SURAH AN-NISA AYAT 59

Prinsip Ketaatan, Kepemimpinan, dan Metode Resolusi Konflik dalam Islam

Pengantar Ayat Fondasional

Surah An-Nisa ayat 59 menempati posisi sentral dalam kerangka Ushul Fiqh (prinsip-prinsip yurisprudensi Islam) dan Siyasah Syar'iyyah (tata kelola islami). Ayat ini bukan sekadar perintah ketaatan, melainkan sebuah peta jalan yang mendefinisikan hierarki kekuasaan, batasan kepemimpinan, dan mekanisme baku penyelesaian perselisihan dalam komunitas Muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Diagram Ketaatan dan Sumber Hukum Representasi hierarki ketaatan: Allah dan Rasul sebagai sumber mutlak, diikuti oleh Ulil Amri yang terikat pada sumber utama, dan penyelesaian sengketa kembali ke Qur'an dan Sunnah. ALLAH RASUL ULIL AMRI Batasan Ketaatan KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN & AS-SUNNAH

Visualisasi Hierarki Ketaatan Menurut QS. An-Nisa: 59

I. Tafsir Mendalam dan Analisis Linguistik

Untuk memahami sepenuhnya implikasi ayat 59, kita harus mengurai setiap frasa dan kata kunci yang terkandung di dalamnya, dengan merujuk kepada tafsir klasik dari para mufassir seperti At-Tabari, Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, hingga tafsir modern.

1. 'Athi'u (Taatilah) dan Hierarki Ketaatan

Perhatikan struktur pengulangan kata kerja 'Athi'u' (taatilah):

2. Makna Syar'i dari 'Ulil Amri' (Pemegang Kekuasaan)

Siapakah yang dimaksud dengan Ulil Amri? Para ulama berbeda pendapat, namun secara umum terbagi menjadi dua pandangan utama, yang seringkali dianggap saling melengkapi:

A. Ulil Amri sebagai Umara (Penguasa atau Pemimpin Politik)

Pandangan ini dipegang oleh mayoritas ulama salaf, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, yang menafsirkan Ulil Amri sebagai pemimpin pemerintahan, gubernur, hakim, atau siapa pun yang memiliki otoritas eksekutif dan administratif. Ketaatan kepada mereka diperlukan untuk menjaga ketertiban umum (maslahah al-'ammah), mencegah kekacauan (fitnah), dan memastikan pelaksanaan hukum syariat. Ibnu Katsir mendukung pandangan ini.

Ketaatan ini tetap terikat pada prinsip: tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Khaliq (Pencipta). Imam Muslim meriwayatkan hadis yang menegaskan hal ini, “Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf (baik).”

B. Ulil Amri sebagai Ulama (Ahli Ilmu dan Fuqaha)

Sebagian mufassir, seperti Mujahid dan Jabir bin Abdullah, menafsirkan Ulil Amri sebagai ulama atau fuqaha, yaitu mereka yang memegang otoritas dalam hal penafsiran dan penetapan hukum agama. Alasan utama pandangan ini adalah bahwa perselisihan (tanazu') dalam ayat berikutnya harus dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Sunnah, yang merupakan tugas utama para ulama.

Tafsir ini menegaskan bahwa dalam urusan agama dan hukum, otoritas primer ada pada mereka yang memiliki pemahaman mendalam terhadap syariat.

C. Pandangan Komprehensif

Pandangan yang paling diterima secara luas adalah bahwa Ulil Amri mencakup kedua kelompok tersebut: Umara dalam hal pengaturan duniawi dan administrasi, serta Ulama dalam hal penetapan dan fatwa syariat. Keduanya adalah tiang penopang masyarakat Islam.

II. Pilar Resolusi Konflik: Fain Tanaza'tum

Bagian kedua ayat 59, "Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya)..." merupakan inti dari metodologi hukum Islam. Frasa ini menetapkan sumber hukum tertinggi yang harus dirujuk ketika terjadi perselisihan, baik antar individu, antar kelompok, maupun antara rakyat dan Ulil Amri.

