Visualisasi proses mengabsolutkan, mengubah relativitas menjadi kepastian yang kaku dan permanen.
Tindakan mengabsolutkan merujuk pada sebuah proses kognitif, linguistik, dan sosial di mana suatu konsep, nilai, atau klaim yang sejatinya bersifat relatif, kontekstual, atau temporal, diangkat statusnya menjadi kebenaran yang universal, tak terbantahkan, dan mutlak. Ini bukan sekadar penegasan keyakinan yang kuat; ini adalah transformasi ontologis dari sesuatu yang parsial menjadi sesuatu yang total. Dalam disiplin filsafat, sosiologi, dan psikologi, fenomena ini menjadi krusial karena ia menentukan batas-batas pemikiran kritis, toleransi, dan potensi tirani.
Manusia secara naluriah mencari kepastian. Dunia yang kompleks dan penuh ambiguitas seringkali terasa mengancam, mendorong individu dan kolektif untuk menciptakan jangkar epistemologis yang kokoh. Kepastian ini, yang diwujudkan melalui proses mengabsolutkan, menawarkan kenyamanan psikologis, kohesi sosial, dan legitimasi kekuasaan. Namun, harga dari kepastian mutlak ini seringkali adalah pengorbanan terhadap nuansa, keragaman perspektif, dan kemampuan untuk beradaptasi. Ketika kita mengabsolutkan suatu pandangan, kita secara efektif menutup pintu bagi dialog, revisi, dan kemajuan yang didorong oleh keraguan.
Eksplorasi terhadap proses mengabsolutkan harus melintasi berbagai ranah, mulai dari spekulasi metafisik tentang Keberadaan Mutlak hingga manifestasi praktisnya dalam bentuk ideologi politik dogmatis. Intinya, tindakan ini adalah upaya untuk menghentikan aliran waktu dan konteks, membekukan makna, dan memaksakan keseragaman pada realitas yang dinamis dan bergejolak. Dalam kerangka tulisan ini, kita akan membongkar mekanisme bagaimana entitas yang relatif diubah menjadi dogma yang absolut, serta konsekuensi etis, sosial, dan intelektual yang tak terhindarkan dari absolutisasi yang berlebihan.
Sejak masa Plato, pencarian akan kebenaran yang tak berubah (immutable truth) telah mendominasi diskursus filsafat. Ide Bentuk (Forms) milik Plato adalah upaya purba untuk mengabsolutkan realitas di luar pengalaman indrawi yang fana. Namun, puncak dari proses mengabsolutkan dalam filsafat ditemukan dalam sistem idealisme, terutama dalam karya G.W.F. Hegel. Hegel berupaya mengabsolutkan sejarah dan roh (Geist), melihatnya sebagai proses dialektis yang bergerak menuju kesadaran diri total, mencapai pengetahuan mutlak (Absolute Knowledge).
Bagi Hegel, absolutisasi bukanlah penyederhanaan; melainkan sintesis kompleks dari segala kontradiksi. Namun, para kritikus pasca-Hegel, terutama mereka yang berorientasi pada eksistensialisme dan pasca-strukturalisme, melihat upaya mengabsolutkan ini sebagai tindakan kekerasan intelektual. Søren Kierkegaard, misalnya, menolak sistem totalistik Hegel, berargumen bahwa absolutisasi menghilangkan individualitas, gairah, dan pilihan subyektif yang tak dapat direduksi. Kierkegaard mengabsolutkan pengalaman subyektif dan iman personal, menempatkannya di luar jangkauan rasio universal yang dingin.
Proses mengabsolutkan dalam epistemologi seringkali mengambil bentuk fondasionalisme—keyakinan bahwa ada seperangkat keyakinan dasar yang tak dapat diragukan, yang menjadi landasan bagi semua pengetahuan lainnya. Ketika dasar ini—apakah itu indra, rasio murni, atau wahyu—diabsolutkan, semua pengetahuan yang bertentangan harus ditolak atau direduksi. Tantangan terhadap fondasionalisme, terutama dari filsuf seperti Willard Van Orman Quine dengan konsep jaring keyakinannya (web of belief), menunjukkan bahwa bahkan klaim yang paling mendasar pun selalu berada dalam jaringan hubungan dan potensi revisi, sehingga menolak kepastian absolut.
