Surah An-Nisa, yang berarti 'Wanita', merupakan salah satu surah terpenting dalam Al-Qur'an karena secara ekstensif membahas tentang hak-hak, kewajiban, dan ketentuan hukum yang berkaitan dengan perempuan, termasuk di dalamnya hukum keluarga, warisan, dan tata cara bermasyarakat yang adil. Di antara ayat-ayatnya yang menjadi fondasi utama dalam pembentukan keluarga adalah Ayat 4, yang secara spesifik menetapkan prinsip kepemilikan mahar (maskawin) bagi seorang istri. Ayat ini bukan sekadar penetapan ritual, melainkan sebuah deklarasi penting mengenai status ekonomi dan independensi finansial perempuan dalam ikatan perkawinan.
Sebelum kedatangan Islam, praktik pemberian maskawin seringkali bersifat ambivalen; terkadang maskawin diambil oleh wali (ayah atau kerabat laki-laki) dan bukan diberikan sepenuhnya kepada wanita yang dinikahkan. Islam datang untuk memperbaiki struktur sosial tersebut, memastikan bahwa maskawin adalah hak mutlak dan kepemilikan pribadi sang istri. Penetapan ini memberikan landasan hukum dan moral yang kuat, menjamin bahwa pernikahan didasarkan pada keadilan, penghormatan, dan pengakuan terhadap nilai ekonomi seorang wanita sebagai individu yang independen. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat ini sangat krusial, tidak hanya untuk memahami fiqh munakahat (hukum perkawinan), tetapi juga untuk menghargai filosofi syariat dalam menjamin kesejahteraan dan kehormatan kaum perempuan.
Ayat ini berfungsi sebagai jaminan ekonomi awal bagi istri, memastikan bahwa ia memiliki modal atau aset pribadi yang terpisah dari harta suaminya, sebuah konsep yang sangat maju pada masanya. Pemberian mahar adalah bagian tak terpisahkan dari akad nikah, menjadi salah satu rukun yang menyempurnakan perjanjian suci tersebut, menandakan keseriusan pihak laki-laki dan penghormatan terhadap martabat pihak perempuan. Jika mahar tidak disebutkan, akad tetap sah menurut mayoritas ulama, namun kewajiban mahar secara syar’i tetap ada dan harus dibayarkan berdasarkan mahar mitsil (mahar standar yang sepadan dengan wanita tersebut).
(Terjemah Kemenag RI): Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Ayat ini terdiri dari dua bagian utama yang mengatur dua hal fundamental: pertama, kewajiban mutlak suami untuk menyerahkan mahar kepada istri; dan kedua, ketentuan hukum jika istri dengan sukarela memberikan kembali sebagian atau seluruh mahar tersebut kepada suaminya. Kedua bagian ini mengandung implikasi hukum dan etika yang luas, yang akan diuraikan secara rinci dalam pembahasan tafsir dan fiqh.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus meneliti tiga kata kunci utama:
صَدُقَاتِهِنَّ (Shadaqātihinna): Akar kata dari *shadaqah* yang berarti kebenaran, kesungguhan, atau kejujuran. Dalam konteks pernikahan, ini merujuk pada mahar. Penggunaan kata ini menyiratkan bahwa mahar adalah bukti kesungguhan pihak laki-laki dalam menjalin ikatan suci, membedakannya dari praktik jual beli atau kompensasi biasa. Ini adalah pengakuan atas nilai wanita. Ulama tafsir seperti Ibnu Jarir At-Tabari menegaskan bahwa mahar adalah hak yang wajib diserahkan.
نِحْلَةً (Nihlatan): Inilah inti dari ayat tersebut. Kata *nihlah* berarti pemberian sukarela, hadiah murni, atau karunia. Ini menghilangkan keraguan bahwa mahar adalah harga untuk mendapatkan wanita, gaji atas jasa, atau barter. Sebaliknya, ia harus diberikan sebagai pemberian murni tanpa syarat dan tidak boleh dihitung sebagai bagian dari nafkah atau kewajiban lainnya. Tafsir Al-Qurtubi menekankan bahwa mahar harus diserahkan secara utuh sebagai hadiah tanpa tuntutan kembali, kecuali jika istri merelakannya.
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا (Fa in ṭibna lakum ‘an syai’in minhu nafsan): Artinya, "Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian darinya dengan senang hati (dengan jiwa yang baik)." Frasa ini menekankan bahwa kerelaan istri haruslah tulus, tanpa paksaan, tekanan sosial, atau rasa malu. Kepemilikan mahar adalah milik penuh istri, sehingga hanya kerelaan hatinya yang dapat mengalihkan kepemilikan tersebut kembali kepada suami.
Penggunaan bahasa yang sangat tegas dan spesifik ini menunjukkan betapa pentingnya syariat Islam dalam melindungi hak ekonomi perempuan, mengubah mahar dari potensi harta rampasan keluarga menjadi hak milik individu istri.
Ayat 4 Surah An-Nisa menjadi dasar utama bagi hukum mahar dalam seluruh mazhab fiqh. Penafsiran para ulama klasik menunjukkan kesepakatan umum tentang sifat mahar, meskipun terdapat perbedaan dalam implementasi rincian teknis, terutama terkait dengan kondisi tertentu seperti talak sebelum dukhul (sebelum bersetubuh).
Semua mufassir sepakat bahwa kata kerja *“Wa ātū”* (Dan berikanlah) adalah perintah wajib (wajib amr) dari Allah kepada para suami. Pemberian ini harus terjadi secara nyata (penyerahan fisik) atau secara hukum (akad utang piutang jika mahar ditangguhkan/mu’akhkhar). Begitu akad nikah sah, mahar menjadi milik sah istri.
Imam Ar-Razi dalam *Mafatih Al-Ghaib* menjelaskan bahwa mahar adalah pengakuan terhadap nilai kontrak yang dibuat oleh wanita itu sendiri, bukan oleh walinya. Oleh karena itu, hanya dia yang memiliki hak atas aset tersebut. Kepemilikan ini tidak bergantung pada konsumsi pernikahan. Bahkan jika istri meninggal setelah akad tetapi sebelum dukhul, mahar tersebut menjadi hak waris ahli warisnya (menurut sebagian besar ulama, khususnya jika mahar telah ditentukan jumlahnya).
Bagian kedua ayat ini, “Fa in ṭibna lakum ‘an syai’in minhu nafsan”, adalah mekanisme yang memberikan fleksibilitas, namun dengan batasan etika dan hukum yang ketat. Jika istri telah menerima mahar secara penuh, ia memiliki hak penuh untuk mengelolanya, termasuk memberikannya kembali kepada suami. Namun, Islam mensyaratkan kerelaan sejati (*ṭibun nafs*).
Kerelaan ini harus bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikologis. Para ulama memperingatkan keras terhadap suami yang menggunakan pengaruh atau tekanan emosional agar istri "mengikhlaskan" maharnya. Jika kerelaan tersebut disebabkan oleh rasa takut, ancaman talak, atau tekanan keluarga, maka pemberian itu dianggap tidak sah secara syar'i, dan suami wajib mengembalikannya. Ini menegaskan bahwa mahar bukan alat tawar-menawar dalam konflik rumah tangga.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kerelaan istri adalah inti dari kebolehan suami untuk mengambil kembali mahar tersebut. Jika suami mengambilnya tanpa kerelaan hati yang tulus dari istrinya, maka perbuatannya termasuk memakan harta orang lain secara batil.
Dalam fiqh, mahar dibagi menjadi dua: mahar muajjal (tunai/segera) dan mahar mu’akhkhar (tertunda). Ayat ini mewajibkan penyerahan mahar muajjal secara cepat. Permasalahan hukum yang paling sering dibahas ulama adalah jika pernikahan berakhir sebelum terjadi hubungan suami istri (dukhul):
Jika talak terjadi sebelum dukhul, hak istri atas mahar menjadi berkurang, ini diatur oleh ayat lain dalam Surah Al-Baqarah (2:237). Namun, ayat 4 Surah An-Nisa menetapkan prinsip dasar kepemilikan. Dalam kasus talak sebelum dukhul:
Jika mahar sudah ditentukan (mahar musamma): Istri berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditentukan. Jika suami sudah menyerahkan mahar penuh, ia berhak meminta kembali setengahnya. Jika mahar belum diserahkan, suami hanya wajib membayar setengahnya.
Jika mahar belum ditentukan (seperti pada akad tafwid): Istri tidak berhak atas mahar kecuali *Mut’ah* (hadiah penghibur), sesuai dengan batas kemampuan suami, karena tidak ada *mahar musamma* yang dapat dibagi dua.
Mayoritas fuqaha sepakat bahwa jika salah satu pihak meninggal (baik suami maupun istri) setelah akad nikah, meskipun belum terjadi dukhul, mahar secara otomatis menjadi hak penuh istri (atau ahli waris istri jika istri yang wafat). Ini menunjukkan kekuatan akad nikah itu sendiri dalam mentransfer kepemilikan mahar, sesuai dengan semangat Ayat 4 yang mewajibkan pemberian penuh (*nihlatan*).
Meskipun prinsip Ayat 4 disepakati, aplikasi rincian hukum berbeda sedikit:
Mazhab Hanafi: Sangat menekankan bahwa mahar adalah kompensasi atas hak menikmati (istimta’) yang dilegalkan oleh akad. Mereka membedakan antara mahar yang harus dibayar saat akad (muajjal) dan yang ditangguhkan (mu’akhkhar). Mereka juga sangat ketat dalam memastikan kerelaan istri jika ia ingin menghibahkan maharnya kembali.
Mazhab Maliki: Cenderung fokus pada mahar sebagai konsekuensi dari akad. Dalam Maliki, jika ada perselisihan mengenai kerelaan istri memberikan maharnya kepada suami, maka perkataan istri yang diutamakan, karena dia adalah pemilik sah harta tersebut.
Mazhab Syafi'i: Menganggap mahar sebagai hak wajib yang muncul dari akad. Mereka sangat jelas membedakan antara mahar musamma (yang ditentukan) dan mahar mitsil (yang sepadan). Syafi'i menekankan bahwa mahar mitsil wajib dibayarkan jika akad sah tetapi mahar tidak disebutkan, menguatkan bahwa mahar adalah esensi ekonomi dalam pernikahan.
Mazhab Hanbali: Pendekatan Hanbali serupa, namun mereka cenderung lebih fleksibel dalam jenis benda yang dapat dijadikan mahar, asalkan memiliki nilai harta yang sah, selama itu tidak bertentangan dengan Ayat 4 yang menjamin kepemilikan penuh wanita.
Perbedaan detail ini justru menunjukkan universalitas Ayat 4: semua sepakat bahwa mahar adalah milik istri, dan ia bebas mengelolanya, bahkan memberikannya kembali, asalkan itu didasarkan pada kerelaan jiwa yang murni.
Di era kontemporer, penafsiran Surah An-Nisa Ayat 4 memiliki resonansi yang kuat terkait isu kesetaraan ekonomi dan hak properti perempuan. Ayat ini menegaskan independensi finansial istri sejak hari pertama pernikahan, yang bertentangan dengan pandangan budaya yang mungkin melihat istri hanya sebagai aset keluarga suami atau pihak yang tidak memiliki kendali penuh atas hartanya.
Ayat 4 dengan jelas menggunakan kata *nihlah* (hadiah murni) untuk menolak pandangan bahwa mahar adalah harga pembelian atau kompensasi jasa seksual. Mahar adalah simbol penghormatan, janji finansial, dan pengakuan martabat. Dalam masyarakat modern yang terkadang masih memandang rendah peran wanita di luar rumah, penetapan mahar sebagai hak milik mutlak wanita berfungsi sebagai pelindung ekonomi.
Di banyak budaya, sering terjadi tekanan bagi pengantin wanita untuk menyerahkan maharnya kepada ayah, wali, atau suaminya segera setelah pernikahan. Ayat ini adalah jawaban teologis terhadap praktik tersebut. Istri tidak memiliki kewajiban untuk membiayai rumah tangga dari maharnya; kewajiban nafkah tetap berada di pundak suami. Mahar adalah dana darurat, investasi pribadi, atau modal yang dapat digunakan istri sesuai kehendaknya, tanpa perlu izin suami.
Pengadilan Syariah di seluruh dunia menjadikan Ayat 4 sebagai dasar utama dalam memutuskan sengketa mahar. Jika terjadi perceraian atau pembatalan, mahar yang telah diserahkan tidak dapat diklaim kembali oleh suami kecuali melalui bukti kerelaan istri yang sah dan tulus. Tanpa bukti kerelaan tersebut, mahar tetap menjadi harta istri. Ini adalah langkah protektif terhadap istri yang mungkin berada dalam posisi negosiasi yang lemah saat pernikahan berakhir.
Dalam konteks modern, masalah muncul ketika mahar ditetapkan dalam jumlah fantastis atau hanya berupa janji yang tidak ditepati. Prinsip Ayat 4 tetap menuntut agar mahar yang disepakati harus diwujudkan, baik tunai maupun ditangguhkan. Jika mahar tertunda (mu'akhkhar), ia menjadi utang piutang yang sah dan wajib dibayar suami saat terjadi pembubaran pernikahan (baik cerai atau wafat) atau pada waktu yang disepakati.
Penting untuk membedakan antara mahar (shadaqah/nihlah) dan hadiah yang diberikan suami atau keluarga suami di luar konteks kewajiban pernikahan. Mahar adalah kewajiban hukum yang terikat pada akad nikah, sedangkan hadiah adalah pemberian sukarela. Ayat 4 memastikan bahwa mahar, meskipun diberikan sebagai *nihlah* (hadiah murni), memiliki status hukum yang unik dan tidak dapat ditarik kembali setelah penyerahan, kecuali diikhlaskan oleh istri.
Syekh Muhammad Abduh dan ulama reformis kontemporer sering menggunakan ayat ini untuk menegakkan kembali hak-hak properti perempuan, menentang adat istiadat yang secara tidak adil menghilangkan hak istri atas maharnya, atau bahkan memaksa istri menyerahkan mahar tersebut kepada pihak lain.
Oleh karena itu, Surah An-Nisa Ayat 4 bukan hanya ayat fiqh, tetapi juga ayat etika sosial yang mengangkat harkat martabat wanita. Ayat ini mengharuskan suami untuk memasuki pernikahan dengan niat yang sungguh-sungguh, dibuktikan dengan pengakuan finansial yang sah atas calon istrinya.
Pemilihan kata 'نِحْلَةً' (Nihlatan) dalam ayat ini bukan tanpa alasan, ia membawa muatan hukum dan moral yang sangat mendalam. Dalam bahasa Arab, *nihlah* merujuk pada pemberian yang tidak mengharapkan imbalan atau balasan di kemudian hari. Ini adalah kunci utama untuk memahami filosofi mahar dalam Islam.
Kontrak pernikahan (akad nikah) dalam Islam adalah kontrak yang unik. Meskipun ada pertukaran (suami mendapatkan hak istimta', istri mendapatkan nafkah dan mahar), syariat berhati-hati agar pernikahan tidak disamakan dengan kontrak dagang atau jual beli. Mahar adalah sarana untuk menjaga martabat wanita dan memastikan bahwa ia tidak dipandang sebagai barang yang diperjualbelikan.
Dengan adanya *nihlah*, mahar berfungsi sebagai:
Para ulama tafsir menekankan bahwa penggunaan *nihlah* adalah pembeda utama antara mahar Islami dan praktik pra-Islam di mana mahar sering kali jatuh ke tangan wali. Islam menjamin bahwa *nihlah* ini harus mendarat langsung di tangan pemilik hak, yaitu sang istri.
Karena mahar adalah *nihlah*, konsekuensi hukumnya adalah sebagai berikut:
Tidak Boleh Diambil Tanpa Kerelaan: Ini adalah hukum yang paling tegas. Suami tidak memiliki otoritas untuk mengambil mahar, bahkan jika digunakan untuk kepentingan rumah tangga, kecuali istrinya secara sukarela mengizinkan.
Tidak Dapat Diwariskan oleh Suami: Jika istri meninggal, mahar menjadi warisan bagi ahli warisnya (termasuk suaminya sendiri, tetapi hanya sebagai ahli waris, bukan sebagai pemilik asli mahar).
Bukan Nafkah: Mahar sama sekali tidak dapat dianggap sebagai bagian dari kewajiban nafkah bulanan suami. Kewajiban nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan makanan adalah kewajiban terpisah yang harus dipenuhi suami sepanjang masa pernikahan.
Kedalaman analisis *nihlah* ini membuat Surah An-Nisa Ayat 4 menjadi piagam hak ekonomi perempuan yang abadi. Ia menuntut kejujuran finansial dan etika tertinggi dari pihak suami.
