Mengupas Inti Keadilan dalam Surah An-Nisa Ayat 3

Simbol Timbangan Keadilan dan Keluarga Visualisasi timbangan yang seimbang, melambangkan keadilan yang menjadi prasyarat utama dalam pernikahan poligini. Kewajiban Keadilan

Surah An-Nisa (Wanita) merupakan salah satu surah terpenting dalam Al-Qur'an karena secara ekstensif membahas tatanan sosial, hak-hak perempuan, hukum waris, dan etika keluarga. Ayat-ayat awal surah ini diturunkan pada periode pasca-Perang Uhud, sebuah masa krusial di mana komunitas Muslim Madinah kehilangan banyak laki-laki dewasa, yang mengakibatkan lonjakan jumlah janda dan anak yatim. Dalam konteks sosial yang rentan inilah, Surah An-Nisa Ayat 3 diturunkan, bukan sebagai anjuran bebas, melainkan sebagai sebuah solusi yang sangat terikat pada syarat keadilan yang ketat.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
"Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (yang akan kamu nikahi), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim." (QS. An-Nisa [4]: 3)

I. Konteks Historis dan Filosofis Ayat

Memahami Surah An-Nisa Ayat 3 secara terpisah dari Ayat 2 adalah kesalahan tafsir yang fundamental. Ayat sebelumnya (Ayat 2) membahas ancaman keras terhadap mereka yang memakan harta anak yatim secara zalim. Ayat 3 muncul sebagai kelanjutan logis yang membahas perlindungan anak yatim melalui jalur pernikahan.

1. Permasalahan Yatim sebagai Titik Tolak

Tradisi Arab pra-Islam seringkali mengizinkan wali yatim menikahi perempuan yatim yang berada di bawah perwalian mereka. Motif pernikahan ini biasanya didorong oleh dua hal: pertama, ketamakan terhadap harta warisan yatim tersebut; atau kedua, kecantikan si perempuan yatim tanpa adanya niat untuk memberikan mahar yang layak atau perlakuan yang adil. Para wali ini enggan menikahi mereka dengan mahar yang seharusnya, namun juga enggan mengizinkan mereka dinikahi orang lain karena takut kehilangan akses terhadap harta mereka.

Ibnu Abbas ra. menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk mengatasi praktik di mana para wali enggan memberikan mahar yang pantas kepada perempuan yatim yang mereka nikahi, namun mereka sangat ingin mengambil alih harta si yatim. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan solusi: jika mereka takut tidak bisa berbuat adil kepada perempuan yatim, maka tinggalkanlah perempuan yatim itu, dan nikahi perempuan lain yang bukan yatim dari perwalian mereka, dengan batasan yang jelas: dua, tiga, atau maksimal empat.

2. Poligini sebagai Pengendalian, Bukan Pendorong

Ayat 3 seringkali disalahartikan sebagai dorongan atau izin tak terbatas untuk berpoligini. Kenyataannya, ayat ini berfungsi sebagai pembatasan (tahdid) yang revolusioner. Sebelum Islam, poligini dilakukan tanpa batas—seorang laki-laki bisa menikahi puluhan wanita. Ayat ini memotong tradisi tersebut secara drastis, menetapkan batas absolut pada angka empat.

Lebih penting lagi, izin berpoligini ini terikat pada dua klausul ketakutan yang harus dipatuhi:

Ayat ini mengajarkan bahwa inti dari pernikahan adalah keadilan, baik dalam konteks perlindungan hak minoritas (yatim) maupun dalam konteks hubungan suami-istri.


II. Tafsir Mendalam atas Frasa Kunci (5 Pilar Ayat)

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah setiap frasa penting dalam ayat ini, karena setiap kata membawa implikasi hukum dan etika yang mendalam.