1. Konsep 'Radd ila Allah wa al-Rasul'

Mengembalikan kepada Allah berarti mengembalikan perselisihan kepada Kitabullah (Al-Qur'an). Mengembalikan kepada Rasul berarti mengembalikannya kepada As-Sunnah, baik yang diriwayatkan secara lisan maupun yang terekam dalam praktik beliau.

Ini adalah penolakan tegas terhadap penetapan hukum yang didasarkan pada hawa nafsu, tradisi, atau otoritas semata, kecuali otoritas tersebut bersumber dari wahyu. Imam Asy-Syafi'i menggunakan ayat ini sebagai salah satu dalil utama dalam menetapkan Sunnah sebagai sumber hukum yang wajib diikuti setelah Al-Qur'an.

2. Dampak pada Ushul Fiqh (Prinsip-prinsip Hukum)

Ayat ini secara definitif menetapkan hierarki sumber hukum (Adillah Syar'iyyah) dalam Islam:

Dalam konteks Ushul Fiqh, ketika para ulama (Ulil Amri dalam pengertian ulama) berselisih dalam suatu masalah (Ikhtilaf), solusi yang sah adalah proses ijtihad yang ketat, yang pada akhirnya harus kembali membuktikan argumennya melalui dalil dari Al-Qur'an atau As-Sunnah. Ayat ini menjadi fondasi bagi studi perbandingan mazhab (Muqaranah al-Mazahib).

3. Penerapan dalam Hukum Kontemporer

Bagaimana ayat ini diterapkan di era modern? Ayat ini menuntut adanya sistem hukum yang transparan dan akuntabel. Setiap undang-undang atau kebijakan publik yang dikeluarkan oleh penguasa modern (Ulil Amri) harus mampu diuji kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Jika terdapat perselisihan mengenai konstitusionalitas atau legalitas syar'iyyah suatu kebijakan, pihak yang berwenang—biasanya Mahkamah Syariah atau lembaga yudikatif Islam—harus merujuk langsung kepada Al-Qur'an dan Sunnah, bukan sekadar opini pemimpin politik.

Inilah yang membedakan otoritas dalam Islam dengan otoritas sekuler absolut. Kekuasaan Islam bersifat teosentris; setiap kekuasaan manusia harus tunduk pada kehendak Ilahi yang termaktub dalam wahyu.

III. Batasan Ketaatan dan Prinsip Non-Ketaatan

Meskipun ayat 59 memerintahkan ketaatan kepada Ulil Amri, ia tidak mengizinkan ketaatan buta. Sebagaimana disinggung di bagian awal, ketiadaan pengulangan 'Athi'u' sebelum 'Ulil Amri' adalah sinyal bahwa ketaatan ini bersyarat. Batasan ini diperkuat oleh banyak hadis shahih yang menegaskan hak dan kewajiban rakyat ketika menghadapi perintah yang bertentangan dengan syariat.

1. Kaidah Emas: La Ta'ata fi Ma'siyatil Khaliq

Prinsip paling fundamental yang dikeluarkan dari ayat ini dan hadis-hadis terkait adalah: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Pencipta.”

Jika Ulil Amri memerintahkan rakyatnya untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh Al-Qur'an atau Sunnah (seperti meminum khamr, memakan riba, atau berbuat zalim), maka perintah tersebut harus ditolak. Penolakan ini adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul, yang merupakan level ketaatan tertinggi.

2. Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Ketaatan

Hubungan antara rakyat dan Ulil Amri tidak pasif. Ayat ini secara implisit mendukung kewajiban menegakkan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar (Amar Ma’ruf Nahi Munkar). Ulil Amri diharapkan menerapkan ma'ruf, dan rakyat harus mengingatkan jika terjadi penyimpangan.