Ayat 4 harus dibaca bersama dengan ayat-ayat lain dalam Surah An-Nisa yang menekankan keadilan, seperti larangan mengambil harta wanita secara paksa (misalnya, An-Nisa 19), dan ketentuan warisan yang memberikan bagian tetap kepada wanita. Seluruh rangkaian hukum ini membangun sebuah sistem di mana wanita dijamin hak ekonominya dalam semua fase kehidupan: sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu.
Meskipun wali (biasanya ayah atau kerabat laki-laki) memiliki peran penting dalam mengizinkan akad nikah, Ayat 4 membatasi peran wali dalam kaitannya dengan mahar. Tugas wali hanyalah memastikan mahar yang ditetapkan adalah adil dan sesuai (mahar mitsil) dan memastikan penyerahannya terjadi secara sah kepada calon istri. Wali tidak berhak mengambil mahar tersebut, bahkan dengan alasan biaya pernikahan atau 'balas jasa' membesarkan anak.
Jika seorang wali mengambil sebagian mahar tanpa persetujuan tulus dari pengantin wanita, maka wali tersebut dianggap melanggar perintah Allah dalam Ayat 4. Harta itu harus dikembalikan kepada istri. Ini merupakan perombakan sosial yang signifikan pada masa di mana kekuasaan patriarki seringkali mengizinkan laki-laki dewasa menguasai harta wanita dalam keluarga.
Dalam fiqh, hak istri untuk mengelola maharnya segera setelah akad adalah mutlak, bahkan jika dia adalah seorang gadis perawan yang baru menikah. Kecuali ada batasan hukum yang sangat jelas (misalnya istri masih di bawah usia mumayyiz, yang mana jarang terjadi dalam konteks pernikahan), ia memiliki wewenang penuh atas harta tersebut.
Ketika istri dengan ṭibun nafs (kerelaan jiwa) mengembalikan maharnya, tindakan ini dikenal sebagai hibah (pemberian) atau sedekah (amal). Ayat tersebut menggunakan frasa “maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (*hanī’an marī’an*). Frasa ini adalah ungkapan kiasan yang berarti: ambillah tanpa rasa bersalah atau khawatir akan konsekuensi dosa, karena ini adalah hak yang diberikan padamu secara sah.
Namun, para ulama menekankan bahwa frasa *hanī’an marī’an* hanya berlaku jika kerelaan itu murni. Jika suami memanfaatkannya dengan tekanan, maka 'makanan' tersebut tidak akan 'sedap' (tidak berkah) dan 'akibatnya' tidak akan baik (dosa). Ini adalah peringatan etika yang sangat kuat bagi pihak suami agar tidak memanfaatkan kebaikan hati istrinya.
Ini juga menunjukkan bahwa Islam mengakui hak istri untuk beramal kepada suaminya sendiri. Seorang istri yang kaya berhak membantu suaminya secara finansial, dan mahar dapat menjadi salah satu bentuk bantuan tersebut, asalkan ia melakukannya atas inisiatif dan kerelaan pribadinya, bukan sebagai kewajiban.
Surah An-Nisa Ayat 4 adalah salah satu landasan hukum terpenting yang mengatur hubungan suami istri dalam Islam, khususnya dalam dimensi ekonomi. Ayat ini secara definitif menetapkan bahwa mahar adalah hak milik mutlak istri yang diberikan sebagai hadiah murni (*nihlah*) dan merupakan bukti kesungguhan (*shadaqah*) suami.
Hikmah dari penetapan hukum ini sangatlah mendalam:
Kepatuhan terhadap perintah dalam Ayat 4—memberikan mahar secara penuh dan tidak mengambilnya kembali tanpa kerelaan tulus—adalah barometer bagi keadilan dan kesalehan dalam rumah tangga Muslim. Pemahaman kontemporer harus senantiasa kembali kepada teks asli ini untuk menjamin bahwa hak-hak ekonomi perempuan dalam pernikahan tidak tergerus oleh adat atau tekanan sosial yang tidak sejalan dengan semangat Al-Qur’an.
Oleh karena itu, setiap Muslim yang hendak melangsungkan pernikahan diwajibkan untuk menghayati dan mengamalkan makna dari Surah An-Nisa Ayat 4, menjadikannya pijakan utama dalam membangun keluarga yang harmonis, adil, dan sejahtera di bawah naungan syariat Islam. Keadilan dalam pemberian mahar adalah cerminan dari keadilan yang lebih besar dalam seluruh aspek kehidupan perkawinan.