Surah Al-Mumtahanah (Wanita yang Diuji)

Analisis Mendalam tentang Prinsip Loyalitas dan Ujian Iman dalam Kehidupan Muslim

Simbol Keseimbangan dan Ujian Loyalitas ولاء براء إيمان

Visualisasi prinsip Al-Wala’ wal-Bara’ sebagai timbangan iman dan loyalitas.

Pendahuluan: Identitas dan Konteks Surah Al-Mumtahanah

Surah Al-Mumtahanah adalah surah ke-60 dalam susunan mushaf Al-Qur’an, terdiri dari 13 ayat. Ia tergolong surah Madaniyyah, diturunkan di Madinah setelah hijrah, pada periode genting yang mendahului peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Makkah). Nama surah ini, yang berarti "Wanita yang Diuji" atau "Dia yang Diuji", diambil dari ayat ke-10 yang membahas prosedur pengujian keimanan wanita-wanita musyrik yang berhijrah menuju Madinah.

Meskipun namanya menyoroti kaum wanita dan ujian mereka, tema utama surah ini jauh lebih luas dan mendasar, menyentuh inti ajaran tauhid dan konsep komunitas Islam. Surah ini secara tegas menetapkan batas-batas interaksi dan loyalitas (Al-Wala’ wal-Bara’) antara kaum Muslimin dengan musuh-musuh Islam, terutama mereka yang secara aktif memusuhi agama dan mengusir kaum beriman dari rumah mereka.

Konteks historis penurunan surah ini sangat penting untuk dipahami. Ia datang pada saat komunitas Muslim berada di ambang kemenangan besar, namun masih dihadapkan pada ancaman internal dan eksternal. Loyalitas pribadi, kekeluargaan, dan kesukuan diuji keras di hadapan loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya. Surah ini memberikan petunjuk yang jelas: tidak ada kompromi dalam hal akidah dan kesetiaan kepada barisan orang-orang beriman, meskipun itu berarti memutuskan ikatan darah yang memihak musuh.

Tema Sentral: Pengujian Loyalitas (Al-Wala’ wal-Bara’)

Tiga perempat dari surah ini didedikasikan untuk membahas konsep Al-Wala’ wal-Bara’, yang merupakan pilar fundamental dalam akidah Islam. Al-Wala’ berarti loyalitas, kasih sayang, dukungan, dan kedekatan kepada kaum beriman. Sementara itu, Al-Bara’ berarti disavowal (penolakan), menjauhi, dan menunjukkan permusuhan terhadap musuh-musuh Allah. Surah Mumtahanah mengajarkan bahwa ikatan akidah harus mengatasi ikatan darah, suku, atau kepentingan duniawi lainnya.

Surah ini memberikan pedoman yang seimbang, membedakan antara musuh yang harus dijauhi secara total dan non-Muslim yang hidup damai, yang terhadap mereka dibolehkan berlaku adil dan berbuat kebajikan.

Bagian I: Larangan Menjalin Loyalitas dengan Musuh (Ayat 1-3)

Ayat pertama surah ini merupakan teguran keras terhadap praktik tertentu yang terjadi menjelang Fathu Makkah, sebuah insiden yang melibatkan seorang sahabat senior. Teguran ini menjadi dasar abadi mengenai bahaya menempatkan kepentingan pribadi atau kekerabatan di atas keselamatan komunitas beriman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita rahasia) karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran (Al-Qur’an) yang datang kepadamu...” (QS. Al-Mumtahanah: 1)

Kisah Hatib bin Abi Balta’ah: Konteks Penurunan Ayat

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan peristiwa Hatib bin Abi Balta’ah. Menjelang penaklukan Makkah, Rasulullah ﷺ sedang mempersiapkan pasukan secara rahasia untuk menyerang Makkah secara mendadak. Hatib, seorang sahabat dari kalangan Muhajirin dan veteran perang Badar, menulis surat kepada kaum Quraisy Makkah, memperingatkan mereka tentang rencana Rasulullah ﷺ.

Motivasi Hatib bukanlah pengkhianatan akidah, melainkan kekhawatiran pribadi. Ia memiliki keluarga dan harta benda yang tertinggal di Makkah, dan ia tidak memiliki kerabat di sana yang dapat melindunginya, tidak seperti sahabat Muhajirin lainnya. Dia berharap dengan memberikan informasi tersebut, Quraisy akan berhutang budi dan melindungi keluarganya.

Allah memberitahu Rasulullah ﷺ melalui wahyu tentang surat itu. Rasulullah ﷺ kemudian mengutus Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Al-Awwam untuk mencegat utusan yang membawa surat tersebut. Setelah tertangkap, Hatib dipanggil dan diinterogasi. Ia mengakui perbuatannya dan bersumpah bahwa tindakannya tidak didasari kemurtadan atau keraguan terhadap Islam.

Umar bin Khattab, karena marah atas pengkhianatan yang membahayakan seluruh kaum Muslimin, meminta izin kepada Nabi untuk memenggal kepala Hatib. Namun, Nabi ﷺ menolaknya seraya berkata, "Ia adalah salah seorang peserta Badar. Dan engkau tidak tahu, barangkali Allah telah melihat kepada ahli Badar dan berfirman, 'Lakukanlah apa yang kalian inginkan, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian'."