Tindakan mengabsolutkan dimulai pada tingkat bahasa. Bahasa yang seharusnya bersifat deskriptif dan fungsional diubah menjadi preskriptif dan dogmatis. Ketika sebuah istilah, misalnya "Keadilan" atau "Kebebasan," didefinisikan secara mutlak dan tunggal dalam suatu ideologi, semua variasi dan interpretasi lain dianggap sebagai distorsi atau ancaman. Ini adalah mekanisme linguistik yang esensial dalam pembentukan dogma. Istilah-istilah ini diabsolutkan, dilepaskan dari konteks historis atau budaya mereka, dan diposisikan sebagai standar universal yang abadi.
Filsuf bahasa telah lama memperingatkan tentang bahaya reifikasi—mengubah konsep abstrak menjadi objek yang nyata dan padat. Ketika kita mengabsolutkan konsep, kita mereifikasi mereka. Mereka menjadi entitas yang memiliki keberadaan independen, yang harus dipuja atau dipatuhi, bukan lagi alat analisis. Absolutisasi linguistik ini adalah langkah pertama menuju tirani konseptual, di mana pemikiran alternatif secara harfiah tidak dapat diartikulasikan karena kerangka bahasanya telah dimonopoli oleh klaim absolut.
Mengabsolutkan tidak hanya tentang menyatakan 'A adalah benar'; ia adalah menyatakan 'A adalah Kebenaran tunggal, dan semua yang bukan A adalah salah secara fundamental, tanpa ruang untuk pengecualian atau perspektif lain'. Proses ini menghilangkan zona abu-abu, memaksakan dikotomi biner yang kaku pada realitas yang inherentnya spektral.
Di tingkat kolektif, proses mengabsolutkan seringkali berakar pada kebutuhan untuk kohesi dan identitas kelompok. Norma-norma sosial, praktik-praktik budaya, dan bahkan mode perilaku yang muncul secara historis dan arbitrer diabsolutkan menjadi "cara yang benar" untuk menjadi manusia. Relativisme budaya, yang berpendapat bahwa standar moral dan etika harus dipahami dalam konteks budaya spesifik, merupakan reaksi langsung terhadap upaya absolutisasi norma budaya tertentu.
Ketika sebuah masyarakat mengabsolutkan tradisinya, ia menjadi resisten terhadap perubahan dan inovasi. Tradisi yang diabsolutkan berubah menjadi ortodoksi yang menuntut kepatuhan buta, bukan lagi pedoman yang dapat diadaptasi. Dalam masyarakat yang monolitik, individu yang mempertanyakan norma yang diabsolutkan tidak hanya dilihat sebagai perbedaan pendapat, tetapi sebagai ancaman eksistensial terhadap fondasi kelompok. Mekanisme pengucilan dan marginalisasi seringkali didasarkan pada penegasan kembali absolut dari norma-norma ini, yang berfungsi untuk memperkuat batas-batas identitas kolektif.
Ideologi, dalam definisinya yang paling kritis, adalah sistem keyakinan yang diabsolutkan dan disajikan sebagai cerminan realitas yang objektif dan tak terelakkan. Marxisme klasik, misalnya, mengabsolutkan perjuangan kelas dan determinisme historis sebagai hukum alam yang tak terhindarkan, memposisikan tujuan akhir komunisme sebagai Kebenaran Mutlak Sejarah. Liberalisme ekstrem dapat mengabsolutkan kebebasan individu hingga ke titik di mana kohesi sosial runtuh, mengabaikan tanggung jawab kolektif dan ketergantungan bersama. Setiap ideologi yang berhasil mengabsolutkan premis dasarnya memperoleh kekuatan hegemonik—kekuatan untuk mendefinisikan realitas itu sendiri bagi para penganutnya.
Dalam politik, mengabsolutkan adalah instrumen utama bagi rezim totaliter. Kekuasaan politik diabsolutkan menjadi kedaulatan yang tak terbatas (absolute sovereignty), seringkali diwujudkan dalam diri seorang pemimpin (kultus individu) atau partai (kediktatoran proletariat). Carl Schmitt, ketika membahas konsep kedaulatan, menyiratkan adanya titik absolut di mana penguasa berhak menentukan keadaan pengecualian (state of exception), di mana hukum yang relatif dihentikan oleh keputusan yang mutlak.
Untuk mencapai legitimasi mutlak, rezim harus mengabsolutkan narasi sejarahnya. Sejarah ditulis ulang untuk menunjukkan bahwa kekuasaan yang sedang berkuasa adalah hasil logis dan tak terhindarkan dari perkembangan historis, atau bahkan mandat ilahi. Semua perbedaan pendapat atau catatan sejarah yang bertentangan dide-legitimasi sebagai "fiksi" atau "propaganda musuh." Dengan mengabsolutkan narasi ini, rezim memutus tautan rakyatnya dari pemahaman kritis terhadap masa lalu, menjebak mereka dalam kepastian temporal yang diciptakan oleh negara. Propaganda yang efektif bukanlah sekadar kebohongan; ia adalah upaya sistematis untuk mengabsolutkan sudut pandang tertentu hingga ia menjadi satu-satunya realitas yang diizinkan.