Namun, para ulama menekankan bahwa penolakan ketaatan terhadap perintah maksiat harus dilakukan dengan cara yang bijaksana (hikmah) dan tidak menimbulkan kekacauan yang lebih besar (mafsadah), sesuai dengan prinsip Fiqh: menolak kerusakan yang lebih kecil untuk mencegah kerusakan yang lebih besar.

3. Tafsir Kasus Ketidaktaatan (Baghi)

Dalam sejarah hukum Islam, perbedaan pendapat yang serius terhadap Ulil Amri yang zalim memicu diskusi mengenai konsep *Baghi* (pemberontakan). Secara umum, walaupun perintah ketaatan kepada Ulil Amri ditekankan untuk menjaga stabilitas, namun para fuqaha bersepakat bahwa penguasa yang secara terang-terangan kafir atau memerintahkan kekufuran secara kolektif tidak lagi berhak atas ketaatan.

Mayoritas ahli Sunnah, berdasarkan tafsir ayat 59, cenderung menasihati dan mengingatkan penguasa (Muhasabah al-Hakim) daripada memberontak secara fisik, kecuali jika syarat-syarat syar'i yang sangat ketat terpenuhi dan pemberontakan diyakini tidak akan menimbulkan pertumpahan darah yang lebih parah.

IV. Peran Ulama (Fuqaha) sebagai Pelaksana 'Radd ila Allah wa al-Rasul'

Jika ayat 59 memerintahkan pengembalian sengketa kepada Qur'an dan Sunnah, maka peran Ulama (fuqaha, mujtahid, dan qadhi) menjadi sangat vital. Mereka adalah pihak yang kompeten untuk melakukan proses pengembalian (istidlal).

1. Kewajiban Ijtihad yang Berlandaskan Dalil

Ayat ini menuntut ijtihad (usaha keras dalam menetapkan hukum) yang didasarkan pada dalil yang kuat, bukan hanya pada akal semata. Proses ijtihad harus melalui tahapan metodologis yang ketat, termasuk:

Setiap putusan atau fatwa yang dikeluarkan oleh Ulil Amri (ulama) harus menyertakan referensi yang jelas kepada Nash (Qur'an dan Sunnah), sehingga publik dapat memverifikasi ketaatan mereka terhadap sumber primer.

2. Keterkaitan Qiyas (Analogi) dengan Ayat 59

Qiyas adalah metode untuk menetapkan hukum atas masalah baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Nash, dengan cara menganalogikannya kepada masalah lama yang sudah ditetapkan hukumnya oleh Nash. Para ulama berpendapat bahwa perintah "kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul" secara implisit mencakup Qiyas, karena Qiyas yang sah adalah alat untuk memahami kehendak Allah dan Rasul dalam situasi kontemporer.

Tanpa Qiyas dan Ijtihad, syariat akan menjadi statis dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, Ayat 59 adalah legitimasi bagi dinamisme syariat, selama proses tersebut tetap berpegang teguh pada Ruh dan teks wahyu.

3. Pentingnya Konsensus (Ijma')

Meskipun ayat 59 berfokus pada individu atau kelompok yang berkonflik, ia juga mendukung validitas Ijma'. Ketika ulama dari berbagai generasi mencapai konsensus (kesepakatan) mengenai suatu hukum setelah mengembalikannya kepada Qur'an dan Sunnah, maka kesepakatan itu menjadi rujukan otoritatif berikutnya, karena secara logis mustahil seluruh komunitas mujtahid bersepakat dalam kesesatan setelah merujuk pada sumber wahyu.

Dengan demikian, ayat 59 menjadi landasan bagi semua sumber hukum Islam, memastikan bahwa semuanya mengalir dari mata air yang sama: Allah dan Rasul-Nya.

V. Penerapan Prinsip Ketaatan dalam Kehidupan Pribadi dan Sosial

Implikasi An-Nisa ayat 59 jauh melampaui kerangka politik kenegaraan; ia mengatur moralitas dan etika interaksi sosial dan pribadi seorang Muslim.