1. Permasalahan Pertama: Keadilan terhadap Yatim (أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ)

Frasa "Wa in khiftum allā tuqsiṭū fil-yatāmā" (Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap perempuan yatim) adalah pangkal dari seluruh ayat. Ini menunjukkan bahwa pernikahan dengan perempuan yatim yang berada di bawah perwalian seseorang harus dilakukan dengan keadilan penuh, terutama dalam hal mahar (maskawin) dan perlakuan. Jika seseorang merasa hatinya condong untuk menzalimi hak-hak mereka, baik karena mengambil harta mereka atau karena memperlakukan mereka dengan buruk setelah dinikahi, maka ia dilarang menikahi mereka.

Penting untuk dicatat bahwa keadilan (al-Qist) di sini sering diinterpretasikan oleh ulama tafsir klasik (seperti At-Tabari dan Ibn Katsir) merujuk pada keadilan finansial dan sosial. Kekhawatiran ini berfungsi sebagai pengingat moral yang mendalam; jika Anda tidak dapat berlaku adil kepada satu wanita yang lemah (yatim) di bawah perwalian Anda, bagaimana Anda bisa berlaku adil kepada lebih banyak wanita?

2. Solusi Alternatif: Menikahi Wanita Lain (فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ)

Ketika wali menyadari kelemahan moral atau ketidakmampuannya untuk adil terhadap yatim, Allah menawarkan solusi: nikahi wanita lain yang kamu senangi. Frasa mā ṭāba lakum (yang menyenangkan bagimu) mengandung makna yang mendalam. Ia menyiratkan bahwa pilihan istri harus didasarkan pada rasa suka, kecocokan, dan kemampuan untuk membina rumah tangga yang harmonis, bukan semata-mata nafsu atau kepentingan harta benda.

Para ulama tafsir menekankan bahwa "menyenangkan" di sini tidak berarti tanpa tanggung jawab. Kebahagiaan dan kesenangan dalam pernikahan harus sejalan dengan kewajiban syariat, termasuk memberikan mahar, nafkah, dan perlakuan yang baik.

3. Batasan Angka: Dua, Tiga, atau Empat (مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ)

Ini adalah bagian yang paling banyak disorot: mathnā wa thulātha wa rubā‘a (dua, tiga, atau empat). Frasa ini secara definitif membatasi jumlah istri maksimal yang boleh dimiliki seorang pria pada waktu yang sama. Konsensus seluruh mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan ulama mujtahid menetapkan bahwa batas empat adalah limit tertinggi dan tidak dapat dilanggar.

Penerapan batasan ini adalah bukti bahwa Islam mengakui realitas sosial namun mengutamakan disiplin dan keadilan. Jika seseorang menikahi lima wanita, pernikahannya dengan wanita kelima dianggap tidak sah berdasarkan ijma' (konsensus) ulama.

4. Syarat Mutlak: Keadilan Wajib dan Pembatasan pada Satu (فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً)

Inilah inti dari ayat ini, sebuah penegasan yang membatalkan segala izin jika syarat utamanya gagal dipenuhi: KEADILAN. Frasa "Fa’in khiftum allā ta‘dilū fawāḥidatan" (Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja) mengubah poligini dari izin menjadi tanggung jawab yang hampir mustahil.

Rasa "khawatir" di sini bukanlah sekadar dugaan ringan, melainkan keyakinan batin yang kuat berdasarkan kemampuan finansial, emosional, dan waktu. Jika seseorang memiliki keraguan sedikit pun bahwa ia akan menzalimi salah satu istrinya, maka ia diwajibkan oleh Al-Qur'an untuk hanya menikah satu orang. Dalam fiqh, keadilan yang wajib dipenuhi (al-'Adl al-Wajib) mencakup:

Ayat ini secara eksplisit menempatkan monogami sebagai pilihan yang disukai (preferential option) dan poligini sebagai pengecualian yang terikat syarat yang sangat berat.