Absolutisasi kekuasaan juga termanifestasi dalam birokrasi yang kaku. Ketika aturan dan prosedur diabsolutkan, mereka kehilangan tujuan awal mereka (melayani rakyat) dan menjadi tujuan itu sendiri. Birokrasi absolut menjadi mekanisme yang kebal terhadap akuntabilitas, di mana rasionalitas prosedural mengalahkan rasionalitas substantif. Ini adalah absolutisme dingin yang tidak bergantung pada pemimpin karismatik, tetapi pada kekakuan dan ketakterbantahan dari sistem itu sendiri.
Mengapa individu tertarik pada keyakinan yang diabsolutkan? Jawabannya terletak pada fungsi defensif absolutisasi. Dunia modern dicirikan oleh pilihan yang tak terbatas dan keraguan yang konstan (sebuah kondisi yang digambarkan oleh sosiolog Ulrich Beck sebagai "masyarakat risiko"). Absolutisasi bertindak sebagai benteng pertahanan terhadap kecemasan eksistensial yang disebabkan oleh relativitas dan ketidakpastian. Ketika keyakinan agama, moral, atau politik diabsolutkan, individu merasa memiliki peta moral yang jelas dan tak tergoyahkan.
Dalam psikologi kognitif, kecenderungan untuk absolutisasi dapat dikaitkan dengan kebutuhan akan penutupan kognitif (need for cognitive closure)—keinginan untuk segera mencapai jawaban pasti dan menghindari ambiguitas. Individu dengan kebutuhan tinggi untuk penutupan cenderung lebih rentan terhadap ideologi yang menyediakan kerangka penjelasan yang absolut, yang secara efektif meniadakan kebutuhan untuk berpikir kritis atau mempertimbangkan alternatif yang rumit. Proses ini memungkinkan penghematan energi mental, tetapi dengan mengorbankan fleksibilitas dan keterbukaan terhadap informasi baru.
Selain itu, absolutisasi personal juga terkait erat dengan penguatan identitas ego. Ketika seseorang mengabsolutkan penilaian moral atau pandangan dunianya, ia menyelaraskan identitasnya secara erat dengan kebenaran tersebut. Kritik terhadap pandangannya kemudian dirasakan bukan sebagai tantangan intelektual, tetapi sebagai serangan pribadi terhadap inti keberadaannya. Mekanisme ini menciptakan lingkungan di mana narsisme kognitif berkembang, suatu kondisi di mana individu percaya bahwa pandangan mereka tidak hanya benar, tetapi Kebenaran itu sendiri.
Etika seringkali menjadi medan pertempuran utama bagi absolutisasi. Etika deontologis (seperti yang diajukan oleh Immanuel Kant), meskipun sangat ketat, cenderung untuk mengabsolutkan hukum moral universal (imperatif kategoris) yang harus dipatuhi terlepas dari konteks atau konsekuensi. Meskipun ini memberikan fondasi yang kuat untuk keadilan dan hak asasi manusia, absolutisasi berlebihan terhadap peraturan ini dapat mengarah pada kekakuan moral yang gagal mengenali tragedi etika—situasi di mana dua kewajiban moral yang mutlak saling bertentangan.
Sebaliknya, etika kontekstual atau situasional (seperti etika kebajikan Aristoteles atau etika konsekuensialis) menolak absolutisme, menekankan bahwa penilaian moral harus selalu disesuaikan dengan konteks spesifik. Ketika masyarakat mengabsolutkan satu set aturan moral (seringkali berasal dari penafsiran literal teks suci atau hukum kuno), mereka menciptakan sistem yang kejam dan tidak manusiawi. Dalam sistem absolut, belas kasihan dan pertimbangan nuansa tidak memiliki tempat, karena pelanggaran sekecil apa pun terhadap hukum mutlak dianggap sebagai kegagalan total yang memerlukan hukuman mutlak.
Godaan untuk mengabsolutkan moralitas adalah godaan untuk menjadi hakim, bukan penimbang. Ia menawarkan pembebasan dari beban tanggung jawab untuk menilai setiap situasi secara unik. Dengan absolutisasi, kita dapat mengandalkan formula yang telah ditetapkan, meskipun formula tersebut tidak lagi relevan atau menghasilkan ketidakadilan yang parah.