Ayat ini menegaskan bahwa meskipun Hatib diampuni berdasarkan amal kebaikannya di masa lalu dan niatnya yang tidak secara langsung memusuhi Islam, tindakannya (memberikan informasi rahasia kepada musuh) adalah tindakan yang terlarang dan dapat digolongkan sebagai muwalah yang dilarang.

Analisis Hukum Muwalah (Menjalin Loyalitas)

Ayat 1 melarang dengan keras tiga bentuk hubungan dengan musuh yang memerangi Islam:

  1. Mengambil mereka sebagai Auliya’ (Pelindung/Teman Setia): Ini melampaui hubungan bisnis atau tetangga biasa. Ini adalah hubungan yang melibatkan kepercayaan, dukungan emosional, dan aliansi politik.
  2. Menyampaikan rahasia (Tulliquna ilaihim bil-mawaddah): Menyebarkan informasi rahasia atau menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam, terutama jika mereka secara eksplisit memusuhi Islam.
  3. Melakukan hal tersebut meskipun mereka telah ingkar terhadap kebenaran: Loyalitas tersebut tidak dapat dibenarkan karena perbedaan fundamental akidah.

Loyalitas ini dilarang karena pada akhirnya, musuh-musuh tersebut (yang berjuang melawan Islam) akan menggunakan segala cara untuk mencelakakan kaum Muslimin, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 2 dan 3. Ketika mereka menemukan celah atau kesempatan, mereka akan menunjukkan permusuhan yang sesungguhnya:

إِن يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُم بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ

“Jika mereka menangkapmu, niscaya mereka akan berlaku sebagai musuh bagimu dan mereka akan mengulurkan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan kejahatan, dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.” (QS. Al-Mumtahanah: 2)

Ayat ini menyajikan realitas yang pahit: musuh akidah tidak akan pernah puas kecuali melihat orang beriman meninggalkan imannya (kembali kafir). Oleh karena itu, menjalin loyalitas dengan mereka yang memiliki tujuan ini adalah kebodohan dan pengkhianatan terhadap akidah sendiri.

Prioritas Ikatan Akidah di Atas Ikatan Keluarga

Ayat 3 memberikan pukulan telak terhadap ikatan kesukuan dan kekeluargaan yang masih kuat di kalangan Arab kala itu. Surah ini menekankan bahwa ikatan akidah bersifat transendental, melampaui segala bentuk ikatan duniawi, termasuk anak-anak dan harta:

لَن تَنفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ ۚ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Karib kerabatmu dan anak-anakmu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mumtahanah: 3)

Ini adalah pengingat bahwa keputusan yang diambil di dunia, baik itu memilih loyalitas kepada iman atau kepada keluarga yang memusuhi iman, akan dihakimi berdasarkan konsekuensi akhirat, bukan keuntungan duniawi yang bersifat fana. Jika Hatib khawatir keluarganya tidak terlindungi di Makkah, ayat ini mengingatkan bahwa perlindungan sejati hanya dari Allah di Hari Kiamat.

Bagian II: Teladan Abadi Nabi Ibrahim (Ayat 4-6)

Setelah memberikan larangan dan peringatan keras, surah Mumtahanah segera menyajikan model yang sempurna untuk loyalitas dan disavowal: Nabi Ibrahim (Abraham) AS. Dalam perjalanannya, Ibrahim menghadapi konflik yang sama, yaitu antara ikatan keluarga (ayahnya, Azar) dan ketegasan akidah.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kamu; dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Implikasi Ketegasan Ibrahim AS

Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai Khalilullah (Kekasih Allah) karena ketegasannya dalam Tauhid. Teladannya dalam surah ini menunjukkan beberapa hal penting:

1. Pernyataan Berlepas Diri (Bara’ah) yang Jelas

Ibrahim secara eksplisit menyatakan pemisahan total dari kaumnya. Kata burā’u minkum (kami berlepas diri dari kamu) mencakup pemisahan dalam akidah, metode penyembahan, dan jalan hidup. Ini bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan penegasan batas yang tidak bisa dilanggar. Disavowal ini diarahkan pada kaumnya yang menyembah berhala dan menolak Allah Yang Maha Esa.

2. Mengingkari Kekafiran (Kafarnā Bikum)

Pernyataan "kami ingkari kekafiran kamu" menunjukkan penolakan aktif terhadap sistem keyakinan mereka. Ini mengajarkan bahwa Muslim tidak boleh bersikap abu-abu terhadap kekafiran; penolakan harus jelas dan terang-terangan.

3. Permusuhan Abadi (Al-Adāwah wal-Baghḍā’)

Ayat ini menetapkan bahwa permusuhan (kebencian) antara kaum beriman dan kaum musyrik yang memusuhi akidah adalah permanen ("selama-lamanya") selama mereka tetap dalam kekafiran dan menentang Allah. Kebencian ini adalah kebencian ideologis dan akidah, bukan kebencian pribadi atau rasial.

Tujuan akhir dari permusuhan ideologis ini bukanlah kehancuran, melainkan harapan agar mereka bertaubat: “...sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Ini menunjukkan bahwa penolakan (bara’) adalah sarana untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengajak mereka kembali kepada jalan yang benar.