5. Tujuan Hukum: Menghindari Kezaliman (ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا)

Penutup ayat ini memperkuat alasan di balik semua pembatasan di atas: "Dhālika adnā allā ta‘ūlū" (Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim/terbebani). Kata ta‘ūlū memiliki dua makna utama dalam tafsir:

  1. Agar Tidak Zalim: Pendapat mayoritas ulama (seperti Imam Syafi'i) mengartikan ini sebagai menghindari kezaliman atau ketidakadilan. Monogami lebih menjamin keadilan daripada poligini yang berisiko.
  2. Agar Tidak Miskin/Terlalu Banyak Tanggungan: Sebagian ulama mengartikan ta‘ūlū dari akar kata ‘ā’ilah (keluarga besar), yang berarti "agar kamu tidak memiliki tanggungan yang terlalu banyak atau menjadi miskin." Ini menyiratkan bahwa kemampuan finansial adalah bagian integral dari keadilan.

Kedua makna ini saling melengkapi, menunjukkan bahwa menjaga keadilan spiritual dan materi adalah tujuan utama Syariah dalam mengatur kehidupan rumah tangga.


III. Perbedaan Keadilan Wajib dan Keadilan Mustahil

Diskusi tentang keadilan dalam An-Nisa Ayat 3 tidak bisa tuntas tanpa membandingkannya dengan Surah An-Nisa Ayat 129, di mana Allah SWT menyatakan bahwa manusia tidak akan pernah mampu berlaku adil secara sempurna di antara istri-istri, meskipun ia sangat berusaha.

1. Keadilan Fisik dan Materi (Al-Adl al-Dhahiri)

Keadilan yang diwajibkan dalam Ayat 3 adalah keadilan yang bersifat lahiriah, terukur, dan material. Ini adalah keadilan yang berada dalam kendali manusia (al-Adl al-Qādir).

Keadilan jenis ini adalah prasyarat hukum. Jika seorang suami terbukti lalai dalam memenuhi keadilan materi ini, ia dianggap melanggar hukum syariah dan dapat dituntut cerai (fasakh) oleh istri yang terzalimi.

2. Keadilan Emosional dan Hati (Al-Adl al-Bāṭini)

Ayat 129 menyatakan: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…”

Keadilan yang disebut "mustahil" di sini adalah keadilan hati, cinta, dan kecenderungan emosional. Manusia, dengan fitrahnya, tidak dapat menyamaratakan rasa cinta, hasrat, atau ketertarikan kepada semua istrinya. Bagian ini berada di luar kendali manusia (al-Adl al-Ghair Qādir).

Implikasi hukumnya adalah: Selama suami berusaha keras menutupi kecenderungan hati ini dengan keadilan lahiriah (nafkah dan giliran), ia tidak berdosa. Namun, ia dilarang keras menampakkan kecenderungan itu secara lahiriah hingga mengabaikan hak istri lain (allā tamīlū kulla l-mail – janganlah kamu terlalu cenderung).

Kesimpulan korelasi Ayat 3 dan Ayat 129 adalah: Ayat 3 menetapkan standar hukum minimal yang harus dipenuhi (keadilan lahiriah) sebagai prasyarat poligini. Ayat 129 memberikan peringatan spiritual dan moral bahwa kesempurnaan keadilan adalah milik Allah, dan manusia harus selalu berhati-hati agar kecenderungan hati tidak merusak perlakuan lahiriah.


IV. Tafsir Kontemporer: Poligini dan Tuntutan Zaman

Dalam konteks modern, di mana sistem peradilan sipil dan perlindungan hak perempuan telah berkembang, penafsiran terhadap An-Nisa Ayat 3 menjadi subjek perdebatan yang intens, terutama mengenai mekanisme penerapan syarat keadilan.

1. Posisi Ulama Modernis (Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha)

Ulama-ulama reformis awal abad ke-20 seperti Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, memberikan penekanan yang jauh lebih besar pada klausul "jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja." Mereka berpendapat bahwa pada hakikatnya, dengan kompleksitas kehidupan modern dan tuntutan ekonomi, kemampuan untuk mencapai keadilan yang disyaratkan oleh Al-Qur'an menjadi semakin sulit.

Dalam tafsir Al-Manar, Rasyid Ridha berpendapat bahwa kondisi poligini yang ditetapkan Al-Qur'an sedemikian berat sehingga hampir mustahil dipenuhi kecuali oleh sedikit individu yang memiliki spiritualitas dan kemampuan materi yang luar biasa. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip pencegahan kezaliman (sadd al-dharā’i‘), monogami harus menjadi norma hukum yang ketat.

