Pendahuluan: Pilar Keseimbangan Umat
Surah An-Nisa ayat 59 merupakan salah satu poros utama yang menjadi landasan teologis dan yuridis dalam tata kelola masyarakat Islam. Ayat ini tidak hanya memberikan perintah ketaatan, tetapi juga menawarkan kerangka kerja metodologis yang baku untuk menyelesaikan perselisihan. Ia adalah formula sempurna yang mengikat individu, pemimpin spiritual, dan otoritas pemerintahan dalam satu kesatuan ketaatan yang hierarkis dan terpusat.
Ayat mulia ini, yang sering disebut sebagai Ayat Ulil Amri, menempatkan fondasi iman pada prinsip kepatuhan yang tidak terpecah. Kepatuhan ini bergerak dari sumber otoritas tertinggi—Allah SWT—kemudian berlanjut kepada utusan-Nya—Rasulullah SAW—dan akhirnya turun kepada para pemegang otoritas di antara kaum Muslimin. Pemahaman mendalam terhadap setiap frasa dan implikasi hukumnya adalah kunci untuk membangun komunitas yang harmonis, adil, dan berpegang teguh pada syariat.
Teks dan Terjemahan Ayat (An-Nisa: 59)
Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa, ayat ke-59:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
I. Analisis Mendalam Frasa Kunci dalam Ayat
1. Seruan Kepatuhan: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا (Wahai orang-orang yang beriman)
Ayat ini dimulai dengan seruan langsung kepada kaum mukmin. Ini menunjukkan bahwa perintah yang akan disampaikan adalah kewajiban yang terikat erat dengan keimanan. Hanya orang yang telah mengakui keesaan Allah dan kenabian Muhammad-lah yang wajib melaksanakan perintah ketaatan ini. Seruan ini menggarisbawahi bahwa ketaatan adalah buah dari iman; tanpa ketaatan, klaim iman menjadi hampa. Ini adalah penetapan fondasi spiritual sebelum membahas struktur sosial dan politik.
2. Otoritas Utama: أَطِيعُوا اللَّهَ (Taatilah Allah)
Ketaatan kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tidak bersyarat, dan mencakup semua aspek kehidupan. Ketaatan ini termanifestasi melalui pelaksanaan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an. Ini adalah sumber hukum (syariat) tertinggi. Ketaatan kepada Allah tidak memerlukan verifikasi atau pengecualian, karena Allah adalah Sang Pencipta yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Ketaatan kepada Allah mengandung makna Tawhid al-Uluhiyyah (mengesakan Allah dalam peribadatan dan kepatuhan). Segala ketaatan lainnya—kepada Rasul atau Ulil Amri—harus selalu berada di bawah payung ketaatan kepada Allah. Jika ada perintah dari otoritas yang bertentangan dengan firman Allah, maka ketaatan kepada otoritas tersebut gugur.
3. Otoritas Kedua: وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (dan taatilah Rasul)
Kata kerja أَطِيعُوا (taatilah) diulang sebelum penyebutan Rasul. Para ulama tafsir, seperti Imam Asy-Syafi'i, mengambil kesimpulan penting dari pengulangan ini. Pengulangan ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Rasul (Muhammad SAW) adalah ketaatan yang berdiri sendiri, bukan sekadar penegasan ketaatan kepada Allah.
- Implikasi Pengulangan: Rasulullah SAW memiliki fungsi sebagai pembuat hukum (legislator) dan penjelas (mubayyin) syariat. Beliau menetapkan hukum (sunnah) yang mungkin tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur'an. Oleh karena itu, mengikuti Sunnah Rasul adalah kewajiban independen yang setara dengan mengikuti Al-Qur'an, asalkan Sunnah tersebut sahih.
- Contoh Ketaatan: Ketaatan kepada Rasul mencakup pelaksanaan shalat dengan tata cara yang diajarkan beliau, penetapan kadar zakat, dan pelaksanaan muamalah sesuai tuntunan beliau. Sunnah adalah penafsiran praktis (tafsir amali) terhadap Al-Qur'an.