Pengecualian dalam Teladan Ibrahim

Namun, dalam ayat yang sama, Al-Qur’an memberikan pengecualian kecil terkait interaksi Ibrahim dengan ayahnya:

إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ

“Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu, dan aku tiada memiliki kekuasaan sedikitpun untuk menolak (siksaan) Allah darimu’.” (QS. Al-Mumtahanah: 4, bagian akhir)

Permintaan ampunan Ibrahim untuk ayahnya (Azar) adalah janji yang ia buat ketika berpisah (disebutkan dalam QS. At-Taubah: 114, janji itu dicabut setelah Ibrahim mengetahui Azar adalah musuh Allah yang keras kepala). Surah Mumtahanah menyebutkan pengecualian ini untuk menunjukkan batas-batas yang harus diikuti oleh kaum Muslimin.

Ayat 6 mengakhiri bagian teladan ini dengan penegasan kembali: Ibrahim AS dan para pengikutnya adalah teladan bagi setiap Muslim yang berharap kepada Allah dan Hari Akhir. Barang siapa berpaling dari teladan ini, maka sungguh Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.

Bagian III: Pengecualian dan Keadilan dalam Berinteraksi (Ayat 7-9)

Setelah memberikan garis batas loyalitas yang keras, surah ini menunjukkan aspek rahmat dan keadilan Islam. Loyalitas penuh (muwalah) hanya dilarang dengan mereka yang secara aktif memerangi kaum Muslimin. Namun, terhadap non-Muslim yang netral atau tidak agresif, Islam memerintahkan keadilan dan kebajikan.

Harapan Perdamaian (Ayat 7)

عَسَى اللَّهُ أَن يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُم مِّنْهُم مَّوَدَّةً ۚ وَاللَّهُ قَدِيرٌ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah Maha Kuasa; dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 7)

Ayat ini memberikan harapan besar. Meskipun pada saat itu permusuhan Quraisy Makkah sangat intens, Allah berfirman bahwa Dia mungkin akan mengubah hati mereka. Ayat ini terpenuhi tak lama setelah itu, ketika Fathu Makkah terjadi, dan banyak musuh lama yang akhirnya masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa larangan loyalitas bersifat kontekstual dan dapat berubah jika kondisi permusuhan (adāwah) berakhir.

Perintah Berbuat Baik dan Adil (Ayat 8)

Inilah ayat kunci yang menyeimbangkan prinsip Al-Wala’ wal-Bara’. Islam membedakan dengan jelas antara permusuhan ideologis dan perlakuan etis terhadap manusia.

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ayat ini membagi non-Muslim menjadi dua kategori utama:

  1. Non-Muslim yang Damai: Mereka yang tidak memerangi kaum Muslimin dalam urusan agama (lam yuqātilūkum fid-dīn) dan tidak mengusir mereka. Terhadap kelompok ini, Muslim diperintahkan untuk:
    • Berbuat Baik (An Tabarrūhum): Menggunakan kata birr, yang secara tradisional digunakan untuk kebajikan tertinggi (seperti berbakti kepada orang tua). Ini menunjukkan tingkat kebaikan yang tinggi, termasuk bantuan finansial, pertolongan, dan interaksi yang ramah.
    • Berlaku Adil (Wa Tuqsiṭū ilaihim): Keadilan adalah wajib dalam segala kondisi dan terhadap siapa pun, tanpa memandang agama atau ras.
  2. Non-Muslim yang Agresif: Mereka yang memerangi kaum Muslimin karena agama, melanggar perjanjian, atau mengusir kaum Muslimin.

Larangan loyalitas pada Ayat 1-6 hanya berlaku tegas pada kategori kedua. Sementara kategori pertama harus diperlakukan dengan kebajikan dan keadilan. Keseimbangan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mempromosikan perdamaian dan etika universal, selama hak-hak komunitas beriman dihormati.

Larangan Muwalah Terhadap Musuh yang Agresif (Ayat 9)

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman-teman setia orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai teman setia, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 9)

Ayat ini berfungsi sebagai penguat dan klarifikasi. Kata innama (hanyalah/sesungguhnya) membatasi larangan loyalitas hanya pada musuh yang menunjukkan agresivitas fisik atau ideologis terhadap keberadaan kaum Muslimin. Mereka yang melakukan tiga tindakan ini — memerangi, mengusir, atau membantu pengusiran — dilarang mutlak untuk dijadikan auliya’.

Orang yang melanggar larangan ini disebut az-zālimūn (orang-orang zalim), karena mereka menempatkan keamanan dan loyalitas pribadi atau duniawi di atas prinsip akidah dan keselamatan komunitas.

Bagian IV: Hukum dan Ujian Wanita yang Berhijrah (Ayat 10-11)

Bagian inilah yang memberikan nama pada surah ini, “Al-Mumtahanah.” Ia membahas situasi unik yang muncul setelah Perjanjian Hudaibiyah, di mana wanita musyrik yang telah memeluk Islam berhijrah ke Madinah, meninggalkan suami mereka yang masih kafir di Makkah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10, bagian awal)

Prosedur Pengujian (Famtahinūhunna)

Perjanjian Hudaibiyah mengharuskan Muslim mengembalikan siapa pun yang datang kepada mereka dari Quraisy tanpa izin walinya. Namun, ayat ini mengecualikan wanita. Jika seorang wanita berhijrah ke Madinah, kaum Muslimin harus menguji keimanannya.