2. Pengaturan Negara (Qanun Ahwal Syakhshiyah)

Banyak negara Muslim, menyadari potensi eksploitasi dan ketidakadilan akibat poligini yang tidak diatur, telah memberlakukan undang-undang keluarga yang membatasi atau mempersulit pelaksanaan poligini. Pembatasan ini didasarkan pada tujuan (maqashid) syariah, yaitu mencegah kezaliman (ta'ūlū).

Contohnya, beberapa negara (seperti Tunisia) melarang poligini sepenuhnya, sementara negara lain (seperti Indonesia) mengharuskan izin pengadilan yang ketat. Pengadilan biasanya mensyaratkan bukti bahwa suami:

Syarat-syarat ini adalah upaya hukum untuk menerjemahkan rasa "khawatir tidak mampu berlaku adil" yang bersifat pribadi (batiniah) menjadi persyaratan publik yang dapat diverifikasi oleh lembaga kehakiman, memastikan bahwa hukum Allah tidak disalahgunakan.


V. Analisis Kritis terhadap Keadilan Materi dan Moral

Ayat 3 memberikan fondasi etika yang kuat: setiap izin (rukhsah) yang diberikan oleh Syariat, harus tunduk pada prinsip etika tertinggi (keadilan). Analisis mendalam menunjukkan bagaimana Islam menyeimbangkan kebutuhan masyarakat dengan hak individu.

1. Keadilan Sebagai Kontrol Hawa Nafsu

Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menekankan bahwa ayat ini adalah ujian bagi integritas moral seorang pria. Poligini dalam konteks ini bukanlah tentang memuaskan hasrat seksual, melainkan tentang menerima tanggung jawab sosial yang besar, terutama terhadap kaum lemah (janda dan yatim). Jika motifnya hanya nafsu, maka keadilan akan sulit dicapai, dan suami akan jatuh dalam dosa. Ayat ini menempatkan keadilan sebagai kendali paling efektif terhadap hawa nafsu.

Keadilan material yang wajib adalah manifestasi lahiriah dari ketaqwaan batiniah. Seseorang yang tidak takut kepada Allah tidak akan pernah mampu menunaikan keadilan materi, karena ia akan selalu mengedepankan kepentingan pribadi atau istri yang paling disukai.

2. Peran Perempuan dalam Perlindungan Yatim

Walaupun fokus ayat ini tampak pada peran laki-laki, akar masalahnya terletak pada perlindungan terhadap perempuan yatim. Ini menyoroti tingginya nilai perempuan dalam Islam sebagai subjek yang harus dilindungi dari eksploitasi, bukan objek yang boleh diperlakukan semena-mena. Surah An-Nisa secara keseluruhan berulang kali menegaskan martabat dan hak-hak finansial perempuan.

Ketika Islam membatasi poligini, itu dilakukan untuk memastikan martabat istri yang kedua, ketiga, atau keempat tidak direndahkan menjadi sekadar pemuas kebutuhan, melainkan sebagai pasangan yang memiliki hak penuh sebagaimana istri pertama.

3. Tafsir "Aw Mā Malakat Aimānukum" (Budak yang Kalian Miliki)

Ayat ini juga memberikan opsi ketiga selain menikah satu atau berpoligini terbatas: "aw mā malakat aymānukum" (atau budak-budak yang kamu miliki). Dalam konteks penurunan ayat, ini merujuk pada ketentuan hukum perbudakan yang berlaku pada masa itu, di mana seorang pria diizinkan memiliki hubungan dengan budak wanitanya. Namun, mayoritas ulama tafsir menekankan bahwa opsi ini diletakkan di samping monogami (satu istri) sebagai solusi lain untuk menghindari kezaliman, terutama dalam konteks ekonomi.

Dengan berakhirnya praktik perbudakan di seluruh dunia, opsi ini secara hukum dan sosial telah terhenti. Fokus utama penafsiran modern harus kembali pada dua pilihan yang relevan: monogami sebagai standar (jika khawatir tidak adil) atau poligini terbatas (jika yakin mampu adil).