4. Otoritas Ketiga: وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ (dan Ulil Amri di antara kamu)
Di sini, kata kerja أَطِيعُوا (taatilah) tidak diulang sebelum penyebutan Ulil Amri. Ini adalah titik kunci dalam memahami hierarki ketaatan. Tidak diulangnya kata kerja tersebut menyiratkan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri adalah ketaatan yang terikat dan bersyarat pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada Ulil Amri hanya sah selama perintah mereka tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
Siapakah Ulil Amri?
Para ulama tafsir memiliki dua pandangan utama mengenai definisi Ulil Amri:
- Pemimpin Politik/Pemerintahan (Al-Umara): Ini mencakup Khalifah, Sultan, Raja, Presiden, atau Gubernur—mereka yang memiliki kekuasaan eksekutif dan mampu menegakkan hukum. Pandangan ini didukung oleh mayoritas ahli fikih dan hadis (seperti Ibn Abbas, Malik, dan Ahmad). Ketaatan di sini bertujuan menjaga ketertiban, keamanan, dan pelaksanaan syariat secara kolektif.
- Para Ulama dan Ahli Hukum (Al-Ulama): Ini adalah mereka yang memiliki otoritas dalam penetapan dan penjelasan hukum syariat (mufti, qadi, fuqaha). Pandangan ini didukung oleh Mujahid, Jabir bin Abdullah, dan sekelompok ulama Salaf lainnya. Ketaatan di sini berkaitan dengan mengikuti fatwa dan ijtihad mereka dalam urusan agama.
Pendapat yang lebih komprehensif (seperti yang dianut oleh Imam Ibn Kathir dan As-Sa'di) menggabungkan keduanya: Ulil Amri mencakup kedua kelompok yang bertanggung jawab atas urusan umat, baik dalam bidang politik maupun keilmuan, selama mereka berada di antara kaum mukmin (minkum).
Batasan Ketaatan Ulil Amri
Prinsip utama yang mengatur ketaatan kepada Ulil Amri adalah hadis Nabi SAW: "Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam kemaksiatan terhadap Al-Khaliq (Sang Pencipta)." (Riwayat Ahmad dan Hakim). Jika Ulil Amri memerintahkan kekejian (maksiat) atau pelanggaran syariat, maka umat Islam wajib menolak perintah tersebut. Penolakan ini adalah wujud ketaatan yang lebih tinggi, yaitu ketaatan kepada Allah.
II. Metodologi Penyelesaian Perselisihan (Rujukan Kembali)
1. Kondisi Sengketa: فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ (Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu)
Ayat ini secara realistis mengakui bahwa perselisihan (tanazu') pasti akan terjadi dalam masyarakat manusia, baik dalam masalah ritual, hukum, politik, atau ekonomi. Ini adalah sifat alamiah interaksi sosial dan ijtihad manusia. Pengakuan ini menunjukkan bahwa Islam menyediakan mekanisme praktis, bukan sekadar utopia. Sengketa yang dimaksud dapat terjadi antarindividu, antar kelompok, atau antara rakyat dengan Ulil Amri itu sendiri.
2. Pilar Rujukan: فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ (kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul)
Ini adalah inti dari solusi yuridis Islam. Jika terjadi perselisihan, rujukan wajib adalah kepada sumber otoritas tertinggi dan tak terbantahkan:
- Kepada Allah (Al-Qur'an): Mengacu kepada hukum-hukum Allah yang terperinci dan universal dalam Kitab Suci.
- Kepada Rasul (As-Sunnah): Mengacu kepada interpretasi praktis, penjelasan, dan hukum tambahan yang ditetapkan melalui ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW.
Perintah rujukan ini memastikan bahwa komunitas Muslim selalu memiliki titik referensi yang stabil dan ilahiah. Ini adalah penolakan terhadap relativisme dan penetapan bahwa kebenaran hukum hanya berasal dari sumber wahyu.