Ujian (imtihān) ini bertujuan untuk memastikan bahwa hijrah wanita tersebut murni karena keimanan, bukan karena motivasi duniawi seperti lari dari suami yang tidak disukai, atau alasan politik semata. Para ulama sepakat bahwa ujian tersebut adalah dengan menanyakan apakah mereka berhijrah:

  1. Bukan karena membenci suami.
  2. Bukan karena mencari harta.
  3. Bukan karena alasan duniawi lainnya.
  4. Tetapi semata-mata karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Menurut riwayat, Rasulullah ﷺ menguji mereka dengan meminta mereka bersumpah dengan kondisi-kondisi bay’ah (baiat) yang akan disebutkan pada ayat 12.

Hukum Pernikahan yang Batal Secara Otomatis

Bagian terpenting dari ayat 10 adalah penetapan hukum fiqih: jika keimanan wanita tersebut terbukti, dia tidak boleh dikembalikan kepada suaminya yang masih kafir. Hal ini karena ikatan pernikahan antara wanita Muslimah dan pria kafir tidak sah dalam Islam.

Pernikahan sebelumnya dibatalkan (terputus) secara otomatis karena perbedaan akidah. Inilah implementasi hukum loyalitas (Al-Wala’ wal-Bara’) dalam lingkup keluarga. Seorang Muslimah sejati tidak dapat terikat oleh pernikahan dengan seorang kafir yang memusuhi Allah.

Kewajiban Pengembalian Mahar

Karena ikatan pernikahan diputus oleh hukum syariat (bukan karena perceraian biasa), harus ada keadilan finansial untuk mantan suami yang kafir:

وَآتُوهُم مَّا أَنفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَن تَنكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ

“Dan berikanlah kepada suami-suami mereka (orang-orang kafir) mahar yang telah mereka berikan. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka mahar mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10, bagian tengah)

Ulama fiqih berpendapat bahwa ini adalah pengecualian. Untuk menjaga keadilan dan menghormati Perjanjian Hudaibiyah (yang menjamin hak harta), kaum Muslimin harus mengembalikan mahar yang telah diberikan oleh suami kafir tersebut kepada wanitanya. Setelah pengembalian mahar tersebut, wanita itu bebas menikah dengan pria Muslim, asalkan mahar baru telah dibayarkan kepadanya.

Implikasi bagi Suami Muslim yang Istrinya Murtad (Ayat 11)

Ayat 11 membalikkan situasi, menangani kasus di mana seorang wanita Muslimah murtad dan bergabung kembali dengan kaum kafir (suami Muslim ditinggalkan). Ini memastikan keadilan dua arah:

وَإِن فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِّنْ أَزْوَاجِكُمْ إِلَى الْكُفَّارِ فَعَاقَبْتُمْ فَآتُوا الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِّثْلَ مَا أَنفَقُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ

“Dan jika ada di antara istri-istrimu lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu mendapat giliran (mengalahkan mereka), maka berikanlah kepada orang-orang (suami-suami) yang istrinya lari itu sebanyak mahar yang telah dibayarkan. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya kamu beriman.” (QS. Al-Mumtahanah: 11)

Jika seorang istri Muslimah murtad dan lari, suami Muslim kehilangan istrinya dan maharnya. Jika kemudian kaum Muslimin menang perang atau mendapatkan harta rampasan (‘āqabtum), mereka wajib membayar kerugian mahar kepada suami Muslim yang ditinggalkan, menggunakan harta rampasan tersebut. Mekanisme ini memastikan bahwa tidak ada Muslim yang mengalami kerugian finansial akibat tindakan istri yang meninggalkan iman.

Bagian V: Baiat Wanita Mukminah (Ayat 12)

Ayat ke-12 membahas perjanjian khusus, atau baiat, yang dilakukan oleh para wanita yang baru memeluk Islam atau yang baru hijrah, yang ingin bergabung dalam komunitas Muslim di Madinah.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰ أَن لَّا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ ۙ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan melakukan kebohongan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 12)

Ayat ini mendefinisikan enam (atau tujuh, tergantung cara pengelompokannya) prinsip dasar moral dan sosial yang harus ditaati oleh setiap Muslimah, yang menjadi fondasi masyarakat Islam:

1. Tidak Menyekutukan Allah (Tauhid)

Ini adalah pilar pertama dan utama. Menegaskan kemurnian tauhid dan meninggalkan segala bentuk syirik (polytheism) adalah syarat mutlak untuk diterima dalam komunitas. Ini adalah kelanjutan dari prinsip Al-Wala’ wal-Bara’ yang mewajibkan totalitas loyalitas kepada Allah semata.

2. Tidak Mencuri (Larangan Pelanggaran Harta)

Kepercayaan dan integritas ekonomi adalah penting. Larangan mencuri mencakup pencurian harta orang lain, serta penipuan dalam transaksi, dan ini menegaskan perlindungan terhadap hak milik dalam sistem Islam.

3. Tidak Berzina (Larangan Pelanggaran Kehormatan)

Zina adalah kejahatan sosial yang merusak tatanan keluarga dan keturunan. Menjaga kesucian diri dan kehormatan adalah wajib, dan ini menjadi indikasi kuat bagi para wanita yang berhijrah bahwa mereka telah meninggalkan moralitas jahiliyah dan memasuki moralitas Islam yang luhur.