VI. Implikasi Hukum Fiqh Klasik Mengenai Pelaksanaan Ayat 3

Empat mazhab fiqh besar (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) memiliki pandangan yang konsisten mengenai batasan empat, namun terdapat perbedaan tipis dalam penekanan terhadap syarat keadilan.

1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi sangat menekankan aspek finansial dalam keadilan. Poligini hanya sah jika suami mampu memberikan nafkah yang layak kepada semua istrinya. Jika suami menikahi lebih dari empat, pernikahan yang kelebihan tersebut secara otomatis tidak sah. Mereka melihat keadilan materi sebagai hal yang mutlak.

2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki memiliki pandangan yang sedikit lebih lunak pada awalnya, namun tetap menuntut keadilan yang ketat. Mereka juga membahas secara rinci hak istri untuk meminta cerai (fasakh) jika suaminya terbukti tidak adil dalam pembagian giliran (qasm) atau nafkah. Dalam pandangan Maliki, ancaman keretakan rumah tangga akibat ketidakadilan juga dapat membatalkan izin poligini.

3. Mazhab Syafi'i

Imam Syafi'i sangat fokus pada interpretasi "adnā allā ta‘ūlū" sebagai pencegahan kezaliman (kezaliman). Menurut Syafi’i, kekhawatiran pribadi (khauf) seorang pria adalah penentu utama. Jika ia merasa khawatir dalam hati, maka ia berdosa jika tetap berpoligini. Bagi Syafi’i, ini adalah soal ketaqwaan individu yang memiliki konsekuensi hukum yang sangat besar.

4. Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali setuju dengan batasan empat dan kewajiban keadilan lahiriah. Mereka secara tegas menyatakan bahwa keadilan dalam nafkah dan giliran adalah wajib. Jika salah satu istri mengklaim ketidakadilan dan dapat membuktikannya, hakim harus memaksa suami untuk berlaku adil atau menjatuhkan sanksi.

Melalui pandangan empat mazhab ini, jelas bahwa interpretasi hukum Islam selalu menempatkan kesejahteraan dan hak istri sebagai prioritas utama dalam konteks poligini. Syarat keadilan adalah tali kekang yang mencegah penyalahgunaan izin tersebut.


VII. Studi Kasus dan Kesalahpahaman Umum

Banyak kesalahpahaman muncul mengenai penerapan Ayat 3, yang sering kali mengabaikan konteks perlindungan yatim dan klausul keadilan yang mengikat.

1. Kesalahpahaman: Poligini sebagai Sunnah atau Anjuran

Sering kali, poligini dianggap sebagai praktik yang dianjurkan (sunnah) untuk seluruh umat Muslim. Ayat 3 tidak pernah mengkategorikan poligini sebagai sunnah, melainkan sebagai izin (ibāhah) yang bersyarat sangat ketat. Anjuran utama dalam Islam adalah membangun rumah tangga yang stabil dan adil. Jika stabilitas hanya dapat dicapai dengan monogami, maka monogami lebih dekat kepada ketaqwaan.

2. Kesalahpahaman: Keadilan Hanya Soal Uang

Meskipun nafkah materi adalah aspek krusial dari keadilan, tafsir Al-Qur'an dan hadits menegaskan bahwa keadilan juga mencakup pembagian waktu, perhatian, dan perlakuan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri, meskipun berusaha keras adil secara materi, selalu berdoa kepada Allah agar tidak dihukum karena kecenderungan hati yang tidak dapat Ia kontrol sepenuhnya.

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat bahwa keadilan tidak hanya dilihat dari apa yang diberikan, tetapi dari suasana hati yang diciptakan dalam rumah tangga. Jika seorang istri merasa diabaikan, meskipun nafkahnya cukup, keadilan belum terpenuhi.