1. Ketaatan sebagai Manifestasi Iman

Ayat ini mengaitkan langsung ketaatan dan resolusi konflik dengan keimanan: "jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian." Ini berarti bahwa menaati hierarki yang ditetapkan (Allah, Rasul, Ulil Amri yang adil) dan menggunakan wahyu sebagai pemutus sengketa adalah bukti nyata (tsabut) dari keimanan seseorang terhadap Hari Akhir.

Iman yang sejati tidak hanya diucapkan, tetapi dimanifestasikan melalui kepatuhan terhadap perintah dan larangan Ilahi, bahkan ketika hal itu bertentangan dengan kepentingan pribadi atau kelompok.

2. Menghindari Tafarruq (Perpecahan)

Tujuan utama ayat ini adalah menciptakan persatuan umat (Wahdatul Ummah). Perselisihan adalah hal yang alami, namun cara penanganannya yang ditentukan oleh Allah (kembali kepada wahyu) memastikan bahwa perselisihan tersebut tidak berujung pada perpecahan akidah atau permusuhan abadi.

Ketika sengketa diselesaikan berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, semua pihak wajib menerima keputusan tersebut, karena secara teori keputusan itu berasal dari otoritas tertinggi yang diyakini kebenarannya oleh semua pihak beriman.

3. Keutamaan dan Konsekuensi Akhirat (Khairun wa Ahsanu Ta'wila)

Penutup ayat ini menyatakan: "Yang demikian itu lebih utama (khairun) dan lebih baik akibatnya (ahsanu ta'wila)."

Ini adalah dorongan etis bagi Mukmin untuk selalu memilih jalan wahyu, meskipun jalan tersebut mungkin terasa sulit atau tidak sesuai dengan pandangan pribadi atau kepentingan fana.

VI. Analisis Historis: Aplikasi Ayat 59 Pasca Rasulullah ﷺ

Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, ayat 59 menjadi pedoman utama bagi Kekhalifahan Rasyidah dan era-era Islam selanjutnya dalam menangani suksesi kepemimpinan dan perselisihan hukum.

1. Suksesi Kepemimpinan (Khulafa'ur Rasyidin)

Pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah pertama, meskipun terjadi perdebatan di Saqifah Bani Sa'idah, akhirnya diselesaikan dengan merujuk kepada prinsip-prinsip syura yang disarikan dari semangat ayat 59 dan Sunnah. Kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali sepenuhnya dijalankan di bawah prinsip ketaatan bersyarat. Ketika para Sahabat berbeda pendapat (tanaza'tum) mengenai suatu masalah, mereka segera merujuk kepada Al-Qur'an atau hadis yang terekam dari Rasulullah ﷺ.

Contoh paling terkenal adalah ketika Khalifah Abu Bakar memerintahkan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Abu Bakar menggunakan dalil syar’i (ketaatan kepada Rasul dan Allah) untuk membenarkan tindakannya, yang awalnya dipertanyakan oleh Umar bin Khattab. Setelah Abu Bakar menunjukkan dalil dari Sunnah, Umar segera menerima putusan tersebut sebagai implementasi dari 'Radd ila Allah wa al-Rasul'.

2. Pembentukan Lembaga Qadha (Peradilan)

Ayat 59 menegaskan perlunya adanya mekanisme untuk mengadili sengketa. Hal ini mendorong perkembangan lembaga peradilan (Qadha) yang independen. Qadhi (hakim) dalam Islam berfungsi sebagai pengejawantahan dari perintah "kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul." Peran Qadhi adalah memastikan bahwa keputusan hukum tidak didasarkan pada keinginan penguasa, tetapi pada bukti syar'i.

Dalam sistem Islam klasik, bahkan penguasa tertinggi (Khalifah) tunduk pada keputusan Qadhi jika ia melanggar hukum, menunjukkan bahwa ketaatan tertinggi tetap pada Syariat (hukum Allah), bukan pada individu penguasa.