4. Tidak Membunuh Anak-Anak (Wa’dul Banāt)

Praktik keji membunuh bayi perempuan (wa’dul banāt) yang lazim pada masa jahiliyah dilarang keras. Larangan ini melindungi hak hidup, terutama bagi kelompok yang paling rentan dalam masyarakat, menegaskan nilai setara antara laki-laki dan perempuan di mata Allah.

5. Tidak Melakukan Kebohongan (Buhṭān)

Larangan ini merujuk pada fitnah atau kebohongan yang disebarkan, khususnya yang berkaitan dengan perselingkuhan atau menuduh anak yang dilahirkan sebagai bukan anak suaminya. Ekspresi ‘bahutan yafarinahu baina aidihim wa arjulihim’ (kebohongan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka) adalah ungkapan khas Arab yang berarti fabrikasi yang dibuat-buat, seringkali terkait dengan tuduhan palsu dalam urusan keturunan.

6. Tidak Mendurhakai Nabi dalam Perkara yang Baik (Ma’ruf)

Ketaatan kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah ketaatan kepada Allah, tetapi ketaatan ini dibatasi pada hal-hal yang ma’ruf (baik, benar, dan sesuai syariat). Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam adalah berdasarkan prinsip kebaikan, bukan tirani. Bagi wanita, ketaatan ini mencakup semua hukum syariat yang khusus bagi mereka.

Signifikansi Sosial Baiat Ini

Baiat ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menuntut ritual, tetapi juga transformasi sosial-moral yang radikal. Wanita-wanita yang berhijrah ini sedang membangun masyarakat baru, dan fondasi masyarakat ini harus bersih dari syirik, kejahatan ekonomi, perzinahan, dan kejahatan kemanusiaan.

Setelah menerima baiat ini, Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk memohon ampunan bagi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa pintu taubat dan ampunan terbuka lebar bagi mereka yang berkomitmen untuk memulai kehidupan yang baru berdasarkan prinsip-prinsip Islam.

Bagian VI: Penutup dan Peringatan Keras (Ayat 13)

Surah ini ditutup dengan mengulang kembali tema awal tentang Al-Wala’ wal-Bara’, memberikan peringatan terakhir dan tegas tentang bahaya loyalitas kepada mereka yang telah mendapatkan murka Allah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu kaum yang telah dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap (kebaikan) akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (QS. Al-Mumtahanah: 13)

Ayat penutup ini memperkuat esensi surah. Siapakah "kaum yang dimurkai Allah"? Mereka adalah kelompok yang menolak hidayah dan terus memusuhi agama hingga akhir hayat mereka, sehingga mereka tidak lagi memiliki harapan akan pahala di akhirat.

Perumpamaan yang digunakan di akhir ayat, "sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa," sangatlah kuat. Ketika seseorang mati dalam kekafiran, semua harapan untuk beramal atau bertaubat telah sirna. Muslim dilarang mengambil loyalitas dari kelompok seperti itu, karena bersekutu dengan keputusasaan akidah hanya akan membawa kerugian dunia dan akhirat.

Elaborasi Mendalam Prinsip Al-Wala’ wal-Bara’

Karena konsep ini adalah inti teologis Surah Mumtahanah, penting untuk menganalisisnya secara rinci, membedakan antara loyalitas yang dilarang dan interaksi sosial yang diizinkan.

1. Definisi dan Derajat Al-Wala’ (Loyalitas)

Al-Wala’ (loyalitas) adalah ikatan hati dan tindakan yang menunjukkan dukungan total. Loyalitas yang wajib diberikan oleh Muslim adalah kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum beriman (disebutkan dalam QS. Al-Ma’idah: 55 dan At-Taubah: 71).

Loyalitas kepada musuh-musuh Islam, yang dilarang dalam Mumtahanah, memiliki beberapa derajat bahaya:

Surah Mumtahanah secara khusus melarang Muwalah Praktis dan Emosional, terutama dalam konteks perang ideologis atau militer.

2. Memahami Al-Bara’ (Disavowal)

Al-Bara’ adalah penolakan atau pernyataan berlepas diri. Ini bukan berarti berbuat zalim atau bengis kepada setiap non-Muslim. Sebagaimana teladan Ibrahim, bara’ itu diarahkan kepada:

  1. Sistem Akidah: Berlepas diri dari syirik dan kekafiran.
  2. Musuh yang Agresif: Berlepas diri dari mereka yang secara aktif memerangi Islam (Ayat 9).

Ini adalah kebencian ideologis (bughd fil-dīn), bukan kebencian personal. Seorang Muslim harus membenci kekafiran yang dilakukan oleh musuh Allah, tetapi tidak dilarang mengharapkan hidayah bagi individu tersebut, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Ayat 7 (harapan adanya mawaddah di masa depan).

3. Kontras antara Muwalah dan Birr (Kebaikan)

Surah Mumtahanah memberikan panduan etis yang tak tertandingi dalam sejarah: ia memisahkan domain loyalitas dari domain etika universal.

Loyalitas (Muwalah) adalah isu hati, ideologi, dan aliansi politik-militer. Ini hanya untuk komunitas beriman.