3. Kesalahpahaman: Menikah Hanya untuk Menambah Keturunan

Meskipun memiliki keturunan adalah tujuan mulia pernikahan, Ayat 3 jelas menempatkan keadilan dan perlindungan hak sebagai tujuan utama pernikahan kedua, ketiga, atau keempat. Menggunakan poligini semata-mata untuk menambah keturunan tanpa kemampuan menjamin hak-hak mereka adalah bentuk kezaliman baru.


VIII. Keadilan Keluarga Sebagai Fondasi Masyarakat

Pesan utama dari An-Nisa Ayat 3 meluas melampaui urusan pribadi suami istri; ia merupakan fondasi bagi tatanan masyarakat yang adil.

1. Keadilan Sebagai Pintu Masuk Taqwa

Ketika seseorang dituntut untuk adil kepada istri-istrinya, ia sedang mempraktikkan ketaqwaan (rasa takut) kepada Allah. Ketaqwaan inilah yang mendorong seseorang untuk menjauhi harta yatim, menahan diri dari kezaliman, dan memilih monogami jika keadilan sulit dicapai. Rumah tangga yang adil, yang dibangun di atas kesadaran akan ancaman ta‘ūlū (kezaliman), adalah cerminan masyarakat yang taat.

2. Integrasi Hukum Keluarga dan Hukum Ekonomi

Ayat 3 mengintegrasikan hukum keluarga dengan hukum ekonomi. Ketidakmampuan finansial atau ketamakan terhadap harta yatim menjadi alasan untuk menghindari pernikahan. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab material adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab moral. Pernikahan, khususnya poligini, tidak boleh menjadi beban bagi istri atau anak-anak, melainkan harus menjadi sumber perlindungan dan kestabilan ekonomi.

Syeikh Yusuf Al-Qaradawi menegaskan bahwa dalam situasi masyarakat modern yang miskin dan rentan, pengabaian terhadap syarat keadilan material dalam poligini sama saja dengan melanggar tujuan Syariah untuk menjaga harta dan keturunan.

3. Monogami sebagai Benteng Perlindungan

Penegasan "fawāḥidatan" (maka satu saja) di tengah ayat adalah bukti bahwa monogami adalah pilihan yang paling aman dan paling menjamin keadilan. Dalam ajaran Islam, menghindari syubhat (keraguan) dan kezaliman lebih diutamakan daripada mengambil izin yang berisiko. Monogami menjadi benteng bagi keluarga dari potensi konflik, kecemburuan, dan pengabaian hak yang sering menyertai ketidakadilan dalam rumah tangga berpoligini.

Oleh karena itu, bagi mayoritas umat Islam, Surah An-Nisa Ayat 3 sejatinya adalah ayat yang menguatkan pentingnya menjaga kesucian ikatan pernikahan tunggal, kecuali jika keadaan sosial (seperti perlindungan yatim/janda pasca perang) dan kemampuan individu benar-benar memungkinkan pemenuhan syarat keadilan yang sempurna.

Keadilan, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar hak istri, tetapi merupakan hak Allah yang harus dipenuhi oleh suami. Pelanggaran terhadap keadilan keluarga adalah pelanggaran terhadap hukum Ilahi, dan ancaman dari "adnā allā ta‘ūlū" adalah peringatan keras bahwa akibat dari kezaliman akan ditanggung di dunia maupun di akhirat.


IX. Penafsiran Sufistik dan Etika Batiniah

Di luar kerangka fiqh dan hukum, para ulama tasawuf melihat Ayat 3 sebagai cerminan etika batiniah dan hubungan seseorang dengan Tuhannya.

1. Keadilan Hati Nurani

Dari sudut pandang sufistik, kekhawatiran untuk tidak berlaku adil (khiftum allā ta‘dilū) bukan hanya merujuk pada ketidakadilan materi, tetapi juga ketidakmampuan jiwa untuk bersikap tulus dan seimbang. Kekhawatiran ini adalah barometer ketulusan batin (ikhlas).