3. Menanggapi Tahrif (Penyimpangan Hukum)

Ayat ini juga memberikan justifikasi historis bagi ulama untuk menentang upaya penguasa (Ulil Amri) untuk memutarbalikkan atau mengubah hukum syariat. Jika suatu putusan Ulil Amri jelas menyimpang dari Qur'an dan Sunnah, maka ulama memiliki otoritas moral dan syar'i untuk menolaknya dan mendesak perbaikan, sesuai dengan kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Kisah-kisah penolakan para ulama terhadap tekanan politik di masa kekhalifahan Abbasiyah (seperti kasus fitnah penciptaan Qur'an) adalah contoh nyata dari keberanian ilmiah yang berakar pada pemahaman mendalam terhadap prinsip batasan ketaatan dalam An-Nisa: 59.

VII. Studi Komparatif Mazhab Fiqh Mengenai Ayat 59

Meskipun semua mazhab sepakat mengenai kedudukan ayat 59 sebagai dalil utama ketaatan, terdapat nuansa perbedaan dalam penafsiran dan aplikasi, terutama terkait Ulil Amri dan ketaatan terhadap penguasa yang zalim.

1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi, yang dominan di banyak kekhalifahan besar, cenderung menekankan pentingnya stabilitas sosial dan ketaatan kepada penguasa, meskipun terdapat kezaliman. Fokus mereka adalah mencegah *fitnah* (kekacauan) yang lebih besar. Mereka menafsirkan Ulil Amri secara luas mencakup penguasa dan ahli hukum.

Mereka menggunakan prinsip *Istihsan* (preferensi yurisprudensi) dalam situasi tertentu, namun tetap menuntut bahwa putusan hukum akhir harus dapat dibuktikan kesesuaiannya dengan Qur'an dan Sunnah saat terjadi perselisihan.

2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki sangat kuat dalam penggunaan *Maslahah Mursalah* (kepentingan publik yang tidak secara spesifik diatur oleh Nash). Ulil Amri, dalam pandangan Maliki, memiliki ruang yang luas untuk menetapkan hukum baru demi kebaikan umat, selama hukum tersebut tidak bertentangan dengan Nash primer. Namun, sama seperti mazhab lain, jika Ulil Amri mengeluarkan perintah yang maksiat, ketaatan akan gugur. Penekanan mereka pada tradisi amal ahli Madinah (praktik penduduk Madinah) juga dilihat sebagai bentuk implementasi Sunnah, yang merupakan rujukan utama resolusi konflik.

3. Mazhab Syafi'i

Imam Asy-Syafi'i adalah yang paling tegas dalam menggunakan ayat 59 sebagai dalil utama untuk menegaskan otoritas Sunnah. Dalam kitabnya, *Ar-Risalah*, ia berulang kali merujuk pada ayat ini untuk membuktikan bahwa ketaatan kepada Rasul dan kembali kepada Sunnah adalah kewajiban yang diikat oleh keimanan. Mazhab Syafi'i menuntut kejelasan dalil (istidlal) dari Qur'an dan Sunnah dalam setiap ijtihad, menekankan proses "Radd ila Allah wa al-Rasul" secara metodologis.

4. Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali sangat keras dalam menjaga kemurnian tauhid dan Sunnah. Mereka menafsirkan Ulil Amri sebagai penguasa yang menjaga keamanan dan menegakkan syariat. Mereka dikenal karena penekanan yang kuat pada larangan pemberontakan terhadap penguasa yang zalim, selama penguasa tersebut masih Muslim dan tidak memerintahkan kekufuran secara terang-terangan. Ketaatan kepada Ulil Amri adalah upaya untuk mencegah pertumpahan darah dan chaos, meskipun mereka tetap memegang teguh prinsip non-ketaatan terhadap kemaksiatan.