Salah satu konsekuensi paling mengerikan dari absolutisasi adalah dehumanisasi. Ketika ideologi diabsolutkan, manusia yang tidak sesuai dengan ideologi tersebut (kelompok minoritas, musuh politik, atau orang yang berbeda agama) direduksi dari subjek kompleks menjadi objek yang cacat atau ancaman. Mereka tidak lagi dilihat sebagai manusia dengan keraguan dan hak; mereka dilihat sebagai anomali yang harus dihilangkan demi menjaga kemurnian atau keutuhan Kebenaran Absolut yang telah ditetapkan.
Proses dehumanisasi ini sangat penting dalam absolutisasi. Jika klaim kita adalah mutlak, maka kegagalan orang lain untuk mematuhinya harus dijelaskan. Penjelasan termudah adalah dengan menganggap mereka secara intrinsik inferior atau jahat. Ini adalah lingkaran setan: Absolutisasi menciptakan kepastian, kepastian menuntut kepatuhan, ketidakpatuhan menghasilkan label musuh, dan pelabelan musuh membenarkan penghapusan mereka untuk melindungi Kepastian Absolut.
Dalam konflik ideologis, kedua belah pihak seringkali jatuh ke dalam perangkap absolutisasi, masing-masing mengabsolutkan kebenaran klaim mereka dan demonisasi lawan. Ketika kedua belah pihak meyakini bahwa mereka memegang kebenaran yang mutlak, kompromi menjadi pengkhianatan moral, dan perang menjadi kewajiban suci. Absolutisasi, pada akhirnya, adalah penyebab utama kekerasan struktural dan konflik berkepanjangan yang tak terselesaikan di dunia.
Dalam bidang sains, yang secara inheren didasarkan pada revisi, pengujian, dan falsifikasi (seperti yang ditekankan oleh Karl Popper), upaya mengabsolutkan tampaknya kontradiktif. Namun, absolutisasi tetap terjadi, seringkali dalam bentuk scientisme—keyakinan bahwa metode ilmiah empiris adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang sah dan absolut. Scientisme mengabsolutkan objektivitas dan kuantifikasi, menolak validitas mode pengetahuan lain, seperti pengalaman subyektif, seni, atau etika non-empiris.
Ketika metode diabsolutkan, sains berisiko berubah menjadi dogmatisme. Para ilmuwan yang mengabsolutkan teori tertentu, meskipun ada bukti anomali, menunjukkan rigiditas yang sama dengan penganut dogma agama. Absolutisasi dalam sains menghambat revolusi ilmiah (paradigma bergeser, seperti yang dijelaskan oleh Thomas Kuhn) karena komunitas ilmiah menolak data yang tidak sesuai dengan kerangka kerja yang telah diabsolutkan. Sains yang sehat harus menerima relativitas temporal dari semua teori: mereka benar hanya sejauh ini, dan harus siap untuk direvisi besok.
Lebih jauh lagi, absolutisasi dalam sains seringkali terkait dengan reduksionisme ekstrem. Reduksionisme adalah strategi untuk memahami sistem kompleks dengan memecahnya menjadi bagian-bagian fundamental. Ketika reduksionisme diabsolutkan, muncullah klaim bahwa realitas kompleks, seperti kesadaran manusia atau fenomena sosial, sepenuhnya dapat dijelaskan oleh hukum fisika dan kimia pada tingkat yang paling mendasar. Absolutisasi reduksionisme mengabaikan properti yang muncul (emergent properties) yang tidak dapat diprediksi hanya dengan mempelajari komponen-komponennya, dan secara efektif meniadakan kompleksitas realitas yang lebih tinggi.
Di era digital, kita menyaksikan bentuk absolutisasi yang baru dan mengancam: absolutisasi data dan sistem algoritmik. Ada kecenderungan untuk percaya bahwa data yang besar (Big Data) dapat menghasilkan kebenaran yang mutlak dan objektif tentang realitas, mengabaikan fakta bahwa data dikumpulkan, difilter, dan diinterpretasikan oleh manusia yang sarat bias.
Ketika algoritma yang didukung oleh data diabsolutkan—dipercaya secara mutlak untuk membuat keputusan tanpa intervensi atau pengawasan etis—konsekuensi sosial bisa sangat merusak. Algoritma penilai risiko kriminal, misalnya, dapat mengabsolutkan bias rasial yang ada dalam data historis, menjadikannya 'kebenaran' prediktif yang tidak dapat dipertanyakan. Algoritma ini memutlakkan masa lalu ke masa depan, menghilangkan potensi untuk perubahan atau keadilan restoratif. Kepercayaan absolut pada objektivitas sistem yang sepenuhnya mekanis ini adalah bentuk absolutisasi teknokratis yang paling halus dan berbahaya.