Alt Text: Diagram skema hierarki ketaatan dalam Islam, menunjukkan ketaatan kepada Allah sebagai pusat, diikuti Rasul, dan Ulil Amri, serta rujukan semua sengketa kembali kepada sumber wahyu.
3. Prasyarat Iman: إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ (Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian)
Penyelesaian sengketa melalui rujukan kepada Al-Qur'an dan Sunnah bukan hanya rekomendasi hukum, tetapi ujian keimanan. Ayat ini secara eksplisit mengaitkan kepatuhan terhadap metodologi rujukan dengan keimanan kepada Allah (sebagai pembuat hukum) dan Hari Akhir (sebagai hari perhitungan amal). Jika seseorang menolak metode rujukan ini, maka keimanannya dipertanyakan.
Iman kepada Hari Akhir berfungsi sebagai pengendali etis. Kesadaran bahwa segala tindakan, termasuk cara menyelesaikan konflik, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, memotivasi kaum mukmin untuk menerima keputusan yang didasarkan pada wahyu, meskipun keputusan itu mungkin terasa tidak menguntungkan secara pribadi.
4. Konsekuensi Positif: ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya)
Ayat ditutup dengan penegasan bahwa metode rujukan kepada wahyu adalah yang terbaik (khayr) dan memiliki hasil atau interpretasi (ta'wil) yang paling baik (ahsan).
- Khayrun (Lebih Utama): Merujuk pada kebaikan spiritual dan pahala di sisi Allah. Kebaikan ini bersifat transenden dan abadi.
- Ahsanu Ta'wila (Lebih Baik Akibatnya/Hasilnya): Merujuk pada kebaikan duniawi. Keputusan yang didasarkan pada syariat akan membawa ketenangan sosial, keadilan yang hakiki, dan stabilitas politik. Solusi yang dibuat oleh manusia sering kali bias atau bersifat sementara, tetapi solusi ilahiah bersifat adil universal dan abadi.
Bagi ulama usul fikih, frasa ini memberikan justifikasi kuat bahwa Syariat Islam (Qur'an dan Sunnah) adalah sumber yang sempurna untuk semua permasalahan hukum, politik, dan sosial, dan bahwa setiap ijtihad harus tunduk pada kerangka kerja ini.
III. Implikasi Syariah dan Prinsip Fikih dari An-Nisa 59
1. Prinsip Sumber Hukum (Usul al-Fiqh)
Ayat 59 adalah bukti tekstual (Nash) yang paling jelas mengenai hierarki sumber hukum dalam Islam. Ayat ini menetapkan:
- Al-Qur'an: Sumber utama (referensi kepada Allah).
- As-Sunnah: Sumber kedua yang otoritatif (referensi kepada Rasul).
- Ijtihad Ulil Amri (atau Ijma'/Qiyas): Sumber ketiga, yang memerlukan validasi dari dua sumber pertama.
Tanpa ayat ini, debat tentang otoritas Sunnah mungkin tidak sekuat ini. Perintah rujukan kembali kepada "Allah dan Rasul" menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum yang definitif dan wajib diikuti bahkan setelah wafatnya Nabi SAW, karena beliau meninggalkan petunjuk (Sunnah) yang tetap relevan untuk menyelesaikan sengketa.
2. Konsep Ketaatan dalam Politik Islam (As-Siyasah Syar'iyyah)
Ayat ini membentuk dasar dari teori politik Islam yang moderat dan terstruktur. Ketaatan kepada Ulil Amri adalah wajib, tetapi bukan absolut. Ini adalah pencegah terhadap tirani totaliter, karena ketaatan tersebut diimbangi oleh ketaatan yang lebih tinggi kepada Allah.