Kebaikan (Birr) dan Keadilan (Qist) adalah isu perlakuan praktis. Ini wajib diberikan kepada semua manusia yang hidup damai. Kebaikan ini mencakup:

Dengan demikian, Mumtahanah menolak relativisme moral sekaligus menolak fanatisme yang zalim. Muslim diperintahkan untuk tegas dalam akidah tetapi lembut dalam perlakuan terhadap mereka yang tidak memerangi Islam.

Analisis Fiqh Kontemporer Terhadap Ayat Pernikahan (Ayat 10-11)

Ayat 10 dan 11, yang membahas implikasi hijrah pada pernikahan, memiliki relevansi hukum yang berkelanjutan, khususnya dalam konteks minoritas Muslim atau migrasi internasional.

Masalah Pemutusan Ikatan Pernikahan (Tafriq)

Ayat 10 menetapkan bahwa pernikahan antara Muslimah dan pria kafir batal. Para ulama fiqih berpendapat bahwa ini berlaku dalam semua mazhab. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya pernikahan itu batal:

Inti hukum ini adalah bahwa loyalitas akidah tidak dapat hidup berdampingan dengan loyalitas pernikahan. Wanita yang diuji (mumtahanah) membuktikan loyalitasnya kepada Islam melalui hijrah, yang lantas membatalkan klaim suaminya atas dirinya.

Prinsip Kompensasi Mahar

Perintah mengembalikan mahar kepada suami kafir (Ayat 10) dan membayar kerugian mahar kepada suami Muslim yang ditinggalkan (Ayat 11) adalah manifestasi keadilan yang luar biasa. Prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun Islam memisahkan akidah, ia tidak mengizinkan perampasan harta atau kekayaan orang lain, bahkan musuh sekalipun, kecuali melalui perang yang sah.

Keadilan finansial ini sangat penting karena ia membedakan hukum Islam dari praktik-praktik jahiliyah yang mungkin saja membiarkan Muslim mengambil keuntungan finansial dari situasi perpindahan agama yang sulit.

Warisan dan Pelajaran Abadi Surah Mumtahanah

Surah Al-Mumtahanah, dengan narasi Hatib, teladan Ibrahim, dan hukum wanita yang berhijrah, meninggalkan warisan yang mendalam bagi umat Islam sepanjang masa. Pelajaran-pelajaran ini tidak terbatas pada masa konflik dengan Quraisy, tetapi berlaku untuk setiap generasi yang menghadapi tantangan loyalitas.

1. Loyalitas sebagai Ujian Utama Iman

Surah ini mengajarkan bahwa iman bukanlah sekadar ucapan lisan, tetapi diuji melalui pilihan loyalitas. Loyalitas sejati menuntut pengorbanan ikatan emosional, keluarga, dan bahkan keuntungan materi (seperti yang dipertaruhkan oleh Hatib). Muslim yang sejati adalah dia yang menempatkan Allah dan komunitas beriman di posisi pertama.

2. Ketegasan Tanpa Kekejaman

Mumtahanah memberikan garis yang tegas antara ketegasan akidah dan kebaikan perilaku. Ketegasan harus dipertahankan dalam menolak kekafiran dan aliansi politik-militer dengan musuh agama. Namun, kebaikan harus menjadi standar interaksi sosial dengan mereka yang hidup damai. Ini adalah panduan untuk dakwah: tunjukkan kebenaran akidah (bara’) sambil menunjukkan keindahan akhlak (birr).

3. Teladan Ibrahim: Arsitek Tauhid

Mengapa Ibrahim dipilih sebagai teladan di sini? Karena ia adalah arsitek pertama yang membangun komitmen Tauhid di atas puing-puing kekeluargaan dan suku yang musyrik. Kaum Muslimin di Madinah, yang berusaha melepaskan diri dari ikatan suku Quraisy yang lama, memerlukan model keberanian moral seperti Ibrahim.

4. Perempuan sebagai Garda Depan Moralitas

Fokus pada baiat wanita mukminah (Ayat 12) menunjukkan bahwa moralitas sosial dimulai dari peran individu, terutama wanita. Kondisi-kondisi baiat tersebut (menjauhi syirik, pencurian, perzinahan, pembunuhan anak, dan fitnah) adalah fondasi bagi masyarakat yang sehat. Dengan menjaga moralitas wanita, komunitas Muslim memastikan masa depan generasi yang kuat dan bersih dari kerusakan jahiliyah.

Dalam konteks modern, Surah Al-Mumtahanah terus relevan sebagai pedoman. Ia memberikan petunjuk bagaimana Muslim harus berinteraksi di tengah kompleksitas global: tegas dalam prinsip keimanan, tetapi adil, etis, dan terbuka terhadap kerjasama kemanusiaan dengan siapa pun yang tidak memusuhi akidah Islam secara aktif.

Implementasi Prinsip Al-Wala’ wal-Bara’ di Era Modern

Memahami Surah Mumtahanah dalam kerangka kontemporer membutuhkan kehati-hatian agar tidak terjadi kesalahpahaman. Larangan mengambil musuh Allah sebagai auliya’ (pelindung atau sekutu setia) sering kali disederhanakan menjadi larangan berinteraksi dengan non-Muslim secara umum. Padahal, surah ini secara eksplisit memberikan ruang untuk perlakuan adil dan baik (birr) kepada non-Muslim yang tidak memusuhi.