Tindakan mengabsolutkan objektivitas data seringkali menyembunyikan ideologi di balik layar. Keputusan teknis yang diabsolutkan sebagai ‘netral’ atau ‘efisien’ sebenarnya memaksakan nilai-nilai ekonomi atau politik tertentu, seringkali memperkuat ketidaksetaraan yang ada. Kita perlu menyadari bahwa bahkan dalam dunia yang didorong oleh angka, tidak ada kebenaran absolut tanpa interpretasi manusia dan refleksi etis yang mendalam.
Lawan utama dari proses mengabsolutkan adalah keraguan sistematis, yang merupakan inti dari pemikiran kritis. René Descartes memulai filsafat modern dengan mengabsolutkan keraguan metodis, namun ironisnya, ia menggunakannya untuk menemukan fondasi pengetahuan yang absolut (Cogito ergo sum). Namun, keraguan yang kita bicarakan di sini adalah keraguan yang lebih luas, keraguan yang menolak penutupan kognitif, yang menerima ambiguitas sebagai kondisi eksistensial, bukan sebagai kegagalan logis.
Dialektika yang otentik—sebuah pertukaran ide yang melibatkan tesis, antitesis, dan sintesis yang tidak pernah benar-benar selesai—adalah alat yang kuat untuk de-absolutisasi. Dalam proses dialektis yang sehat, tidak ada klaim yang pernah diizinkan untuk menjadi mutlak; setiap klaim dihadapkan pada negasinya, dan hasilnya adalah pemahaman yang lebih kaya tetapi tetap sementara. Absolutisasi, sebaliknya, selalu berusaha mengakhiri dialektika, mencapai sintesis akhir yang tak terbantahkan.
Pluralisme adalah sikap yang secara fundamental menentang absolutisasi. Pluralisme epistemologis menerima bahwa mungkin ada beberapa sistem kebenaran yang valid atau beberapa cara sah untuk mengetahui yang tidak dapat direduksi menjadi satu kerangka kerja universal. Ini tidak berarti relativisme yang ekstrem (bahwa "semuanya benar"), tetapi pengakuan bahwa batasan kognitif dan posisi kontekstual kita menghalangi kita dari pemahaman Kebenaran Mutlak yang utuh. Kita hanya memiliki akses pada kebenaran yang parsial dan perspektif.
Dalam masyarakat, pluralisme menuntut toleransi, namun toleransi yang berdasarkan pada kesadaran bahwa keyakinan kita sendiri tidak absolut. Toleransi yang didasarkan pada absolutisme seringkali bersifat dangkal; ia hanya mengizinkan perbedaan selama perbedaan tersebut tidak mengancam inti dari keyakinan absolut kita. Sebaliknya, toleransi yang sejati, yang muncul dari de-absolutisasi, mengakui bahwa lawan bicara mungkin memegang kebenaran parsial yang kita lewatkan, dan bahwa integrasi kebenaran parsial mereka dapat memperkaya—bukan merusak—pandangan dunia kita.
Mengabsolutkan menuntut kekakuan dan kepalsuan kekebalan. Etika yang menolak absolutisme, sebaliknya, merangkul fleksibilitas, kerentanan, dan kemampuan untuk mengakui kesalahan. Etika ini menolak untuk mengabsolutkan hukum atau konsekuensi, melainkan fokus pada hubungan, konteks, dan niat. Etika tanggung jawab, misalnya, menuntut agar kita terus-menerus menyesuaikan tindakan kita terhadap konsekuensi yang muncul, sebuah proses yang mustahil jika kita mengabsolutkan pedoman tindakan awal kita.
Tokoh-tokoh seperti Judith Butler telah menunjukkan bagaimana absolutisasi identitas (misalnya, gender, ras) membatasi potensi manusia untuk berubah dan berinteraksi. De-absolutisasi identitas memungkinkan fluiditas dan pengakuan terhadap keragaman yang ada di dalam diri individu, menolak kategori kaku yang diabsolutkan oleh struktur sosial.
Kesadaran akan relativitas inheren dari semua konstruksi manusia—mulai dari hukum hingga narasi ilmiah—membebaskan kita dari beban harus selalu benar. Ini adalah kebebasan untuk bereksperimen, membuat kesalahan, dan yang paling penting, belajar. Kerentanan dan ketidaksempurnaan adalah kondisi manusia; upaya untuk mengabsolutkan diri atau ideologi adalah upaya untuk melarikan diri dari kemanusiaan itu sendiri.