Jika hati seseorang tidak tenang dan tidak mampu menjamin ketulusan niat (yaitu, pernikahannya didasari oleh nafsu yang tidak terkendali, bukan oleh tanggung jawab), maka ia harus menahan diri. Monogami adalah praktik pengekangan diri yang lebih tinggi dalam konteks ini, menunjukkan kemenangan spiritual atas kelemahan fisik.

2. Tafakur Mengenai Tanggung Jawab

Surah An-Nisa Ayat 3 memaksa orang untuk melakukan muhasabah (introspeksi) yang mendalam. Tafakur ini harus mencakup perhitungan yang jujur mengenai kapasitas diri: Apakah saya benar-benar mampu menanggung beban yang besar? Apakah harta saya cukup? Apakah hati saya seteguh itu? Bagi ahli sufi, pernikahan yang adil adalah bentuk ibadah yang paling berat, karena mengurus makhluk Allah dengan keadilan adalah puncak pengabdian.

Ketika Allah SWT menuntut keadilan, Dia menuntut kesempurnaan dalam niat dan pelaksanaan. Keadilan, dengan demikian, adalah sebuah perjalanan spiritual menuju pemurnian diri dari sifat egois dan zalim.


X. Konsekuensi Hukum dan Akhirat Bagi Pelanggar Keadilan

Syariat tidak membiarkan ketidakadilan dalam rumah tangga tanpa konsekuensi. Ayat 3 secara implisit membawa ancaman hukuman duniawi dan akhirat bagi mereka yang melanggar prasyarat keadilan.

1. Hukuman Duniawi (Fasakh dan Ta’zir)

Jika seorang suami berpoligini dan terbukti oleh pengadilan melakukan ketidakadilan materi (tidak memberikan nafkah yang sama atau tidak membagi giliran), istri berhak menuntut cerai (fasakh) berdasarkan cacat syar'i. Hakim juga berhak memberikan hukuman ta’zir (hukuman korektif) kepada suami yang zalim.

Ketidakadilan dalam poligini merusak fondasi pernikahan yang bertujuan membawa ketenangan (sakinah) dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Jika tujuan tersebut gagal, maka Syariah memberikan jalan keluar melalui pemisahan yang adil.

2. Ancaman Akhirat

Hadits Nabi Muhammad ﷺ memberikan peringatan keras: "Barangsiapa memiliki dua istri, lalu ia cenderung kepada salah satunya dan tidak berlaku adil, maka pada hari Kiamat ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i). Ini adalah ancaman yang sangat menakutkan, menunjukkan betapa seriusnya dosa ketidakadilan dalam poligini.

Ancaman miringnya tubuh di Hari Kiamat melambangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan yang dilakukan di dunia. Ini bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga simbol penghinaan spiritual di hadapan Allah SWT. Peringatan kenabian ini berfungsi sebagai penekanan moral tertinggi terhadap kewajiban yang telah ditetapkan dalam Surah An-Nisa Ayat 3.

Oleh karena itu, setiap Muslim yang mempertimbangkan poligini harus selalu merenungkan ancaman ini dan menjadikan keadilan sebagai satu-satunya tolok ukur, bukan sekadar kemampuan fisik atau finansial, melainkan ketundukan total pada perintah Allah SWT.


Penutup: Keadilan Adalah Batas Mutlak

Surah An-Nisa Ayat 3 adalah mercusuar etika dalam hukum keluarga Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa izin poligini bukanlah sebuah kemewahan sosial, melainkan sebuah izin darurat yang ditujukan untuk mengatasi masalah sosial kritis (perlindungan yatim dan janda) dan harus dibingkai oleh syarat etika yang tidak dapat ditawar: keadilan (al-adl).

Apabila rasa khawatir (khauf) akan ketidakadilan muncul, Al-Qur'an dengan tegas memerintahkan untuk kembali pada pilihan yang paling aman, paling adil, dan paling dekat dengan ketaqwaan, yaitu monogami (satu istri). Frasa penutup "Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim," adalah ringkasan yang sempurna dari tujuan Syariah: memprioritaskan pencegahan kezaliman di atas segalanya, demi terciptanya keluarga yang damai dan masyarakat yang stabil, sesuai dengan kehendak Ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage