dengan urusan duniawi, khususnya kudanya, yang mengganggu kewajibannya.

Terlepas dari detail spesifik jasad itu, inti dari ayat ini adalah bahwa bahkan Sulaiman, dengan semua kekuasaannya, tidak kebal terhadap ujian. Kekuasaan itu sendiri adalah cobaan. Dan setelah ujian itu, reaksinya adalah bertaubat (*anaba*), kembali sepenuhnya kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kesempurnaan seorang Nabi terletak pada kecepatan dan ketulusan ia kembali kepada Allah setelah kesalahan atau cobaan.

2. Kisah Kuda dan Pengorbanan untuk Prioritas Ibadah

Ayat-ayat berikutnya dalam Surah Sad (31-33) menceritakan kisah di mana Sulaiman disibukkan oleh kuda-kuda yang bagus dan cepat, sehingga ia lupa waktu shalat Ashar:

إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَن ذِكْرِ رَبِّي حَتَّىٰ تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ

“Ketika dipertunjukkan kepadanya pada sore hari, kuda-kuda yang cepat (berlari). Maka ia berkata: ‘Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) ini, karena mengingat Tuhanku.’ Sampai kuda itu hilang dari pandangan. (Ia berkata): ‘Bawalah kembali kuda-kuda itu kepadaku.’ Lalu ia memotong kaki dan leher kuda-kuda itu.”

Tafsir mengenai tindakan Sulaiman memotong kuda-kuda ini memiliki dua pandangan utama: (1) Ia marah karena kudanya menyebabkan ia lalai berzikir atau shalat, sehingga ia mengorbankan kuda-kuda itu sebagai penebusan; atau (2) Ini adalah tindakan penyembelihan yang sah untuk didistribusikan, yang dilakukan setelah ia menyadari prioritas ibadah.

Apapun interpretasinya, pelajaran utamanya adalah: tidak ada kecintaan duniawi, betapapun mulianya (seperti kuda perang yang baik), yang boleh mengungguli kecintaan kepada Allah atau melalaikan kewajiban dasar. Sulaiman menunjukkan ketegasan ekstrem dalam menempatkan ibadah di atas kekayaan, menjadi teladan tentang pentingnya menjaga prioritas spiritual di tengah hiruk pikuk kekuasaan duniawi.

3. Anugerah Tembaga yang Mencair (*Ain Al-Qitr*)

Bagian lain dari kekuasaan material Sulaiman yang hanya disebutkan di beberapa tempat, termasuk Surah Saba', adalah anugerah sumber tembaga yang mencair (*Ain Al-Qitr*).

وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ ۖ وَمِنَ الْجِنِّ مَن يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ

“Dan Kami alirkan untuknya cairan tembaga. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya.”

Mukjizat ini memberikan Sulaiman keunggulan industri dan infrastruktur. Tembaga cair yang mengalir seperti air memungkinkannya membangun dengan cepat dan dalam skala besar. Ini menekankan aspek teknologi dan material dari karunia Ilahi, di mana sumber daya alam tunduk pada kehendak Nabi untuk membangun peradaban yang beriman.

VI. Pelajaran Abadi dari Surah Sulaiman

Kisah Nabi Sulaiman AS menawarkan kerangka komprehensif tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya melihat kekuasaan, kekayaan, dan ilmu pengetahuan. Ia adalah perwujudan dari integrasi sempurna antara kekuasaan spiritual dan temporal.

1. Syukur sebagai Pilar Utama Kekuasaan

Jika ada satu pelajaran yang berulang dalam setiap adegan, itu adalah syukur. Sulaiman tidak pernah mengklaim mukjizat atau kekuasaan itu sebagai miliknya, melainkan selalu sebagai fadhl Rabbi (karunia Tuhanku). Doa syukur Sulaiman setelah mendengar semut dan setelah melihat takhta Balqis adalah pengingat bahwa semakin besar nikmat, semakin besar pula kewajiban untuk bersyukur, dan syukur itu adalah ujian keimanan.

Konsep syukur Sulaiman meluas melampaui ucapan; ia termanifestasi dalam tindakan. Syukurnya adalah dengan menggunakan kekuasaan untuk menegakkan tauhid (dakwah kepada Balqis), untuk memastikan keadilan (investigasi Hudhud), dan untuk berhati-hati (mendengar semut). Inilah definisi syukur yang aktif dan transformatif.

2. Kepemimpinan Berbasis Ilmu dan Bukti

Kerajaan Sulaiman adalah kerajaan yang diatur oleh ilmu, bukan despotisme. Keputusan-keputusannya didasarkan pada informasi yang solid, seperti laporan intelijen dari Hudhud. Ia menjamin keadilan prosedural sebelum menjatuhkan hukuman, sebuah prinsip yudisial yang sangat maju. Selain itu, ia menggunakan ilmunya (dan ilmu dari Kitab) untuk mengatasi masalah yang mustahil, seperti pemindahan singgasana, menunjukkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan tertinggi.

Diplomasinya terhadap Balqis adalah contoh dari kepemimpinan yang bijaksana, memilih jalan damai dan argumentatif (melalui mukjizat) daripada konflik brutal. Ia mengutamakan konversi spiritual Balqis di atas penaklukan militer, karena tujuan akhir kekuasaannya adalah untuk menyebarkan agama Allah.

3. Pengendalian Nafsu dan Prioritas Spiritual

Kisah kuda dalam Surah Sad menjadi peringatan bagi semua pemimpin dan individu kaya. Ujian kekayaan dan kekuasaan adalah mudahnya melupakan tujuan hidup yang lebih tinggi. Sulaiman, meskipun menjadi raja terkaya, rela mengorbankan aset berharganya (kuda yang mahal) karena potensi aset tersebut untuk mengganggu ibadahnya. Hal ini mengajarkan bahwa seorang Muslim harus selalu waspada terhadap benda-benda duniawi yang dapat mengalihkan perhatian dari ketaatan.

4. Kepatuhan Makhluk Gaib

Pengendalian Sulaiman atas Jin dan setan menghilangkan mitos-mitos yang menempatkan Jin sebagai entitas yang lebih superior atau menakutkan dibandingkan kekuatan manusia yang berserah diri kepada Allah. Dalam Islam, Sulaiman membuktikan bahwa manusia yang beriman dan mendapatkan izin Ilahi memiliki superioritas atas semua makhluk, baik yang terlihat maupun yang gaib. Jin dipaksa bekerja di bawah pengawasannya, menunjukkan bahwa kekuatan supranatural pun harus tunduk pada hukum-hukum Allah dan otoritas kenabian.

Penghambaan jin pada Sulaiman juga berakhir dengan pelajaran penting, yaitu ketika Sulaiman wafat dalam keadaan bersandar pada tongkatnya (Saba', 14). Jin terus bekerja karena mengira Sulaiman masih hidup, sampai kemudian rayap memakan tongkat itu, dan Sulaiman jatuh. Allah berfirman, “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematiannya, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (jin) kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya.” Ini menunjukkan bahwa jin tidak mengetahui hal gaib; jika mereka tahu, mereka tidak akan terus bekerja keras dalam kehinaan.

VII. Kesimpulan: Model Kekuatan dan Ketaatan

Nabi Sulaiman AS berdiri sebagai model unik dalam sejarah kenabian. Ia adalah manifestasi dari puncak kekuasaan duniawi yang dikelola dengan kesempurnaan spiritual. Kisahnya dalam Surah An-Naml dan Sad bukan hanya tentang mukjizat yang spektakuler, tetapi tentang etika yang menyertainya.

Dari komunikasi dengan semut hingga penaklukan Ratu Balqis, setiap episode menegaskan bahwa kepemimpinan sejati menuntut kepekaan, keadilan, dan kerendahan hati. Kekayaan dan kekuasaan hanyalah alat, ujian dari Allah, dan hanya akan membawa kebaikan jika digunakan untuk memperkuat tauhid dan melayani keadilan Ilahi. Kerajaan Sulaiman adalah bukti nyata bahwa seorang hamba yang benar-benar berserah diri (*Muslim*) dapat mencapai dominasi total atas alam semesta, tetapi dominasi tersebut harus selalu diakhiri dengan ucapan yang sama: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”

🏠 Kembali ke Homepage