Para ahli politik Islam klasik menegaskan bahwa tugas Ulil Amri meliputi menegakkan keadilan, melindungi wilayah Islam, mengurus harta Baitul Mal, dan memastikan pelaksanaan hukuman syariat. Jika mereka menyimpang dari tujuan ini, hak mereka atas ketaatan akan melemah, meskipun para ulama klasik sangat berhati-hati dalam mendorong pemberontakan demi menjaga persatuan (jama'ah) dan menghindari pertumpahan darah (fitnah).
Ketaatan Ulil Amri yang Adil
Ketaatan kepada pemimpin yang adil atau mayoritas pemimpin yang berpegang teguh pada syariat akan menghasilkan stabilitas yang luar biasa. Ketaatan ini merupakan bagian dari kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang menjamin kelangsungan hidup komunitas dan penegakan hukum. Sebaliknya, menolak ketaatan tanpa alasan syar'i yang jelas akan menciptakan kekacauan dan anarki, yang secara definitif dilarang dalam Islam.
3. Kewajiban Musyawarah dan Konsultasi
Meskipun ayat ini memerintahkan ketaatan, ia juga secara implisit mendukung pentingnya musyawarah (syura). Bagaimana Ulil Amri membuat keputusan? Dalam konteks ayat-ayat lain (seperti Surah Ali Imran: 159), Ulil Amri diperintahkan untuk bermusyawarah. Ketika Ulil Amri membuat keputusan setelah musyawarah dan keputusan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ketaatan terhadap keputusan tersebut menjadi wajib bagi rakyat.
Dengan demikian, An-Nisa 59 menciptakan siklus yang sehat: Ulil Amri harus merujuk kepada wahyu saat membuat hukum, dan umat harus merujuk kembali kepada wahyu saat menilai keputusan Ulil Amri yang dipermasalahkan.
IV. Aplikasi Kontemporer Surah An-Nisa 59
1. Relevansi dalam Negara Modern
Di era negara bangsa (nation-state) modern, konsep Ulil Amri meluas. Ia tidak hanya terbatas pada satu individu pemimpin, tetapi mencakup institusi negara secara keseluruhan:
- Otoritas Eksekutif: Pemerintah (Presiden, kabinet, birokrasi).
- Otoritas Legislatif: Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat, yang bertugas membuat undang-undang.
- Otoritas Yudikatif: Mahkamah Agung atau lembaga peradilan, yang bertugas menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum yang berlaku.
Ketaatan kepada hukum positif negara, seperti membayar pajak, mematuhi peraturan lalu lintas, atau mengikuti prosedur administrasi, wajib dilakukan selama hukum-hukum tersebut tidak secara langsung memerintahkan praktik syirik, riba, atau perzinaan. Ketaatan ini adalah bagian dari upaya menjaga ketertiban umum (maslahah ‘ammah).
2. Peran Ulama sebagai Ulil Amri Intelektual
Dalam perselisihan ilmiah, terutamanya yang berkaitan dengan interpretasi teks agama (fiqih kontemporer), rujukan kepada Ulama yang diakui dan terpercaya menjadi sangat penting. Ketika terjadi perbedaan pendapat tentang masalah baru (misalnya, etika biomedis, transaksi keuangan modern), Ulil Amri Intelektual harus merujuk masalah tersebut kembali ke Qur'an dan Sunnah melalui mekanisme ijtihad kolektif.
Kewajiban kaum awam adalah mengikuti (taqlid) pendapat ulama terkemuka yang mereka percayai, sementara kewajiban ulama adalah memastikan ijtihad mereka berakar kuat pada sumber wahyu, memenuhi syarat farudduhu ilallahi war-Rasul.
3. Menghadapi Ekstremisme dan Anarki
Ayat 59 menjadi alat yang kuat untuk melawan paham ekstremisme yang cenderung mengabaikan otoritas Ulil Amri yang sah. Kelompok radikal sering kali menafsirkan konsep ketaatan secara sempit, hanya mau taat jika pemimpin adalah 'sempurna' menurut standar mereka, dan dengan mudah mengkafirkan atau memberontak. Ayat ini mengajarkan kesabaran, kedisiplinan, dan penghargaan terhadap otoritas demi menjaga stabilitas umat.
Bahkan ketika Ulil Amri melakukan kesalahan atau ketidakadilan, metode Islam yang benar (menurut pandangan mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah) adalah menasihati secara rahasia dan lembut, bukan dengan memberontak terbuka yang menyebabkan kekacauan yang lebih besar daripada ketidakadilan yang ada.
Oleh karena itu, prinsip dalam ayat ini—“Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”—menganjurkan kaum Muslimin untuk selalu memilih jalan yang menjamin perdamaian dan keadilan jangka panjang melalui ketaatan terstruktur, daripada kekacauan yang lahir dari penolakan otoritas.
V. Penegasan Ulang Prinsip Ketaatan dan Kedalaman Maknanya
1. Hubungan Antara Ketaatan dan Kesatuan Umat
Tujuan utama dari penetapan tiga level ketaatan ini adalah untuk memastikan persatuan (wahdatul ummah). Jika setiap individu atau kelompok bebas menafsirkan syariat tanpa merujuk kepada otoritas yang disepakati (Allah, Rasul, Ulil Amri), maka masyarakat akan terpecah belah dan syariat tidak akan dapat ditegakkan secara efektif. Ketaatan struktural ini merupakan sarana untuk mencapai kesatuan teologis dan praktis. Persatuan yang dijamin oleh rujukan bersama kepada Al-Qur'an dan Sunnah adalah fondasi dari kekuatan Islam.
Ketaatan kepada Rasul dan Ulil Amri berfungsi sebagai penyaring dan penyatu interpretasi. Dalam banyak urusan, tidak mungkin semua orang kembali langsung ke teks primer. Di sinilah peran Ulil Amri (baik umara maupun ulama) menjadi krusial dalam menyajikan keputusan yang telah disaring dan diinterpretasikan berdasarkan wahyu, meminimalkan potensi konflik dan salah tafsir di tingkat individu.
Jika kita tinjau kembali sejarah Islam, persatuan umat sering kali dipertaruhkan ketika otoritas Ulil Amri dipertanyakan tanpa landasan syar'i yang kuat. Ayat ini memberikan pencegah yang jelas terhadap perpecahan ideologis yang didorong oleh ambisi pribadi atau penafsiran yang menyimpang.
2. Ketaatan sebagai Wujud Pengabdian Total
Perintah taat dalam An-Nisa 59 menuntut pengorbanan ego. Seorang mukmin harus rela menyingkirkan pandangan pribadinya, kesenangan sementaranya, atau kepentingan kelompoknya, demi keputusan yang didasarkan pada syariat ilahi. Inilah esensi dari Islam (penyerahan diri). Penyerahan diri itu harus sempurna, dimulai dari Sang Pencipta, diikuti oleh teladan utusan-Nya, dan diakhiri dengan kepatuhan terhadap tatanan yang mereka dirikan di muka bumi.
Imam Al-Ghazali, dalam membahas ketaatan, menekankan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri, meskipun bersyarat, adalah ketaatan yang memelihara dunia (dunya) agar umat dapat dengan tenang mengejar akhirat (din). Tanpa ketertiban yang dijamin oleh Ulil Amri yang sah, masyarakat akan jatuh ke dalam kekacauan (fawdha), di mana ibadah dan kehidupan sehari-hari menjadi tidak mungkin dilakukan.
3. Penekanan Tafsir Lughawi pada Kata 'Ta'wila'
Kata تَأْوِيلًا (Ta'wila) di akhir ayat memiliki arti 'hasil', 'interpretasi', atau 'konsekuensi'. Ketika Allah menyatakan bahwa rujukan kepada-Nya dan Rasul-Nya adalah "lebih baik akibatnya," ini mencakup janji ilahiah tentang kesempurnaan hukum Islam. Hukum yang ditetapkan berdasarkan wahyu akan selalu menghasilkan maslahat (kebaikan) yang lebih besar dan mencegah mafsadah (kerusakan) yang lebih serius dibandingkan hukum buatan manusia.