1. Loyalitas Ideologis vs. Kewarganegaraan

Prinsip Al-Wala’ merujuk pada loyalitas hati dan akidah. Dalam konteks negara bangsa modern, kewajiban seorang Muslim untuk menjadi warga negara yang patuh dan berkontribusi kepada negaranya tidak bertentangan dengan Al-Wala’ wal-Bara’, selama negara tersebut menjamin kebebasan beragama dan tidak memaksa Muslim untuk mengkhianati akidahnya. Loyalitas akidah adalah spiritual, sementara loyalitas kewarganegaraan adalah kontrak sipil.

2. Batasan dalam Hubungan Internasional

Surah Mumtahanah menjadi panduan dalam menjalin aliansi politik atau militer. Muslim dilarang membangun aliansi strategis yang bertujuan merusak kepentingan umat Islam atau yang meminta Muslim mengkompromikan prinsip-prinsip Islam demi kepentingan aliansi tersebut. Ini berarti menolak bantuan dari pihak yang tujuan utamanya adalah menghancurkan nilai-nilai Islam, meskipun bantuan tersebut tampak menguntungkan secara pragmatis.

3. Media dan Budaya Populer

Loyalitas juga diuji melalui paparan budaya. Ayat-ayat Surah Mumtahanah mendorong Muslim untuk menjaga identitas mereka. Membangun mawaddah (rasa kasih sayang yang mendalam) kepada budaya atau gaya hidup yang secara fundamental bertentangan dengan ajaran Islam, serta yang secara aktif mempromosikan kemaksiatan, dapat dianggap melanggar prinsip bara’, meskipun pelakunya tidak secara langsung memerangi Muslim secara fisik. Ujian di sini adalah ujian internal, menjaga kemurnian hati dan pandangan dunia Islam.

Peran Taqwa dalam Loyalitas

Penting untuk dicatat bahwa keputusan Hatib bin Abi Balta’ah, meskipun secara teknis merupakan pelanggaran terhadap loyalitas, diampuni oleh Allah karena tingginya tingkat taqwa dan amal salehnya di masa lalu (partisipasi Badar). Ini mengajarkan bahwa loyalitas harus dibangun di atas fondasi taqwa (kesadaran akan Allah) yang kuat.

Taqwa adalah faktor penyeimbang. Ia mencegah seorang Muslim untuk bersekutu dengan musuh karena ketakutan duniawi (seperti Hatib), dan pada saat yang sama, taqwa mencegah seorang Muslim untuk berbuat zalim atau bengis kepada mereka yang seharusnya diperlakukan dengan birr dan qist (kebaikan dan keadilan).

Rangkuman Prinsip Mumtahanah

Secara ringkas, Surah Al-Mumtahanah menuntut:

Surah Mumtahanah adalah salah satu surah yang paling krusial dalam mendefinisikan identitas Muslim sebagai komunitas yang unik, berdiri tegak di atas prinsip akidah yang tidak dapat dinegosiasikan, namun tetap menjadi pembawa rahmat dan keadilan bagi seluruh alam.

Keseluruhan isi surah ini berulang kali menegaskan bahwa ikatan iman adalah yang paling mulia dan paling tahan lama, melebihi ikatan darah atau kepentingan material yang fana. Orang-orang yang beriman diperintahkan untuk melihat kepada akhirat sebagai tujuan utama, dan menjadikan loyalitas kepada Allah sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan abadi. Pengajaran ini bersifat menyeluruh, mencakup spektrum luas dari urusan politik luar negeri hingga hukum pernikahan pribadi, semuanya diikat oleh satu benang merah: ketegasan dalam Tauhid dan Loyalitas.

Dalam konteks akhir zaman, di mana batas-batas budaya dan ideologi semakin kabur, Surah Mumtahanah berfungsi sebagai kompas. Ia mengingatkan umat Islam untuk tidak terombang-ambing oleh arus globalisasi yang mungkin menuntut kompromi akidah demi penerimaan sosial atau keuntungan ekonomi. Ia menyerukan kepada kaum Muslimin untuk berhati-hati terhadap mawaddah yang menyesatkan dan aliansi yang merugikan akidah, seraya terus memegang teguh kewajiban birr (kebaikan) kepada semua makhluk Allah.

Oleh karena itu, surah ini pantas menyandang namanya sebagai ‘Wanita yang Diuji’ atau ‘Dia yang Diuji’, karena setiap ayatnya merupakan instrumen pengujian bagi hati seorang mukmin: apakah loyalitasnya sejati dan total kepada Penciptanya, ataukah masih bercampur dengan kepentingan dari musuh-musuh kebenaran.

Pembahasan mengenai Surah Mumtahanah selalu kembali kepada pokok bahasan yang sama: pentingnya pemisahan antara akidah dan kepentingan duniawi. Dalam kasus Hatib, ia mengira dapat memisahkan antara politik dan akidah, namun Allah menegaskan bahwa rahasia perang adalah bagian dari loyalitas akidah. Dalam kasus Ibrahim, ia ingin memisahkan kasih sayang keluarga dari keyakinan, namun Allah menegaskan bahwa bara’ harus didahulukan.