Bahkan konsep-konsep dasar seperti waktu dan ruang telah menjadi sasaran absolutisasi. Isaac Newton, dalam mekanika klasiknya, mengabsolutkan waktu dan ruang, memperlakukannya sebagai wadah universal yang tak berubah dan independen dari objek di dalamnya. Ruang dan waktu Newton bersifat mutlak—ia ada sebelum, selama, dan setelah materi. Absolutisasi ini memberikan dasar yang stabil untuk fisika, tetapi membatasi pemahaman kita tentang alam semesta.
Relativitas Einstein adalah tindakan de-absolutisasi yang revolusioner. Einstein menunjukkan bahwa waktu dan ruang bukanlah wadah yang absolut, melainkan terjalin (spacetime) dan relatif terhadap pengamat dan kecepatan mereka. Dengan mendialogkan relativitas ke dalam fisika, pemahaman kita tentang alam semesta menjadi lebih akurat, meskipun secara intuitif kurang nyaman. Pelajaran dari fisika modern adalah bahwa absolutisasi, bahkan dalam ilmu yang paling keras sekalipun, seringkali merupakan penyederhanaan yang diperlukan untuk perhitungan, tetapi tidak pernah menjadi deskripsi realitas yang final.
Ketika sebuah ideologi berhasil mengabsolutkan dirinya, ia seringkali mengalami kekalahan dialektik internal. Absolutisasi menciptakan ketidakmampuan untuk menyerap informasi yang bertentangan. Dalam upaya menjaga kemurnian mutlaknya, ideologi harus menjadi semakin eksklusif dan dogmatis, yang pada akhirnya membuatnya terputus dari realitas dan rentan terhadap keruntuhan tiba-tiba. Karena Kebenaran Mutlak, menurut definisinya, tidak dapat diubah, ia tidak dapat merespons tantangan atau perubahan kondisi material.
Historisnya, absolutisme politik (monarki absolut, rezim fasis) selalu gagal karena mereka tidak memiliki mekanisme internal untuk kritik diri dan adaptasi. Mereka memutlakkan struktur kekuasaan dan ideologi mereka, memastikan bahwa setiap kegagalan dianggap sebagai pengkhianatan dari luar, bukan sebagai cacat internal dalam sistem absolut itu sendiri. Ketidakmampuan untuk menerima kritik yang diabsolutkan menjadi kelemahan fatal, mengubah struktur yang kaku menjadi rapuh.
Meskipun kita harus kritis terhadap absolutisasi, kita tidak boleh mengabaikan kebutuhan manusia yang mendalam akan makna dan tujuan. Beberapa dimensi kehidupan, seperti cinta, kematian, atau kewajiban dasar terhadap penderitaan, memiliki kualitas yang terasa absolut bagi pengalaman subyektif kita. Tantangannya bukanlah untuk menolak semua bentuk absolut, tetapi untuk membedakan antara kebutuhan pribadi akan makna yang kuat (yang dapat kita pegang dengan integritas) dan pemaksaan universal dari klaim tersebut kepada orang lain (absolutisasi sosial).
Kita bisa memegang nilai-nilai kita dengan komitmen yang mendalam—yang oleh beberapa filsuf disebut sebagai komitmen "quasi-absolut"—sambil tetap mempertahankan kesadaran epistemologis bahwa nilai-nilai tersebut mungkin tidak mutlak secara universal atau abadi. Ini adalah keseimbangan sulit antara hidup dengan gairah dan bertindak dengan kerendahan hati intelektual. Absolutisasi yang berbahaya terjadi ketika komitmen pribadi diangkat menjadi doktrin publik yang tidak boleh dipertanyakan oleh siapa pun.
Inti dari kritik terhadap absolutisasi adalah perlindungan terhadap ruang bagi keraguan, dialog, dan kebebasan. Ketika kita mengabsolutkan, kita menghancurkan ruang ini, menggantinya dengan dinding dogma dan kepastian yang mencekik. Kehidupan yang berharga adalah kehidupan yang terus-menerus mempertanyakan fondasinya, yang menerima bahwa pencarian kebenaran adalah perjalanan tanpa akhir, bukan tujuan yang telah ditetapkan. Kepastian yang diabsolutkan adalah akhir dari pertanyaan, dan karenanya, akhir dari pemikiran.
Dalam ekonomi modern, kita sering melihat absolutisasi mekanisme pasar. Ideologi neoliberal ekstrem mengabsolutkan pasar bebas sebagai sistem yang paling efisien, adil, dan alami untuk mengalokasikan sumber daya, bahkan di luar batas negara dan budaya. Prinsip-prinsip pasar—seperti rasionalitas aktor ekonomi dan tangan tak terlihat—diabsolutkan menjadi hukum besi yang tidak dapat dibantah. Kritik terhadap pasar, regulasi, atau intervensi negara diabsolutkan sebagai inefisiensi atau bahkan tindakan imoral.
Ketika pasar diabsolutkan, ia ditempatkan di atas kepentingan sosial, etika, dan kelestarian lingkungan. Kegagalan pasar (market failures), seperti eksternalitas negatif (polusi) atau ketidakadilan sosial yang ekstrem, diabaikan atau dianggap sebagai penyimpangan sementara, karena kepastian absolut pasar harus dijaga. Absolutisasi ekonomi ini gagal mengenali bahwa semua sistem ekonomi adalah konstruksi sosial yang memerlukan batasan, regulasi, dan tujuan etis untuk berfungsi secara adil dan berkelanjutan.
Lebih jauh lagi, proses mengabsolutkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama masyarakat telah mengarah pada krisis lingkungan. Pertumbuhan PDB diabsolutkan sebagai satu-satunya indikator kemajuan. Segala sesuatu yang tidak dapat diukur dan dikuantifikasi dalam kerangka ekonomi—keindahan alam, kesehatan ekosistem, nilai non-moneter—dide-absolutkan atau dianggap tidak relevan. Absolutisasi ini menciptakan kebutaan sistemik terhadap biaya ekologis dan sosial jangka panjang, karena sistem nilai kita telah direduksi menjadi satu dimensi tunggal dan mutlak: akumulasi modal.
Dalam menghadapi tantangan global, ada kecenderungan kuat untuk mengabsolutkan solusi teknologi. Ide bahwa setiap masalah—mulai dari perubahan iklim hingga kemiskinan—pada akhirnya dapat diselesaikan oleh inovasi teknis dan rekayasa (teknokrasi) adalah bentuk absolutisasi modern. Teknologi diabsolutkan sebagai penyelamat netral yang akan mengatasi semua kegagalan politik, sosial, dan etis.
Absolutisasi teknologi ini berbahaya karena mengalihkan perhatian dari perubahan perilaku, redistribusi sumber daya, atau reformasi struktural yang diperlukan. Misalnya, ketika geo-engineering diabsolutkan sebagai solusi tunggal untuk perubahan iklim, kita menghindari pertanyaan yang lebih sulit mengenai pengurangan konsumsi, yang merupakan akar masalahnya. Selain itu, dengan mengabsolutkan kekuatan teknologi, kita mengabaikan konsekuensi etis dan risiko yang tak terduga yang selalu menyertai inovasi radikal, menciptakan kepastian palsu tentang masa depan yang terkendali.
Teknokrasi, sebagai bentuk pemerintahan yang diabsolutkan oleh para ahli, mengklaim objektivitas absolut. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak kritikus, "keahlian" tidak pernah sepenuhnya bebas nilai. Para ahli yang diabsolutkan sebagai pemegang Kebenaran Mutlak seringkali hanya memaksakan perspektif yang sempit dan terfragmentasi, gagal memahami konteks kemanusiaan yang lebih luas dari masalah yang mereka coba selesaikan. Pemerintahan yang sehat menuntut dialog antara keahlian teknis dan kebijaksanaan etis, menolak absolutisasi salah satu dari keduanya.
Filsafat kontemporer, sebagian besar, didedikasikan untuk de-absolutisasi. Kontingensi adalah konsep kunci di sini: gagasan bahwa segala sesuatu yang ada (termasuk kita, sistem kita, dan keyakinan kita) bisa saja berbeda; bahwa tidak ada yang mutlak, dan bahwa keberadaan tidak dijamin oleh keharusan logis. Mengabsolutkan adalah menolak kontingensi; ia adalah upaya untuk mengubah 'bisa jadi' menjadi 'pasti'.
Menerima kontingensi berarti menerima bahwa fondasi kita selalu sementara, selalu di atas pasir, bukan di atas batu. Filsuf seperti Richard Rorty menganjurkan ironisme—sikap mengakui bahwa meskipun kita menggunakan kosakata moral dan politik tertentu untuk menjalani hidup kita, kita selalu menyadari bahwa kosakata itu hanyalah salah satu dari banyak kemungkinan, dan tidak memiliki klaim atas kebenaran trans-historis mutlak. Ironisme Rortyan adalah obat yang kuat melawan dorongan mengabsolutkan.