Semua mazhab, meskipun berbeda dalam detail aplikasinya, bersatu pada titik inti: Kedaulatan Hukum mutlak milik Allah, diekspresikan melalui Qur'an dan Sunnah, dan semua otoritas manusia (Ulil Amri) adalah pelaksana yang terikat oleh kedaulatan tersebut.

VIII. Relevansi Ayat 59 dalam Demokrasi dan Tata Kelola Modern

Dalam konteks negara-bangsa modern, di mana sistem pemerintahan seringkali melibatkan konsep kedaulatan rakyat dan pemisahan kekuasaan, ayat 59 masih berfungsi sebagai panduan etika politik dan hukum bagi komunitas Muslim.

1. Identifikasi Ulil Amri dalam Konteks Modern

Dalam sistem kontemporer, Ulil Amri dapat diidentifikasi sebagai:

Perintah ketaatan mencakup semua lembaga ini, tetapi ketaatan tersebut harus diuji melalui filter syariat. Jika parlemen mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan nash yang jelas (misalnya, melegalkan homoseksualitas atau riba), maka Ulil Amri tersebut telah melanggar batasan ketaatan Ilahi, dan umat wajib menolak perintah tersebut, meskipun tetap menjaga ketertiban sosial.

2. Akuntabilitas dan Checks and Balances

Ayat 59 secara efektif menciptakan sistem akuntabilitas (checks and balances) Islami: Ulil Amri (penguasa) harus bertanggung jawab kepada Allah dan Rasul, dan rakyat berhak menuntut akuntabilitas tersebut. Proses 'Radd ila Allah wa al-Rasul' adalah mekanisme banding tertinggi di atas semua keputusan manusia.

Ini mendorong pemerintahan yang bukan hanya demokratis (menurut kehendak rakyat), tetapi juga teokratis (menurut kehendak Tuhan). Kebaikan (Ma'ruf) tidak ditentukan oleh suara terbanyak, tetapi oleh ketetapan wahyu.

3. Etika Partisipasi Politik

Bagi warga negara Muslim, ayat 59 menuntut partisipasi politik yang konstruktif. Ketaatan kepada Ulil Amri yang adil adalah wajib, sementara penolakan terhadap kezaliman adalah hak dan kewajiban. Partisipasi dalam pemilihan umum atau kegiatan politik harus didasarkan pada upaya memilih Ulil Amri yang paling mungkin menegakkan 'Radd ila Allah wa al-Rasul' dan menghindari kemungkaran.

Keterlibatan ini adalah aplikasi praktis dari upaya kolektif umat untuk memastikan bahwa kepemimpinan mereka tetap berada dalam koridor Syariat, sehingga mewujudkan hasil yang 'lebih utama dan lebih baik akibatnya' (khairun wa ahsanu ta'wila) bagi kehidupan dunia dan akhirat.

IX. Penutup dan Penguatan Konsep Ketaatan

Surah An-Nisa ayat 59 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang membentuk kerangka filosofis dan legal masyarakat Islam. Ia tidak hanya mengatur kewajiban individu untuk taat, tetapi juga mendefinisikan batas-batas kekuasaan politik dan metodologi penyelesaian sengketa hukum dan sosial.

Prinsip sentral yang harus dipegang teguh dari ayat ini adalah bahwa otoritas dalam Islam bergerak dalam tiga lingkaran konsentris: Allah (otoritas mutlak), Rasul (otoritas penjelasan), dan Ulil Amri (otoritas pelaksanaan dan ijtihad). Lingkaran luar (Ulil Amri) harus selalu terikat dan tunduk pada dua lingkaran di dalamnya.

Ketika terjadi perbedaan pendapat, mekanisme baku yang ditetapkan oleh wahyu—kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah—menghindarkan umat dari kebingungan dan perpecahan, memastikan bahwa fondasi hukum dan etika tetap kokoh di atas kebenaran abadi. Ketaatan yang didasarkan pada iman dan Hari Akhir inilah yang menjanjikan keutamaan hidup yang sesungguhnya.

🏠 Kembali ke Homepage