Bahkan dalam urusan pernikahan, perbedaan akidah secara otomatis memutus ikatan yang tadinya sah, menunjukkan betapa pentingnya kesamaan fondasi keyakinan. Tidak ada loyalitas, ikatan, atau aliansi yang dapat bertahan jika fondasinya berbeda dalam hal ketuhanan.

Sangat ditekankan bahwa sifat bara’ ini harus didasarkan pada keadilan. Inilah mengapa perlakuan terhadap musuh yang damai harus tetap didasarkan pada kebaikan, dan mengapa hukum mahar harus dipenuhi secara adil. Kebencian akidah tidak boleh menjadi pembenaran untuk melanggar hak-hak asasi manusia atau norma keadilan universal. Ketegasan Islam dalam akidah selalu dibarengi dengan keagungan etika dan keadilan dalam muamalah.

Oleh karena itu, ketika seorang Muslim membaca dan merenungkan Surah Mumtahanah, ia tidak hanya membaca sejarah sebuah komunitas di Madinah, tetapi sedang menerima panduan abadi yang memetakan geografi spiritual loyalitas dan etika interaksi di dunia yang semakin kompleks.

Setiap Muslim harus melakukan muhasabah diri, menanyakan apakah dia telah menjaga batas-batas loyalitas sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim AS. Apakah dia telah tegas dalam bara’ dari kekafiran, namun tetap menjunjung tinggi birr dan qist terhadap manusia yang tidak memusuhinya?

Inilah yang membuat Surah Al-Mumtahanah menjadi salah satu surah yang paling relevan dan penting untuk dipelajari secara mendalam bagi setiap Muslim yang berusaha mencapai derajat mukmin sejati, di mana loyalitasnya kepada Allah adalah satu-satunya tujuan dan standar hidupnya.

Ayat terakhir (Ayat 13) yang memperingatkan untuk tidak mengambil sekutu dari kaum yang telah dimurkai Allah, yang putus asa terhadap akhirat, adalah penutup yang sempurna. Keputusasaan terhadap akhirat adalah indikator jelas bahwa seseorang telah kehilangan arah hidupnya. Bersekutu atau mengambil loyalitas dari pihak yang telah kehilangan harapan akhirat adalah bersekutu dengan kegagalan. Muslim, sebaliknya, harus selalu bersekutu dengan harapan, dengan kebenaran, dan dengan mereka yang berjuang di jalan yang lurus.

Sangatlah penting untuk terus-menerus mengingat bahwa Islam adalah agama yang membangun umatnya di atas fondasi cinta dan loyalitas vertikal kepada Allah SWT, dan kemudian loyalitas horizontal kepada sesama mukmin. Tanpa fondasi ini, bangunan umat akan mudah runtuh oleh badai kepentingan duniawi, seperti yang hampir terjadi pada masa Hatib bin Abi Balta’ah. Ujian loyalitas adalah ujian yang tidak pernah berakhir, dan Surah Mumtahanah adalah kunci untuk lulus dari ujian tersebut.

Pengulangan dan penekanan berulang-ulang dalam surah ini terhadap konsekuensi loyalitas duniawi menunjukkan bahwa ini adalah godaan terbesar yang dihadapi manusia beriman. Ikatan darah, uang, kekuasaan, dan popularitas, semuanya dapat mengaburkan visi loyalitas sejati. Surah Mumtahanah datang untuk memurnikan visi tersebut, menjadikannya jernih dan fokus pada kepentingan akhirat dan keridhaan Ilahi.

Oleh karena itu, Surah Al-Mumtahanah bukan hanya sebuah catatan sejarah; ia adalah manual hidup yang mendalam tentang bagaimana menavigasi dunia yang penuh godaan dengan integritas akidah yang tak tergoyahkan.

Setiap poin dari keenam syarat baiat wanita pada Ayat 12 juga berfungsi sebagai fondasi bagi masyarakat yang beradab dan berfungsi. Syarat-syarat ini, seperti tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak berbuat fitnah, adalah jaminan keamanan publik dan stabilitas sosial. Tanpa komitmen moral ini, tidak ada komunitas yang dapat bertahan, bahkan jika mereka memiliki loyalitas akidah yang kuat. Loyalitas kepada Allah harus tercermin dalam kejujuran dan etika sosial yang tinggi.

Ketika kita merenungkan kembali kisah Hatib, kita menyadari bahwa kesalahan terbesarnya adalah menempatkan rasa takut atas keselamatan keluarga di atas kepercayaan penuh kepada Allah yang telah menjanjikan perlindungan bagi kaum beriman. Surah Mumtahanah adalah seruan untuk meletakkan tawakal (ketergantungan penuh kepada Allah) di pusat setiap keputusan, terutama ketika tekanan sosial atau ancaman muncul dari pihak yang memusuhi Islam.

Secara keseluruhan, Surah Al-Mumtahanah adalah sebuah mahakarya hukum dan etika yang mengatur hubungan internal komunitas Muslim dan hubungan eksternalnya dengan dunia. Ia mengajarkan garis batas yang jelas (bara’) dan jembatan kebaikan (birr), memastikan bahwa umat Islam dapat hidup dengan integritas akidah penuh sambil tetap menjadi agen keadilan di muka bumi.

🏠 Kembali ke Homepage