Ironi bukanlah sinisme, melainkan kesadaran diri yang mendalam bahwa kita harus bertindak dengan keyakinan, namun tanpa kepastian. Kita harus berjuang untuk keadilan, namun tanpa mengabsolutkan definisi kita tentang keadilan, sehingga kita siap untuk memperbaikinya besok. Ironi membantu kita untuk berkomitmen tanpa menjadi dogmatis, dan untuk berjuang tanpa menjadi tirani.
Seni dan estetika seringkali menantang absolutisasi dengan merayakan fragmentasi, ketidaksempurnaan, dan pluralitas makna. Dalam postmodernisme, penolakan terhadap narasi agung (grand narratives) yang diabsolutkan oleh Pencerahan (seperti Kemajuan Absolut atau Rasio Mutlak) adalah proyek utama. Postmodernisme mengklaim bahwa realitas dipecah menjadi narasi-narasi kecil (petites histoires) yang saling bersaing, tidak ada yang memiliki klaim mutlak atas kebenaran. Ini adalah pembebasan dari beban harus menemukan Jawaban Akhir.
Dalam politik, penolakan absolutisasi mengarah pada model demokrasi yang radikal dan terus-menerus terbuka. Demokrasi yang sehat harus menolak untuk mengabsolutkan dirinya sendiri atau konstitusinya. Sebaliknya, ia harus menjadi sistem yang dirancang untuk revisi diri yang konstan, mengakui bahwa tidak ada keputusan politik yang pernah final dan mutlak. Institusi harus dibangun dengan kesadaran bahwa mereka akan gagal, dan harus diizinkan untuk diubah atau dibongkar tanpa harus menimbulkan revolusi, karena tidak ada struktur yang diabsolutkan sebagai sakral.
Kekuatan sejati dalam masyarakat terletak pada kemampuan untuk mengelola perbedaan dan ketidaksepakatan tanpa harus mereduksi mereka menjadi satu kebenaran yang absolut. Ini menuntut energi yang jauh lebih besar daripada sekadar kepatuhan pada dogma yang diabsolutkan, tetapi pada akhirnya, ini adalah satu-satunya jalan menuju kebebasan dan keadilan yang berkelanjutan. Mengabsolutkan adalah jalan pintas menuju totalitas yang selalu gagal; menerima relativitas dan kontingensi adalah jalan panjang menuju kehidupan yang terbuka dan manusiawi.
Proses mengabsolutkan adalah upaya yang tak terhindarkan dan seringkali tragis dari kesadaran manusia untuk menemukan tempat berlindung dari kekacauan inheren eksistensi. Baik dalam filsafat yang mencari Kebenaran Mutlak, dalam politik yang mencari Kedaulatan Mutlak, maupun dalam psikologi yang mencari Kepastian Mutlak, dorongan ini bersifat universal. Namun, kita telah melihat bahwa absolutisasi, ketika diterapkan pada konstruksi manusia—apakah itu norma sosial, ideologi politik, atau teori ilmiah—selalu membawa risiko kekakuan, intoleransi, dan tirani.
Kehidupan yang beradab dan intelektual menuntut kita untuk mengadopsi sikap kritis terhadap setiap klaim yang berusaha memutlakkan dirinya. Tugas kita adalah menjadi agen de-absolutisasi, terus-menerus mengingatkan diri kita sendiri dan orang lain bahwa setiap kebenaran yang kita pegang adalah kontekstual, parsial, dan sementara. Kekuatan kita terletak pada keraguan, fleksibilitas, dan kemampuan untuk hidup secara produktif dan etis di tengah ambiguitas yang tak terhindarkan. Kita harus belajar untuk berkomitmen pada nilai-nilai yang mendalam tanpa pernah mengabsolutkan klaim universal mereka.
Pengakuan bahwa tidak ada fondasi mutlak yang stabil bagi pengetahuan atau moralitas bukanlah undangan menuju keputusasaan, melainkan panggilan menuju tanggung jawab yang lebih besar. Tanpa jangkar mutlak, kitalah yang harus menanggung beban penciptaan makna dan penentuan batasan. Ini adalah kebebasan yang menakutkan, tetapi juga satu-satunya kebebasan yang layak untuk diperjuangkan, karena hanya di luar penjara kepastian absolut kita dapat menemukan ruang untuk kemanusiaan yang sejati, keragaman, dan kemungkinan untuk terus berevolusi.