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa 'Ta'wila' di sini berarti al-marji' (tempat kembali) dan al-mushaddaq (tempat pembenaran). Solusi ilahiah akan diterima dengan lapang dada oleh hati yang beriman, karena mereka tahu bahwa keputusan tersebut datang dari sumber yang tidak mungkin salah atau tidak adil. Ini memberikan kedamaian psikologis dan sosial yang tidak dapat dicapai oleh sistem hukum sekuler mana pun.
Ketetapan ini berfungsi sebagai penutup yang memberikan optimisme. Bagi umat Islam yang menghadapi tantangan modernitas, kompleksitas masalah sosial, atau perselisihan politik, ayat ini menjamin bahwa solusi yang paling ideal selalu tersedia, asalkan mereka konsisten dalam merujuk kepada sumber otoritas tertinggi.
4. Kontinuitas Otoritas Risalah
Meskipun Rasulullah SAW telah wafat, otoritas beliau tetap hidup melalui Sunnah beliau yang telah dibukukan dan diverifikasi (Sunnah Sahihah). Ketaatan kepada Rasul bukan hanya kenangan sejarah, melainkan kepatuhan yang terus menerus terhadap warisan syariat beliau. Ini adalah inti dari Islam yang dinamis, di mana ajaran Nabi tetap menjadi pedoman utama dalam setiap zaman.
Ayat 59 memastikan bahwa tidak ada ruang kosong dalam syariat (legal vacuum). Jika terjadi masalah, solusinya ada: dicari dalam Qur'an, dicari dalam Sunnah. Jika keduanya tidak memberikan jawaban eksplisit, Ulil Amri harus berijtihad dengan metodologi yang ketat agar ijtihad tersebut tetap dalam kerangka Qur'an dan Sunnah, sehingga ketaatan kepada Ulil Amri tetap sah dan berada dalam batas-batas yang ditetapkan Allah SWT.
Penguatan ketaatan ini juga membawa konsekuensi spiritual. Ketaatan kepada Rasulullah SAW adalah manifestasi dari cinta kepada Allah SWT, sebagaimana firman Allah dalam ayat lain (Ali Imran: 31). Dengan demikian, An-Nisa 59 adalah peta jalan spiritual yang merangkai kehidupan duniawi (politik, sosial, hukum) dengan tujuan akhirat (spiritualitas dan pahala).
5. Penerapan Prinsip Syura dan Konsensus (Ijma')
Dalam konteks Ulil Amri, khususnya para ulama dan ahli hukum, proses ijtihad kolektif sering kali menghasilkan konsensus (Ijma’). Meskipun Ijma’ tidak secara eksplisit disebutkan dalam ayat ini, mayoritas ulama menyimpulkan bahwa Ijma’ adalah manifestasi dari ketaatan Ulil Amri yang disepakati oleh umat. Ketika Ulil Amri dari kalangan ulama mencapai kesepakatan berdasarkan rujukan kepada Qur'an dan Sunnah, ketaatan umat terhadap Ijma’ tersebut menjadi sangat kuat. Ijma’ adalah salah satu cara terbaik untuk memastikan bahwa perselisihan telah dirujuk kembali kepada Allah dan Rasul, dan solusinya telah ditemukan dan disepakati oleh otoritas hukum tertinggi di kalangan umat.
Oleh karena itu, ayat 59 secara fundamental mengatur seluruh mekanisme pembuatan hukum dan penyelesaian sengketa, dari tingkat individu hingga tingkat negara, menjadikannya salah satu ayat terpenting dalam konstitusi ilahiah bagi umat manusia.
Ketaatan ini, yang berhierarki dan bersyarat, membedakan sistem Islam dari sistem ketaatan buta. Ia menjunjung tinggi akal, keadilan, dan, yang terpenting, supremasi wahyu. Ini adalah inti dari keseimbangan sempurna yang ditawarkan Islam untuk kehidupan individu dan kolektif.